Вы находитесь на странице: 1из 11

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan


Sebagai Dampak dari Rencana Pengembangan Monorel di Kota
Bandung
Sara Sorayya Ermuna(1), Iwan Pratoyo Kusumantoro (2)
(1)
(2)

Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.
Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.

Abstrak
Penggunaan kendaraan pribadi di Kota Bandung rata-rata meningkat sebesar 8,34% selama kurun
waktu tahun 2008-2010 serta peningkatan jumlah penduduk rata-rata sebesar 1,36% sejak tahun
2002-2013. Hal tersebut dapat menyebabkan adanya peningkatan kendaraan pribadi. Selain itu,
untuk mewujudkan konsep sistem transportasi yang berkelanjutan, maka sebaiknya diarahkan untuk
penggunaan kendaraan umum. Salah satu moda transportasi umum yang akan dikembangkan di
Kota Bandung adalah monorel dengan menetapkan beberapa ruas jalan yang akan dijadikan rute
monorel. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang secara teknis dapat menggambarkan kondisi
ruas jalan saat sebelum dan setelah terdapat rencana pengembangan monorel. Fokus penelitian ini
adalah pada analisa kinerja jaringan jalan wilayah studi dan pengukuran emisi gas buang kendaraan,
yang akan dibandingkan pada saat kondisi eksisting dan kondisi mendatang saat monorel telah
diterapkan. Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah melakukan komparasi terhadap perhitungan
hasil emisi gas buang kendaraan dari hasil uji primer maupun hasil perhitungan menggunakan model
Zhongan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi eksisting dari 11 ruas jalan
yang termasuk wilayah studi, terdapat 8 ruas jalan yang memiliki kelas kinerja jalan di bawah B.
Sementara itu, setelah dilakukan penerapan skenario, maka hanya terdapat 5 ruas jalan yang
memiliki kelas kinerja jaringan jalan di bawah B. Sementara itu, hasil pengukuran pada kondisi
eksisting menunjukkan bahwa pada dasarnya tingkat emisi gas buang untuk unsur CO, NO2, dan
SO2 di wilayah studi tidak melebihi standar baku mutu yang berlaku.
Kata-kunci: kinerja jaringan jalan, emisi gas buang kendaraan, monorel, kota Bandung

Pengantar
Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa
Barat, memiliki peningkatan jumlah penduduk
rata-rata 1,36% dari tahun 2002-2013 yang
diyakini dapat mempengaruhi tingkat kepadatan
lalu lintas. Hal tersebut didukung pula dengan
adanya peningkatan jumlah kendaraan pribadi
(sepeda motor, mobil penumpang dan barang,
jeep dan sejenisnya, bus besar-kecil non umum)
sejak tahun 2008-2010 yang mencapai 8,34%
sehingga diyakini dapat mempengaruhi kondisi
lalu lintas. Terdapat rencana pengembangan
monorel sebagai salah satu moda transportasi di

Kota
Bandung
yang
bermaksud
untuk
menghubungkan setiap lokasi-lokasi kegiatan,
sehingga memerlukan studi terkait tingkat
permintaan maupun dampak yang akan
ditimbulkan dari rencana
pengembangan
monorel tersebut. Transportasi Kota Bandung
sudah mengalami perubahan yang sangat
signifikan dibandingkan dengan 5-10 tahun yang
lalu.
Besarnya
jumlah
pembangunan
infrastruktur jalan mengubah pola pergerakan di
dalam Kota Bandung. Sebagai contoh adalah
jembatan Pasupati yang berkontribusi terhadap
perubahan pola perjalanan di kawasan Bandung
Utara, dimana pergerakan barat-timur di daerah
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 373

