Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB I

PENDAHULUAN
ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL
A.

Pengertian Etika
Etika (ethics) adalah filsafat tentang moral.
Etika merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral, dan
sebagai salah satu cabang filsafat, etika menekankan pada pendekatan kritis dalam
melihat nilai dan norma moral serta permasalahan-permasalahan moral yang timbul
dalam kehidupan manusia.
Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai :
a. nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia sebagai manusia, harus
hidup baik;
b. masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan
norma-norma moral yang umum diterima
Etika juga dimaknai sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya.
Etika dapat disimpulkan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana manusia
menjalankan kehidupannya, serta bagaimana berperilaku untuk mencapai kehidupan
yang baik dan lebih baik, dan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Etika merupakan perekat yang menyatukan suatu masyarakat untuk hidup bersama.
Kebutuhan etika dalam masyarakat demikian tinggi, sehingga nilai-nilai etika yang
diyakini secara umum dihimpun (dipositifikasi) dalam hukum. Namun demikian, banyak
nilai etika yang tidak dapat dicakup dalam hukum karena nilai-nilai tersebut bersifat
pertimbangan (judgemental), yang tetap penting bagi masyarakat yang beradab.

B. Profesi dan Etika


Istilah profesi berarti :
1. Profesi adalah pekerjaan yang ditekuni dan menjadi tumpuan hidup;
2. Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian tertentu.
Istilah profesional merupakan kata sifat, yang berarti :
1. Dibedakan dari amatir, profesional mengharuskan adanya bayaran untuk melakukannya;
2. Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Berdasarkan jenisnya, profesional ada dua jenis, yaitu :
1. Profesi biasa
2. Profesi luhur
Secara lengkap, profesi (yang kita pelajari) dapat dikatakan selain mengandung arti
pekerjaan sebagai panggilan dan tumpuan hidup, serta stndar yang tinggi, juga berarti
pekerjaan yang bercirikan keluhuran dan komitmen moral yang tinggi.
Status profesi dibangun di atas landasan moral karena seorang profesional memang
dituntut untuk menghasilkan kinerja berstandar koalitas tinggi dan mengutamakan
kepentingan Publio.

Profesional adalah orang yang menjalani suatu profesi, dan karenanya, mempunyai
tanggung jawab yang tinggi untuk berkarya dengan stndar kualitas tinggi dilandasi
dengan komitmen moral yang tinggi pula.
Etika profesi atau etika profesional merupakan unsur yang Sangay penting dalam
kehidupan komunitas profesi merupakan pembeda utama antara para profesional
dan orang-orang yang sekedar ahli di bidang yang mereka pilih untuk ditekuni (kerja).
Etika profesi merupakan jantung harapan Publik dalam kaitannya dengan tingkat
kepercayaan, integritas dan kredibilitas bagi mereka yang berkecimpung dalam
pekerjaan yang dikategorikan dengan debutan profesional.
C. Peranan Etika dalam Profesi Akuntan
Profesi akuntan mengandung karakteristik pokok suatu profesi, di antaranya, jasa
yang sangat penting bagi masyarakat, pengabdian kepada masyarakat dan komitmen
moral yang tinggi.
Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para akuntan dengan stndar kualitas
yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri (tidak
mendahulukan kepentingan pribadi) oleh sebab ini, profesi akuntan menetapkan
stndar teknis dan stndar etika yang harus dijadikan sebagai panduan oleh para
akuntan, utamanya yang secara resmi menjadi anggota profesi, dalam melaksanakan
tugas-tugas profesionalnya.
Kesadaran dan kewaspadaan merupakan unsur kunci untuk menghindari perilaku
tidak etis dan melanggar hukum untuk menghindari perilaku tidak etis, para akuntan
harus membangun rasa tanggung jawab yang kuat perilaku tidak etis merupakan
ancaman yang serius dalam profesi akuntan.
Stndar etika diperlukan bagi profesi akuntan, karena akuntan posisi sebagai orang
kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan.
Kode etik atau aturan etika profesi akuntan menyediakan panduan bagi para
akuntan profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil
keputusan-keputusan sulit.
D.

Etika Profesi dan Etika Kerja


Etika profesi atau etika profesional (professional ethics) merupakan suatu bidang
etika (sosial) terapan berkaitan dengan kewajiban etis mereka yang menduduki
posisi yang disebut profesional.
Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para profesional dalam menjalani
kewajiban mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang
berstandar tinggi.
Etika profesi berkaitan dengan penerapan standar moral atau prinsip-prinsip etika
yang telah ada ke dalam praktik kehidupan profesi prinsip-prinsip moral tertentu yang
disepakati untuk dijadikan sebagai nilai-nilai dan panduan bersama oleh anggota
profesi norma-norma yang dikodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik
(code of ethics) atau kode (aturan) perilaku (code of conducts) profesi yang
bersangkutan.
Dengan demikian, bila dikaitkan dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang
mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam praktik sehari-hari para
profesional dalam menjalankan profesi mereka.

