Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Secara global penyakit diklasifikasikan menjadi penyakit non infeksius
dan infeksius. Penyakit non infeksius disebabkan oleh faktor kesalahan
manajemen lingkungan dan pakan, sedangkan penyakit infeksius disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme bakteri, jamur, parasit, jamur, bakteri, dan virus. Salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Negara-negara sedang
berkembang khususnya pada daerah yang tropik adalah penyakit infeksi parasit.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit masih tinggi prevelansinya
terutama pada peternakan di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan
masalah yang cukup besar. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi
geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan
parasit ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya.
Parasit merupakan organisme yang hidup baik di luar maupun di dalam
tubuh hewan yang untuk kelangsungan hidupnya mendapatkan perlindungan dan
memperoleh makanan dari induk semangnya. Kelompok hewan yang bersifat
parasit tergolong ke dalam Filum Protozoa, Platyhelminthes, Nemathelminthes,
dan Arthropoda. Parasit ini terdapat pada permukaan luar tubuh dan hidup di
dalam tubuh. Filum Platyhelminthes dan Nemathelminthes tergolong dalam
kelompok cacing. Penyakit parasitik pada hewan akan menjadi penyebab
beberapa gangguan kesehatan, reproduksi, pertumbuhan, dan produktivitas. Jenis
parasit baik endoparasit maupun ektoparasit sangat merugikan tidak hanya hewan
tapi juga manusia.
Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap
kesehatan hewan, maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang kehidupan
organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Oleh sebab itu pemeriksaan
laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis berdasarkan pada temuan gejala
klinik kurang dapat dipastikan Sehingga dirasa sangat penting untuk mengetahui
prinsip diagnosa infestasi parasit. Diagnosa infestasi parasit dilakukan melalui
pemeriksaan sampel feses, sampel darah, sampel organ, maupun sampel kerokan
1
2. Meningkatkan
kemampuan
mendiagnosa
suatu
penyakit
lewat
BAB II
3
METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan Program Profesi Dokter Hewan (PPDH) Universitas Brawijaya
Gelombang IV Kelompok 1 dan 2 rotasi Parasitologi dilakukan pada tanggal 4
September 2015 sampai
metode apung antara lain sampel feses yang didapat, tabung sentrifus,
sentrifus, gula jenuh, obyek glass, coverglass, rak tabung dan mikroskop.
C. Sub PPDH Arthropoda
Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan PPDH di
laboratorium bagian entomologi antara lain adalah object glass, cover
glass, mikroskop, gelas ukur, tabung reaksi, Oven, Aquades, jarum
atau pin, KOH 10 %, alkohol bertingkat (30%, 50%, 70%, 95%, 96%),
Xylol, Canada Balsam atau entelan sendok pengaduk, sampel
artropoda.
2.3 Cara Kerja
2.3.1 Isolasi dan Identifikasi Helmintes
Isolasi telur cacing dilakukan dengan cara mengambil sampel feses dan
dimasukkan ke dalam pot sampel yang telah ditambahkan formalin 5%.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan telur cacaing dengan metode sebagai berikut :
2.3.1.1 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Natif
Pemeriksaan telur cacing pada feses dengan metode natif dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
-
Diteteskan 1-2 tetes air pada feses tersebut, kemudian diaduk dengan lidi.
Selanjutnya objek glass ditutup dengan cover glass dan diamati dengan
mikroskop dengan pembesaran 100X.
Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung
pada gelas plastik.
Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung
pada gelas plastik.
Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh
sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100X.
Cacing yang ditemukan pada masing masing bagian disimpan pada larutan
PZ. Cacing yang ditemukan kemudian dibagi menjadi dua untuk
pembuatan preparat kering / preparat permanen dan preparat basah.
Kemudian objek glass dan cacing dimasukkan ke dalam alcohol 70% selama
5 menit.
Objek glass dan cacing dipindahkan ke dalam larutan carmine selama 8 jam
tergantung ketebalan kutikula cacing.
Cacing dilepaskan dari fiksasi dan dimasukkan ke dalam alcohol asam selama
2 menit, kemudian dipindahkan ke dalam larutan alcohol basa selama 20
menit.
Selanjutnya dilakukan
alcohol,
dengan
dimasukkan dalam alkohol 70% selama 5 menit, alkohol 85% selama 5 menit,
dan alkohol 95% selama 5 menit.
-
Cacing diambil dari larutan Hung's I, diletakkan pada objek glass yang bersih
dan diteteskan larutan Hung's II diatas cacing tersebut, kemudian ditutup
dengan cover glass.
