Вы находитесь на странице: 1из 17

ARTIKEL TENTANG HEMATESIS MELENA ( MUNTAH

DARAH )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hematemesis melena adalah suatu kondisi di mana pasien mengalami muntah darah yang disertai dengan buang air
besar (BAB) berdarah dan berwarna hitam. Hematemesis melena merupakan suatu perdarahan yang terjadi pada
saluran cerna bagian atas (SCBA) dan merupakan keadaan gawat darurat yang sering dijumpai di tiap rumah sakit
di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pendarahan dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus, gastritis erosif
atau ulkus peptikum. 86 % dari angka kematian akibat pendarahan SCBA di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) berasal dari pecahnya varises
esofagus akibat penyakit sirosis hati dan hepatoma
Di Indonesia sebagian besar (70-85%) hemetemesis disebabkan oleh pecahnya varises esofagus yang terjadi pada
pasien sirosis hati sehingga prognosisnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Perdarahan akibat sirosis
hati disebabkan oleh gangguan fungsi hati penderita, alkohol, obat-obatan, virus hepatitis dan penyakit bilier.
Pendarahan SCBA dapat bermanifestasi sebagai hematemesis, malena, atau keduanya. Walaupun perdarahan akan
berhenti dengan sendirinya, tetapi sebaiknya setiap pendarahan saluran cerna dianggap sebagi suatu keaadaan
serius yangs setiap saat dapat membahayakan pasien. Setiap pasien dengan pendarahan harus dirawat di rumah
sakit tanpa kecuali, walaupun pendarahan dapat berhenti secara spontan. Hal ini harus ditanggulangi secara
saksama dan dengan optimal untuk mencegah pendarahan lebih banyak, syok hemoragik, dan akibat lain yang
berhubungan dengan pendarahan tersebut, termasuk kematian pasien.(Dwaney, 2012)
1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmu dan ketrampilan keperawatan pada asuhan keperawatan gawat darurat
penyakit hematomesis melena
2. Tujuan Khusus
Setelah di lakukan pembahasan dan seminar terkait asuhan keperawatan gawat darurat pada hematomesis
melena , di harapkan mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan konsep dasar terkait penyakit hematomesis melena
b. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan gawat darurat penyakit hematomesis melena
c. Menjelaskan aplikasi asuhan keperawatan gawat darurat penyakit hematomesis melena
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
a. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
b. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
c. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada asuhan keperawatan gawat darurat
sistem pencernaan

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
A. Pengertian Sistem pencernaan

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam
manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat
gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses
tersebut dari tubuh. (Abadi. 2010).
Sistem pencernaan berhubungan dengan penerimaan makanan dan mempersiapkan nya untuk diasimilasi tubuh.
Selain itu mulut memuat gigi untuk mengunyah makanan, dan lidah yang membantu untuk cita rasa dan menelan.
Beberapa kelenjar atau kelompok kelenjar menuangkan cairan pencerna penting ke dalam saluran pencernaan.
Saluran-saluran pencernaan dibatasi selaput lendir (membran mukosa), dari bibir sampai ujung akhir esofagus,
ditambah lapisan-lapisan epitelium. (Pearce. 2009)
B. Fisiologi Sistem Pencernaan
Selama dalam proses pencernaan, makanan dihancurkan menjadi zat-zat sederhana yang dapat di serap dan
digunakan sel jaringan tubuh. Berbagai perubahan sifat makanan terjadi karena kerja berbagai enzim yang
terkandung dalam cairan pencern. Setiap jenis zat ini mempunyai tugas khusus menyaring dan bekerja atas satu
jenis makanan dan tidak mempunyai pengaruh terhadap jenis lainnya.
Pitalin (amilase ludah) misalnya bekerja hanya atas gula dan tepung, sedangkan pepsin hanya atas protein. Satu
jenis cairan pencerna, misalnya cairan pankreas, dapat mengandung beberapa enzim dan setiap enzim bekerja
hanya atas satu jenis makanan. (Pearce. 2009).
Enzim ialah zat kimia yang menimbulkan perubahan susunan kimia terhadap zat lain tanpa enzim itu sendiri
mengalami suatu perubahan. Untuk dapat bekerja secara baik, berbagai enzim tergantung adanya garam mineral
dan kadar asam atau kadar alkali yang tepat. (Pearce. 2009)
Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrient, air dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke
dalam lingkungan internal tubuh. Manusia menggunakan molekul-molekul organic yang terkandung dalam makanan
dan O2 untuk menghasilkan energi. (Kus. 2004)
Makanan harus dicerna agar menjadi molekul-molekul sederhana yang siap diserap dari saluran pencernaan ke
dalam sistem sirkulasi untuk didistribusikan ke dalam sel. (Abadi. 2010)
Secara umum sistem pencernaan melakukan empat proses pencernaan dasar, yaitu:
1. Motilitas
Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mencampur dan mendorong isi saluran pencernaan. Otot polos di
saluran pencernaan terus menerus berkontraksi dengan kekuatan rendah yang disebut tonus. Terhadap aktivitas
tonus yang terus menerus terdapat dua jenis dasar motilitas pencernaan: (Abadi. 2010)
a. Gerakan propulsif (mendorong) yaitu gerakan memajukan isi saluran pencernaan ke depan dengan kecepatan
yang berbeda-beda. Kecepatan propulsif bergantung pada fungsi yang dilaksanakan oleh setiap organ pencernaan.
b. Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, mencampur makanan dengan getah pencernaan. Kedua,
mempermudah penyerapan dengan memajankan semua bagian isi usus ke permukaan penyerapan saluran
pencernaan.
2. Sekresi
Sejumlah getah pencernaan disekresikan ke dalam lumen saluran pencernaan oleh kelenjar-kelenjar eksokrin.
Setiap sekresi pencernaan terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organik spesifik yang penting dalam proses
pencernaan (misalnya enzim, garam empedu, dan mukus). Sekresi tersebut dikeluarkan ke dalam lumen saluran
pencernaan karena adanya rangsangan saraf dan hormon sesuai. (Abadi. 2010)
3. Pencernaan
Pencernaan merupakan proses penguraian makanan dari struktur yang kompleks menjad struktur yang lebih
sederhana yang dapat diserap oleh enzim. Manusia mengonsumsi tiga komponen makanan utama, yaitu: (Abadi.
2010)
a. Karbohidrat
Kebanyakan makanan yang kita makan adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida, misalnya tepung kanji ,
daging (glikogen), atau tumbuhan (selulosa) .Bentuk karbohidrat yang paling sederhana adalah monosakarida
seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa.
b. Lemak
Protein terdiri dari kombinasi asam amino yang disatukan oleh ikatan peptida. Protein akan diuraikan menjadi
asam amino serta beberapa polipeptida kecil yang dapat diserap dalam saluran pencernaan.
c. Protein
Sebagian besar lemak dalam makanan berada dalam bentuk trigelsida. Produk akhir pencernaan lemak adalah
monogliserida dan asam lemak.

