Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun oleh:
Andi Athiqah Hidayah
0114.10.02.2014
BAB I
PENDAHULUAN
mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti salat, puasa, haji, dan
sebagainya. Keadaan fiqih yang demikian ini tampak menyatu dengan
misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia
agar tercapainya ketertiban dan keteraturan, dengan Rasulullah SAW.
Sebagai aktor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan hukum
tersebut sebagai ilmu al-hal.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas gender
dalam pandangan ilmu fiqih. Oleh karena itu dalam makalah kali ini
penulis akan membahas tentang pengertian gender serta bagaimana pula
gender dalam pandangan ilmu fiqih.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gender
Istilah gender sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih
banyak di antara kita yang belum memahami dengan benar istilah
tersebut. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal
gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami
sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak
semata-mata demikian.
Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang
berarti jenis kelamin (Echols dan Shadily, 1983: 265). Dalam Websters
New World Dictionary, Edisi 1984 gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current
(Macdonald dkk, 1999: xii). Jadi, gender menjadi istilah kunci untuk
menyebut femininitas dan maskulinitas yang dibentuk secara sosial yang
berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, dan juga
berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan sex (jenis kelamin),
perilaku
gender
adalah
perilakau
yang
tercipta
melalui
proses
mengambil istimbath hukum dari sumbernya baik Al-Quran maupun AlHadis. Dengan menggunakan pisau bedah ushul fiqh, yaitu dengan
pendekatan penalaran bayani, talili, maupun istilahi, akan menghasilkan
hukum yang berbeda antara satu ulama dengan ulama yang lain, dari satu
masa ke masa yang berbeda, meskipun mengambil dari sumber teks ayat
maupun matan hadis yang sama. Hal itu terletak pada subjektivitas
penafsir, latar belakang pendidikannya, lingkungan yang melingkupinya,
serta kondisi yang ada pada teks itu sendiri yang bersifat dzonniyah atau
multitafsir.
Gender ditinjau dari aspek fiqih akan memunculkan beragam
pendapat dengan argumentasi masing-masing. Pendapat yang masih
berserakan itu tetap bermuara kepada dua kelompok, yakni pendapat
yang menyatakan pro dan kontra. Secara ilmiah dua pendapat ini dapat
saja dikatakan benar tergantung argumentasi yang mendasarinya.
Landasan fiqih bukan sekedar argumentasi ilmiah melainkan bernuansa
syariah, maka alasan pembenar untuk masing-masing pendapat harus
berdasarkan syariah, bukan sekedar penafsiran terhadap syariah (Fa iza
tanazatum fi syai-in farudduhu ilallahi warrasuli).
Namun demikian, yang menjadi masalah adalah mengapa fiqih
yang berkaitan dengan gender, yang diinterpretasikan oleh para fuqaha,
berujung
pada
marginalisasi
kaum
perempuan,
subordinasi,
dan
dengan
hal
di
atas,
Al-Ghazali
(1990:
15-16)
berikan kehidupan baru, kehidupan yang baik dan murni, dan Kami akan
melimpahkan pahala yang lebih baik sesuai apa yang telah mereka
kerjakan. " (Q.S. An Nahl : 97). Ada tradisi yang dilembagakan oleh orangorang, yang tidak diperintahkan oleh Tuhan mereka, dan yang
mendegradasikan posisi perempuan baik secara budaya dan sosial yang
menempatkan mereka dalam kegelapan sebagaimana di jaman jahiliyah.
Lebih lanjut Al-Ghazali (35-36 dan 154-157) mengulas tentang
pemahaman dan pelaksanaan qawamah, dan memandang bahwa
kesulitan agama adalah pada orang yang mengubah wacana dari arah
yang benar, dan mengangkat hadis yang lemah ke posisi ayat-ayat yang
jelas dan hadis yang terdengar jelas. Menurutnya siapa pun yang memiliki
pemahaman yang benar mengenai al-Quran akan tahu bahwa terdapat
kesetaraan antara pria dan perempuan. Pria qawamah dalam keluarga
tidak berarti kehilangan kesetaraan, seperti halnya penyampaian dari
warga yang ditujukan pada pemerintah mereka; tidak berarti sebagai
penundukkan dan penaklukan. Posisi pria terhadap perempuan atau
sebaliknya digambarkan sebagai berikut: "Mereka adalah pakaian bagimu
dan kamu adalah pakaian bagi mereka. " Di rumah seorang muslim,
terdapat batas yang ditentukan oleh aturan Allah (Hudud Allah), yang
disebut enam kali dalam dua ayat, Q.S. Al-Baqarah : 229-230.
BAB III
KESIMPULAN
Gender menurut hukum Islam diletakkan dalam proporsi yang
semestinya, karena gender dalam pengertian jenis kelamin, merupakan
fitrah ciptaan Allah dan diatur berdasarkan ketentuan Allah. Karena itu,
laki-laki dan perempuan dapat berkiprah sesuai dengan fitrahnya yang
mestinya tidak dibatasi oleh aturan hukum buatan manusia. Kalau ada
kalangan yang berpandangan, ayat Al-Quran dan sunnah shahihah bias
gender, yang menjadi masalah bukanlah ayat dan sunnahnya, akan tetapi
pandangan
yang
dimunculkan
oleh
kalangan
tersebutlah
inti
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Ghazali, Muhammad. 1990. Qadaya al-Mar'ah al Byna wa alTaqalid al-Rakidah- Wafidah. Kairo: Dar al-Shuruq.
2. Al-Qardhawi, Yusuf. 2004. Fiqh fi al-'Awlawiyyat. Kairo: Maktabah
Wahbah.
3. Fahmi
Salim.
Islam
dan
Kesesatan
Paham
Gender.
http://www.hidayatullah.com/read/23259/22/06/2012/islamdankesesatan-paham-gender-.html
4. Al- Quran.
5. Khariri. Keseteraan Gender dalam Perspektif Islam. 2009. Dalam
Yinyang: Jurnal Studi Gender dan Anak, Purwokerto: PSG STAIN
Purwokerto Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.27-40.
6. Asasriwarni.
Gender
dalam
Perspektif
Islam.
http://www.kafaah.prg/index.php/kafaah/article/download/48/36
11