Вы находитесь на странице: 1из 11

Tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Islam, Gender, dan Kesehatan Reproduksi


Dr. dr. H. Muh. Khidri Alwi, M.Kes, MA

GENDER DALAM PANDANGAN ILMU FIQIH

Disusun oleh:
Andi Athiqah Hidayah
0114.10.02.2014

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu prinsip ajaran Islam adalah persamaan antar manusia,


baik antar laki-laki atau perempuan, bangsa, suku dan keturunan.
Perbedaan di antara mereka di hadapan Tuhan Yang Maha Esa hanyalah
nilai pengabdian dan ke- takwaanya. Banyak ayat al-Quran menunjukan
bahwa laki-laki dan perempun adalah semartabat sebagai manusia.
Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender telah
memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan
perempuan, kemudian masyarakat membuat pembagian kerja atau peran
antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pembagian kerja tersebut
dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan
keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian
peran laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya yang
mengedepankan dominasi kaum laki-laki.
Fiqih islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling
dikenal oleh masyarakat. Ini karena fiqih terkait langsung dengan
kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia
manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang
harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya, siapa yang
menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait dengan fiqih.
Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu, maka fiqih dikategorikan
sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku
kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena
dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajiban

mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti salat, puasa, haji, dan
sebagainya. Keadaan fiqih yang demikian ini tampak menyatu dengan
misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia
agar tercapainya ketertiban dan keteraturan, dengan Rasulullah SAW.
Sebagai aktor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan hukum
tersebut sebagai ilmu al-hal.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas gender
dalam pandangan ilmu fiqih. Oleh karena itu dalam makalah kali ini
penulis akan membahas tentang pengertian gender serta bagaimana pula
gender dalam pandangan ilmu fiqih.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Gender
Istilah gender sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih
banyak di antara kita yang belum memahami dengan benar istilah
tersebut. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal
gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami
sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak
semata-mata demikian.
Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang
berarti jenis kelamin (Echols dan Shadily, 1983: 265). Dalam Websters
New World Dictionary, Edisi 1984 gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current

English Edisi 1990, kata gender diartikan sebagai penggolongan


gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan
dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin
serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan).
Secara terminologis, gender oleh Hilary M. Lips didefinisikan
sebagai harapan- harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T.
Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki- laki dan
perempuan. Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan gender lebih
dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi
sosial budaya. Ia lebih menekankan gender sebagai konsep analisis yang
dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 3334).
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah
suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya.
Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social
constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

B. Perbedaan Sex dan Gender


Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya
sama, yaitu jenis kelamin (Echols dan Shadily, 1983: 517). Secara umum
sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek nonbiologis lainnya. Kalau
studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis,
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta

karakteristik biologis lainnya dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang


perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan
aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Jika studi sex lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan
(femaleness), maka studi gender lebih menekankan pada aspek
maskulinitas (masculinity) dan (femininity) femininitas seseorang.
Untuk melihat perbedaan pemahaman tentang sex dan gender
dengan jelas dapat dilihat ilustrasi berikut ini. Menurut tinjauan sex,
seorang laki-laki bercirikan seperti memiliki penis, memiliki jakala, dan
memproduksi sperma; sedang seorang perempuan bercirikan seperti
memiliki vagina, memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan, memiliki payudara, dan memproduksi sel telur. Ciri-ciri ini
melekat pada laki-laki dan perempuan dan tidak dapat dipertukarkan satu
sama lain. Semua ciri- ciri tersebut diperoleh secara kodrati dari Tuhan.
Sedang menurut tinjauan gender, seorang perempuan memiliki ciri-ciri
seperti cantik, lemah lembut, emosional, dan keibuan, sedang seorang
laki-laki memiliki ciri-ciri seperti kuat, rasional, gagah, perkasa, jantan, dan
masih banyak lagi yang lain. Ciri-ciri ini tidak selamanya tetap, tetapi dapat
berubah. Artinya tidak semua laki-laki atau perempuan memiliki ciri-ciri
seperti tersebut. Ciri-ciri itu bisa saling dipertukarkan. Bisa jadi ada
seorang perempuan yang kuat dan rasional, tetapi ada juga seorang lakilaki yang lemah lembut dan emosional.
Tegasnya, dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, gender diperkenalkan
untuk mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dengan
laki-laki tanpa konotasi- konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis, tetapi
lebih merujuk kepada perbedaan- perbedaan akibat bentukan sosial.
Karena itu, yang dinamakan relasi gender adalah seperangkat aturan,
tradisi, dan hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam
kebudayaan yang menentukan batas-batas feminin dan maskulin