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

itu menjadi relatif lebih lancar (Masterplan


Transportasi Kota Bandung, 2009). Jalan tol
Purbaleunyi yang memberi akses kemudahan
perjalanan
Bandung-Jakarta
(Jabodetabek
secara lebih luas) telah merubah wajah
transportasi Kota Bandung menjadi lebih
semrawut, khususnya saat libur panjang.
Kemudahan transportasi darat menuju ke
Bandung membuat banyak orang luar kota
datang untuk menikmati berbagai bentuk wisata
kuliner dan belanja di dalam kota. Peningkatan
jumlah wisata ini telah meningkatkan roda
perekonomian
masyarakat
kota
dan
meningkatan kesejahteraan banyak orang. Akan
tetapi, jaringan jalan yang ada ternyata belum
mampu untuk mendukung perkembangan yang
sangat pesat ini. Sesuai dengan Masterplan
Transportasi Kota Bandung tahun 2009,
angkutan umum di Kota Bandung masih
mengandalkan jenis angkutan umum paratransit
yang didukung dengan angkutan umum informal
lainnya seperti taksi, ojek dan becak khusus
untuk kawasan lingkungan. Bus kota yang
dijalankan oleh Damri sampai saat ini memiliki
proporsi yang sangat kecil dalam pelayanan
angkutan umum di dalam kota. Dalam banyak
literatur tentang perkembangan kota dan
transportasi
(urban
transportation);
mengandalkan jaringan angkutan umum pada
jenis angkutan umum paratransit untuk kota
sepadat Kota Bandung ini adalah hal yang tidak
efisien.
Kebijakan
pengembangan
sistem
angkutan umum masal (SAUM) Kota Bandung,
dengan diujicobakan Jalur Trans Metro Bandung
(TMB),
diharapkan
mampu
memperbaiki
transportasi angkutan umum dalam Kota
Bandung tetapi strategi pengembangan SAUM
yang terintegrasi dengan moda lainnya perlu
menjadi prioritas pengembangan di masa yang
akan datang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji
dampak rencana pengembangan monorel
terhadap kinerja jaringan jalan dan emisi gas
buang kendaraan. Oleh karena itu, sasaran
dalam penelitian ini antara lain:
1. Karakteristik geometrik jalan dan volume
lalu lintas di ruas jalan wilayah studi,
2. Identifikasi kinerja jaringan jalan di wilayah
studi pada kondisi eksisting dan setelah
diterapkan skenario monorel kota bandung,
374 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

3.

Identifikasi perhitungan emisi gas buang


kendaraan pada wilayah studi setelah
diterapkan skenario monorel Kota Bandung
dengan menggunakan model zhongan dan
faktor emisi yang berlaku di indonesia.

Berdasarkan sasaran tersebut, maka dapat


diketahui dampak yang akan dihasilkan dari
adanya penerapan scenario monorel di Kota
Bandung terhadap kinerja jaringan jalan dan
emisi gas buang kendaraan.
Metode
Penelitian
mengenai
Dampak
Rencana
Pengembangan Monorel di Kota Bandung
Terhadap Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas
Buang Kendaraan ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif diwujudkan
dengan perhitungan kinerja jaringan jalan
didasarkan pada ruas jalan yang direncanakan
sebagai rute monorel. Sementara itu, untuk
permodelan emisi gas buang kendaraan
didasarkan
pada
perhitungan
dengan
menggunakan metode Zhongan yang kemudian
didukung dengan hasil uji primer. Selanjutnya
akan dilakukan peramalan ketika monorel telah
diterapkan berdasarkan probabilitas pengguna
moda yang mungkin berpindah dengan melihat
dampak dari perubahan kinerja jaringan jalan
dan emisi gas buang kendaraan.
Lokasi penelitian berada pada Kota Bandung,
yang
terfokus
pada
ruas
jalan
yang
diidentifikasikan sebagai rencana pembangunan
monorel di Kota Bandung, dengan ruas jalan
sebagai berikut.
Tabel 1. Ruas Jalan yang Digunakan Sebagai Wilayah
Studi Penelitian
Ruas Jalan
Panjang (km)
Jalan Ir. H. Juanda
4,16
Jalan Dipatiukur
1,75
Jalan Merdeka
0,44
Jalan Braga
0,25
Jalan Lembong
0,45
Jalan Veteran
0,8
Jalan Sunda
0,2
Jalan Gatot Subroto
1,12
Jalan Pelajar Pejuang
1,29
Jalan Buah Batu
3,31
Jalan Terusan Buah Batu
1,51
Sumber: Survei Primer dan Data Jaringan Jalan Kota
Bandung

Sara Sorayya Ermuna

1.

Pengukuran Kinerja Jaringan Jalan

V
C

Kapasitas jalan
C=C_o xFC_w xFC_SP xFC_SF xFC_CS
Dimana:
C
: Kapasitas Aktual (smp/jam)
Co
: Kapasitas Dasar (smp/jam)
FCw
: Faktor penyesuaian lebar jalur lalu
lintas
FCSP
: Faktor penyesuaian median atau
pemisah arah
FCSF
: Faktor penyesuaian hambatan
samping
FCCS
: Faktor penyesuaian hambatan
samping
2.

Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai


rasio arus terhadap kapasitas, digunakan
sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat
kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS
menunjukkan apakah segmen jalan tersebut
mempunyai masalah kapasitas atau tidak.
DS = Qsmp/C
dimana:
Qsmp = Arus total (smp/jam)
Qsmp = Qkend Fsmp
Fsmp = Faktor smp = (LV% + HV%
empHV + MC% empMC)/100
C
= Kapasitas
Derajat
kejenuhan
dihitung
dengan
menggunakan arus dan kapasitas dinyatakan
dalam smp/jam.
3.

Kinerja jaringan
pelayanan jalan

jalan

atau

tingkat

Kinerja jaringan jalan atau Level of Services


(LOS) adalah suatu ukuran yang digunakan
untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan
tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang
melewatinya.
Tingkat
pelayanan
(VCR)
dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
VCR=V/C
Dimana:
VCR : Volume kapasitas rasio (nilai tingkat
pelayanan)

:
:

Volume lalu lintas (smp/jam)


Kapasitas ruas jalan (smp/jam)

Analisa Kinerja Jaringan Jalan Kondisi Eksisting


dan Sesudah Diterapkan Skenario Monorel
4.

Pengukuran Emisi Gas Buang


a.

Model Zhongan

Metode perhitungan polusi udara ini


berdasarkan nilai polutan yang menurut
teori dari Zhongan yang membedakan nilai
polutan berdasarkan jenis kendaraan.
Berikut
merupakan
persamaan
yang
digunakan dalam perhitungan polusi udara:
Dimana:
L
: Panjang jalan yang diteliti
Ni
: Jumlah kendaraan bermotor tipe i
yang
melintas
ruas
jalan
(kendaraan/jam)
Fpi : Faktor emisi kendaraan bermotor
tipe i (g/Km)
Ep : Intensitas emisi dari suatu ruas
(g/jam/km)
Penggunaan model zhongan ini didasarkan
pada teori yang dikemukakan bahwa
semakin tinggi VCR di suatu ruas jalan pada
waktu tertentu, maka akan meningkatkan
hasil emisi gas buang dari sektor
transportasi.
b.

Faktor Emisi yang Digunakan

Faktor emisi yang digunakan adalah faktor


emisi yang berlaku di Indonesia dan
dipublikasikan oleh institusi di Indonesia.
Hal tersebut dimaksudkan agar perhitungan
emisi gas buang yang dilakukan akan lebih
sesuai dengan hasil uji primer yang akan
dilakukan sebagai bahan perbandingan.
Terdapat 2 sumber faktor emisi yang
digunakan, yakni dari LAPI ITB dan
Kementerian Lingkungan Hidup dimana
penggunaaannya akan disesuaikan untuk
masing-masing unsur.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 375

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan


Tabel 2 Faktor Emisi Polutan LAPI ITB
Tipe
Jumlah Emisi Gas Buang
Kendaraan
CO
NOx
SO 2
Kendaraan
195,05
57,02
0
pribadi
Kendaraan
53,05
10,46
4,9
pribadi
Angkutan
389,16
85,92
0
Kota
Bus
10,28
41,6
3,44
Truk
14,81
65,13
5,02
Sepeda Motor 19,2
0,13
0,017
Taksi
195,05
57,02
0

Sumber: LAPI ITB, 1996

Tabel 3 Data Faktor Emisi Indonesia Kementerian


Lingkungan Hidup
CO
Sepeda Motor

Nox

SO2

14

0.29

Mobil Penumpang

32.4

2.3

0.11

Angkutan Kota

43.1

2.1

0.029

11

11.9

0.93

8.4

17.7

0.82

Bis
Truk

Sumber: Suhadi, 2008


5.

0.008

Penggunaan Asumsi dalam Penelitian


a.

b.

Pengambilan data volume lalu lintas


dilakukan pada jam-jam puncak baik
pada weekday maupun weekend
seperti yang tertera pada sub
pembahasan
waktu
pengambilan
sampel. Acuan untuk menentukan jam
sibuk tersebut didasarkan dari studi
terdahulu berupa penelitian maupun
kajian yang dilakukan oleh Dinas
Perhubungan Kota Bandung.
Estimasi volume lalu lintas kendaraan
dan emisi gas buang untuk skenario
penerapan monorel didasrkan pada
data peluang berpindahnya penduduk
pengguna
kendaraan
pribadi
menggunakan monorel. Data ini
didapatkan dari Kajian Pra Studi
Kelayakan Monorel Kota Bandung.
Berikut merupakan tabel prosentase
peluang
berpindahnya
moda
transportasi pribadi ke monorel.