Etika profesi dibedakan dari etika kerja (work ethics atau occupational), yang
mengatur praktik, hak, dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak
disebut profesi (non professional).
Non-profesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap kurang memiliki
otonomi dan kekuasaan atau kemampuan profesional.
Sejumlah pendapat menyatakan bahwa tidak ada alasan moral untuk mengeluarkan
etika kerja dari kajian etika profesional, karena keduanya tidak terlalu berbeda jenisnya,
kecuali menyangkut besarnya bayaran yang diterima dari pekerjaan mereka yang
menjadi pertimbangan utamanya adalah bahwa orang pada umumnya tidak terlampau
mengkhawatirkan terjadinya perampasan atau pengambilalihan pekerjaan,
melainkan mengkhawatirkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau
keahlian misal, tukang daging tidak akan mengambil alih pekerjaan tukang jahit,
tetapi yang dikhawatirkan bahwa mereka melaksanakan pekerjaan mereka hanya demi
kepentingan mereka sendiri.
Pembedaan antara etika profesi dan etika kerja lazimnya dilakukan mengingat
aktivitas para profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan, adalah berbeda
dengan pekerja lain pada umumnya para profesional memiliki karakter khusus dari
segi pendidikan atau pelatihan, pengetahuan, pengalaman, dan hubungan dengan
klien, yang membedakannya dari pekerja non profesional.
E.

Lingkungan Etika Akuntan Profesional


Pentingnya Pemahaman Lingkungan Etika
Akuntan profesional bekerja atau menjalankan profesinya dalam suatu kerangka yang
diciptakan untuk bisnis dan organisasi lainnya yang sejalan dengan harapan
masyarakat lingkungan etika ini meliputi organisasi bisnis dan non-bisnis yang
merupakan sasaran jasa profesional para akuntan, dan masyarakat secara umum,
serta organisasi atau kantor yang mempekerjakan mereka.
Akuntan profesional yang berfungsi menjembatani kepentingan-kepentingan yang
sering berlawanan, harus menyadari dan memahami harapan publik terhadap bisnis
dan organisasi-organisasi lain (khususnya, organisasi pemerintahan atau birokrasi)
yang menjadi sasaran profesionalnya pemahaman ini diperlukan agar setiap akuntan
profesional dapat menemukan bagaimana seharusnya menafsirkan aturan-aturan
profesi meraka dan memadukan kearifan intelektual dan kearifan tradisional ke dalam
suatu kerangka untuk mengambil keputusan dan tindakan yang sesuai dengan standar
etika para akuntan profesional harus memastikan bahwa nilai-nilai etis mereka
adalah mutakhir, dan mereka siap bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut untuk
memainkan peran terbaiknya .
Celah Kredibilitas dan Harapan
Pemahaman terhadap perkembangan dan tuntutan lingkungan memungkinkan para
akuntan profesional mengidentifikasi ada tidaknya celah harapan publik (expectation
gap) dan celah kredibilitas (credibility gap), yang selanjutnya memungkinkan mereka
untuk menutup celah tersebut.
Contoh kasus : Skandal bisnis dan keuangan yang melibatkan para akuntan profesional

Kasus Enron dan WorldCom di AS, yang antara lain berbuntut hancurnya Kantor
Akuntan Arthur Andersen, dan kasus bank likuidasi dan rekayasa laporan keuangan
emiten di Indonesia, dapat dijadikan contoh. Sejumlah Akuntan Publik Indonesia
misalnya, dituduh kong-kalikong dengan bank-bank yang ternyata kemudian harus
dilikuidasi, dan dengan para emiten baik ketika akan maupun setelah go-publik dalam
hal merekayasa laporan keuangan. Dalam kasus ini, beberapa akuntan telah dikenai
sanksi oleh pihak berwenang berupa skorsing atau denda. Kasus-kasus tersebut
merusak
kredibilitas
akuntan
profesional,
yang
berakibat
meningkatkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap akuntan profesional.
Selain itu, nampak celah harapan (expectation gap), yaitu celah antara
pengguna jasa profesional akuntan dan kinerja akuntan yang bersangkutan. Dalam hal
ini, sejumlah harapan pengguna jasa akuntan tidak dapat dipenuhi oleh para akuntan,
karena para akuntan tidak sepenuhnya mematuhi standar perilaku yang ditetapkan oleh
profesi. Sebagai contoh : dalam penugasan audit keuangan, perusahaan-perusahaan
yang diaudit (auditee) tidak sekedar mengharapkan opini auditor mengenai laporan
keuangan, tetapi juga saran-saran penting menyangkut pengendalian intern
perusahaan. Namun hal ini tidak selalu dapat dipenuhi, karena dalam banyak audit
mereka tidak melakukan pengujian yang memadai terhadap sistem pengendalian intern
perusahaan sebagaimana disyaratkan oleh standar audit yang berlaku.
Demikian pula akuntan di lingkungan birokrasi atyau pelayanan publik (publik
service). Para akuntan pemerintah yang bertugas sebagai auditor, misalnya, juga tidak
luput dari tuduhan masyarakat menyangkut ketidakmampuan mereka dalam
berperanserta mengerem lajunya korupsi di dalam birokrasi. Para akuntan ini bahkan
sering dituduh ikut aktif dalam praktik-praktik KKN, sehingga alih-alih mengerem,
mereka justru mempercepat atau setidaknya mendorong makin lajunya praktik-praktik
tak terpuji tersebut.
Secara obyektif, kasus-kasus di atas dapat ditangkap sebagai indikasi
adanya pengingkaran atau pengkhianatan oleh sejumlah akuntan terhadap
kepercayaan yang tinggi yang diberikan oleh masyarakat kepada profesi akuntansi.Halhal tersebut merupakan ancaman bagi profesi akuntansi secara keseluruhan, yang
harus disadari sepenuhnya, untuk selanjutnya ditanggapi secara sungguh-sungguh
dengan meningkatkan kepatuhan terhadap standar teknis maupun standar etika yang
berlaku.

