Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MAKALAH
WANAMINA (SILVOFISHERY) SEBAGAI
MODIFIKASI IKLIM MIKRO TAMBAK BERBASIS KONSERVASI
Disusun Oleh:
Nama
: Anggoro Prihutomo
NIM
: 30000213410041
Pendahuluan
Perubahan iklim akibat pemanasan global berdampak terhadap meningkatnya suhu
permukaan bumi, kenaikan permukaan air laut dan presipitasi. Kondisi ini mengakibatkan
wilayah pesisir sangat rentan. Dampak tersebut antara lain kerusakan dan kerugian secara
fisik, ekologis, sosio-ekonomis dan kelembagaan (Putuhena 2011). Komponen komponen
utama dari perubahan iklim yang dapat secara potensial berdampak pada produksi
akuakultur di daerah pesisir antara lain kenaikan muka air laut, kenaikan temperatur,
perubahan pola hujan monsoonal dan peristiwa iklim yang ekstrem dan tekanan
ketersediaan air (Silva & Soto 2009).
Naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim mendorong terjadinya abrasi di
wilayah pesisir pantai wilayah Jawa Tengah Utara. Lebih lanjut, angin yang telah berubah
polanya mendorong air ke wilayah pantai secara besar-besaran. Kondisi wilayah pesisir
Jawa Tengah yang tanpa adanya penahan gelombang baik buatan maupun alami
(mangrove) sangat dengan mudah terkikis karena hasutan air laut yang terjadi secara besar
dan terus menerus. Meningkatnya suhu mengakibatkan tekanan udara semakin besar.
Badai di laut lepas akan semakin sering terjadi. Fenomena alam ini jarang terjadi dalam
kurun waktu sepuluh tahun yang lalu. Namun kenyataannya, kejadian tersebut mengalami
peningkatan dalam frekuensi (The Planet 2008).
Permasalahan lain yang muncul adalah pembukaan tambak untuk kehidupan
ekonomi masyarakat pada masa dulu (1970 - 1980) telah mengorbankan keberadaan hutan
mangrove. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya gelombang laut yang besar akibat
cuaca ekstrim dan perubahan arus laut akibat reklamasi yang menyebabkan semakin
besarnya abrasi. Pencemaran sungai akibat limbah industri maupun rumah tangga
mengakibatkan terjadi penurunan kualitas air sungai yang digunakan untuk perairan
tambak, akibatnya produktivitas tambak menurun (Bintari Foundation 2011).
Kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan
masyarakat tersebut memberikan ancaman terhadap kegiatan budidaya tambak dan
perikanan laut. Sebagai bentuk adaptasi dan modifikasi terhadap lingkungan pesisir yang
semakin ekstrem masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan
kelangsungan usaha akuakultur di daerah pesisir meskipun dengan konsekuensi ada biaya
tambahan yang harus dikeluarkan dan di sisi lain penghasilan mereka menurun (Bintari
Foundation 2011).
Menghadapi perubahan iklim, sistem peningkatan ketahanan dalam masyarakat
untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi.
Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi
dampak negatif dari perubahan iklim. Adaptasi tersebut merupakan bentuk proteksi yang
dapat dilakukan oleh penduduk di wilayah pesisir untuk menyikapi dampak perubahan
iklim (Putuhena 2011), terutama dalam kaitanya dengan kelestarian usaha budidaya
perikanan di daerah pesisir.
Salah satu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dalam
menghadapi tingkat kerentanan wilayah pesisir dewasa ini dan juga mempertahankan
kelestarian kegiatan ekonomi mereka (budidaya perikanan) di wilayah tersebut adalah
dengan sistem wana mina (silvofishery) (Rizal 2009; Wibowo & Handayani 2006; Bintari
Foundation 2011).
Pemasalahan Daerah Pesisir Dewasa Ini
Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua
(Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir.
Wisata bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh
potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik
bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun
politikya.
Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut,
dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang
bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan
laut atau danau dengan lebar bervariasi.
Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan
berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan
lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan
ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik
alami maupun buatan (Keren 2012).
Sumber daya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena
dapat meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk.
Banyaknya kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat
rentan terhadap kerusakan dan pengerusakan. Wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan
penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir
sering mendapat tekanan manusia yang tinggi. Kerusakan sumber daya alam saat ini tidak
terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam (Keren 2012).
Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatirkan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut,
ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya
yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah.
Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan
ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi
tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang) (LAKPESDAM TUBAN
2009).
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan
di Indonesia antara lain adalah pencemaran, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi
pantai, degradasi habitat, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan
lainnya, dan bencana alam.
Umumnya rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti
konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan
perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia
dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 3040 % dari jumlah seluruh hutan mangrove
dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra
(16%), Kalimantan (9%) dan Sulawesi (2,5%) (Omtim 2013; Keren 2012).
Hutan bakau di pesisir pulau Jawa, Sumatra dan pulau-pulau lainnya di Indonesia
telah mengalami kerusakan parah atau telah hilang. Tambak udang, pada khususnya, telah
membabat sejumlah besar jalur hutan bakau dan terumbu karang di sepanjang lingkungan
pesisir pantai dan laut. Terjadinya serangan penyakit pada budidaya udang dan penurunan
produktivitas telah menyebabkan pencampakan wilayah tambak dalam jumlah yang sangat
luas. Di daerah ini, seperti halnya di sepanjang wilayah pantai utara Jawa, rentan terhadap
badai, gelombang pasang surut dan erosi pantai. Dengan adanya perubahan iklim yang
menyebabkan peningkatan terjadinya badai dan naiknya permukaan air laut, kerentanan ini
akan semakin bertambah.
Selain budidaya tambak, pembangunan wilayah perkotaan, polusi, panen kayu
berlebihan dari hutan pesisir serta penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRal)
merupakan faktor utama terjadinya pengrusakan dan degradasi hutan bakau.(Indonesia
Wetlands n.d.).
Indonesia, tetapi di seluruh wilayah tropis dunia, hutan bakau menyediakan sumber mata
pencaharian bagi jutaan orang yang hidup di wilayah pesisir (Indonesia Wetlands n.d.).
Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Magrove dalam kehidupan masyarakat yang
hidup di daerah pesisir sangat banyak sekali. Baik itu langsung dirasakan oleh penduduk
sekitar maupun peranan, manfaat dan fungsi yang tidak langsung dari hutan mangrove itu
sendiri. Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak
langsung (non economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia
(economic vallues).
Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah adanya sistem
perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat memerangkap sisa-sia bahan
organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan air
laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian memelihara kehidupan padang lamun
(seagrass) dan terumbu karang. Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan
pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya menumbuhkan
perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas
batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang
di wilayah daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi.
Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di dasar yang dangkal
dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat yang baru. Dalam kurun
waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas menjadi pulau sendiri (Forester 2011).
Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk
pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa
membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke
laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau polutan.
Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut dapat
dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk melihat
daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya dengan
tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan
dan menyebabkan pohon mati.
Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar
teruraikan oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan
makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang
lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.
Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery
bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap
di laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari
predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan darat
berlindung atau singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove (Forester
2011)
Stabilitas Iklim Mikro Areal Budidaya Dan Konservasi Pesisir Dengan Konsep
Wanamina
Kebutuhan akan suatu produksi budidaya yang berkelanjutan di tengah semakin
turunya kualitas lingkungan, dan kemampuan dari hutan mangrove dalam menjalankan
keseimbangan fungsi ekologis pada daerah pesisir, serta kemampuan dalam melindungi
semakin besarnya tekanan yang akan dihadapi daerah pesisir sebagai dampak terjadinya
perubahan iklim global inilah yang menjadi dasar konsep wana mina ini untuk
dilaksanakan (Budi Satriya 2014).
Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup (2013) juga mengatakan bahwa
Ekosistem mangrove sangat penting bagi masyarakat pesisir, karena fungsinya dalam
melindungi garis pantai dari hempasan gelombang dan tiupan angin kencang, mengatur
sedimentasi, memperbaiki kualitas air, mengendalikan intrusi air laut, mengatur air bawah
tanah dan menjaga stabilitas iklim mikro inilah yang menjadi alasan perlunya sistem wana
mina pada usaha budidaya perikanan perlu untuk dilakukan.
Iklim mikro (microclimate) sendiri adalah zona atmosfer lokal di mana iklim
berbeda dari daerah sekitarnya. Istilah ini bisa merujuk ke daerah-daerah kecil seperti
beberapa meter persegi ( misalnya kebun ). Microclimate terdapat, misalnya , di dekat
badan air yang dapat mendinginkan suasana lokal, atau di daerah sangat perkotaan di mana
batu bata, beton, dan aspal menyerap energi matahari, panas, dan radiasi kembali panas
untuk membentuk udara ambien (Wikipedia 2013).