d. Proses pencernaan dilakukan melalui proses hidrolisis enzimatik. Dengan menambahkan H2O di tempat ikatan,
lalu enzim akan memutuskan ikatan tersebut sehinggan molekul-molekul kecil menjadi bebas. (Pearce. 2009)
4. Penyerapan
Proses penyerapan dilakukan di usus halus. Proses penyerapan memindahkan molekul-molekul dan vitamin yang
dihasilkan setelah proses pencernaan berhenti dari lumen saluran pencernaan ke dalam darah atau limfe. (Abadi.
2010)

Saluran pencernaan (traktus digestivus) merupakan saluran dengan panjang sekitar 30 kaki (9 m) yang berjalan
melalui bagian tengaj tubuh menuju ke anus. Pengaturan fungsi saluran pencernaan bersifat kompleks dan
sinergistik.
Terdapat empat faktor yang berperan dalam pengaturan fungsi pencernaan, yaitu:
1. Fungsi otonom otot polos
2. Pleksus saraf intrinsik
3. Saraf ekstrinsik
4. Hormon saluran pencernaan
C. Organ saluran pencernaan
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar,
rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu
pankreas, hati dan kandung empedu.( Kus. 2004)
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala
dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus. (Abadi. 2010)
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir.
Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri
dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari
berbagai macam bau. (Pearce. 2009)
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi
bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari
makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan
enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai
secara sadar dan berlanjut secara otomatis. (Abadi. 2010)
b. Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam
lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan
merupakan pertahanan terhadap infeksi. (Kus. 2004)
c. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian
mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik.
(Syaifudin. 2006)
d. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai. Makanan masuk ke dalam
lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam
keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan. (Kus. 2004). Lambung
berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzimenzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
1) Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa
menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
2) Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein.
Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh
berbagai bakteri. (Kus. 2004)
3) Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)

e. Usus halus (usus kecil)


Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar.
Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding
usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan
yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
(Syaifudin. 2006)
f.
Usus besar
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu
penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan
pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir
dan air, dan terjadilah diare. (Kus. 2004).
g. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, buta) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung
pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung,
dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif
memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
h. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis
atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di
dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). (Kus. 2004).
i. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus
besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens.
Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
(Kus. 2004)
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk
periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. (Syaifudin. 2006)
j. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan enzim
pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan
berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang
dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke
dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif
jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang
berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung. (Kus. 2004)
k. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa
diantaranya berhubungan dengan pencernaan.Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan
memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan
obat. (Kus. 2004)
D. Proses Pencernaan
Proses pencernaan dimulai ketika makanan masuk ke dalam organ pencernaan dan berakhir sampai sisa-sisa zat
makanan dikeluarkan dari organ pencernaan melalui proses defekasi. Makanan masuk melalui rongga oral (mulut).
Langkah awal adalah proses mestikasi (mengunyah). Terjadi proses pemotongan, perobekan, penggilingan, dan
pencampuran makanan yang dilakukan oleh gigi. (Syaifudin. 2006)
Tujuan mengunyah adalah:
1) Menggiling dan memecah makanan
2) Mencampur makanan dengan air liur
3) Merangsang papil pengecap. Ketika merangsang papil pengecap maka akan menimbulkan sensasi rasa dan

secara refleks akan memicu sekresi saliva. Di dalam saliva terkandung protein air liur seperti amilase, mukus, dan
lisozim.
Fungsi saliva dalam proses pencernaan adalah:
a. Memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja enzim amilase.
b. Mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel-partikel makanan dengan adanya mukus sebagai
pelumas.
c. Memiliki efek antibakteri oleh lisozim.
d. Pelarut untuk molekul-molekul yang merangsang pupil pengecap.
e. Penyangga bikarbonat di air liur menetralkan asam di makanan serta asam yang dihasilkan bakteri di mulut
sehingga membantu mencegah karies.
Selanjutnya adalah proses deglutition (menelan). Menelan dimulai ketika bolus di dorong oleh lidah menuju faring.
Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan yang kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di
medula. Pusat menelan secara refleks akan mengaktifkan otot-otot yang berperan dalam proses menelan. Tahap
menelan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a.
Tahap orofaring: berlangsung sekitar satu detik. Pada tahap ini bolus diarahkan ke dalam esofagus dan
dicegah untuk masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring.
b. Tahap esofagus: pada tahap ini, pusat menelan memulai gerakan peristaltik primer yang mendorong bolus
menuju lambung. Gelombang peristaltik berlangsung sekitar 5-9 detik untuk mencapai ujung esofagus.
Selanjutnya, makanan akan mengalami pencernaan di lambung. Di lambung terjadi proses motilita. Terdapat
empat aspek proses motilitas di lambung, yaitu:
a. Pengisian lambung (gastric filling): volume lambung kosong adalah 50 ml sedangkan lambung dapat
mengembang hingga kapasitasnya 1 liter
b. Penyimpanan lambung (gastric storage): pada bagian fundus dan korpus lambung, makanan yang masuk
tersimpan relatif tenang tanpa adanya pencampuran. Makanan secara bertahap akan disalurkan dari korpus ke
antrum.
c. Pencampuran lambung (gastric mixing): kontraksi peristaltik yang kuat merupakan penyebab makanan
bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Dengan gerakan retropulsi menyebankan kimus
bercampur dengan rata di antrum. Gelombang peristaltik di antrum akan mendorong kimus menuju sfingter
pilorus.
d. Pengosongan lambung (gastric emptying): kontraksi peristaltik antrum menyebabkan juga gaya pendorong
untuk mengosongkan lambung. (Syaifudin. 2006)
Selain melaksanakan proses motilitas, lambung juga mensekresi getah lambung. Beberapa sekret lambung
diantaranya:
1) HCL: sel-sel partikel secara aktif mengeluarkan HCL ke dalam lumen lambung. Fungsi HCL dalam proses
pencernaan adalah (1) mengaktifkan prekusor enzim pepsinogen menjadi pepsin dan membentuk lingkungan asam
untuk aktivitas pepsin; (2) membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat; (3) bersama dengan lisozim bertugas
mematikan mikroorganisme dalam makanan.
2) Pepsinogen: pada saat di ekresikan ke dalam lambiung, pepsinogen mengalami penguraian oleh HCL menjadi
bentuk aktif, pepsin. Pepsin berfungsi dalam pencernaan protein untuk menghasilkan fragmen-fragmen peptida.
Karena fungsinya memecah protein, maka peptin dalam lambung harus disimpan dan disekresikan dalam bentuk
inaktif (pepsinogen) agar tidak mencerna sendiri sel-sel tempat ia terbentuk.
3) Sekresi mukus: Mukus berfungsi sebagai sawar protektif untuk mengatasi beberapa cedera pada mukosa
lambung.
4) Faktor intrinsik: faktor intrinsik sangat penting dalam penyerapan vitamin B12. vitamin B12 penting dalam
pembentukan eritrosit. Apabila tidak ada faktor intrinsik, maka vitamin B12 tidak dapat diserap.
5) Sekresi Gastrin: Di daerah kelenjar pilorus (PGA) lambung terdapat sel G yang mensekresikan gastrin.
(Syaifudin. 2006).
Aliran sekresi getah lambung akan dihentikan secara bertahap seiring dengan mengalirnya makanan ke dalam usus.
Di dalam lambung telah terjadi pencernaan karbohidrat dan mulai tejadi pencernaan protein. Makanan tidak
diserap di lambung. Zat yang diserap di lambung adalah etil alkohol dan aspirin. (Pearce. 2009). Makanan
selanjutnya memasuki usus halus. Usus halus merupakan tempat berlangsungnya pencernaan dan penyerapan. Usus
halus di bagi menjadi tiga segmen, yaitu:
a. Duodenum (20 cm/ 8 inci): pencernaan di lumen duodenum di bantu oleh enzim-enzim pankreas. Garamgaram empedu mempermudah pencernaan dan penyerapan lemak.