Pada objek glass diteteskan 1 tetes air dan ditambahkan sedikit feses
selanjutnya dicampurkan keduanya hingga merata
Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode sedimen dilakukan dengan cara
sebagai berikut
-
Diambil satu tetes cairan dan diteteskan di atas objek glass selanjutnya
ditutup dengan cover glass.
Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung
pada gelas plastik.
Selanjutnya supernatan dibuang dan diganti larutan gula jenuh hingga 2/3
tabung, lalu disentrifugasi dengan cara yang sama.
Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh
sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
9
Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400-1000X.
2.3.2.4 Pemeriksaan Protozoa Darah dengan Metode Pembuatan Ulas Darah Tipis
Metode pembuatan ulas darah tipis untuk pemeriksaan protozoa darah dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
-
Disiapkan dua objek glass untuk tempat darah dan objek glass untuk
penggulas darah.
Semakin tipis ulasan yang diperoleh akan semakin baik hasil yang didapat.
Hasil ulasan dikeringanginkan pada suhu ruang.
Ulas darah yang telah kering difiksasi dengan methanol (methil alkohol
absolut) selama 3 menit.
Preparat diangkat dan dicuci dengan air. Pencucian dilakukan dengan cara
mengalirkan air.
10
kerongkongan
unggas
dilakukan
untuk
mendiagnosa
keberadaan
Kerongkongan
unggas
yang
didiagnosa
trichomoniasis
di
swab
Hasil swab pada cotton buds dicelupkan ke dalam cawan petri yang berisi
NaCl fisiologis, selanjutnya dilakukan homogenisasi.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut diambil satu tetes homogenate dari cawan
petri dan diteteskan di atas objek glass.
11
Dilakukan penusukan pada bagian thorax diantara sayap dan garis tengah
tubuh arthropoda.
Untuk Arthropoda kecil diletakkan di atas ujung kerjas segitiga dan ditempel
menggunakan canada balsem. Pin dilakukan pada kertas tersebut.
predileksi/inang,
nama
kolektor,
tanggal
dan
lokasi
pengambilan)
-
Penyimpanan hasil pinning dengan cara meletakkan blok pinning pada kotak
penyimpanan yang telah diberikan kapur barus.
Arthropoda diangkat dan diletakkan di atas objek glass dan direkatkan dengan
pemberian canada balsem selanjutnya ditutup dengan cover glass.
12
Preparat yang telah jadi diberi label dan diinkubasi pada incubator selama
24-48 jam
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Helminthes
Jenis hewan
Jenis kelamin
Umur
Berat Badan
: Sapi
: Jantan
: 3 tahun
: 250 kg
13
Asal Sapi
Anamnesa
-
Bulu kusam
Diferensial diagnosa
-
: Distomatosis
Kingdom : Animalia
Filum
: Plathyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Digenea
Famili
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
15
a. Morfologi
Cacing dewasa Fasciola gigantica memiliki morfologi berbentuk
pipih seperti daun, dengan ukuran 25-75 x13 mm dan berwarna coklat
muda transparan. Pada tubuh bagian luarnya dipenuhi oleh duri-duri halus.
Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan terdapat batil isap mulut
(oral sucker) yang besarnya kira-kira 1 mm. Bagian dasar kerucut terdapat
batil isap perut (ventral sucker) yang besarnya kira-kira 1.6 mm (Gambar
3.2). Cacing ini mempunyai susunan alat pencernaan terdiri atas mulut
yang dikelilingi sucker yang dihubungkan dengan faring. Faring akan
membentuk esophagus yang pendek yang bercabang menjadi 2 sekum
16
menuju posterior tubuh, yaitu tipe sekum bercabang kearah tengah dan
tepi tubuh. Cacing hati bersifat hemaprodit, alat kelamin jantan terdiri 2
testis bercabang banyak dan terletak ditengah garis median tubuh.
Sedangkan alat kelamin betina terdiri dari 1 ovarium yang bercabang
banyak, terletak disebelah kanan garis median dan diatas testis. Ovarium
dihubungkan oleh oviduct dan uterus yang berbelok-belok kearah anterior
dan masuk ke atrium genital. Vitelina bercabang dan memenuhi tubuh
bagian tepi dan meluas kebagian tengah tubuh (Bendryman dkk, 2011).