Hasil penelitian Siregar (2010) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan iklim
mikro yang besar antara areal bervegetasi dan areal terbuka terutama pada pagi, siang dan
sore hari. Suhu udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah daripada lokasi
tanpa vegetasi. Sementara kelembaban udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih
tinggi daripada lokasi tanpa vegetasi. Kecepatan angin rata-rata pada lokasi yang
bervegetasi lebih daripada lokasi tanpa vegetasi. Untuk fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi
bervegetasi lebih rendah dibandingkan fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi
yaitu. Fluktuasi kelembaban udara rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih dibandingkan
fluktuasi kelembaban rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi. Fluktuasi kecepatan angin ratarata pada lokasi bervegetasi lebih rendah, dibandingkan fluktuasi kecepatan angin rata-rata
pada lokasi tidak bervegetasi.
Stabilitas iklim mikro diharapkan akan mempengaruhi stabilitas media budidaya
ikan, sehingga paramater kualitas lingkungan budidaya tetap pada kondisi optimal untuk
kultivan, dimana selanjutnya akan berdampak pada keberlanjutan produksi budidaya baik
secara ekologi maupun secara ekonomi.
Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu
sylvo yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan fishery yang berarti perikanan (mina).
Silfofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu
antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove (Natsir Amin 2013).
Pengertian dan Definisi dari Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola
agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan
hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya
untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan
Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan
memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan
masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove.
Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk
sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem
budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery pada
dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak
yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan
ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan
di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan
yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah
dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering
dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan
ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan,
biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari.
Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan
Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak
tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah
tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk
memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari
dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk
meningkatkan kesuburan tambak (Anon 2012).
Berdasarkan hasil wawancara Wibowo & Handayani (2006) dengan petani di
daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara
lain mnjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika
perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan
jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut.
Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara
hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan
luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan
disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya
detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu,
hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang,
melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak
bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung
alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Produksi
bandeng dan udang dari kolam yang hutannya cukup baik baik lebih tinggi dari lahan
tambak yang hutannya tidak baik (terbuka) (Wibowo & Handayani 2006)
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan model tambak
silvofishery, yaitu:
1. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar dari
pohon mangrove.
2. Mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman
dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove
3. Petambak dapat mengunakan daun mangrove
terutama
jenis
Rhizophora
sp, sebagai pakan kambing sedangkan jenis Avicennia sp, Bruguiera sp.
4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan
pendapatan masyarakat petani ikan
5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber
air tawar dapat dipertahankan
6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat
karbondioksida
dari
atmosfer
dan
melindungi
kawasan
pemukiman
dari
2.
Empang Parit
Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan
dengan membuat caren air tempat membudidayakan/ memelihara ikan ataupun udang.
Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan
mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan
mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan
pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak
(bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap
dibiarkan seperti semula. Penggunaan pola dengan sistem empang parit ini, maka lahan
yang akan di-reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman
mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove
(Bengen, 2000 dalam Budihastuti, 2013).
Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati,
dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo,dengan jangka waktu 3-5
tahun masa kontrak (Budi Satriya 2014).
Empang Parit Disempurnakan
Wanamina dengan empang parit yang disempurnakan (Gambar 3). Lahan untuk
hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah.
merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan
dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).
Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai (sejajar aliran
sungai) kemungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal
greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam
hayati.
tambak udang dengan sistem silvofishery yang memadukan hutan mangrove jenis bakau
dan api-api di dalam tambak udang dan ikan bandeng. Cara ini merupakan hasil kerja sama
Kelompok Tani dan Nelayan Kharisma Bintan dengan perusahaan asal Jepang YL Invest
Co Ltd di bawah komando, Naoto Akune.Setelah ditanami mangrove jenis bakau dan apiapi, pertumbuhan udang dan ikan bandeng menjadi bagus (Tribun 2013).
Sistem silvofishery yang sedang dikembangkan bekerja sama YL Invest Co Ltd di
Bintan ini adalah pola mempertahankan vegetasi mangrove seluas 60 persen dan area
kosong yang dijadikan kolam untuk budidaya udang dan ikan bandeng seluas 40 persen.