b. Jejenum (2,5 m/ 8 kaki)


c. Ileum (3,6 m/12 kaki)
Organ pencernaan yang terakhir adalah usus besar yang terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Dalam
keadaan normal kolon menerima 500 ml kimus dari usus halus setiap hari. Isi usus yang disalurkan ke kolon terdiri
dari residu makanan yang tidak dapat dicerna, komponen empedu yang tidak diserap, dan sisa cairan. Zat-zat yang
tersisa untuk dieliminasi merupakan feses. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan feses sebelum
defekasi. (Syaifudin. 2006).
Feses akan dikeluarkan oleh refleks defekasi yang disebabkan oleh sfingter anus internus (terdiri dari otot polos)
untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus
(terdiri dari otot rangka) juga melemas maka akan terjadi defekasi. Peregangan awal di dinding rektum
menimbulkan rasa ingin buang air besar. Ketika terjaid defekasi biasanya dibantu oleh mengejan volunter yang
melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis dalam posisi tertutup sehingga
meningkatkan tekanan intra-abdomen yang membantu pengeluaran feses. (Abadi. 2010)
2.2 Definisi Hematomesis Melena
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran tinja yang berwarna hitam seperti teh yang
mengandung darah dari pencernaan. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antar
darah dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerahmerahan dan bergumpal-gumpal.(Nurarif, 2013)
Hematemesis didefinisikan sebagai mutah darah dan melena sebagai berak berwarna hitam, lembek karena
mengandung darah yang sudah berubah bentuk (acid hematin). (Made, 1999)
Hematemesis adalah muntah darah dan biasanya disebabkan oleh penyakit saluran cerna bagian atas. Melena
adalah keluarnya feses berwarna hitam per rektal yang mengandung campuran darah, biasanya disebabkan oleh
perdarahan usus proksimal (Grace & Borley, 2007).
Hematesis melena merupakan suatu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang termasuk dalam keadaan
gawat darurat yang dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. (Arief,
2001).
Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah
cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung, menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi.
Memuntahkan sedikit darah dengan warna yang telah berubah adalah gambaran nonspesifik dari muntah berulang
dan tidak selalu menandakan perdarahan saluran pencernaan atas yang signifikan. Melena adalah keluarnya tinja
yang lengket dan hitam seperti aspal, dengan bau yang khas, yang lengket dan menunjukkan perdarahan saluran
pencernaan atas serta dicernanya darah pada usus halus (Davey, 2005).
2.3 Etiologi
Hematemesis melena terjadi bila ada perdarahan di daearah proksimal jejunum dan melena dapat terjadi sendiri
atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru di jumpai
keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis atau melena sulit di pakai sebagai patokan
untuk menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan suatu
keadaan yang gawat dan membutuhkan segera perawatan di rumah sakit. (Sjaifuellah Noer, dkk. 1996).
Etiologi dari hematemesis melena adalah:
1) Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
2) Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan dan lain-lain.
3) Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation), purpura trombositopenia dan lainlain.
4) Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
5) Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dan lai-lain.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan bagian atas, karena terdapat
perbedaan usaha penanggulangan setiap macam perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan
saluran makan bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan ratarata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas.(Nurarif. 2013)
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan yang terjadi dari pada
etiologinya. Di dapatkan gejala dan tanda sebagai berikut:

1) Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksi, mual, muntah dan diare
2) Demam, berat badan turun, lemas, lelah
3) Asites dan edema
4) Ikterus, kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan
5) Hematomegali , bila telah lanjut hati akan mengecil karena fibrosis. Bila secara klinis di dapati adanya
demam, ikterus dan asites, di mana demam bukan oleh sebab-sebab lain, di tambahkan sirosis dalam keadaan
aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
6) Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding, kaput medusa, wasir dan varises esofagus.
7) Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenesmi yaitu :
a) Impotensi, atrosi testis, ginekomastia, hilangnya rambut axila dan pubis
b) Amenore, hiperpigmentasi areola mamae
c) Spider nevi dan eritema
d) Hiperpigmentasi
(Nurarif, 2013)
2.5 Patofisiologi
Adanya riwayat dyspepsia memperberat dugaan ulkus peptikum. Begitu juga riwayat muntah-muntah berulang
yang awalnya tidak berdarah, konsumsi alkohol yang berlebihan mengarahkan ke dugaan gastritis serta penyakit
ulkus peptikum. Adanya riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah lebih kearah Mallory-Weiss.
Konsumsi alkohol berlebihan mengarahkan dugaan ke gastritis (30-40%), penyakit ulkus peptikum (30-40%), atau
kadang-kadang varises. Penurunan berat badan mengarahkan dugaan ke keganasan. Perdarahan yang berat disertai
adanya bekuan dan pengobatan syok refrakter meningkatkan kemungkinan varises. Adanya riwayat pembedahan
aorta abdominalis sebelumnya meningkatkan kemungkinan fistula aortoenterik. Pada pasien usia muda dengan
riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas singkat berulang (sering disertai kolaps hemodinamik) dan endoskopi
yang normal, harus dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa, biasanya dekat jantung, yang dapat
menyebabkan perdarahan saluran pencernaan intermitten yang banyak) (Davey, 2005).
Usaha mencari penyebab perdarahan saluran makanan dapat dikembalikan kepada factor-faktor penyebab
perdarahan, antara lain : factor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptic, pecahnya varises
esophagus; factor trombosit (thrombopathy) seperti pada ITP, factor kekurangan zat-zat pembentuk darah
(coagulopathy) seperti pada hemophilia, sirosis hati dan lain-lain. Malahan pada serosis hati dapat terjadi
ketiganya : vasculopathy, pecahnya varises esophagus, thrombopathy, terjadinya pengurangan trombosit di
sirkulasi perifer akibat hipersplenisme, dan terdapat pula coagulophaty akibat kegagalan sel-sel hati. Khusus pada
pecahnya varises esophagus ada 2 teori, yaitu teori erosi yaitu pecahnya pembuluh darah karena erosi dari
makanan yang kasar (berserat tinngi dan kasar), atau minum OAINS (NSAID), dan teori erupsi karena tekanan vena
porta yang terlalu tinggi, yang dapat pula dicetuskan oleh peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba
seperti pada mengejan, mengangkat barang berat, dan lain-lain.
Perdarahan saluran makan dapat pula dibagi menjadi perdarahan primer, seperti pada : hemophilia, ITP, hereditary
haemorrhagic telangiectasi, dan lain-lain. Dapat pula secara sekunder, seperti pada kegagalan hati, uremia, DIC,
dan iatrigenic seperti penderita dengan terapi antikoagulan, terapi fibrinolitik, drug-induce thrombocytopenia,
pemberian transfuse darah yang massif, dan lain-lain. (Made, 1999)
Adanya riwayat pembedahan aorta abdominalis sebelumnya meningkatkan kemungkinan fistula aortoenterik. Pada
pasien usia muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas singkat berulang (sering disertai kolaps
hemodinamik) dan endoskopi yang normal, harus dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa,
biasanya dekat jantung, yang dapat menyebabkan perdarahan saluran pencernaan intermitten yang banyak.
(Dwaney, 2012)
2.6 Pathway
Terlampir
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien hematemesis melena adalah:
1) Koma hepatik (suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan kesadaran, penurunan
intelektual, dan kelainan neurologis yang menyertai kelainan parenkim hati)
2) Syok hipovolemik (kehilangan volume darah sirkulasi sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun)
3) Aspirasi pneumoni (infeksi paru yang terjadi akibat cairan yang masuk saluran napas)
4) Anemi posthemoragik (kehilangan darah yang mendadak dan tidak disadari). (Mubin, 2006)