Telur Fasciola gigantica berukuran 140-80 mikron yang berbentuk oval,
berdinding halus dan tipis berwarna kuning, memiliki operkulum pada
salah satu kutubnya. Operkulum merupakan daun pintu telur yang terbuka
pada saat telur akan menetas, dan larva miracidium yang bersilia
dibebaskan. Telur Fasciola gigantica akan menetas 14-17 hari pada suhu
28C (Noble dan Noble, 1989).
b. Hospes
Cacing hati (Fasciola sp.) merupakan salah satu cacing parasit
yang umumnya menyerang ternak ruminansia seperti sapi, domba,
kambing, dan kerbau. Fasciola sp. juga dapat menyerang hewan lain
seperti babi, anjing, rusa, zebra, kelinci, marmot, kuda, bahkan dapat
menyerang manusia (Soulsby, 1986; Cheng, 1986; Mitchell, 2007). Di
Indonesia, spesies cacing hati yang selalu terdeteksi adalah Fasciola
gigantica, sedangkan Fasciola hepatica umumnya dapat ditemukan dari
sapi yang diimpor ke Indonesia (Kusumamihardja, 1992). Kedua cacing
ini secara morfologi mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan diantara
keduanya terletak pada daya tahan hidup terhadap lingkungan dan inang
perantara (Lymnea sp.) (Soulsby, 1986; Grove, 1990; Mitchell, 2007).
c. Predileksi
Cacing ini banyak menyerang sapi dan domba dengan predileksi di
ductus biliverus (Levine, 1990).
d. Siklus Hidup
Siklus hidup parasit sangat komplek, pendek dan cepat
penularannya (Gambar 3.1.5). Fasciola sp. mengalami mata rantai siklus
17
terbentuk banyak
adaptasi yang baik pada daerah tropis, lingkungan air, serta jenis siput
aimya. Sebaliknya, Fasciola hepatica memiliki kemampuan bertahan
pada musim dingin seperti di Eropa, Amerika bagian utara, dan
Australia (Malek, 1980). Siput yang menjadi Induk semang antara
berbeda spesies dalam wilayah negara yang berbeda. Pada umumnya
jenis-jenis siput yang menjadi induk semang antara sementara cacing
hati, dari Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica temasuk family
Lymnaeacidae. Lymnaea rubiginosa merupakan induk semang antara
cacing hati Fasciola gigantica di Indonesia. Siput Lymnaea rubiginosa
bentuk oval dengan lingkaran spiral pada ujung ekor. Dinding rumah
transparan, berwarna kuning coklat atau agak kehitaman (Suweta,
1978). Muchlis dan Soetedjo (1972) memaparkan bahwa Lymnaea
rubiginosa merupakan sejenis siput yang mudah ditemukan di perairan
yang jemih, dengan oksigenasi air yang baik, dan aliran air yang tidak
terlalu cepat seperti lingkungan sawah. Siput ini mempunyai cangkang
yang tipis dan tidak mempunyai operkulum sehingga tidak tahan pada
suhu air yang tinggi. Makanan utamanya adalah alga dan tanaman
rumput-rumputan termasuk daun padi yang telah membusuk.
e. Gejala Klinis
Secara umum patogenesa dan gejala klinis fasciolosis tergantung
dari jumlah dan tahap perkembangan cacing di hati serta tingkat kerusakan
yang terjadi. Cacing ini dapat menyebabkan akut, subakut, dan kronis
fasciolosis (Matthews, 1999). Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat
kronis akibat dari infeksi yang berlangsung sedikit demi sedikit
(Kusumamiharja, 1992). Gejala klinis yang ditimbulkan dapat pula bersifat
subakut yaitu berupa kelemahan, anoreksia, perut kembung dan terasa
sakit apabila disentuh (Kusumamiharja, 1992). Menurut Matthews (1999),
fasciolosis akut terjadi ketika cacing immature dalam jumlah besar
merusak jaringan hati mengakibatkan gangguan hati dan haemorragi.
Kasus akut pada umumnya terjadi di akhir musim gugur dan di awal
musim dingin ditandai dengan kematian tiba-tiba, dyspnoe, ascites,
21
kering saat curah hujan masih cukup tinggi dan menurun seiring dengan
penurunan curah hujan.
f. Patogenesa
Infeksi ringan pada kasus fasiolosis ringan tidak begitu terlihat
adanya perubahannya secara patologi anatomis meninjukkan adanya
inflamasi catharalis (radang selaput lendir) dengan kerusakan epitel
saluran empedu. Telur yang mengadakan penetrasi kedalam diding saluran
menyebabkan foci-foci inflammatory (pusat radang bernanah campur
darah dan getah bening) dan granulomata (tumor pada jaringan granulosi)
yang banyak menyebab sel plasma dan cosinofil. Granulomata terbatas
padadinding saluran dan parenkrin tidak terserang. Kadang-kadang dapat
terjadi fibrosis sehingga menyebabkan atrofi pancreas. Pada infeksi yang
sangat parah hewan terlihat sangat lemas, walau pun dalam gejala klinis
ditemukan adanya cacing.
g. Pencegahan dan Terapi
Ternak yang dipelihara terhindar dari infeksi Fasciola sp. dengan
memberikan perlakuan dan manejemen pemeliharaan yang baik. Apabila
terpaksa dengan pemeliharaan sapi dengan cara ekstensif maka
pencegahan yang efektif terhadap penularan infeksi Fasciola sp. sulit
dilakukan karena sulit untuk menghindarkan ternak dari sawah atau
tempat-tempat basah yang merupakan habitat siput. Pengendalian
fasciolosis pada sapi pada prinsipnya memutus siklus hidup cacing.