Etika Bisnis dan Akuntan Profesional


Pemahaman dan kepekaan terhadap isu-isu etika dalam bisnis sangat
penting bagi efektivitas pekerjaan akuntan profesional, karena bisnis merupakan salah
satu bidang penting dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pemahaman dan kepekaan
ini akan membantu para akuntan dalam menanggapi atau menangani masalahmasalah etis yang terkait dengan praktik-praktik bisnis yang menjadi sasaran
pengkajian dan penilaian mereka.
Perhatian terhadap praktik-praktik bisnis berikut isu-isu etikanya dan
perubahan-perubahan yang berlangsung sangat penting, dalam rangka memperoleh
pemahaman yang baik mengenai bagaimana akuntan profesional seharusnya
menafsirkan aturan-aturan profesi mereka sehingga dapat menempatkan diri secara
tepat. Pemahaman yang baik mengenai isu-isu etika dalam bisnis akan memberikan

bekal yang berharga bagi mereka ketika melakukan pengkajian dan penilaian terhadap
sistem dan kinerja keuangan bisnis yang bersangkutan.

Etika Pelayanan Publik dan Akuntan Profesional


Seperti yang terjadi pada sektor bisnis, tuntutan akan efisiensi dan efektivitas
organisasi, profesionalisme dan standar perilaku yang tinggi juga ditujukan pada
birokrasi atau administrasi publik yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik.
Aparat birokrasi kini makin dituntut untuk secara profesional menunjukkan kinerjanya
yang berkualitas tinggi, dengan cara-cara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip etrika.
Masyarakat kini tidak hanya makin sadar akan hak-haknya, tetapi juga makin berani
untuk menggugat birokrasi (administrasi pemerintahan) yang ternyata tidak mampu
bekerja secara profesional sesuai harapannya. Oleh karena itu, seperti halnya bisnis,
birokrasi juga memikul mandat baru untuk terus-menerus mereformasi diri guna
meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, dan pada saat yang sama mendorong
aparatur birokrasi (PNS atau abdi masyarakat) agar memiliki integritas yang tinggi.
Pemahaman yang baik mengenai isu-isu etika dalam birokrasi akan memberikan bekal
yang berharga bagi mereka jika mereka menjadi aparat birokrasi yang mengemban
tugas-tugas pelayanan publik ataupun jika menjadi akuntan profesional yang
independen dan melakukan pengkajian dan penilai terhadap sistem dan kinerja
birokrasi. Dalam kaitan ini, selain isu-isu etika birokrasi pada umumnya, perkembangan
di bidang tata kelola pemerintahan ( governance), secara khusus penting bagi akuntan
profesional. Perkembangan tersebut menuntut para akuntan profesional untuk
senantiasa memastikan bahwa nilai-nilai etika mereka adalah mutakhir, dan mereka
siap bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut untuk mencapai kinerja terbaiknya.
BAB II
TEORI DAN KONSEP ETIKA
A.

Teori Teleologi
Teori etika teleologi sering disebut teori konsekuensialis, menyatakan bahwa
nilai moral suatu tindakan atau praktik ditentukan semata-mata oleh konsekuensi dari
tindakan atau praktik tersebut. Benar atau salahnya tindakan dan praktik ditentukan
oleh akibat yang ditimbulkan oleh tindakan dan praktik tersebut. Yang membuat
tindakan itu benar atau salah adalah kebaikan atau keburukan yang dihasilkan oleh
tindakan tersebut, oleh karenanya teori teleologi tidak menyatakan bahwa suatu
tindakan memiliki nilai intrinsik di dalam dan dari dirinya sendiri, tetapi semua tindakan
dan praktek harus dievaluasi berdasarkan konsekuensi baik dan buruk yang dihasilkan
oleh tindakan dan praktik itu.
Ada beberapa jenis teori teleologi, namun yang paling populer karena dipandang
paling realistik, lebih universal atau komprehensif, adalah teori utilitarian (utilitarianisme)
Utilitarianisme melibatkan pertimbangan atas alternatif-alternatif tindakan atau praktik
yang tersedia. Suatu tindakan atau praktik dinyatakan benar jika tindakan atau praktik
itu menyebabkan selisih terbesar konsekuensi baik (positif) dari konsekuensi buruk
(negatif) bagi setiap orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau praktik tersebut apabila
dibandingkan dengan tindakan atau praktik alternatif lainnya yang tersedia. Dengan
demikian utillitarianisme memajukan kemakmuran/kesejahteraan manusia dengan