2.8 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


a) Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk daerah esophagus dan diteruskan dengan
pemeriksaan double kontrast pada lambung dan duodenum. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi
terutama pada daerah 1/3 distal distal esophagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada atau tidaknya
varises.
b) Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendokop, maka pemeriksaan secara endoskopik menjadi sangat penting
untuk menentukan dengan tepat tempat asal dan sumber perdarahan. keuntungan lain dari dari pemeriksaan
endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan, dan infuse untuk
pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan
endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sendiri mungkin setelah hematemesis berhenti.
c) Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi penyakit hati kronik seperti sirosis hati
yang mungkin sebagai penyebab perdarahan saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan
dan tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja. Pemeriksaan laboratorium seperti kadar
hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, kadar ureum kreatinin dan uji fungsi hati segera dilakukan secara
berkala untuk dapat mengikuti perkembangan penderita (Davey, 2005).
2.9
Penatalaksanaan
Bila pasien memuntahkan darah maka sumber cedera di bagian atas saluran pencernaan seperti esofagus,
duodenum dan lambung. Muntahan darah segar di hubungkan dengan perdarahan varises esofagus yang merupakan
vena besar. Keadaan tersebut terjadi sabagai penyulit penyakit hati berat, seperti alkoholisme menahun. Sokong
sirkulasi penderita dengan darah Ringer Laktat dan oksigen: penderita di puaskan.
Muntah darah segar dengan riwayat berak hitam menggambarkan ulkus yang berdarah yang tak semendesak
perdarahan varices esofagus. Pengeluaran darah segar dalam feses atau setelah buang air besar merupakan tanda
perdarahan saluran cerna bawah akibat hemoroid, divertikula, penyakit keganasan atau polip. (Boswick, 2001)
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin dan sebaiknya dirawat di rumah
sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita
perdarahan saluran makan bagian atas meliputi :
1. Pengawasan dan pengobatan umum
a. Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek sedatif(penenang) morfin, meperidin
dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
b. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila perdarahan berhenti dapat diberikan
makanan cair.
c. Infus cairan langsung dipasang dan diberilan larutan garam fisiologis selama belum tersedia darah.
d. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu dipasang CVP monitor.
e. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk mengikuti keadaan perdarahan.
f. Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 %
harga normal.
g. Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari, karbasokrom (Adona AC), antasida dan
golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan.
h. Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai pemberian antibiotika yang tidak diserap oleh usus,
sebagai tindakan sterilisasi usus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak
oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan ensefalopati hepatik.
2. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air ,
dan pemberian obat-obatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga
diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti.
Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi
berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera
dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.
3. Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus akan mengakibatkan kontriksi pembuluh
darah dan splanknikus sehingga menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan varises

dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang otot polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi
koroner, karena itu harus berhati-hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita penyakit jantung
iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis terhadap kemungkinan adanya penyakit
jantung koroner/iskemik.
4. Pemasangan balon SB Tube
Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan
SB tube dilakukan sesudah penderita tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan dijelaskan
makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu
dan selama pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini dalam menanggulangi perdarahan
saluran makan bagian atas akibat pecahnya varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti
laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai.
5. Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 % sebanyak 3 ml dengan bantuan
fiberendoskop yang fleksibel disuntikan dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini
tidak memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara pengobatan ini sudah mulai populer dan
merupakan salah satu pengobatan yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang
disebabkan pecahnya varises esofagus.
6. Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan dan perdarahan tetap berlangsung,
maka dapat dipikirkan tindakan operasi . Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus,
transeksi esofagus, pintasan porto-kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu perdarahan berhenti dan
fungsi hari membaik.
Selain cara-cara tersebut diatas, adapula metode lain untuk menghentikan perdarahan varises esophagus, antara
lain :
a. Cyanoacrylate glue injection, memakai semacam lem jaringan (His-toacryl R) yang langsung disuntikkan
intravena.
b. Endoscopic band ligator
Sedangkan pada perdarahan non variceal, dapat dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
a. Laser photo coagulation
b. Diathermy coagulation
c. Adrenalin injection
d. Sclerotheraphy injection. (Made, 1999)

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
3.1 Pengkajian
1. Identitas
a) Identitas klien
b) Identitas penanggung jawab
2. Riwayat keperawatan
a) Alasan masuk RS
b) Keluhan utama
c) Riwayat kesehatan sekarang
d) Riwayat kesehatan masa lalu
e) Riwayat kesehatan keluarga
f) Riwayat alergi
a) Primary Survey

1. Airway
Sesak napas, hipoksia, retraksi interkosta, napas cuping hidung, kelemahan.
Sumbatan atau penumpukan secret.
Gurgling, snoring, crowing, wheezing, krekels, stridor.
Diaporesis
2. Brething
Sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat.
RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
Ronki, krekels.
Ekspansi dada tidak maksimal/penuh
Penggunaan obat bantu nafas.
Tampak sianosis / pucat
Tidak mampu melakukan aktivitas mandiri
3. Circulation
Hipotensi (termasuk postural), takikardia, disritmia (hipovolemia, hipoksemia), kelemahan/nadi perifer lemah,
pengisian kapiler lambat/perlahan (vasokontriksi), warna kulit: Pucat, sianosis, (tergantung pada jumlah
kehilangan darah, kelembaban kulit/membrane mukosa: berkeringat (menunjukkan status syok, nyeri akut, respon
psikologik).
Nadi lemah/tidak teratur.
Takikardi dan bradikardi bisa terjadi
TD meningkat/menurun.
Edema.
Gelisah.
Akral dingin.
Gangguan sistem termoregulasi (hipertermia dan Hipotermia)
Kulit pucat atau sianosis.
Output urine menurun / meningkat
4. Disability
Penurunan kesadaran.
Penurunan refleks.
Tonus otot menurun
kekuatan otot menurun karena kelemahan.
Kelemahan
Iritabilitas
Turgor kulit tidak elastis
5. Exposure
Nyeri kronis pada abdomen, perdarahan peses, nyeri saat mau BAB dan BAK, distensi abdomen, perkusi
hipertimpani, hiperperistalitik usus, mual muntah, hasil foto rontegen abdomen infeksi saluran cerna.
b) Secondary Survey
1. TTV
Tekanan darah bisa normal/naik/turun (perubahan postural di catat dari tidur sampai duduk/berdiri.
Nadi dapat normal/penuh atau tidak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak
teratur (disritmia).
RR lebih dari 20 x/menit.
Suhu hipotermi/hipertermia.
2. Riwayat Kesehatan
Riwayat mengidap : Penyakit Hepatitis kronis, cirrochis hepatis, hepatoma, ulkus peptikum, Kanker saluran
pencernaan bagian atas, Riwayat penyakit darah, misalnya DIC, Riwayat penggunaan obat-obat ulserogenik.
Kebiasaan/gaya hidup :
Alkoholisme, kebiasaan makan
3. Pengkajian Umum
Intake : anorexia, mual, muntah, penurunan berat badan.
Eliminasi :