Strategi pengendalian fasciolosis didasarkan pada musim penghujan atau
basah dan kemarau atau kering. Pada musim penghujan, populasi siput
mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi,
pada saat itu pula petani sibuk mempersiapkan lahan dalam musim tanam.
Martindah dkk, (2005) mengemukakan
bahwa
diperlukan tindakan-
23
dan albendazole),
cacing
muda
hingga dewasa
Anamnesa
-
Bulu kusam
Anemia
badan kambing kurus, mukosa mulut dan mukosa cenderung pucat.
25
: Haemonchosis
26
Cacing betina dewasa akan melepas 5000 sampai 10.000 telur, dimana
akan dilewatkan bersama feses. Telur akan berkembang ketika kondisi
lembab di dalam feses dan akan terus berkembang menjadi rhabditifform,
dan juvenile stage dengan memakan bakteri di dalam feses tersebut.
Rhabditiform (Larva 1) biasanya terbentuk selama 4 atau 6 hari pada suhu
yang optimal yaitu 24 29 derajat celsius. Rhabditiform membuang
kutikulanya dan berubah menjadi larva filiariform (Larva 2) yang inaktif.
Kemudian akan menjadi larva III yang infektif. Larva III akan merayap
keatas daun atau rumput-rumputan serta dapat bertahan hidup untuk
beberapa minggu bulan jika kondisi tetap menunjang. Domba dan
kambing serta ruminan lainnya akan terinfeksi saat menelan larva
filiariform (Larva 3). Larva 3 akan melewati 3 lambung dan menjadi
infektif larva 4 ketika mencapai abomasum IV dan menempel pada
mukosa abomasum. Filiariform berubah menjadi preadult larva (L4
dengan cara membuang kutiklenya. Biasanya membutuhkan waktu 48 jam.
Preadult larva (L4) akan menjadi larva dewasa. Pejantan dan betina
dewasa akan kopulasi dan tinggal di abomasum dan meminum darah.
Cacing betina sudah dapat bertelur dalam waktu 18 21 hari setelah
infeksi
.
.
28
e. Gejala Klinis
Gejala klinis lainnya antara lain gelisah, anemia, oedema, lethargy
dan depresi. Akumulasi dari cairan di jaringan mandibular yang biasanya
disebut bottle jaw, pertumbuhan dan produksi akan menurun drastic.
f. Patogenesa
Gejala klinis umumnya akibat kehilangan darah. Pada infeksi akut
akan menyebabkan kematian yang tiba-tiba, akibat syok. Gelisah, anemina
disebabkan kehilangan akumulasi darah, sedangkan edema terjadi akibat
kekurangan partikel darah sehingga menyebabkan kestidakseimbangan
cairan tubuh, hal yang sama terjadi pada bottle jaw.
g. Pengendalian dan Terapi
Pada umumnya tindakan-tindakan berikut dianjurkan untuk mencegah
parasitisme pada ruminansia:
1) Jangan menaruh sapid an kambing terlalu padat pada padang rumput.
2) Pisahkan hewan-hewan muda dari yang dewasa sedini mungkin.
3) Hindari pembuangan air yang jelek di padang rumput.
4) Berikanlah makan sapi ditempat yang kering bila memungkinkan.
5) Jangan biarkan pakan dan air minum sapi tercemar oleh tinja.
6) Buang kotoran sapi dari kandang sesering mungkin.
7) Lengkapilah dengan kandang yang bersih dan bebas hama atau padang
rumput yang bersih tidak terinfeksi parasit untuk anak-anak sapi. (Norman
D Levin, 1994).
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole,
antara lain
Berat badan
: 500 gr
Anamnesa
-
Koksidiosis
Enteritis karena Infeksi bakteri, misalnya bakteri Streptococcus Sp. Bakteri
ini menyebabkan peradangan dan disertai adanya diare.
