Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Autisme adalah suatu jenis gangguan perkembangan pervasif anak yang kompleks dan berat
yang tampak sebelum usia 3 tahun. Keadaan ini menyebabkan mereka tidak mampu
berkomunikasi, mengekspresikan perasaan maupun keinginannya, sehingga perilaku dan
hubungan dengan orang lain terganggu.
Pada tahun 1966 prevalensi autisme hanya 4,5 per 10.000 anak. Penelitian terakhir
menunjukkan angka 1 per 1000 anak, bahkan ada yang melaporkan 1 per 150 anak. Di
Indonesia belum ada angka yang tepat mengenai angka kejadian autisme.
Penyebab autisme saat ini belum diketahui dengan pasti, diduga multifaktor.4,5 Akhir - akhir ini
dari penelitian terungkap hubungan antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Sekitar
60% penyandang autisme mempunyai sistem pencernaan yang kurang baik, sehingga
beberapa jenis makanan tertentu tidak dapat dicerna dengan sempurna. Hasil pencernaan yang
tidak sempurna tersebut dapat merusak otak sehingga memperberat gejala autism. Di
Indonesia, dari hasil pemeriksaan terhadap 200 anak dengan gejala autisme, didapatkan bahwa
seluruhnya menderita alergi makanan (multiple food allergy). Sekitar 95% alergi terhadap susu
sapi dan jenis gandum.
PATOFISIOLOGI AUTISME
Penelitian menunjukkan, sebagian besar anak autis di Indonesia mengalami keracunan logam
berat, seperti timbal (Pb), merkuri / raksa (Hg), kadmium (Cd), dan stibium (Sb). Kontaminasi
logam ini bisa berasal dari polusi udara (dari asap kendaraan bermotor yang menggunakan
bahan bakar yang mengandung timbal), tambalan gigi yang menggunakan amalgam, vaksin
(yang menggunakan merkuri sebagai pengawet), serta jika mengkonsumsi ikan dari perairan
yang sudah tercemar. Terutama ikan yang berasal dari perairan dangkal, semisal teri dan
kerang-kerangan. (Kurniasih, dkk., 2002).
Logam berat yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan akibat dekstruktif yang sangat dahsyat.
Misalnya, sel otak yang sedang berkembang bila ditetesi merkuri akan langsung rusak. Merkuri
terutama merusak myelin, yaitu selaput pelindung saraf-saraf otak. Akibatnya, selsel saraf otak
tampak seperti kabel-kabel listrik yang terbuka dan rusak, tidak bisa lagi berfungsi dengan baik.
(Kurniasih, dkk., 2002).
Selain itu, merkuri juga menyebabkan enzim DPP-4 tidak berfungsi. Enzim ini berfungsi sebagai
pemecah gluten dan kasein. Hal inilah yang menyebabkan gluten dan kasein tidak bisa tercerna
dengan baik di dalam usus. Dampak lainnya adalah turunnya daya kekebalan tubuh. Akibatnya,
anak penyandang autis menjadi gampang sakit karena sel-sel pertahanan tubuhnya menurun
drastis, sehingga tidak cukup jumlahnya untuk melawan bibit penyakit yang masuk. (Kurniasih,
dkk., 2002).
Biasanya bila anak sakit, orangtua akan langsung membawanya ke dokter dan oleh dokter akan
diberi antibiotika. Padahal, antibiotika tak saja membunuh kuman-kuman penyakit, tetapi juga
bakteri-bakteri baik di dalam perut, yaitu Lactobacillus. Dengan terbunuhnya Lactobacillus,
keseimbangan yang ada di dalam usus menjadi berubah. Jamur yang pertumbuhannya selama
ini dikontrol oleh Lactobacillus, bisa berkembang biak dengan bebas di dalam usus alias tak
terkendali. Jamur ini beranakpinak sembari menempelkan diri ke dinding usus dan
mengeluarkan enzim pencernaannya sendiri. Akibatnya, dinding mukosa usus menjadi 3
berlubang-lubang kecil. Lubang-lubang kecil ini meningkatkan permeabilitas usus, yaitu
kemampuan usus untuk menyerap partikelpartikel makanan. (Kurniasih, dkk., 2002).
