Вы находитесь на странице: 1из 9

Bab Tiga Puluh

Hari telah larut, lewat tengah malam, dan Bridgid serta Gillian sangat kelelahan akibat hari
panjang dan cobaan berat yang mereka lalui, sampai-sampai untuk menjaga mata tetap terbuka
pun harus kerja keras. Mereka duduk beradu bahu dengan merebahkan punggung pada sebuah
batang pohon, menjulurkan kaki ke depan, sembari mencoba mendengarkan apa yang sedang
diperbincangkan tuan tanah mereka.

Semua orang telah terlelap, dan tanah pun tertutupi hamparan plaid1. Ramsey dan Brodick duduk
di hadapan api unggun dengan saling mendekatkan kepala, diwarnai percakapan berbisik yang
pelik. Ramsey terus mengaduk-aduk bara api dengan sebuah tongkat panjang dan bengkok,
seolah-olah sedang mencari sesuatu yang hilang, sementara Brodick menatap jauh pada sebuah
titik dalam kegelapan dan sewaktu-waktu mengangguk, menanggapi apa yang Ramsey utarakan.

Gillian menggerakkan kepalanya sedikit dan memandang perawakan Brodick yang tegap. Ia
dapat melihat ketegangan di bahu Brodick, dan walaupun Brodick sedang duduk mematung, ia
merasa seakan-akan Brodick akan berdiri sesaat lagi.

Bridgid menyikutnya pelan dan berbisik, “Ramsey beranggapan dirinya telah berlaku sangat
tidak adil pada Keluarga MacPherson dengan mengira salah satu dari mereka bertanggung jawab
dalam penculikan Alec Maitland. Kau mengerti maksudnya?”

“Ya,” jawab Gillian. “Nanti aku jelaskan. Dengarlah terus.”

“Sedang, kok,” ia balas berbisik, dan semenit kemudian ia kembali menoleh pada Gillian. “Dia
bilang ketika dia pulang dan maju untuk mendapatkan jabatan tuan tanah, dia salah perhitungan
dengan mengizinkan penjaga yang lama tetap di posisinya. Dia melakukannya atas dasar
kebaikan, dan itu keliru.”

Bridgid kembali mendengarkan dan beberapa saat kemudian, Gillian menyikutnya lagi.

1
Kain wol kotak-kotak khas Skotlandia
“Ramsey bilang dia akan berhenti menunda-nunda. Dia… Ya, Tuhan.”

“Apa?”

Mimik wajah Bridgid menunjukkan betapa terpukulnya ia. “Dia akan menikahi Meggan
MacPherson.” Suaranya bergetar.

“Oh, Bridgid, dia orangnya, ya? Dia laki-laki yang kau cintai.”

Setetes air mata bergulir di pipinya. “Itu benar. Aku mencintainya, sekarang maupun dulu.”
Gillian menggenggam tangannya. “Aku turut sedih.”

Bridgid mengusap air mata dari matanya. “Laki-laki memang bodoh.”

“Ya, begitulah mereka,” Gillian sepakat. “Apa yang Brodick katakan?”

“Dia mencoba membujuk Ramsey untuk berubah pikiran. Dia hanya menyarankan agar Ramsey
berpikir panjang dan sungguh-sungguh sebelum membuat komitmen seperti itu.”

“Dia sendiri tidak mempraktikkan nasihat yang sedang dia sampaikan,” bisik Gillian. “Dan dia
sangat jengkel padaku.”

“Tentu saja,” timpalnya. “Dia baru saja berkata pada Ramsey bahwa pernikahan adalah sebuah
pengorbanan.” Semenit kemudian ia berbisik, “Ini tak bisa dimengerti.”

“Apa?”

“Ramsey bilang bahwa dalam kasus Brodick pengorbanannya tidak sia-sia karena dia
mendapatkan nama orang-orang Inggris itu.
Kau mengerti apa yang dia katakan?”

Gillian mendadak berapi-api. “Ya, aku mengerti. Apakah Ramsey berkata dia meyakini bahwa
Brodick menikahiku hanya untuk mendapatkan nama orang-orang Inggris itu?”

“Orang-orang Inggris apa?”

“Nanti kujelaskan,” janjinya. “Beritahu aku. Apakah itu yang dia katakan?”

Menyadari betapa kesal sahabatnya itu, ia buru-buru menjawab. “Ya, Ramsey mengatakan hal
itu dan suamimu setuju.”

Gillian memejamkan matanya. “Aku tidak mau mendengarnya lagi.”

“Ada apa?” bisik Bridgid. “Kau bisa memberitahuku. Aku teman terbaikmu, bukan?”

“Kau temanku satu-satunya,” jawabnya. “Aku tak akan percaya itu.”

“Percaya apa?”