Diagnosa penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan infestasi cacing Raillietina
cysticilus dalam usus halusnya. Hasil pemeriksaan feses menggunakan metode
: Animalia
Phylum
: Platyhelmintes
Class
: Cestoidea
Sub Class
: Cestoda
Ordo
: Cyclophyllidea
Famili
: Davaineidea
Genus
: Railietina
Spesies
: Raillietina cysticilus
30
a. Morfologi
Panjangnya Raiilietna cesticillus berkisar antara 100 - 130 mm dan
lebarnya 1,5 - 3 mm, lebar skolek 300 - 600 mikron. Rostellumnya cukup
besar dengan diameter 100 mikron, dilengkapi dengan dua baris terdiri
dari 400 - 500 duri yang berukuran 8 - 10 mikron. Alat penghisapnya tidak
berduri kait. Raiilietna cesticillus berwarrna keputihan, panjang dan
bagian dorso-ventral datar, dan seluruh tubuh ditutupi oleh tegument.
Tubuh terdiri dari region kepala yang disebut scolex, dan bagian yang
tidak bersegmen disebut leher dan bagian tubuh yang sangat bersegment
disebut strobila. Pusat perkembangan segmen terletak di belakang kepala,
yaitu pada bagian leher yang pendek. Segmen tubuh yang lain merupakan
tempat reproduksi yang memiliki ovarium dan testes.
Strobila tersusun atas ikatan seperti pita proglottids. Dalam tiap
proglottid yang matang terdapat 20 -230 testes. Lokasi lubang kelaminnya
berselang seling tidak teratur. Kapsul telur, masing-masing mengandung
satu telur, mengisi seluruh proglottid yang matang. Pada bagian scolex
paling depan memiliki bentukan bulat dan dikelilingi oleh 4 sucker. Tidak
seperti spesies raillietina lainnya, rostellum ini sangat menonjol dan
suckernya sangat kecil.
b. Hospes
Hospes definitifnya adalah unggas, seperti ayam, kalkun, dan
burung merpati. Hospes perantaranya adalah lalat jenis Musca domestica.
31
c. Predileksi
Predileksi cacing ini pada usus halus hospes definitifnya.
d. Siklus Hidup
Penyebaran cacing Cestoda pada unggas sangat dipengaruhi oleh
adanya inang antara.. Telur cacing Cestoda yang termakan oleh inang
antara akan menetas di dalam saluran pencernaannya.Telur yang menetas
berkembang menjadi onkosfir yaitu telur yang telah berkembang menjadi
embrio banyak sel yang dilengkapi dengan 6 buah kait.
Onkosfir selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid dalam
waktu 3 minggu setelah telur termakan oleh inang antara. Sistiserkoid
tetep tinggal di dalam tubuh inang antara sampai dengan inang antara
tersebut dimakan oleh inang definitif yaitu unggas.
Setelah unggas memakan inang antara yang mengandung
sistiserkoid, maka sistiserkoid terbebaskan oleh adanya aktivitas enzim
pencernaan. Segera setelah sistiserkoid bebas, skoleksnya mengalami
invaginasi, skolek keluar dari kista dan melekatkan diri pada dinding usus.
Segmen muda terbentuk di daerah leher dan akan berkembang menjadi
segmen yang matang dalam waktu 3 minggu. Pada saat segmen atau
strobila berproliferasi di dinding leher, dinding sistiserkoid akan
mengalami
degenerasi
dan
menghilang.
Selanjutnya
sistiserkoid
33
Jenis hewan
Jenis kelamin
Umur
Berat badan
Warna
: Merpati
: Jantan
: 1 tahun
: 0,7 kg
: coklat
Anamnesa
-
Lemas
Diferensial Diagnosa
-
Diagnosa penunjang
Burung merpati didapatkan dari pasar Sepanjang Sidoarjo. Sampel swab
kerongkongan dilakukan uji natif dan hasilnya menunjukan adanya infestasi
protozoa darah yaitu Trichomonas Gallinae (Gambar 3.4)
34
: Sarcomastigophora
Subfilum
: Mastigophora
Kelas
: Zoomastigophorasida
Ordo
: Trichomonadorida
Famili
: Trichomonadidae
Genus
: Trichomonas
Spesies
: Trichomonas gallinae
a. Morfologi
Parasit berbentuk seperti buah per, dengan ukuran panjang kira-kira 10
mm dan lebar 5 mm. Mempunyai empat flagella anterior dan satu flagella
posterior yang membentuk membrane undulate. Membran undulate mencapai dua
pertiga panjang tubuh. Mempunyai axostile menjulang sampai posterior tubuh.
35
36
Jenis hewan
Jenis kelamin
Umur
Berat badan
: Marmut
: Betina
: 1 th
: 900gr
Anamnesa
-
Diagnosa diferensial
-
helminthiasis
Diagnosa penunjang
Inspeksi dilakukan dengan pengambilan sampel feses di pasar Spleendid
Malang. Sampel feses dibawa ke laboratorium dengan dimasukan pada pot yang
telah diisi formalin. Hasil pemeriksaan dan identifikasi menunjukan adanya
infestasi ookista eimeria pada sampel feses (Gambar 3.5.1).