BAB : konstipasi atau diare, adakah melena (warna darah hitam, konsistensi pekat, jumlahnya).
BAK : warna gelap, konsistensi pekat
Neurosensori :
Adanya penurunan kesadaran (bingung, halusinasi, koma).
Respirasi : sesak, dyspnoe, hypoxia
Aktifitas : lemah, lelah, letargi, penurunan tonus otot.
4. Pemeriksaan fisik
Pemakaian otot pernafasan tambahan.
Nyeri abdomen, hiperperistalitik usus, produksi, Anoreksia, mual, muntah (muntah yang memanjang diduga
obstruksi pilorik bagian luar sehubungan dengan luka duodenal), masalah menelan; cegukan, nyeri ulu hati,
sendawa bau asam, mual/muntah, tidak toleran terhadap makanan, contoh makanan pedas, coklat; diet khusus
untuk penyakit ulkus sebelumnya, penurunan berat badan. Tanda : Muntah: Warna kopi gelap atau merah cerah,
dengan atau tanpa bekuan darah, membran mukosa kering, penurunan produksi mukosa, turgor kulit buruk
(perdarahan kronis), berat jenis urin meningkat. urin menurun, pekat.
Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, bunyi nafas (bersih, krekels, mengi, whezing ), sputum.
Odem ekstremitas, kelemahan, diaporesis
5. Pengkajian Kebutuhan Fisiologis
Oksigen
Yang dikaji adalah :
Jumlah serta warna darah hematemesis.
Warna kecoklatan : darah dari lambung kemungkinan masih tertinggal, potensial aspirasi.
Posisi tidur klien : untuk mencegah adanya muntah masuk ke jalan nafas, mencegah renjatan.
Tanda-tanda renjatan : bisa terjadi apabila jumlah darah > 500 cc dan terjadi secara kontinyu.
Jumlah perdarahan : observasi tanda-tanda hemodinamik yaitu tekanan darah, nadi, pernapasan, temperatur.
Biasanya tekanan darah (sistolik) 110 mmHg, pernafasan cepat, nadi 110 x/menit, suhu antara 38 - 39 derajat
Celcius, kulit dingin pucat atau cyanosis pada bibir, ujung-ujung ekstremitas, sirkulasi darah ke ginjal berkurang,
menyebabkan urine berkurang.
Cairan
Keadaan yang perlu dikaji pada klien dengan hematemesis melena yang berhubungan dengan kebutuhan cairan
yaitu jumlah perdarahan yang terjadi. Jumlah darah akan menentukan cairan pengganti.
Dikaji : macam perdarahan/cara pengeluaran darah untuk menentukan lokasi perdarahan serta jenis pembuluh
darah yang pecah. Perdarahan yang terjadi secara tiba-tiba, warna darah merah segar, serta keluarnya secara
kontinyu menggambarkan perdarahan yang terjadi pada saluran pencernaan bagian atas dan terjadi pecahnya
pembuluh darah arteri. Jika fase emergency sudah berlalu, pada fase berikutnya lakukan pengkajian terhadap :
Keseimbangan intake output. Pengkajian ini dilakukan pada klien hematemesis melena yang disebabkan oleh
pecahnya varices esofagus sebagai akibat dari cirrochis hepatis yang sering mengalami asites dan edema.
Pemberian cairan infus yang diberikan pada klien.
Output urine dan catat jumlahnya per 24 jam.
Tanda-tanda dehidrasi seperti turgor kulit yang menurun, mata cekung, jumlah urin yang sedikit. Untuk klien
dengan hemetemesis melena sering mengalami gangguan fungsi ginjal.
Nutrisi
Dikaji :
Kemampuan klien untuk beradaptasi dengan diit : 3 hari I cair selanjutnya makanan lunak.
Pola makan klien
BB sebelum terjadi perdarahan
Kebersihan mulut : karena hemetemesis dan melena, sisa-sisa perdarahan dapat menjadi sumber infeksi yang
menimbulkan ketidaknyamanan.
Temperatur
Klien dengan hematemesis melena pada umumnya mengalami kenaikan temperatur sekitar 38 - 39 derajat Celcius.
Pada keadaan pre renjatan temperatur kulit menjadi dingin sebagai akibat gangguan sirkulasi. Penumpukan sisa
perdarahan merupakan sumber infeksi pada saluran cerna sehingga suhu tubuh klien dapat meningkat. Selain itu
pemberian infus yang lama juga dapat menjadi sumber infeksi yang menyebabkan suhu tubuh klien meningkat.
Eliminasi

Pada klien hematemesis melena pada umumnya mengalami gangguan eliminasi.


Yang perlu dikaji adalah :
Jumlah serta cara pengeluaran akibat fungsi ginjal terganggu. Urine berkurang dan biasanya dilakukan perawatan
tirah baring.
Defikasi, perlu dicatat jumlah, warna dan konsistensinya.
Perlindungan
Latar belakang sosio ekonomi klien, karena pada hematemesis melena perlu dilakukan beberapa tindakan sebagai
penegakan diagnosa dan terapi bagi klien.
Kebutuhan Fisik dan Psiologis
Perlindungan terhadap bahaya infeksi. Perlu dikaji : kebersihan diri, kebersihan lingkungan klien, kebersihan alatalat tenun, mempersiapkan dan melakukan pembilasan lambung, cara pemasangan dan perawatan pipa lambung,
cara persiapan dan pemberian injeksi IV atau IM.
Perlindungan terhadap bahaya komplikasi :
Kaji persiapan pemeriksaan endoscopy (informed concern).
Persiapan yang berhubungan dengan pengambilan/pemeriksaan darah.
6. Pemeriksaan selanjutnya
Keluhan nyeri abdomen.
Obat-obat anti biotic, analgeti.
Makan-makanan tinggi natrium.
Penyakit penyerta DM, Hipertensi, hepatitis, gastroenteritis.
Riwayat alergi.
c) Tirtiery Survey
Pemeriksaan Laboratorium
Patologi Klinis : Darah lengkap, hemostasis (waktu perdarahan, pembekuan, protrombin), elektrolit (Na,K Cl),
Fungsi hati (SGPT/SGOT, albumin, globulin)
Patologi Anatomi : Pertimbangkan dilakukan biopsi lambung
CPKMB, LDH, AST
Elektrolit, ketidakseimbangan (hipokalemi).
Sel darah putih (10.000-20.000).
GDA (hipoksia).
Radiologi : Endoskopi SCBA, USG hati
(Doenges, 2000)
3.2 Diagnosa Keperawatan
a) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan (kehilangan cairan tubuh secara aktif) ditandai
dengan perubahan pada status mental, penurunan tekanan darah, tekanan nadi, volume nadi, turgor kulit,
haluaran urine, pengisian vena, dan berat badan tiba-tiba, membrane mukosa kering, kulit kering, peningkatan
hematokrit, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan konsentrasi urine, haus, dan kelemahan.
b) Risiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal dan/atau ginjal berhubungan dengan hipovolemik karena
perdarahan.
c) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (rasa panas/terbakar pada mukosa lambung dan rongga
mulut atau spasme otot dinding perut).
d) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan akibat perdarahan pada saluran pencernaan
e) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi tentang penyakitnya.
f) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, ancaman kematian.
(Doenges, 2000)
3.3 Intervensi Keperawatan
a. Dx : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan (kehilangan cairan tubuh secara aktif)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x jam diharapkan terjadi pemulihan keseimbangan
cairan dan elektrolit yang optimal dengan kriteria hasil:
1. Kesadaran pasien composmentis
2. Tanda vital stabil : Suhu : 36,5-37,5 C, nadi : 60-100 x/menit, pernapasan : 12-22 x/menit, tekanan darah :
100/60-140/90 mmHg
3. Haluaran urine 0,5-1,0 ml/kg BB/jam, warna urine kuning dan jernih

