Вы находитесь на странице: 1из 4

DEMOKRASI, PILKADA, DAN HARAPAN

Pemilihan Umum (General Election) ataupun pemilihan kepala


daerah, pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari
falsafah demokrasi yang menginginkan adanya pemerintahan
(kratos) dari rakyat (demos), oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kepemimpinan yang mewakili aspirasi rakyat inilah yang
menjadi representasi dari keberlangsungan sistem demokrasi di
sebuah daerah. Oleh karena itu, semua anggota rakyat
diikutsertakan dalam proses pemilihan tersebut, sejauh ia
memang memenuhi syarat untuk mengikutinya.
Meski bukan sebuah sistem pemerintahan yang terbaik,
demokrasi bisa menjadi pilihan yang cukup logis untuk
mengakomodir segenap aspirasi yang ada di masyarakat.
Apalagi ternyata demokrasi sendiri bisa dirumuskan dalam
landasan yang beragam. Demokrasi yang ada di Indonesia
misalnya, disebut dengan demokrasi Pancasila karena ia
bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi Pancasila ini
menekankan pentingnya musyawarah untuk mencapai mufakat
melalui perwakilan dengan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Sila keempat Pancasila sebagai landasan demokrasi ini
merupakan pilihan yang paling mungkin untuk mewadahi
berbagai keragaman masyarakat dan perkembangan aspirasi
yang ada. Karena itu, tanpa mengecilkan sistem yang lain,
sejauh ia bisa dirasionalisasikan, sistem ini harus dianggap
tepat. Tentu saja jika sistem pemerintahan di negara ini
berbentuk kerajaan, tidak perlu ada alokasi dana yang begitu
besar untuk proses pemilu-kada ini.
Persoalannya kemudian adalah bahwa sistem demokrasi yang
memungkinkan setiap orang memiliki kesempatan yang sama
untuk menjadi pemimpin, tidak pernah sesederhana yang
dibayangkan dan mudah untuk dijalankan. Demokrasi dalam
prakteknya memerlukan birokrasi, terutama ketika rakyat
begitu berjubel dan masing-masing memiliki kepentingan.
Demokrasi menjadi restu aksi dan landasan demonstrasi ketika
ada kebijakan yang dianggap tidak mewakili kepentingan
anggota rakyat tertentu. Bahkan, demokrasi bisa sangat carutmarut ketika dalam kenyataannya kepemimpinan rakyat yang
diinginkan demokrasi menjadi kepemimpinan sebagian orang
belaka. Apa yang menjadi masalah?
Masalahnya terletak pada fakta bahwa sistem pemerintahan
yang demokratis tidak pernah bisa seiring jalan dengan sistem
politik yang ada. Dalam politik, kata rakyat berarti segenap orang
yang memiliki hak suara dan mendukung kepentingan tertentu.

Rakyat berarti kami, dan bukan kita. Dalam sistem politik


yang sekarang berjalan di negara ini, pemimpin tidak bisa
dianggap sebagai wakil rakyat, namun wakil kami. Anda bisa
menjadi rakyat sejauh anda memiliki warna dan lambang
tertentu yang merepresentasikan ke-kami-an tersebut. Sebuah
kondisi yang cukup ironis mengingat cita-cita awal dari
demokrasi yang dirumuskan adalah kepemimpinan dari, oleh,
dan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Persoalan seperti ini tentu saja memiliki dampak yang cukup
besar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kelanjutannya. Setiap kebijakan dan keputusan yang diambil oleh
pemerintahan, akan selalu disikapi baik yang mendukung
ataupun menolak, dengan bersandar pada logika kepentingan
masing-masing pihak. Lebih parahnya, logika kepentingan
tersebut bahkan menihilkan ruang dialog antara masing-masing
pihak yang pada akhirnya justru mengorbankan masyarakat
umum yang tidak terlibat. Karena itulah, setiap kali terjadi
suksesi kepemimpinan atau pemilu-kada, kita kembali berharap
semoga hal serupa tidak terjadi.
Pilkada, Kepemimpinan, dan Harapan Baru
Seperti diketahui, pemilihan kepala daerah secara langsung
di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 2004. Lalu mulai
bulan juni 2005 sistem pemilihan secara langsung juga telah
dilaksanakan untuk Pemilihan Kepala Daerah atau disebut juga
Pilkada langsung baik untuk kepala daerah Tingkat I maupun
Tingkat II. Pemilu-kada langsung ini merupakan perwujudan
konstitusi dan UUD 1945, seperti telah diamanatkan pada pasal
18 Ayat (4) UUD 1945, bahwa Gubenur, Bupati dan Walikota,
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
juga dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan,
pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah
dan wakil kepala daerah.
Sebagai media penegakan kedaulatan rakyat dan aplikasi dari
sistem demokrasi, pemilihan kepala pemerintahan (Presiden dan
wakilnya) ataupun pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara
langsung selalu menjadi arena di mana rakyat boleh memilih
ataupun mengajukan diri untuk menjadi pemimpin. Ia juga
menjadi sarana pembelajaran politik bagi rakyat tentang
bagaimana memilih pemimpin yang berkualitas, mampu
memenuhi
janji-janjinya
untuk
menyejahterakan
rakyat,
sekaligus menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin baru
(kaderisasi) yang bisa membawa perubahan yang signifikan bagi
kepentingan masyarakat banyak. Dalam konteks daerah,