Kingdom
: Chromalveolata
Phylum
: Apicomplexa
Class
: Conoidasida
Order
: Eucoccidiorida
Family
: Eimeriidae
Genus
: Eimeria
Spesies
: Eimeria stiedae
a. Morfologi
Ookista berbentuk bulat panjang dengan ukuran 28-40 x 16-25 mikron.
Dindingnya licin dan berwarna merah kekuning-kuningan. Pada salah satu
ujungnya terdapat mikropil yang tipis, rata dan licin. Mikropil ini merupakan
bagian dimana sporozoit menembus dan melepaskan diri dari ookista (Gambar 1).
Tidak mempunyai residual body dan masa prepaten 16-18 hari.
Gambar 3.5.2 Ookista eimeria stiedae yang telah berspora (Madsen, 1986).
b. Siklus Hidup
Menurut Iskandar (2001), siklus hidup E. stiedae secara umum terdiri atas
3 stadium, yakni stadium skizogoni, stadium gametogoni dan stadium sporogoni.
39
dan
menghasilkan
merozoit
generasi
kedua.
Stadium
ini
pembentukan
antibodi,
menyebabkan
beberapa
merozoit
flagella. Bentuk ini disebut mikrogamet. Sedangkan embrio bentuk betina, yang
disebut gamon betina atau makrogametosit, semakin lama ukurannya semakin
membesar. Inti gamon yang banyak menyimpan makanan ini mengalami
pembelahan secara reduksi. Setelah matang bentuk ini disebut makrogamet.
Peristiwa perubahan gamon jantan menjadi gamet jantan dan gamon betina
menjadi gamet betina, dinamakan gametogenesis. Mikrogamet setelah memiliki
flagella dan dewasa, menjadi bebas dalam sel induk semang dan siap melakukan
aktivitasnya. Makrogamet kemudian melakuakan penetrasi kepada makrogamet,
penetrasi mikrogamet pada makrogamet serta peristiwa yang menyertainya
disebut fertilisasi. Dari fertilisasi ini dihasilkan zigot yang merupakan embrio bagi
terbentuknya ookista. menerngkan bahwa dalam pembentukan beberapa
mikrogamet dan gamon jantan hanya sebagian kecil saja yang bertemu dan
berfertilisasi dengan makrogamet sehingga terbentuknya zigot (George, 1980).
Dari fertilisasi tersebut menghasilkan zigot. Di dalam zigot akan terjadi
akumulasi bahan makanan sementara membran yang mengelilinginya semakin
kokoh dan berubah menjadi sebuah dinding. Kesatuan zigot dan dinding yang
mengelilinginya disebut ookista. Didalam perkembangannya, ookista merupakan
kotak spora yang dihasilkan oleh peleburan granula. Di dalamnya terdapat unit
zigot yang kelak akan berkembang menjadi bentuk infektif. Bentuk ini sering
dinamakan ookista mentah atau ookista yang belum bersporulasi. Melalui saluran
empedu, ookista yang belum bersporulasi ini bersama cairan empedu terbawa
menuju usus, lalu keluar bersama tinja. Di luar tubuh induk semang, unit zigot di
dalam ookista membelah menjadi empat sporokista dan akhirnya menghasilkan
delapan sporozoi. Peristiwa pendewasaan ookista muda menjadi ookista yang di
dalamnya terdapat delapan sporozoit disebut sporulasi. Demikian pula Eimeria
yang menyerang usus akan menginfeksi epitel usus kemudian mengadakan
perkembangan vegetatif dan generatif seperti halnya E. Stiedae (George, 1980).
41
c. Hospes
Eimeria stiedae menyerang hospes definitive yaitu kelinci dan marmot
d. Predileksi
Predileksi dari Eimeria stiedae yaitu pada hati kelinci / marmot, namun
e. Gejala Klinis
Infeksi E. stiedae dapat bersifat subklinis ataupun klinis. Biasanya kejadian
koksidiosis hati bersifat subklinis. Tetapi pada infeksi berat yang menyerang
kelinci muda, akan terlihat tanda-tanda klinis, bahkan akan diakhiri dengan
kematian. Tanda-tanda klinis yang sering dijumpai adalah anoreksia, diare,
penurunan berat badan, pembesaran abdomen, ikterus dan dapat berakhir dengan
kematian (Licois et al., 2000).
f. Diagnosis
42
nitrogen atau helium, maka sporozoit akan melepaskan diri dari sporokista hanya
sebesar 10%. Kondisi in vitro ini sama saja dengan keadaan dalam saluran
empedu, yang memungkinkan E.stiedae berkembang dengan menginfeksi.
h. Terapi
Penggunaan Antikoksidia sebagai upaya penanganan koksidiosis telah
banyak dipergunakan di peternakan kelinci. Cara aplikasinya peroral, pada
umumnya dicampur dalam pakan atau dalam air minum (Licois et al., 2000).