meminimalkan kerugian.(kemudharatan, dan atau memaksimalkan manfaat


(kemaslahatan).
Sejalan dengan, utilitarianisme, pengambilan keputusan etis meliputi langkahlangkah : (1) menentukan alternatif-alternatif yang tersedia pada setiap situasi
keputusan, (2) menaksir biaya dan manfaat dari masing-masing alternatif tindakan bagi
setiap orang yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut; dan (3) memilih alternatif
tindakan yang menghasilkan jumlah terbesar manfaat atau jumlah terkecil biaya.
Utiliarianisme mendukung metode untuk menghasilkan keputusan yang benar dan
mendasarkan metode tersebut dengan konsepsi kebaikan terbesar yang dapat
dihasilkan untuk jumlah terbesar orang yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut (the
greatest good for the greates number of people).
Utilitarianisme mendasarkan pada prinsip manfaat (utility) dalam mengukur
konsekuensi baik (goodness) dan buruk (evil) . Utilitarianisme klasik mendefinisikan
kebaikan sebagai kesenangan (pleasure), sedangkan keburukan didefinisikan sebagai
kesedihan atau penderitaan (pain). Apapun yang menjadikan umat manusia secara
umum lebih baik atau memberikan manfaat adalah kebaikan, dan apapun yang
menjadikan manusia lebih buruk atau menimbulkan kerugian adalah keburukan. Jadi
tidak ada kebaikan tunggal tertinggi yang diburu oleh orang. Kebaikan lain seperti
persahabatan, pengetahuan, keberanian, kecantikan dan kesehatan juga merupakan
kebaikan, yang patut diburu. Umumnya utilitarianisme tidak berusaha untuk
menyelesaikan perbedaan pengertian kebaikan dan keburukan ini tetapi menerima
konsepsi masing-masing orang mengenai apa yang baik atau yang buruk bagi dirinya.
B. Teori Deontologi
Teori deontologi atau teori kewajiban, menolak pendirian bahwa konsekuensi
merupakan faktor relevan untuk menentukan apa yang seharusnya kita perbuat.
Menurut deontologi, tindakan atau perbuatan tertentu adalah benar bukan karena
manfaat bagi kita sendiri atau orang lain, tetapi sifat atau hakekat perbuatan itu
sendiri atau kaidah yang diikuti untuk berbuat (atau merupakan kewajiban). Dengan
demikian, tindakan atau praktik itu sendiri mempunyai nilai intrinsik terlepas dari
konsekuensinya.
Bagi pendukung deontologi, perbuatan yang didasarkan pada (bermotif)
kewajiban (merupakan kategori moral yang fundamental) adalah berbeda dengan
perbuatan yang didasarkan pada kepentingan pribadi. Terlepas dari konsekuensinya,
menyuap, misalnya, adalah perbuatan tidak baik secara moral karena kita
mempunyai kewajiban untuk tidak menyuap.
Menurut Kant (teori Immanuel Kant), kemauan baik merupakan syarat mutlak
bagi tindakan bermoral. Oleh karena itu, tindakan atau praktik yang baik adalah
tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan dilaksanakan demi kewajiban. Walaupun
konsekuensi dari suatu tindakan adalah baik atau berguna, tetapi kalau tindakan itu
bertentangan dengan kewajiban, maka tindakan tersebut adalah tidak baik. Demikian
pula, jika suatu tindakan dilaksanakan dengan terpaksa, walaupun sesuai dengan
kewajiban, maka tindakan tersebut adalah tidak baik, karena tidak didasarkan pada
kemauan baik.
Untuk menentukan suatu tindakan mempunyai nilai moral sehingga
merupakan kewajiban, menurut Kant, seseorang harus mengambil tindakan yang ia

harapkan orang lain lakukan dalam semua keadaan, terlepas dari konsekuensi tindakan
tersebut. Contohnya, Kant percaya bahwa, terlepas dari konsekuensinya, mengatakan
kebenaran adalah pilihan moral yang harus diambil, karena jika tidak ada orang yang
mengatakan kebenaran, maka kita akan menghadapi masyarakat yang kacau karena
komunikasi menjadi tidak berarti. Selain itu seseorang harus memperlakukan semua
orang, termasuk diri sendiri sebagai tujuan dan tidak pernah sebagai alat. Secara
singkat, menurut Kant, ada tiga kriteria agar suatu tindakan atau prinsip adalah
bermoral : (1) tindakan atau prinsip haruslah secara konsisten universal (dapat
diuniversalkan), (2) tindakan atau prinsip itu menempatkan manusia sebagai
bermartabat dan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai alat, dan (3) tindakan atau prinsip
itu berasal dari, dan menghargai, otonomi makhluk rasional (autonomy).
William David Ross mengkaitkan dengan etika deontologi, memberikan
fleksibelitas pada deontologi. Ross mengajukan jalan keluar dengan mengidentifikasi
tujuh kewajiban prima facie (kewajiban pada pandangan pertama) untuk menurut
penilaian moral yang umum, seseorang tidak perlu dan barangkali bahkan tidak boleh
membiarkan konsekuensi buruk dari perbuatan yang sebenarnya baik (misal,
mengatakan kebenaran), jika orang itu mempunyai kemampuan untuk mencegah
konsekuensi buruk tersebut. Artinya, kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan
kecuali ada kewajiban lain yang lebih penting, atau pada situasi tertentu bertentangan
dengan kewajiban yang sama atau lebih kuat. Ketujuan kewajiban moral tersebut,
adalah :
1. Kewajiban menepati janji atau kesetiaan (fidelity); kita harus menepati janji, baik
eksplisit maupun implisit, yang dibuat dengan bebas, dan mengatakan kebenaran;
2. Kewajiban ganti rugi (reparation); kita harus memberikan ganti rugi atau kompensasi
kepada orang yang mengalami kerugian karena tindakan kita yang salah; kita harus
melunasi hutang moril dan materiil;
3. Kewajiban terima kasih (gratitude); kita harus berterima kasih kepada orang yang
berbuat baik terhadap kita;
4. Kewajiban keadilan (justice); kita harus memastikan bahwa kebaikan dibagikan
sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan;
5. Kewajiban berbuat baik (benevicence); kita harus membantu orang lain yang
membutuhkan bantuan kita; berbuat apapun yang dapat kita perbuat untuk
memperbaiki keadaan orang lain;
6. Kewajiban mengembangkan diri (self-improvement); kita harus mengembangkan dan
meningkatkan diri kita di bidang keutamaan inteligensi dan sebagainya;
7. Kewajiban untuk tidak merugikan (non-maleficence); kita tidak boleh melakukan
sesuatu yang merugikan orang lain.
C. Teori Etika Keutamaan
Isu pokok etika keutamaan adalah pertanyaan : Karakter apa sajakah yang
membuat seseorang sebagai orang baik secara moral? Atau, Karakter apakah yang
merupakan keutamaan moral?. Salah satu teori yang berpengaruh adalah teori yang
diajukan oleh Aristoteles.
Pada dasarnya keutamaan dimaknai sebagai disposisi watak yang dimiliki
seseorang dan memungkinkannya untuk bertingkahlaku baik secara moral. Tiga hal
yang mencirikan suatu keutamaan :