4. Kadar elektrolit serum dalam batas normal : Natrium (Na) = 135-145 mEq/L, Kalium (K) =3,5-5,3 mEq/L,
Kalsium (Ca) = 4,5-5,5 mEq/L, Magnesium (Mg) = 1,5-2,5 mEq/L, Klorida (Cl ) =90-105 mEq/L, Fosfort (P) = 1,7-2,6
mEq/L, Hematokrit =33-45 %, Hb = 13,5-17,5 g/dl 5. Berat badan stabil
6. Membran mukosa lembab
7. Turgor kulit normal
8. Tidak mengalami muntah
Intervensi Keperawatan :
a) Amati tanda-tanda vital
R/: Memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler. Hipovolemia merupakan
risiko utama yang segera terdapat sesudah perdarahan masif. Pantau haluaran urin sedikitnya setiap jam sekali dan
menimbang berat badan pasien setiap hari.
b) Pantau haluaran urine setiap jam, perhatikan warna urine dan timbang berat badan tiap hari
R/ : Haluaran urin dan berat badan memberikan informasi tentang perfusi renal, kecukupan penggantian cairan,
dan kebutuhan serta status cairan. Warna urine merah/hitam menandakan kerusakan otot massif .
c) Catat karakteristik muntah dan/ atau drainase.
R/ : Membantu dalam membedakan distress gaster. Darah merah cerah menandakan adanya atau perdarahan
arterial akut, mungkin karena ulkus gaster; darah merah gelap mungkin darah lama (tertahan dalam usus) atau
perdarahan vena dari varises.
d) Catat respons fisiologis individual pasien terhadap perdarahan, misalnya perubahan mental, kelemahan,
gelisah, ansietas, pucat, berkeringat, takipnea, peningkatan suhu.
R/ : Memburuknya gejala dapat menunjukkan berlanjutnya perdarahan atau tidak adekuatnya penggantian cairan.
e) Awasi masukan dan haluaran dan hubungkan dengan perubahan berat badan. Ukur kehilangan darah/ cairan
melalui muntah dan defekasi.
R/: Memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
f) Pertahankan pemberian infuse dan mengaturan tetesannya pada kecepatan yang tepat sesuai dengan program
medik.
R/ : Pemberian cairan yang adejuat diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
perfusi organ-organ vital adekuat.
g) Pertahankan tirah baring; mencegah muntah dan tegangan pada saat defekasi. Jadwalkan aktivitas untuk
memberikan periode istirahat tanpa gangguan. Hilangkan rangsangan berbahaya.
R/ : Aktivitas/ muntah meningkatkan tekanan intra-abdominal dan dapat mencetuskan perdarahan lanjut.
h) Kolaborasi pengamatan hasil elektrolit serum
R/ : Natrium urine kurang dari 10 mEq/L di duga ketidakakuatan penggantian cairan.
i) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium; misalnya Hb/ Ht
R/ : Alat untuk menentukan kebutuhan penggantian darah dan mengawasi keefektifan terapi.
b. Dx : Ketidakefektifan perfusi gastrointestinal dan/atau ginjal berhubungan dengan hipovolemik karena
perdarahan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x. jam diharapkan perfusi jaringan gastrointestinal dan/atau
ginjal efektif dengan Kriteria hasil:
1. Kesadaran pasien composmentis
2. Tanda vital stabil: Suhu : 36,5-37,5 C, nadi : 60-100 x/menit, pernapasan : 12-22 x/menit, tekanan darah :
100/60-140/90 mmHg 3. Haluaran urine 0,5-1,0 ml/kg BB/jam
4. Akral teraba hangat
5. Turgor kulit normal
6. Capillary Refill Time dalam batas normal (< 2 detik)
Intervensi Keperawatan :
a) Selidiki perubahan tingkat kesadaran, keluhan pusing/ sakit kepala
R/ : Perubahan dapat menunjukkan ketidakadekuatan perfusi serebral sebagai akibat tekanan darah arterial.
b) Auskultasi nadi apikal. Awasi kecepatan jantung/irama bila EKG kontinu ada
R/ : Perubahan disritmia dan iskemia dapat terjadi sebagai akibat hipotensi, hipoksia, asidosis, ketidakseimbangan