“Bahwa Brodick menikahiku untuk mendapatkan nama orang-orang Inggris itu. Tidak, aku tak
akan percaya. Tak ada orang yang mau menikah karena alasan itu. Sungguh dosa.”

Bridgid memikirkan apa yang barusan Gillian katakan, kemudian berbisik, “Apakah orang-orang
Inggris itu menghina salah seorang tuan tanah?”

“Menghina? Oh, Bridgid, yang mereka lakukan lebih parah dari itu.”

“Kalau begitu, aku akan memberitahumu sesuatu. Seseorang yang mencolok mata seekor
beruang tidak bisa berharap untuk kabur tanpa luka sedikit pun. Mereka akan balas dendam. Para
lelaki di sini tak pernah lupa satu pun perbuatan jahat yang mereka alami, dan akan melakukan
apapun untuk mencapai keinginan mereka.”

“Aku masih tak mau percaya bahwa Brodick menikahiku hanya untuk mendapatkan nama-nama
itu. Tidak, aku tak akan percaya. Pernikahan adalah sebuah ritual suci, dan dia tak akan... tidak,
mana mungkin dia melakukan itu. Dia bicara di bawah pengaruh amarah. Itulah satu-satunya
alasan.”

“Apakah dia menanyakan soal nama orang-orang Inggris itu sebelum kalian menikah?”

“Ya.”

“Tapi kau tidak memberitahunya?”

“Tidak.” Dalam kefrustrasian ia menambahkan, “Dan bahkan setelah kami menikah, aku
membuatnya berjanji untuk tidak membalaskan dendamnya sebelum aku menyelesaikan tugasku.
Lalu aku memberinya nama-nama itu. Ia telah berjanji dan aku percaya ia akan memegang
janjinya. Aku tahu dia menyayangiku. Hanya saja dia terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Dia pernah bilang bahwa aku adalah tanggung jawabnya.”

“Tentu saja dia sayang padamu.”

“Mungkin Brodick akan berhasil membuat Ramsey mengurungkan niatnya menikahi Meggan
MacPherson.”

“Aku rasa tidak. Ramsey terdengar seperti orang yang keputusannya sudah bulat. Dia
menempatkan kepentingan marga di atas kepentingannya sendiri, dan memang seharusnya begitu
karena dia tuan tanah. Dia akan melakukan apa yang dia anggap benar. Namun rasanya aku
takkan sanggup melihatnya bersama Meggan. Sebelum ini aku telah memutuskan untuk pergi,
dan sekarang aku sadar aku harus pergi secepatnya.”
“Ke mana kau akan pergi?”

Bridgid memejamkan matanya. “Entahlah. Aku tidak bisa tinggal di barak pelayan. Nyonya yang
baru tak akan suka.”

“Mungkin ibumu akan mengizinkanmu kembali ke rumah.”

“Tidak. Dia telah menegaskan tak ingin ada aku di dekatnya. Tak seorang pun mau,” tambahnya
seraya menyadari ia terdengar menyedihkan, tetapi Bridgid terlalu sengsara untuk peduli. Sambil
menghapus setetes air dari matanya, ia berbisik, “Sejak jatuh, aku jadi cengeng.”

Gillian berpura-pura memercayai serangkaian celoteh itu. Ramsey adalah alasan mengapa
Bridgid patah hati. Ia mengubah posisi duduknya untuk meredakan denyutan di paha dan
memejamkan mata. Ia tertidur sembari mengakui bahwa Bridgid benar. Laki-laki memang
bodoh.

Bab Tiga Puluh Satu

Pancaran keemasan fajar baru saja menembus cakrawala ketika Brodick menyenggol Gillian
hingga terjaga. Semalam ia tidur dalam rangkulan Brodick meskipun ia tak ingat ada yang
memindahkannya tadi malam, dan ia masih sangat mengantuk sehingga bersikap acuh tak acuh.
Sambil meringkuk di bawah selimut, ia menggerutu, “Belum waktunya,” dan kemudian tidur
kembali.

Bridgid juga telah dipindahkan ke atas selembar selimut plaid dekat api unggun. Selembar plaid
lain menutupi tubuhnya, dan ketika Ramsey berjongkok di sisinya dan melihat betapa damainya
Bridgid, ia menyesal mesti membangunkannya. Dia sungguh menawan, pikir Ramsey, untuk
pertama kali menyadari betapa lentik bulu matanya dan betapa bening kulit wajahnya. Bibirnya
merekah, merona, dan tanpa pertimbangan atas apa yang dilakukannya, ia menyapukan jempol
pada bibir bawah Bridgid.
Bridgid menepis tangan Ramsey seolah-olah ia seekor serangga dan dalam tidurnya
menggerutukan sesuatu yang sulit dipahami Ramsey, tetapi ia yakin mendengar kata “bodoh.”