1. Disposisi, artinya, keutamaan merupakan suatu kecenderungan tetap. Keutamaan


bersifat stabil, atau cenderung bersifat permanen walaupun tidak berarti tidak bisa
hilang (keutamaan dapat hilang, tetapi tidak mudah). Jadi, keutamaan merupakan
sifat baik dari segi moral yang telah mengakar dalam diri seseorang;
2. Berkaitan dengan kemauan atau kehendak, artinya keutamaan adalah
kecenderungan tetap yang menyebabkan kehendak tetap pada arah tertentu.
Perilaku keutamaan senantiasa disertai maksud baik. Dengan demikian, motivasi
atau maksud pelaku sangat penting karena itulah yang mengarahkan kehendak;
3. Pembiasaan diri, artinya keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir, tetapi diperoleh
dengan cara membiasakan diri atau berlatih. Kebenaran, misalnya, adalah
keutamaan yang diperoleh melalui pembiasaan diri melawan rasa takut.
Watak atau karakter yang umumnya dianggap sebagai keutamaan tidak banyak
yang merupakan watak atau karakter yang mengejutkan, di antaranya yang banyak
disebutkan adalah : kebajikan, kejujuran, kesetiaan, kesetiakawanan, moderat,
pengendalian diri, toleransi, kesantunan, belas kasih, dan keberanian. Menurut
Aristoteles, bangga dan malu juga merupakan keutamaan dalam arti bahwa kita harus
bangga terhadap prestasi murni kita (tetapi tidak arogan atau sombong) dan harus malu
selayaknya karena kegagalan kita. Lebih penting lagi adalah karakter berkeadilan.,
yang dalam hubungan ini, orang yang berkeutamaan tidak hanya memiliki rasa keadilan
tetapi juga dapat menentukan apa yang disebut adil.
Untuk mempertahankan setiap daftar keutamaan kita harus mempertimbangkan
dua hal : (1) sumbangan masing-masing karakter terhadap tujuan akhir, yakni
kehidupan yang baik, dan (2) kandungan atau makna tujuan akhir itu sendiri.
Secara khusus, keutamaan adalah watak yang dibutuhkan oleh setiap orang
untuk hidup baik, apapun situasi orang tersebut. Keberanian atau keteguhan hati,
misalnya, adalah sesuatu yang baik untuk dimiliki oleh setiap orang, karena keteguhan
hati dalam menghadapi bahaya akan meningkatkan peluang kita untuk memperoleh
apapun yang kita inginkan. Demikian pula kejujuran . Kejujuran adalah watak yang
memberikan sumbangan kebaikan bagi setiap orang, karena kejujuran menciptakan
kepercayaan, yang tanpa kepercayaan, kita tidak dapat bekerja dengan orang lain.
Selain mempertahankan kontribusi keutamaan-keutamaan tersebut pada tujuan
akhir tertentu, untuk mempertahankan suatu daftar keutamaan, kita harus juga
mempertanyakan tujuan akhir itu sendiri. Artinya, kita harus memberikan kandungan
atau makna pada gagasan tentang kehidupan yang baik. Kehidupan kriminal yang
sukses memerlukan karakter penjahat, tetapi jelas, kita jarang atau bahkan tidak
pernah menganggap kejahatan sebagai keutamaan. Akhir kehidupan yang baik adalah
kebahagiaan, maka pelaku kriminal tidak akan bahagia betapapun suksesnya
kehidupan orang semacam itu dalam melakukan perbuatan kriminalnya.
Meskipun etika keutamaan melihat isu-isu moral dari perspektif yang sangat
berbeda, namun hal itu tidak berarti bahwa kesimpulan etika keutamaan akan berbeda
jauh dari kesimpulan etika berbasis tindakan. Teori keutamaan berpendapat bahwa
tujuan kehidupan moral adalah untuk membangun watak umum yang disebut
keutamaan moral dan untuk menjalankan atau memperagakannya dalam banyak
situasi yang telah dibentuk oleh kehidupan manusia sebelumnya. Benar atau salahnya
suatu tindakan dapat ditentukan dengan menguji jenis karakter yang cenderung