elektrolit, atau pendinginan dekat area jantung bila lavage air dingin digunakan untuk mengontrol perdarahan.
c) Amati tanda-tanda vital
R/ : memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler. Hipovolemia merupakan
risiko utama yang segera terdapat sesudah perdarahan masif. Pantau haluaran urin sedikitnya setiap jam sekali dan
menimbang berat badan pasien setiap hari.
d) Kaji kulit terhadap dingin, pucat, berkeringat, pengisian kapiler lambat, dan nadi perifer lemah.
R/ : Vasokontriksi adalah respon simpatis terhadap penurunan volume sirkulasi dan/ atau dapat terjadi sebagai
efek samping pemberian vasopresin.
e) Catat laporan nyeri abdomen, khususnya tiba-tiba nyeri hebat atau nyeri menyebar ke bahu.
R/: Nyeri disebabkan oleh ulkus gaster sering hilang setelah perdarahan akut karena efek bufer darah.
f) Observasi kulit untuk pucat, kemerahan. Pijat dengan minyak. Ubah posisi dengan sering.
R/ : Gangguan pada sirkulasi perifer meningkatkan risiko kerusakan kulit.
g) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi
R/ : Mengobati hipoksemia dan asidosis laktat selama perdarahan akut.
h) Berikan cairan IV sesuai indikasi.
R/ : Mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi.
c. Dx : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (rasa panas/terbakar pada mukosa lambung dan
rongga mulut atau spasme otot dinding perut).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x20 menit dalam 3 hari diharapkan nyeri terkontrol dengan
kriteria hasil:
1. Klien menyatakan nyerinya menurun atau terkontrol
2. Klien tampak rileks
3. Tanda vital stabil : suhu : 36,5-37,5 C
4. Nadi : 60-100 x/menit, pernapasan : 12-22 x/menit, tekanan darah :100/60-140/90 mmHg
Intervensi keperawatan:
a) Catat keluhan nyeri, lokasi, lamanya, intensitas (skala 0-10).
R/: Nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala nyeri klien sebelumnya dimana dapat
membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadinya komplikasi.
b) Amati tanda-tanda vital
R/ : nyeri dapat mempengaruhi perubahan frekuensi jantung, tekanan darah dan frekuensi nafas.
c) Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
R/ : Membantu dalam membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
d) Anjurkan makan sedikit tapi sering sesuai indikasi untuk klien.
R/: Makanan mempunyai efek penetralisir, juga mencegah distensi dan haluaran gastrin.
e) Identifikasi dan batasi makanan yang menimbulkan ketidaknyamanan. R/ : Makanan khusus yang menyebabkan
distress bermacam-macam antara individu.
f) Bantu latihan rentang gerak aktif/ aktif dan teknik relaksasi nafas dalam.
R/: Menurunkan kekakuan sendi, meminimalkan nyeri/ ketidaknyamanan.
g) Kolaborasi pemberian obat analgesik sesuai indikasi.
R/ : Mengobati nyeri yang muncul.
d. Dx : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
mencerna makanan akibat perdarahan pada saluran pencernaan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x .. jam diharapkan status nutrisi seimbang dengan kriteria
hasil:
1. Klien melaporkan intake cukup dari kebutuhan yang dianjurkan.
2. Berat badan ideal
3. Tonus otot baik
4. Nyeri abdomen tidak ada
5. Nafsu makan baik
6. Kadar protein serum berada dalam kisaran normal (3.40 4.80 g/dL)
Intervensi Keperawatan:
a) Pantau berat badan pasien dan jumlah asupan kalorinya setiap hari.

R/: Tindakan ini membantu menentukan apakah kebutuhan makanan telah terpenuhi.
b) Kaji adanya distensi abdomen,volume residu lambung yang besar atau diare.
R/: Tanda-tanda ini dapat menunjukkan intoleransi terhadap jalur atau tipe pemberian nutrisi.
c) Berikan diet tinggi kalori dan tinggi protein; mencakup kesukaan pasien dan makanan yang dibuat di rumah.
Berikan suplemen nutrisi sesuai dengan ketentuan medik.
R/: Pasien memerlukan nutrient yang cukup untuk peningkatan kebutuhan metabolisme.
d) Berikan suplemen vitamin dan mineral sesuai dengan ketentuan medic R/: Suplemen ini memenuhi kebutuhan
nutrisi; vitamin dan mineral yang adekuat perlu untuk fungsi selular
e) Berikan nutrisi enteral atau parenteral total melalui prototokol penanganan jika kebutuhan diet tidak
terpenuhi lewat asupan per oral R/: Teknik intervensi nutrisi menjamin terpenuhinya kebutuhan nutrisi
e. Dx : Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi tentang penyakitnya.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x.. jam diharapkan
pengetahuan klien tentang hematemesis melena bertambah dengan kriteria hasil:
1. Klien menyatakan pemahaman mengenai penyakitnya (pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan
pengobatan/ perawatan)
2. Klien tampak kooperatif mendengarkan penjelasan petugas
Intervensi Keperawatan:
a) Kaji sejauh mana ketidakmengertian klien dan keluarga tentang penyakit yang diderita.
R/ : Mengidentifikasi area kekurangan pengetahuan/ salah informasi dan memberikan kesempatan untuk
memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan.
b) Diskusikan dengan klien untuk melakukan pendidikan kesehatan.
R/ : Partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusias dan kerja sama dengan klien.
c) Berikan penjelasan tentang penyakit yang klien derita, cara pengobatan dan perawatan di rumah serta
pencegahan kekambuhan penyakit.
R/ : Memberikan pengetahuan dasar dimana klien dapat membuat pilihan informasi/ keputusan tentang masa
depan dan control masalah kesehatan.
d) Berikan kesempatan klien dan keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam pendidikan kesehatan.
R/: Memberikan kesempatan klien dan keluarga untuk lebih memahami tentang penyakitnya.
e) Berikan evaluasi terhadap keefektifan pendidikan kesehatan.
R/: Mengetahui sejauh mana pengetahuan klien setelah diberi pendidikan kesehatan.
f. Dx : Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, ancaman kematian.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x .. jam diharapkan ansietas berkurang dengan kriteria hasil:
1. Klien melaporkan rasa ansietas berkurang 2. Klien tampak rileks
Intervensi Keperawatan :
a) Awasi respon fisiologis, misalnya takipnea, palpitasi, pusing, sakit kepala dan sensasi kesemutan.
R/ : Dapat menjadi indikatif derajat takut yang dialami pasien tetapi dapat juga berhubungan dengan kondisi fisik/
status syok
b) Catat petunjuk perilaku seperti gelisah, kurang kontak mata dan perilaku melawan.
R/ : Indikator derajat takut yang dialami klien.
c) Dorong pernyataan takut dan ansietas, berikan umpan balik.
R/ : Membantu klien menerima perasaan dan memberikan kesempatan untuk memperjelas konsep.
d) Berikan lingkungan tenang untuk istirahat.
R/: Meningkatkan relaksasi dan keterampilan koping.
e) Dorong orang terdekat tinggal dengan klien. Berespons terhadap tanda panggilan dengan cepat. Gunakan
sentuhan dan kontak mata dengan tepat.
R/ : Membantu menurunkan rasa takut karena kesepian.
3.4 Implementasi
Mencantumkan tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan prioritas ABCD, dengan urutan tindakan yang
dilakukan di IGD (sesuai fakta yang dilakukan/ aplikasi), dilengkapi dengan waktu.
3.5 Evaluasi
Respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan yang terdiri dari respon objektif dan subyektif.