“Buka matamu, Bridgid. Waktunya berangkat.”

Ia bangun dengan tidak senang. “Tinggalkan aku sendiri,” gumamnya.

Brodick berdiri di samping Gillian dan bertanya-tanya mengapa Bridgid tidak mau menuruti
perintah Ramsey, lalu sekali lagi menyuruhnya untuk bangun.

“Mungkin kita harus melempar mereka ke sungai,” usul Ramsey. “Mereka pasti bangun.”

Bridgid menanggapi serius ancaman itu dan bangkit terduduk. Terperanjat melihat Ramsey
sedemikian dekat dengannya, ia bersandar pada sikunya untuk memberi jarak di antara mereka.
Ia tahu dirinya mengundang perhatian banyak orang. Dengan rambut yang menutupi kedua
matanya, Bridgid memandang Ramsey dengan menyipit, bertanya-tanya bagaimana ia dapat
terlihat begitu… sempurna… di pagi buta ini.

Brodick menarik Gillian sampai berdiri, tapi ia tidak melepaskan genggamannya sebelum yakin
istrinya dapat berjalan. Gillian merasakan linu menusuk kakinya di setiap pergerakan, tetapi ia
membisu mengenai penderitaan ini, tahu bahwa jika ia mengeluh sekali saja, ia akan lagi-lagi
dihantam ceramah mengenai kecerobohannya.

“Kau masih marah padaku, Brodick?”

“Ya.”

“Bagus,” bisiknya, “karena aku geram padamu.”


Dengan kepala tegak dan lagak angkuh, ia melangkah menuju sungai, tapi kakinya tak
mendukung. Ia dipastikan akan jatuh dengan wajah menghantam tanah kalau saja Brodick tidak
menariknya.

“Kau ini tak bisa berjalan. Ya, kan?”

“Tentu bisa,” sanggahnya, tak kalah ketus dengan suaminya.


“Sekarang permisi ya, aku mau bersih-bersih.”

Brodick mengamati istrinya berjalan dengan tertatih-tatih untuk memastikan ia tidak perlu
menariknya lagi. Ramsey mendorong pelan Bridgid agar ia berjalan ke arah sungai, dan Brodick
pun bisa tenang saat Bridgid membantu Gillian.

Kedua perempuan itu cukup lama di sana. Gillian membalut ulang perbannya, seraya
menyeringai ketika melihat betapa memar pahanya. Namun lukanya sama sekali tidak parah dan
sudah mulai menutup. Jalan kaki menghilangkan kekakuan yang ia rasakan, dan saat ia bersama
Bridgid kembali ke perkemahan, mereka merasa jauh lebih bergairah. Gillian pun sudah tak
terlalu pincang.

Mereka bergegas menuju tempat tinggal Ramsey. Gillian bersikeras untuk mengendarai kudanya
sendiri, dan Brodick mengizinkannya dengan setengah hati. Tak lama kemudian, mereka tiba di
padang rumput, lalu menuruni lereng utara. Jauh di barat, tampak tebing-tebing yang pernah
dilewatinya bersama Brodick di hari pernikahan mereka, dan ia teringat akan senda gurau konyol
dan lepas serta kebahagiaan yang ia rasakan. Ya Tuhan, rasanya sudah berabad-abad yang
lampau.

Pikirannya masih terus berkelana saat ia melintasi padang rumput dan mendekati gerbang
menuju kediaman Ramsey.

Mereka sedang bergerak menyusuri dinding ketika Gillian dengan seketika mendongak. Seorang
prajurit tiba-tiba muncul dari sebuah jalan sempit di atas. Napas Gillian tertahan di tenggorokan
dan jantungnya mulai berdebar. Ia memaksa kudanya berhenti dengan menarik tali kekang dan
berseru, “Brodick.”

Prajurit itu melihatnya lalu mundur, menghilang dari pandangan.

Brodick dan Ramsey seketika menoleh ke belakang. “Ada apa?” Brodick ingin tahu.

“Kenapa kau berhenti?” tanya Ramsey.

“Apa kau lihat orang di jalan kecil tadi? Apa kau melihatnya, Ramsey?”

Brodick menjawab. “Ya, aku melihatnya. Itu Gideon. Sepertinya dia sekarang sedang berjalan ke
gerbang untuk bertemu Ramsey. Kau berkenalan dengannya di hari kedatangan kita. Tidakkah
kau ingat?”

Gililan menggelengkan kepalanya dengan gelisah. “Tidak, Brodick, aku tak pernah berkenalan
dengannya.”

“Pernah,” desak Ramsey.

“Tidak, tidak pernah,” Gillian membentak. “Tapi aku pernah melihatnya sebelum ini. Dia adalah
orang yang mengkhianatimu.”

Вам также может понравиться