(Macdonald dkk, 1999: xii). Jadi, gender menjadi istilah kunci untuk
menyebut femininitas dan maskulinitas yang dibentuk secara sosial yang
berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, dan juga
berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan sex (jenis kelamin),
perilaku

gender

adalah

perilakau

yang

tercipta

melalui

proses

pembelajaran, bukan semata-mata berasal dari pemberian (kodrat) Tuhan


yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia.
Sejarah perbedaan gender antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh
beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan
kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender
akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati
atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah
sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di
tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan
seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan
ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap
pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya.
Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan
kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan
seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat
keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang
banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.

C. Gender dalam pandangan ilmu fiqh


Fiqih sebagai hasil ijtihad seorang ulama atau mujtahid dalam

mengambil istimbath hukum dari sumbernya baik Al-Quran maupun AlHadis. Dengan menggunakan pisau bedah ushul fiqh, yaitu dengan
pendekatan penalaran bayani, talili, maupun istilahi, akan menghasilkan
hukum yang berbeda antara satu ulama dengan ulama yang lain, dari satu
masa ke masa yang berbeda, meskipun mengambil dari sumber teks ayat
maupun matan hadis yang sama. Hal itu terletak pada subjektivitas
penafsir, latar belakang pendidikannya, lingkungan yang melingkupinya,
serta kondisi yang ada pada teks itu sendiri yang bersifat dzonniyah atau
multitafsir.
Gender ditinjau dari aspek fiqih akan memunculkan beragam
pendapat dengan argumentasi masing-masing. Pendapat yang masih
berserakan itu tetap bermuara kepada dua kelompok, yakni pendapat
yang menyatakan pro dan kontra. Secara ilmiah dua pendapat ini dapat
saja dikatakan benar tergantung argumentasi yang mendasarinya.
Landasan fiqih bukan sekedar argumentasi ilmiah melainkan bernuansa
syariah, maka alasan pembenar untuk masing-masing pendapat harus
berdasarkan syariah, bukan sekedar penafsiran terhadap syariah (Fa iza
tanazatum fi syai-in farudduhu ilallahi warrasuli).
Namun demikian, yang menjadi masalah adalah mengapa fiqih
yang berkaitan dengan gender, yang diinterpretasikan oleh para fuqaha,
berujung

pada

marginalisasi

kaum

perempuan,

subordinasi,

dan

pandangan yang menganggap bahwa kaum wanita itu lemah, tidak


cerdas, dan kurang akal? Mengapa agama sebagai sumber fitnah dan
label-label lain yang memojokkan kaum perempuan? Hal itu menimbulkan
konsep budaya, yang ada kaitannya dengan perbedaan gender (gender
difference) dan ketidakadilan gender (gender inqualities), dengan struktur
ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Semua pandangan ini
bertentangan dengan misi utama ajaran Islam yang intinya adalah
mewujudkan kemaslahatan dan membebaskan dari segala bentuk
anarkhi, ketimpangan, dan ketidakadilan.

Banyak pendapat dan paham yang menyuarakan tentang gender.


Oleh sebab itu, sebagai bagian dari konstruksi syariah, maka difokuskan
kepada pendapat yang dianggap mewakili pemahaman yang linear
dengan syariah. Di antara pendapat tersebut adalah pendapat alQaradhawi dan al-Ghazali. Al Qaradhawi membahas berbagai topik
melalui buku-buku, ceramah dan fatwanya. Sedangkan Al-Ghazali (1990)
mengungkapkan pendapat komprehensif berkaitan dengan gender,
mengkritik pengaruh tradisi lokal dan asing, begitu juga dengan
pandangan yang sangat ekstrim dan liberal.
Menurut Al-Qaradhawi, ada dua model orang telah tidak adil
terhadap perempuan. Model pertama, model kebarat-baratan yang ingin
memaksakan tradisi Barat, yang meliputi dekadensi dan kurang memiliki
nilai terutama nilai agama, dan menyimpang dari hal normal, yang
cenderung menjauh dari jalan Allah. Sedangkan model kedua termasuk
mereka yang memaksa tradisi-tradisi lain pada perempuan, tetapi ini
adalah tradisi Timur (bukan tradisi Barat). Tradisi tersebut diberi warna
agama. Mereka yang membuat klaim tersebut membuat hal-hal yang ada
dari sisi mereka sendiri; berdasarkan apa yang mereka pahami, atau
pandangan bahwa mereka dimulai atau dipilih karena sesuai dengan
pandangan mereka terhadap perempuan dan tidak menghormati kaum
perempuan, agamanya, otaknya atau perilakunya.
Berkaitan

dengan

hal

di

atas,

Al-Ghazali

(1990:

15-16)

menyebutkan bahwa Islam mengakui kesetaraan antara pria dan


perempuan di mana Islam memperhatikan hak dan tanggung jawab, dan
dalam hal tertentu, terdapat perbedaan, di mana perbedaan itu terkait
dengan sifat asal dan fungsi. Dasarnya adalah Allah Maha Kuasa berkata:
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di
antara kamu, baik pria maupun perempuan, (karena sebagian dari kamu
adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. (Q.S. Al Imran : 195), dan
Allah berkata: "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, pria atau
perempuan, dan memiliki Iman, sesungguhnya, baginya akan Kami

berikan kehidupan baru, kehidupan yang baik dan murni, dan Kami akan
melimpahkan pahala yang lebih baik sesuai apa yang telah mereka
kerjakan. " (Q.S. An Nahl : 97). Ada tradisi yang dilembagakan oleh orangorang, yang tidak diperintahkan oleh Tuhan mereka, dan yang
mendegradasikan posisi perempuan baik secara budaya dan sosial yang
menempatkan mereka dalam kegelapan sebagaimana di jaman jahiliyah.
Lebih lanjut Al-Ghazali (35-36 dan 154-157) mengulas tentang
pemahaman dan pelaksanaan qawamah, dan memandang bahwa
kesulitan agama adalah pada orang yang mengubah wacana dari arah
yang benar, dan mengangkat hadis yang lemah ke posisi ayat-ayat yang
jelas dan hadis yang terdengar jelas. Menurutnya siapa pun yang memiliki
pemahaman yang benar mengenai al-Quran akan tahu bahwa terdapat
kesetaraan antara pria dan perempuan. Pria qawamah dalam keluarga
tidak berarti kehilangan kesetaraan, seperti halnya penyampaian dari
warga yang ditujukan pada pemerintah mereka; tidak berarti sebagai
penundukkan dan penaklukan. Posisi pria terhadap perempuan atau
sebaliknya digambarkan sebagai berikut: "Mereka adalah pakaian bagimu
dan kamu adalah pakaian bagi mereka. " Di rumah seorang muslim,
terdapat batas yang ditentukan oleh aturan Allah (Hudud Allah), yang
disebut enam kali dalam dua ayat, Q.S. Al-Baqarah : 229-230.

BAB III
KESIMPULAN
Gender menurut hukum Islam diletakkan dalam proporsi yang
semestinya, karena gender dalam pengertian jenis kelamin, merupakan
fitrah ciptaan Allah dan diatur berdasarkan ketentuan Allah. Karena itu,
laki-laki dan perempuan dapat berkiprah sesuai dengan fitrahnya yang
mestinya tidak dibatasi oleh aturan hukum buatan manusia. Kalau ada
kalangan yang berpandangan, ayat Al-Quran dan sunnah shahihah bias
gender, yang menjadi masalah bukanlah ayat dan sunnahnya, akan tetapi
pandangan

yang

dimunculkan

oleh

kalangan

tersebutlah

inti

permasalahannya. Oleh sebab itu, memunculkan aturan hukum buatan


manusia yang berspektif gender sangat memungkinkan sepanjang tidak
melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Ghazali, Muhammad. 1990. Qadaya al-Mar'ah al Byna wa alTaqalid al-Rakidah- Wafidah. Kairo: Dar al-Shuruq.
2. Al-Qardhawi, Yusuf. 2004. Fiqh fi al-'Awlawiyyat. Kairo: Maktabah
Wahbah.
3. Fahmi
Salim.

Islam

dan

Kesesatan

Paham

Gender.

http://www.hidayatullah.com/read/23259/22/06/2012/islamdankesesatan-paham-gender-.html
4. Al- Quran.
5. Khariri. Keseteraan Gender dalam Perspektif Islam. 2009. Dalam
Yinyang: Jurnal Studi Gender dan Anak, Purwokerto: PSG STAIN
Purwokerto Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.27-40.
6. Asasriwarni.
Gender
dalam
Perspektif

Islam.

http://www.kafaah.prg/index.php/kafaah/article/download/48/36

11

Вам также может понравиться