BAB IV
CONTOH KASUS
4.1 Kasus
Tn. S, laki-laki, 70 tahun, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan buang air besar berwarna kehitaman sejak 2
minggu yang lalu kurang lebih 4 kali disertai muntah darah sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing. Pasien juga
mengaku nyeri pada bagian ulu hati dan bagian tengah perut, selain itu pasien juga mengeluh badan terasa lemas
disertai kepala pusing.
Pasien mengaku mempunyai riwayat penyakit maag sejak 4 tahun yang lalu dan mempunyai kebiasan meminum
obat-obat sakit kepala pada saat sebelum keluhan datang hingga sekarang. Hampir tiap hari saat pasien mengeluh
sakit kepala pasien meminum obat aspirin yang beli di warung. Pasien pada waktu usia muda berprofesi sebagai
tukang ojek. Buang air kecil tidak ada keluhan. Riwayat hipertensi, kencing manis, penyakit hati dan kebiasaan
minum alkohol disangkal oleh pasien.
Pasien sudah pernah berobat ke dokter umum sebelumnya namun tidak ada perubahan. Pasien selanjutnya pergi
ke Rumah Sakit untuk perawatan lebih lanjut. Pasien mengatakan bahwa dirinya mempunyai riwayat sakit tifus
kurang lebih 3 tahun yang lalu dan riwayat sakit maag sejak 4 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita dengan kesadaran komposmentis, keadaan umum baik, status gizi
penderita cukup, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 88 x/menit regular, isi cukup, respirasi 24 x/mnt, dengan
temperatur aksila 36,8 C. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis, sklera anikterik. Pada
pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorokan (THT) tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan dada didapatkan
bentuk dada normal, pergerakan napas kanan kiri simetris, tidak ditemukan spider nevi, suara nafas vesikuler,
ronchi tidak ada, wheezing tidak ada. Suara jantung S1 dan S2 reguler, murmur tidak ada. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada asites, bising usus normal.
Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan hangat, tidak ditemukan edema dan eritema palmaris. Pada
pemeriksaan rectal toucher didapati sfingter ani kuat, mukosa licin, tidak terdapat benjolan, terdapat feses
berwarna hitam tidak berlendir.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hematologi Hemoglobin (Hb) 8,4 gr/dl, Ht 38,3%, Leukosit 10.700/uL,
Trombosit 182.000/uL. Faal hati Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) 23 U/L, Serum Glutamic Piruvic
Transaminase (SGPT) 24 U/L, fungsi ginjal ureum 19 mg/dL, creatinin 0,8 mg/dL, asam urat 4,0 mg/dL, dan gula
darah sewaktu 78 mg/dL.
Penderita ditatalaksana secara non-medikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan non-medikamentosa
antara lain bed rest, puasa hingga perdarahan berhenti, dan diet cair. Penatalaksanaan medikamentosa dengan
cairan infus Ringer Laktat (RL) 20 tetes/menit, dilakukan pemasangan Nasogastric tube (NGT), omeprazole tablet
2x40 mg, sukralfat intravena 2x500 mg, dan dilakukan pemantauan Hemoglobin (Hb), jika Hemoglobin (Hb)<8
mg/dl dilakukan transfusi.Pada follow up hari ketiga, Nasogastric Tube (NGT) pasien telah terlihat jernih dan
dimulai diet cair. Nyeri ulu hati dirasakan mulai berkurang. Pada hari kelima didapatkan hasil pemeriksaan
Hemoglobin (Hb) 10,5 gr/dl dan keluhan nyeri ulu hati tidak ada lagi.
4.2 Pembahasan
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan hematemesis melena berdasarkan data anamnesis bahwa pasien
mengeluhkan BAB kehitaman sejak 2 minggu yang lalu, muntah darah kehitaman, nyeri ulu hati, dan riwayat
mengkonsumsi obat-obat sakit kepala aspirin sejak 30 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva anemis dan terdapat nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan Rectal Toucher: Sfingter ani kuat, mukosa licin, tidak terdapat benjolan, terdapat feses berwarna
hitam, dan tidak ada lendir. Serta tidak ditemukan stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider nevi, ascites,
splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hemoglobin (Hb) 8,4

g/dl, Hematokrit (Ht) 38,3%, leukosit 10.700/uL, trombosit 182.000/uL, Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
(SGOT) 23 U/L, Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT) 24 U/L.
Diagnosis pada kasus ini sesuai dengan pengertian hematemesis melena Hematemesis adalah dimuntahkannya
darah dari mulut, darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah
karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi. Melena yaitu keluarnya
tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter) dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan SCBA serta
dicernanya darah pada usus halus. Dimana penyebab kelainan diatas dapat berasal dari kelainan esofagus, kelainan
lambung, dan kelainan duodenum.
Pada kasus ini mengarah pada kelainan di lambung yaitu adanya gastritis erosif atas dasar riwayat kebiasaan pasien
meminum obat-obat sakit kepala sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang. Dimana penyebab dari gastritis erosif
yang terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya
tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat golongan salisilat seperti aspirin, ibuprofen, dan lainnya. Obatobatan lain yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu : golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin,
spironolakton dan lain-lain. Golongan obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas. Gastritis erosif hemoragika
merupakan urutan kedua penyebab perdarahan saluran cerna atas.
Pada endoskopi tampak erosi di angulus, antrum yang multipel, sebagian tampak bekas perdarahan atau masih
terlihat perdarahan aktif di tempat erosi. Tampilan di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak terlihat varises di
esophagus dan fundus lambung. Sifat hematemesis tidak masif dan timbul setelah berulang kali minum obat-obatan
tersebut, disertai nyeri dan pedih di ulu hati.
Penatalaksanaan pada kasus ini dibagi menjadi dua yaitu non-medikamentosa dan medikamentosa.
Penatalaksanaan non-medikamentosa antara lain bed rest, puasa hingga perdarahan berhenti dan diet cair. Dan
penatalaksanaan medikamentosa antara lain cairan infus Ringer Laktat (RL 20 tetes/menit, pemasangan
Nasogastric tube (NGT), paracetamol 3x500 mg, omeprazole 2x40 mg tablet, sukralfat 2x500 mg intravena, jika
Hemoglobin (Hb)<8 tranfusi. Pemasangan NGT dilakukan untuk mengevaluasi perdarahan yang sedang berlangsung.
Untuk analgetik diberikan paracetamol 3x500 mg. Diberikan juga Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu omeprazole
dimana obat-obat golongan PPI mengurangi sekresi asam lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+,
Adenosine Triphosphatase (ATPase) (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal.
Enzim pompa proton bekerja memecah KH+ ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif obat dengan
gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian
dilanjutkan dengan terhentinya produksi asam lambung. Pemberian sukralfat pada kasus ini didasari mekanisme
kerja sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat diperkirakan melibatkan ikatan selektif pada jaringan ulkus yang
nekrotik, dimana obat ini bekerja sebagai sawar terhadap asam,pepsin, dan empedu. Obat ini mempunyai efek
perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi prostaglandin mukosa. Selain itu, sukralfat dapat langsung
mengabsorpsi garam-garam empedu. Aktivitas ini nampaknya terletak didalam seluruh kompleks molekul dan
bukan hasil kerja ion aluminium saja. Obat ini juga memerlukan pH asam untuk aktif sehingga tidak boleh
diberikan bersama antasid atau antagonis reseptor H2.9,10 Jika Hemoglobin (Hb) < 8 gr/dl atau perdarahan masif
dan terdapat tandatanda kegagalan sirkulasi maka pasien dapat diberikan transfusi. Simpulan, telah ditegakkan
diagnosis Hematemesis Melena e.c Gastritis erosif pada Tn.S laki-laki 70 tahun atas dasar anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, serta telah ditatalaksana dengan pemberian edukasi dan pengobatan.
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hemoglobin (Hb), tekanan darah
selama perawatan, dan lain-lain. Banyak penelitian menunjukan bahwa angka kematian penderita dengan
perdarahansaluran cerna bagian atas dipengaruhi oleh faktor kadar Hemoglobin (Hb) waktu dirawat,
terjadi/tidaknya perdarahan ulang, keadaan hati, seperti ikterus, dan encefalopati. Prognosis cukup baik apabila
dilakukan penanganan yang tepat. Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi
perdarahan saluran cerna bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif.

Вам также может понравиться