dihasilkan oleh tindakan tersebut atau jenis karakter yang cenderung menghasilkan
tindakan tersebut.
Hak
Hak merupakan suatu konsep moral penting yang memungkinkan individu
memilih secara bebas dalam memenuhi kepentingan atau menjalankan aktivitas
tertentu dan melindungi pilihan-pilihan tersebut. Secara umum, hak adalah klaim yang
dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
Ada beberapa jenis hak yang dapat dibedakan, yaitu : (1) hak legal dan hak
moral, (2) hak khusus dan hak umum, dan (3) hak negatif dan hak positif.
Hak legal (hukum) adalah hak yang diakui dan ditegakkan sebagai bagian dari
sistem hukum; sedangkan hak moral adalah hak yang berasal dari suatu sistem norma
moral dan tidak bergantung kepada adanya sistem hukum. Hak moral meliputi : hak-hak
yang secara moral seharusnya kita miliki, terlepas apakah diakui secara eksplisit atau
tidak oleh hukum. Hak moral memiliki kekuatan bukan karena merupakan bagian dari
sistem hukum, melainkan karena berasal dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip etika
yang lebih umum. Tidak seperti hal legal, hak moral biasanya dianggap universal
mengingat hak tersebut dimiliki semua umat manusia, tidak dibatasi oleh jurisdiksi
tertentu.
Hak Khusus berkaitan dengan individu-individu tertentu. Sumber utama hak
khusus adalah kontrak atau perjanjian, karena instrumen ini menciptakan sejumlah hak
dan kewajiban bagi individu-individu yang membuat perjanjian. Sementara itu, hak
umum adalah hak yang melibatkan klaim terhadap setiap orang, atau kemanusiaan
secara umum. Sebagai contoh, hak berbicara bebas adalah hak bagi setiap orang, dan
kewajiban untuk menegakkan hak ini terletak pada keseluruhan masyarakat.
Pada umumnya hak negatif berkorelasi dengan kewajiban pada pihak lain untuk
tidak bertindak terhadap kita. Di lain pihak, hak posisitf adalah hak yang mewajibkan
orang lain bertindak untuk kita. Hak milik, misalnya, adalah hak negatif, karena tidak
seorangpun berkewajiban menyediakannya untuk kita, tetapi setiap orang berkewajiban
untuk tidak menggunakan atau mengambil hak milik kita tanpa ijin. Hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan merupakan contoh hak positif, karena
implementasinya mengharuskan pihak lain untuk menyediakan sumberdaya yang
diperlukan.
Keadilan
Konsep keadilan digunakan tidak hanya untuk menilai tindakan seseorang, tetapi
juga untuk menilai praktik-praktik dan institusi-institusi sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam beberapa situasi, keadilan bahkan sering dijadikan sebagai kriteria tuggal dalam
menilai benar/salahnya suatu perbuatan.
Keadilan dapat dimaknai dengan beberapa cara, di antaranya adalah seperti
yang dikemukakan oleh Aristoteles dan oleh John Rawls. Keadilan yang didefinisikan
oleh Aristoteles biasanya diacu sebagai keadilan tradisional, sedangkan keadilan
menurut Rawl biasanya diacu sebagai keadilan egalitarian.
Menurut Aristoteles, keadilan meliputi keadilan universal dan keadilan khusus.
Keadilan universal (universal justice) adalah keadilan yang berlaku bagi keseluruhan
keutamaan. Dalam hubungan ini, orang yang adil adalah orang yang selalu berbuat
benar secara moral dan mematuhi hukum. Sedangkan keadilan khusus (particular

justice) berkaitan dengan keutamaan pada situasi khusus. Adil dalam hal ini berarti
mengambil hanya bagian yang patut atau tepat; memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya. Sebaliknya, tidak adil berarti mengambil terlalu banyak
kekayaan, kehormatan atau manfaat lain yang diberikan oleh masyarakat; menolak
untuk menanggung bagian yang wajar dari beban.
Menurut Aristoteles, ada tiga jenis keadilan khusus, yaitu : (1) keadilan distributif
(distributive justice), (2) keadilan kompensasi (compensatory justice), dan (3) keadilan
retributif (retributive justice). Isu keadilan kompensasi maupun keadilan retributif
umumnya muncul ketika kita berupaya memperbaiki kesalahan, sedangkan keadilan
distributif umumnya muncul ketika kita menilai institusi sosial, politik dan ekonomi dalam
kaitannya dengan pembagian manfaat dan beban dari usaha bersama kepada para
anggota kelompok.
Keadilan distributif adalah keadilan dalam distribusi manfaat dan beban.
Keadilan ini diperlukan apabila manfaat yang tersedia lebih sedikit daripada jumlah dan
keinginan/hasrat orang, atau terlalu banyak beban atau pekerjaan tak menyenangkan
tetapi tidak cukup orang yang tersedia memikulnya. Prinsip yang mendasari keadilan ini
adalah bahwa orang yang sama dalam keadaan yang sama, harus diperlakukan sama.
Keadilan distributif umumnya bersifat perbandingan (comparative), artinya
pertimbangan dalam keadilan distributif bukan jumlah absolut manfaat atau beban yang
didistribusikan kepada masing-masing orang tetapi jumlah bagi masing-masing orang
dibandingkan dengan jumlah bagi orang lain. Perbedaan pada bagian masing-masing
orang harus proporsional dengan perbedaan bagian yang relevan dengan perbedaan
tersebut. Keadilan distributif dapat ditinjau dari dua segi, yaitu prosedur dan hasil,
sehingga dikenal keadilan prosedur dan keadilan hasil. Kita biasanya membedakan
prosedur yang digunakan untuk mendistribusikan manfaat atau beban, dan hasil dari
prosedur tersebut, yakni distribusi yang sesungguhnya dicapai. Jika kita mengetahui
hasil yang adil dalam situasi tertentu, maka prosedur yang adil adalah prosedur yang
membuahkan atau kemungkinan sekali membuahkan hasil yang adil tersebut. Demikian
juga, jika kita tahu bahwa prosedur tertentu adalah adil, maka distribusi yang adil akan
dicapai.
Keadilan kompensasi menyangkut masalah pemberian imbalan atau
penggantian (kompensasi) kepada seseorang karena kekeliruan atau kesalahan yang
menimpa dan merugikannya. Alasan yang mendasari keadilan kompensasi adalah
bahwa suatu kekeliruan atau kecelakaan yang disebabkan oleh kelalian, misalnya,
merusak keseimbangan moral karena menyebabkan seseorang dalam keadaan lebih
buruk. Akan tetapi, dengan memberikan kompensasi, keadaan si korban dapat
dikembalikan seperti sebemum terjadi kecelakaan, sehingga keseimbangan moral
tercapai kembali. Keadilan kompensasi bertujuan untuk mengembalikan apa yang
hilang dari seseorang akibat kesalahan orang lain. Dalam hubungan ini, seseorang
mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang
menjadi korban apabila terdapat alasan di antara tiga kondisi berikut :
Perbuatan yang menyebabkan kerugian merupakan perbuatan yang salah atau
merupakan kelalian (negligence);
Perbuatan orang yang bersangkutan merupakan penyebab sesungguhnya kerugian
itu;
Orang tersebut secara sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian.