Berdasarkan pemakaiannya antikoksidia dapat berfungsi sebagai pengobatan
(treatment) dan sebagai upaya pengendalian (kontrol). Perbedaan terletak pada
dosis pemakaian. Antikoksidia yang ada, semuanya bersifat propilaksis. Yakni
hanya bersifat pencegahan, yang harus segera diberikan pada saat exposure
(permulaan munculnya tanda klinis) atau sesudahnya agar efektif. Dengan
demikian istilah yang tepat untu antikoksidia ini adalah koksidiostat. Koksidiostat
ini hanya mempengaruhi skizon atau merozoit, serta mencegah terjadinya
penyempurnaan koksidia. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan harus
diperhatikan adalah : Obat mampu merangsang kenaikan nilai terapetik, obat
memiliki batas keselamatan yang layak kepada kelinci sakit, obat harus mudah
diaplikasikan, obat yang dicampur dengan pakan atau air minum, maka obat harus
tetap sesuai dan stabil, logis secara ekonomis. Koksidiostat yang mula-mula
dipergunakan dalam peternakan adalah Sulfonamide dan derivatnya. Kemudian
berkembang dengan pemakaian preparat medis yang lain. Secara garis besar
preparat koksidiostat dibagi dua kelompok yaitu koksidiostat golongan
Sulfonamide dan koksidiostat bukan Sulfonamide (Licois et al., 2000).
3.3 Arthropoda
3.3.1 Columbicola columbae
Signalement
Jenis hewan
Umur
: 9 bulan
Berat badan
: 0,7 kg
: Burung merpati
44
Asal
Pemilik
: Subandi
Anamnesa
bulu kusam, Nafsu makan turun, sering mematuki bagian bulu, lemas
Temuan Klinis
anemia (conjuctiva pucat), bulu rontok
Differential diagnosa
Infeksi Protozoa
Diagnosa Penunjang :. Inspeksi dilakukan dengan pengambilan kutu di bagian
kaki burung merpati. kutu yang ditangkap kemudian dibawa ke laboratorium
untuk diindentifikasi. Hasil identifikasi kutu menunjukan bahwa dari koleksi kutu
burung merpati ditemukan ektoparasit yaitu Columbicola Columbae.
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
45
Ordo
: Phthiraptera
Famili
: Philopteridae
Genus
: Columbicola
Spesies
: Columbicola Columbae
a. Morfologi
kutu merpati (Columbicola columbae) yang terdapat pada semua
merpati, baik yang liar, jinak, maupun yang buas. Kutu ini berbentuk
lonjong, panjang sekitar 2 mm berwarna abu-abu jerami pucat. Tidak
memiliki palpus maksilaris. Antena tampak mencolok pada sisi kepala.
Sebagian besar spesies memiliki hospes spesifik Bertelur ditengah alur,
antara cabang-cabang bulu besar pada sayap, serta pada beberapa jenis
bulu lain yang dapat menjamin telur tidak rusak waktu burung merpati
mematuk-matuk bulu dengan paruh. Ada juga telur yang diletakkan dekat
pangkal bulu halus dibagian kepala dan leher yakni di tempat yang tidak
mudah lepas.
Kutu betina bertelur rata-rata 1 butir telur sehari pada suhu optimal
37oC, untuk menetas setelah 4 hari. Larva Columbicola mulai masak
seksual setelah mengalami penggantian kulit 3 kali, kurang lebih 21 hari.
Karena kutu merpati tinggal di bulu sayap yang mudah terancam bahaya
paruh burung, maka sifatnya sangat mobile dan mudah menyelinap
diantara bulu burung dengan memanfaatkan tungkainya yang panjang dan
langsing.
b. Hospes
Unggas, burung merpati
c. Predileksi
Bulu bagian sayap, kepala dan leher
d. Siklus hidup
mengalami proses metamorfosa yang tidak sempurna, yaitu telunimpha- idividu dewasa. Seluruh siklus hidupnya terjadi didalam tubuh
induk semang. Telur kutu akan menempel pada induk semang dengan
bantuan zat perekat kitin yang dihasilkannya.
e. Gejala Klinis
46
Jenis hewan
Ras
Jenis kelamin
Umur
Berat badan
: Sapi
: Friesian holstein
: Betina
: 2 tahun
: 300 kg
Anamnesa
-
Diagnosa diferensial
-
Diagnosa penunjang
Inspeksi dilakukan dengan pengambilan lalat di peternakan sapi di daerah
punten, batu Malang. Lalat ditangkap menggunakan jaring penangkap dan dibawa
ke laboratorium untuk diindentifikasi. Hasil identifikasi lalat menunjukan bahwa
lalat termasuk Stomoxys calsitrans (Gambar 3.7.1).