keberhasilan dalam pemilihan pemimpin dan wakil rakyat lokal


ini juga menjadi sarana untuk memperkuat basis otonomi
daerah.
Terlepas dari berbagai persoalan yang senantiasa timbul dan
mengiringi prosesnya, mulai dari kasus ijazah palsu, money
politic, black campaign, dan lainnya, pemilu-kada akan dihayati
sebagai ruang untuk kembali memulihkan harapan demi
kehidupan bersama yang lebih baik dibandingkan periode
pemerintahan sebelumnya. Sebuah kondisi yang wajar
mengingat dalam keberlangsungan demokrasi yang carut-marut,
pemilihan pemimpin atau wakil rakyat adalah satu-satunya jalan
untuk tidak hanya memenuhi hajat orang banyak, tapi juga
kepentingan pribadi dan kelompok yang selama ini mungkin
tidak bisa tercapai.
Lantas, menjelang pemilihan kepala daerah Tingkat I di
provinsi Banten ini khususnya, harapan apa yang ingin dicapai?
Tidak banyak, dan barangkali sudah terlalu sering dimunculkan
setiap kali pilkada dilangsungkan, yakni bagaimana pemimpin
baru yang nantinya terpilih mampu menepati janji-janji yang
diucapkannya, karena bagaimanapun janji-janji politis tersebut
pastilah bagus. Bagaimana pemimpin baru tersebut mampu
membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat
banyak di tengah tarik ulur kepentingan partai, kroni sejawat,
dan pribadi. Bagaimana pemimpin baru nantinya adalah sosok
pemimpin yang cageur (sehat), bageur (baik), pinter (pintar), dan
singer (terampil), sebagai kriteria pemimpin lokal yang
diharapkan oleh masyarakat Banten. Intinya adalah harapan
akan kehidupan bersama yang lebih sejahtera. Ya, sebuah
harapan primordial yang menjadi alasan eksistensi sebuah
negara, namun belum juga rampung sampai hari ini.
Harapan lainnya, semoga pilkada Tingkat I provinsi Banten ini
berjalan dengan aman, tidak dipenuhi dengan pergolakan politik
yang bisa menyebabkan kekacauan di masyarakat dan ekonomi
daerah, dan tidak lagi dipenuhi kecurangan-kecurangan yang
bisa membuat masyarakat di bawah semakin bersikap anti
terhadap politik, atau bahkan menimbulkan keributan yang
semakin jauh dari arti hikmat kebijaksanaan sebagai landasan
kepemimpinan dalam sistem demokrasi Pancasila yang kita anut
ini.
Maka, bagi para tokoh yang akan terlibat langsung dalam
proses tersebut, harus ada kesadaran bahwa Pilkada ini
merupakan sarana rakyat untuk memenuhi harapan merka.
Karena itu, harapan tersebut harus dijunjung tinggi, dan dijadikan
alasan utama mereka yang mengajukan diri untuk menjadi
pemimpin baru. Semua ini dilakukan agar harapan tersebut

tidak lagi lenyap ditelan waktu, dan kembali muncul setiap kali
Pilkada digelar namun tidak pernah diwujudkan secara maksimal.
Semoga.

Вам также может понравиться