Karena dinding usus penuh dengan jamur yang tumbuh seperti tanaman merambat pada
dinding usus, enzim pencernaan pun terhalang. Jadi, kurangnya enzim pencernaan pada
penyandang autisme ini selain disebabkan tidak berfungsinya enzim DPP-4 sehingga tidak bisa
memecah gluten dan casein, juga akibat kurangnya enzim pencernaan yang lain. (Kurniasih,
dkk., 2002).
Akibat kurangnya enzim pencernaan yang berfungsi untuk memecah gluten dan kasein, maka
gluten dan kasein tidak dipecah menjadi asam amino (struktur terkecil dari protein). Pada orang
normal, protein yang bisa diserap oleh tubuh hanya yang berbentuk asam amino. Nah, bila ada
gangguan pencernaan, sebagian gluten dan kasein tadi belum dipecah menjadi asam amino,
melainkan masih terdiri dari rangkaian beberapa asam amino yang disebut peptide dan yang
tak bisa diserap tubuh karena ukurannya yang besar. (Kurniasih,dkk., 2002).
Namun, karena keadaan mukosa usus lebih bisa ditembus air, peptide sanggup menyelinap
melalui lubang-lubang kecil pada mukosa, lalu terserap oleh usus dan dibawa aliran darah
hingga ke otak. Di sini, jika peptide bersatu dengan sel-sel reseptor opiod, mereka akan
bereaksi seperti morfin. Peptide yang berasal dari gluten akan menjadi gluteomorphin,
sedangkan peptide yang berasal dari kasein akan menjadi caseomorphin. (Sianturi, 2003).
Dinding usus yang lebih bisa ditembus air ini, juga mendasari keadaan multiple food allergy
(alergi terhadap berbagai jenis makanan) pada penyandang autisme. Makanan-makanan yang
belum tercerna dengan sempurna aakn menyelinap melewati lubang-lubang kecil pada dinding
usus. Di luar dinding usus, sudah menunggu sel-sel pembuat sel-sel pembuat antibodi. Oleh
sel-sel antibodi, makanan yang belum tercerna sempurna tadi dianggap sebagai zat asing
dalam tubuh. Bila kebetulan 4 yang belum tercerna ini adalah telur, maka telur akan disergap
sel-sel pembuat antibodi selanjutnya akan dibuatkan antibodi untuk telur. Akibatnya, tubuh si
penyandang autisme menjadi alergi terhadap telur. Hal sama terjadi untuk bahan-bahan
makanan lainnya. Jika keadaan dinding usus ini tidak cepat-cepat diperbaiki, daftar makanan
yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada anak pun bisa bertambah panjang. (Kurniasih,dkk.,
2002).
Tidak semua anak autisme harus menjalani diet bebas kasein dan glutein. Dr Paul
Shattock10 menemukan bahwa lebih dari 50% populasi autisme pada tubuhnya terdapat
substansi yang sifatnya mirip dengan peptida opioid. Untuk mengetahui apakah anak
perlu menjalani terapi diet, dapat dilakukan pemeriksaan feses, urin, darah, rambut.
Pemeriksaan tersebut memerlukan biaya yang sangat mahal. Salah satu cara yang
mudah dan biaya murah adalah dengan melakukan diet bebas kasein dan glutein pada
anak. Selanjutnya dipantau ada tidaknya perbaikan pada anak tersebut, dengan
mencatat bahan makanan apa saja yang diberikan kepada anak dan perubahan reaksi
yang muncul. Bila pada saat anak mendapat bahan makanan tersebut terlihat
peningkatan perilaku autisme, maka diduga kuat anak menderita alergi terhadap
makanan tersebut. Cara ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak memungkinkan untuk
menguji semua bahan makanan sekaligus.
Indikasi terapi diet pada penyandang autism :
methyl
glycine
(TMG)
liver oil.
Pemberian L-glutamin akan memperkuat kekebalan tubuh dan membantu
penyembuhan dinding usus. Glutamin juga mempunyai efek meningkatkan
fungsi mental dan memperbaiki otot-otot skeletal. Dikatakan juga glutamin
Tabel 1. Bahan Makanan yang Harus Dihindari dan Bahan Makanan Pengganti
Hindari
Susu Sapi dan olahannya
Tepung terigu, oats
Pengganti
Susu kedelai, kacang hijau, air tajin.
Tepung beras merah, tepung kedelai, tepung
beras
Kacang mete, walnut, biji labu kuning
Gunakan sebagian dari yang tertera dalam
Gula Pasir
resep
Fruktosa, madu