Keadilan retributif berkaitan dengan pemberian hukuman terhadap pelaku


kesalahan. Seperti pada keadilan kompensasi, seseorang yang melakukan kejahatan
merusak keseimbangan moral karena menjadikan orang lain lebih buruk. Pemulihan
keseimbangan dalam kasus seperti ini dicapai dengan memberikan hukuman yang
sesuai dengan kejahatan tersebut. Seperti halnya keadilan kompensasi, keadilan
distributif tidak bersifat perbandingan (non-comparative). Jumlah hukuman yang
dikenakan kepada pelaku kejahatan ditentukan oleh karakteristik masing-masing kasus,
bukan dengan memperbandingkannya dengan kasus-kasus lainnya.
Dalam hubungannya dengan hukuman, keadaan berikut ini harus dipenuhi agar
seseorang dapat diminta bertanggung jawab secara moral atau dapat dikenai hukuman
sehingga keadaan kompensasi dicapai :
Seseorang tidak dapat dikenai hukuman apabila ia tidak tahu atau tidak memiliki
kebebasan untuk memilih apa yang ia perbuat;
Orang yang dihukum sungguh-sungguh melakukan kesalahan;
Hukuman harus konsisten dan proporsional dengan kesalahannya.
Keadilan dalam perspektif egalitarian berkaitan dengan pertanyaan tentang
keadilan yang timbul ketika orang-orang yang bebas dan setara berusaha untuk
mencapai tujuannya dan berada dalam benturan dengan orang lain yang juga berusaha
mencapai tujuannya. Dalam hubungan ini John Rawls, mengartikan keadilan sebagai
kewajaran (fairness). Keadilan dengan pengertian ini didasarkan pada dua prinsip :
1. Setiap orang memiliki kebebasan yang sama (prinsip kebebasan yang sama);
2. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga :
* menguntungkan pihak yang paling tak/kurang beruntung (prinsip perbedaan), dan
* sesuai dengan tugas dan kedudukan yang terbuka bagi semua pihak berdasarkan
persamaan kesempatan (prinsip kesetaraan dalam kesempatan)
Kedua prinsip di atas disusun menurut urutan prioritas. Prinsip pertama menyatakan
bahwa setiap orang memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi sebelum
ketidaksetaraan berdasarkan prinsip kedua diperkenankan. Kebebasan tidak boleh
dipertukarkan dengan kemakmuran, artinya, seseorang yang mengikuti kedua prinsip
ini
tidak
seharusnya
mengorbankan
kebebasannya
demi
meningkatkan
kemakmurannya. Sementara itu, prinsip kedua menyatakan bahwa ada kondisi-kondisi
yang menyebabkan orang yang rasional akan membuat pengecualian terhadap prinsip
pertama dan menerima bagian yang kurang lebih sama atas beberapa barang primer.
Salah satu kondisi semacam itu adalah bahwa setiap orang akan menjadi lebih baik
dengan ketidaksetaraan daripada tanpa ketidaksetaraan. Dengan cara lain, prinsipprinsip ini mengatakan bahwa ketidaksetaraan dalam kekayaan dan kewenangan
adalah adil hanya apabila ketidaksetaraan itu mengakibatkan kompensasi manfaat atau
keuntungan bagi setiap anggota masyarakat y6ang paling tidak beruntung.
Kepedulian
Salah satu karakteristik pokok sudut pandang etika adalah obyektivitas atau
ketidakberpihakan (impartiality). Ini berarti bahwa setiap hubungan khusus yang kita
miliki dengan orang tertentu (seperti keluarga, teman, atau pegawai) harus di
kesampingkan ketika menentukan apa yang seharusnya kita lakukan. Namun dalam
kenyataan hidup ini sulit untuk mengingkari bahwa hubungan-hubungan khusus

tertentu, seperti kekeluargaan dan persahabatan, sangat mempengaruhi pertimbangan