Klasifikasi dari Stomoxys calcitrans menurut Byrd dan Castner (2001)
adalah sebagai berikut :
47
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Muscidae
Genus : Stomoxys
Spesies : Stomoxys calcitrans
a. Morfologi
Stomoxys calsitrans merupakan lalat kandang penghisap kandang.
Menurut Sucipto (2011) bahwa lalat ini bentuknya menyerupai lalat rumah
tetapi berbeda pada struktur mulutnya yang berfungsi menusuk dan
menghisap darah. Lalat ini merupakan penghisap darah ternak yang dapat
menurunkan produksi susu. Lalat kandang dewasa berukuran panjang 5-7
mm, mempunyai bagian mulut (proboscis) meruncing untuk menusuk dan
menghisap darah. Bagian thoraksnya terdapat garis gelap yang diantaranya
berwarna terang. Sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung tidak
tajam ke arah kosta mendekati vena 3. Antenanya terdiri atas tiga ruas, ruas
terakhir paling besar, berbentuk silinder dan dilengkapi dengan arista yang
memiliki bulu hanya pada bagian atas.
48
kebersihan kandang merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan populasi lalat. Penggunaan insektisida juga merupakan cara
digunakan untuk membunuh lalat dengan cara menyemprot kandang dengan
Lindane 0,03-0,05 %, Toxaphene 0,5%, Metoxychlor 0,05 %, Coumaphos
0,125 %, Dioxanthion 0,15 %, Malation 0,5 %, atau Ronnel 0,75 %.
Pemberian dichlorvos dalam minyak mineral diberikan setiap hari juga
mampu mengusir lalat untuk hinggap dipermukaan tubuh hewan. Selain
dichlorvos
bisa
juga
digunakan
coumophos,
malathion
atau
51
BAB IV PENTUP
4.1 Kesimpulan
Cara isolasi dan identifikasi masing masing jenis parasit berbeda, untuk
helminthes pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan telur metode natif,
metode sedimentasi, metode apung, dan pembuatan preparat kering dengan
pewarnaan carmine. Isolasi dan identifikasi arthropoda dilakukan dengan metode
pengawetan kering (pinning) dan pengawetan basah. Sedangkan isolasi dan
identifikasi protozoa dilakukan dengan metode metode natif, metode sedimentasi,
metode apung, metode pembuatan preparat ulas darah dan metode pembuatan
preparat ulas darah dengan pewarnaan giemsa
Hasil identifikasi baik endoparasit maupun ektoparasit selama koasistensi
di Laboratorium Parasitologi, sebagai berikut :
1. Helminthiasis
a. Spesimen : Sapi
Sampel
Hasil
b. Spesimen : kambing
Sampel
: Feses
Hasil
c. Spesimen : merpati
Sampel
Hasil
2. Protozoa
52
a. Spesimen : Merpati
Sampel
: swab kerongkongan
Hasil
: Trichomonas Gallinae
b. Spesimen : Marmut
Sampel
: Feses
Hasil
: Eimiria stiedae
3. Arthropoda
a. Spesimen : Merpati
Sampel
: Kutu
Hasil
b. Spesimen : Sapi
Sampel
: Lalat
Hasil
53
DAFTAR PUSTAKA
Arroyo HS, J.L Capinera. 1998. House Fly, Musca domestica Linnaeus (Insecta:
Diptera:Muscidae). Florida (US): University of Florida. USA
Hadi UK dan Soviana S. 2010. Ektoparasit; Pengenalan, Diagnosa, dan
Pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. FKH IPB. Bogor
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran.
Fakultas kedokteran UI, Jakarta.
George, J.R. 1980. Parasitology for Veterinarians. W.B. Saunders Company,
Philadelphia.
Gordon, R.F. 1986. Poultry Disease.BailliereTibdall. London. Pp 166-175.
Iskandar, T. 2001. Studi Patogenitas dan Waktu sporulasi Eimeria stiedae galur
lapang pada kelinci. Widyariset, LIPI. 3: 173-184.
Japardi, I. 2002. Infeksi Parasit. Universitas Sumatera Utara.
Jeffrey dan Leach. 1983. Atlas helminthologi & Protozologi Kedokteran ed.2.
EGC Penerbit buku kedokteran
Kusnoto., Bendryman, S.S., Koesdarto, S., Sosiawati, S.M. 2015. Ilmu Penyakit
Helmin Kedokteran Hewan. Zifatama Publisher.
Kusumamiharja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan
Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
54
55