Untuk tahap awal, luas areal tambak udang yang sudah dikembangkan dengan sistem
silvofishery di Bintan sekitar 2 hektar. Seluas 60 persen atau 120.000 meter persegi
ditanami bakau sebanyak 8 ribu pohon. Sisanya 40 persen atau 8.000 meter persegi
dijadikan kolam untuk tempat budidaya udang dan ikan.
Sistem silvofishery pada tambak udang ini cukup bagus sebagai kestabilan
mikroklimat tambak. Udang dan ikan seolah-olah hidup di habitat aslinya. Satu sisi, pada
saat musim panas, udang dan ikan dapat berteduh di bawah pohon bakau. Di sisi lain, akar
pohon bakau menyediakan makanan alami bagi udang dan ikan. Luas areal tambak udang
dan ikan bandeng yang akan dikembangkan dengan sistem silvofishery di Kab. Bintan
lokasinya bisa mencapai 100 hektar ke depan (Tribun 2013).
Wanamina di Kab Subang (Cikeong dan Blanakan), Jawa Barat
Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery di Kabupaten Subang saat ini mengalami
perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan
secara ekonomis bagi pembudidaya dan nelayan. Koperasi Langgeng Jaya di Ds. Langen
Sari Kecamatan Blanakan Kab. Subang yang kemudian menginisiasi pengembangan
silvofishery di
Subang khususnya
di
Desa
Langen sari.
dihasilkan lebih aman karena tidak menggunakan pakan dan obat-obat kimiawi (organik);
keempat : mampu menghasilan usaha turunan, antara lain eco-wisata (wisata wanamina),
dan UMKM untuk pengolahan makanan dari buah mangrove (kripik dan sirup).
Saat ini luas lahan tambak silvofishery yang ada di Desa Langensari saja telah
mencapai lebih dari 265 ha. Total secara kesluruhan lahan silvofishery di Kabupaten
Subang angkanya bisa mencapai lebih dari 2.000 ha (Sidik 2013).
Wana mina di Cikiong and Blanakan merupakan bagian dari program pemerintah
tentang manajemen mangrove dan rehabilitasi yang termasuk disitu program silvofisheries,
yang
dikelola
oleh
Perum
Perhutani.
Mereka
menunjukkan
apa
yang
bisa
MANGROVE
Silvo fishery di Blanakan mempunyai area 5300 ha tambak silvo fishery air payau
yang melibatkan 2060 pembudidaya. Umumnya merupakan pembudidaya tradisional
dengan sistem empang parit seperti gambar 6 diatas. Juga terdapat kolam dengan rasio
area mangrove terhadap air hingga secara penuh terisi dengan air payau. Silvofisheries di
Blanakan utamanya memproduksi ikan nila dan bandeng.
Wanamina di Kab. Sinjai (Sulawesi Selatan)
Sistem Empang parit terletak di Tongke tongke, Samataring, Kecamatan Sinjai
Timur Sulawesi Selatan. Mulai dikembangkan pada tahun 1994. Merukan proyek dari
Kementerian Kehutanan dan Universitas Hasanuddin. Melibatkan komunitas penanaman
mangrove yang dimulai pada tahun 1984. Penanaman terdiri atas mangrove jenis
Rhizophora (85%), dan lainnya jenis Avicenna, Bruguiera, dan Zonnetaria, pada lahan
seluas 559 ha.
Penanaman mangrove ini merupakan usaha untuk menghentikan erosi pantai pada
desa nelayan. Tambak empang parit dibuat di dalam area dimana mangrove ditanam.
Rhizophora mucronata yang pertama kali ditanam sudah berumur 11 tahun, dengan jarak
tanam 0,5 m. Hal ini menyebabkan pertumbuhan yang sangat rapat (2,5 pohon/m2) dimana
hal ini harus ada penjarangan untuk mengakomodir penerapan (pen culture) pada
kepadatan 0,6 pohon/m2 di tengah pelataran tambak. Pola empang parit ini dapat dilihat
pada gambar berikut.
PINTU
AIR
KANAL
PEN
CRAB
PEN
CRAB
PEN
PINTU AIR
Pola
silvofishery
di
Kabupaten
Sinjai,
Sulawesi
Selatan, pola
kegiatan perikanan, hutan mangrove di Indramayu juga berperan sebagai feeding ground
bagi burung air yang melakukan migrasi. Sejak kegagalan budidaya udang yang
diakibatkan serangan virus, sekarang, kebanyakan dari pembudidaya memelihara ikan
bandeng atau polyculture (bandeng dan udang) dan mendapatkan pendapatan tambahan
dengan menjebak udang liar yang ada di tambak.