kita dalam mengambil keputusan atau tindakan tertentu. Kepedulian dan keberpihakan
telah menjadi prinsip moral penting sebagaimana dikemukakan oleh pandangan etika
kepedulian atau etika komunitarian yang secara historis dipelopori oleh pendukung
gerakan feminisme.
Contohnya, pada suatu ketika seseorang yang tidak anda kenal (orang asing)
dan orang tua anda sama-sama terpeleset ke kolam dan hampir tenggelam, sementara
anda hanya dapat menyelamatkan salah seorang saja. Siapakah yang akan anda
tolong? Pendukung utilatiarianisme (teleologi), misalnya, dapat menyatakan bahwa jika
menyelamatkan orang tak dikenal atau orang asing akan menghasilkan manfaat lebih
besar daripada menyelamatkan orang tua anda, maka anda memiliki kewajiban moral
untuk menyelamatkan orang asing tadi dan membiarkan orang tua anda tenggelam.
Namun, demikianlah orang-orang pada umumnya berpendirian?
Banyak orang berpendapat bahwa kesimpulan atau pendirian semacam itu
adalah keliru dan merupakan kejahatan. Kebanyakan orang berpendapat bahwa dalam
situasi seperti itu hubungan khusus berupa kasih sayang dan kepedulian yang kita miliki
terhadap orang tua menyebabkan kita memiliki kewajiban khusus untuk peduli
terhadapnya sedemikian rupa sehingga mengungguli kewajiban kita terhadap orang
asing.
Pandangan bahwa kita mempunyai kewajiban untuk menaruh kepedulian khusus
terhadap orang-orang yang dengan mereka ini kita memiliki hubungan khusus yang
sangat berharga, khususnya hubungan ketergantungan, merupakan konsep kunci
dalam etika kepedulian. Moralitas kepedulian terletak pada pemahaman mengenai
hubungan sebagai tanggapan terhadap orang lain menurut sudut pandang orang lain
itu. Sesui dengan pandangan etika kepedulian ini, kewajiban moral tidaklah mengikuti
prinsip-prinsip moral universal dan imparsial, melainkan memberikan perhatian dan
tanggapan terhadap kebaikan orang-orang tertentu yang dengan mereka itu kita
mempunyai hubungan dekat dan bernilai. Belas kasih, kasih sayang, kesetiakawanan,
dan sejenisnya merupakan sentimen atau keutamaan yang lazimnya mencerminkan
dimensi moralitas ini.
Menurut etika kepedulian, gagasan hubungan konkret tidaklah terbatas pada
hubungan antara dua individu, atau hubungan antara seseorang dengan kelompok
tertentu. Etika kepedulian harus mencakup juga sistem hubugan yang lebih besar yang
membentuk komunitas konkret. Oleh sebab itu, etika kepedulian meliputi jenis-jenis
kewajiban yang disebut komunitarian. Etika komunitarian adalah etika yang melihat
komunitas dan hubungan komunal konkret sebagai memiliki nilai fundamental yang
harus dilestarikan dan dibina.Yang penting dalam etika komunitarian bukanlah individuindividu yang terisolasi, tetapi komunitas yang di dalamnya individu-individu
menemukan diri mereka dengan memandang diri mereka sendiri sebagai bagian
integral dari komunitas yang lebih besar, dengan tradisi, kebudayaan, dan sejarahnya.
Kepedulian yang merupakan tuntutan etika kepedulian adalah sejenis kepedulian
terhadap seseorang seperti ditunjukkan oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Kepedulian semacam ini memfokuskan kepada orang dan kesejahteraannya, bukan
pada benda, dan bukan merupakan upaya untuk memupuk ketergantungan, melainkan
untuk membina seseorang agar berkembang menjadi orang yang mampu memilih
sendiri dan mandiri dalam kehidupannya. Seseorang bisa sibuk mengurus atau

melayani orang lain, namun ia tetap berjarak dengan orang lain itu, misalnya, dalam
hubungan antara petugas pelayanan dan pelanggan. Sebuah perusahaan, misalnya,
bisa saja mempunyai semboyan kami peduli anda, namun jelas yang dimaksud
adalah bahwa perusahaan akan memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan, tetapi
antara perusahaan dan pelanggan tetaplah berjarak. Kepedulian seperti ini, meskipun
perlu, bukan jenis kepedulian yang dituntut oleh etika kepedulian.
Dua hal yang perlu dicatat, adalah : pertama, tidak semua hubungan mempunyai
nilai, sehingga tidak menimbulkan kewajiban kepedulian. Hubungan yang dimaksudkan
untuk mendominasi, menindas dan sejenisnya sudah barang tentu bukan merupakan
hubungan berharga yang dimaksud oleh etika kepedulian; kedua, tuntutan akan
kepedulian kadang-kadang berbenturan dengan tuntutan akan keadilan. Keadilan pada
dasarnya menolak keberpihakan. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada aturan
tetap yang dapat digunakan untuk menyelesaikan semua konflik. Namun demikian,
beberapa panduan mungkin berguna. Jika misalnya ada konflik antara kewajiban
terhadap organisasi (misal, harus memberlakukan kebijakan yang berpengaruh negatif
terhadap seorang kawan/sahabat) dan kewajiban yang berkaitan dengan persahabatan,
maka seseorang harus memilih salah satu kewajiban dengan bersiap sedia untuk
menerima konsekuensinya. Kewajiban terhadap organisasi yang kita terima secara
sukarela, dan karenanya kita harus memiliki komitmen terhadapnya, mengharuskan kita
tidak berpihak kepada teman. Namun jika kita berpihak kepada teman, karena
persahabatan jauh lebih berharga, maka seharusnya kita mengundurkan diri dari posisi
kita, yang berarti mengkhianati komitmen kita sendiri terhadap organisasi. Jika tidak
mengundurkan diri, kita akan hidup dengan kebohongan, yaitu tetap menerima
pekerjaan, sementara berpihak kepada teman, seolah-olah secara sukarela setuju
menerima kesepakatan untuk tidak memihak, padalah kenyataannya kita berpihak,
tidak imparsial, terhadap teman. Panduan berikut berguna dalam hal terdapat konflik
antara kepedulian dan prinsip moral lain :
1. Tentukan prinsip mana yang lebih atau paling penting;
2. Pilih/ikuti prinsip yang lebih/paling penting;
3. Terima konsekuensi apapun dari pilihan tersebut sekalipun yang paling buruk.

Вам также может понравиться