Dukungan dari pemerintah lokal untuk aktifitas ini secara sukses dicapai melalui
kegiatan silvo fishery dan restorasi mangrove. Mereka memfasilitasi penanaman lebih dari
60.000 pohon mangrove di Karangsong, Singajaya dan Desa Brandong. Sekarang sudah
lebih dari 100.000 pohon mangrove ditanam di 5 desa dan pemeliharaan di setting di Desa
Karangsong untuk memastikan ketersediaan bibit mangrove untuk pengembanganya lagi.
Pemalang, Jawa Tengah
Pemerintah lokal Pemalang memulai program rehabilitasi dan aktifitasnya sejak
1995. Mereka juga menjamin 50 ha area pesisirnya untuk areal rehabilitasi mangrove. Saat
ini program reforestasi tersebut telah memproduksi banyak tambak air payau, 80% nya di
Kec. Ulujami dengan tanaman mangrove di tengah pelataran tambak (central platform)
atau sepanjang pematang. Dimulai pada Maret 2000, dilakukan implementasi budidaya
udang ramah lingkungan di Kec. Ulujami, dengan sistem polyculture (udang dan bandeng)
(Macintosh et al. 2002).
Kesimpulan
Konservasi daerah pesisir secara soft structure, dapat digunakan untuk
perlindungan dan konservasi daerah pesisir. Disamping berperan dalam fungsi ekologis
daerah pesisir, pohon mangrove juga mampu menjaga iklim mikro di daerah sekitarnya.
Silvofishery atau wanamina, merupakan sistem tumpangsari antara ikan dan
mangrove. Didasarkan atas peran hutan mangrove dalam menjaga keseimbangan ekologis
daerah pesisir dan kemampuan dalam menstabilan iklim mikro yang di dibutuhkan pada
kegiatan akuakulture.
Pola minatani yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah sistem empang parit
dan empang parit yang disempurnakan. Bebarapa daerah di Indonesia yang telah
mengembangkan sistem wanamina adalah Kab. Subang (Cikeong, Blanakan), Kab.
Indramayu, Kab. Pemalang, Kab. Sinjai, Kab. Bintan.
Referensi
Anon, 2012. Pengertian dan Definisi Silvofishery atau Wanamina. Available at:
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-definisisilvofishery.html [Accessed May 4, 2014].
Bintari Foundation, 2011. Lingkungan Pesisir dan Perubahan Iklim. Available at:
http://www.bintari.org/index.php/in/lingkup-kerja/konservasi-pesisir/2-lingkunganpesisir-cc [Accessed May 3, 2014].
Budi Satriya, I.N., 2014. Sistem Wanamina (Sylvofishery) Sebagai Alternatif Pengelolaan
Mangrove berbasis Mitigasi Bencana di Daerah Pesisir. Available at: http://pancormas.blogspot.com/2014/01/sistem-wanamina-sylvofishery-sebagai.html
[Accessed
May 4, 2014].
Budihastuti, R., 2013. Model dan Strategi Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina
Berwawasan Lingkungan di Pesisir Semarang. Universitas Diponegoro. Available at:
http://eprints.undip.ac.id/40474/.
Forester, I., 2011. Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove. Available at:
http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/10/peranan-manfaat-dan-fungsi-hutan.html
[Accessed May 1, 2014].
Indonesia
Wetlands,
Hutan
Bakau.
Available
http://indonesia.wetlands.org/Kegiatankami/Mangrove/tabid/2839/language/idID/Default.aspx [Accessed May 1, 2014].
IPB,
at:
Natsir Amin, M., 2013. Petunjutk Teknis Model Percontohan Tambak Model Silvofishery
dengan Penerapan Best Management Practice (BMPs). Available at:
http://umegajayaakuakultur.blogspot.com/2013/09/silvofishery.html [Accessed May
4, 2014].
Omtim, 2013. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir. Available at:
http://www.omtim.com/62/permasalahan-pembangunan-wilayah-pesisir/ [Accessed
May 3, 2014].
Putuhena, J.D., 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana Pada Wilayah Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil. In Seminar Nasional Pengembangan Pulau Pulau Kecil. pp.
. Available at:
e urnal.bppt.go.id Beranda ol , No ( 006)
ibowo.
Wikipedia, 2013. Microclimate. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Microclimate
[Accessed May 4, 2014].