Tabel 4 Prosentase Peluang Berpindahnya Moda


Transportasi Pribadi ke Monorel di Kota Bandung
Sepeda
Motor
Mobil
Angkutan
Umum

Pasti

Rata-rata

17.625

18.75

18.1875

16.25

18.25

17.25

14.625

21.125

17.875

Sumber: Kajian Pra Studi Kelayakan Monorel


Kota Bandung
c. Uji primer emisi gas buang kendaraan
didasarkan pada PPRI No.41 Th.1999
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
dan SNI 19-7119.2 -2005 pada 11 ruas jalan
wilayah studi.
d. Perhitungan emisi gas buang didasarkan
pada model perhitungan yang dijabarkan
oleh Zhongan (2005) dengan penggunaan
faktor emisi yang diterapkan di Indonesia,
yang berasal dari LAPI ITB dan Kementerian
Lingkungan Hidup (Suhadi, 1998) yang
selanjutnya dibandingkan dengan hasil uji
primer.
Hasil dan Pembahasan
Kinerja Jaringan Jalan
Analisa tingkat pelayanan jalan merupakan
analisa yang menekankan pada sistem jaringan
dan pergerakan sebagai bagian bagian dari
faktor yang menentukan jaringan jalan.
Berdasarkan teori yang dikemukanan oleh
Morlok, Black, Salter terdapat beberapa aspek
yang dapat mempengaruhi kinerja jaringan
jalan yang biasa disebut tingkat pelayanan.
Aspek penting dalam tingkat pelayanan jalan
antara lain adalah waktu perjalanan (atau
kecepatan),
keterandalan,
kenyamanan,
keamanan. Beberapa aspek tentunya akan
sangat bergantung terhadap persepsi dari
pengguna jalan, yakni kenyamanan. Oleh sebab
itu, dalam analisa tingkat pelayanan jalan ini
akan terfokus pada pembahasan rasio antara
volume lalu lintas terhadap kapasitas jalan.
Perhitungan kapasitas jalan pada studi ini
disesuaikan dengan ruas-ruas jalan yang

dikaji sebagai berikut.


376 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

Mungkin

Sara Sorayya Ermuna


Tabel 5 Analisa Kinerja Jaringan Jalan Berdasarkan
Kondisi Eksisting
Kelas Kinerja Jaringan Jalan
Pada Kondisi Eksisting
Ruas Jalan
A
B
C
D
E
F
Jalan Ir. H.

Juanda
Jalan

Dipatiukur
Jalan Merdeka

Jalan Braga

Jalan

Lembong
Jalan Veteran

Jalan Sunda

Jalan Gatot

Subroto
Jalan Pelajar

Pejuang
Jalan Buah

Batu
Jalan Terusan

Buah Batu
Sumber: Hasil Analisa 2015
Tabel 6 Analisa Kinerja Jaringan Jalan Berdasarkan
Hasil Estimasi Penerapan Skenario Monorel
Kelas Kinerja Jaringan Jalan
Pada Kondisi Eksisting
Ruas Jalan
A
B
C
D
E
F

Jalan Ir. H.
Juanda

Jalan
Dipatiukur

Jalan Merdeka

Jalan Braga

Jalan Lembong

Jalan Veteran

Jalan Sunda

Jalan Gatot
Subroto

Jalan Pelajar
Pejuang

Jalan Buah
Batu

Jalan Terusan
Buah Batu

Sumber: Hasil Analisa 2015


Jalan Ir. H. Juanda

Kinerja jaringan jalan yang paling rendah untuk


ruas Jalan Ir. H. Juanda ialah pada kelas E saat
hari kerja (weekday: 07.00-08.00. Selain itu,
kinerja jaringan jalan dengan nilai C juga
terdapat di ruas Jalan Ir. H. Juanda, baik pada
hari weekend (09.00-10.00) maupun weekday
(07.00-08.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00).

Sementara itu, ketika telah dilakukan penerapan


skenario monorel di Kota Bandung, maka kinerja
jaringan jalan semakin meningkat, yakni
menjadi nilai D pada weekday (Pukul: 07.0008.00) baik arah Dago Atas (Lembang) ke Dago
Bawah, maupun Dago Bawah (BIP) ke Dago
Atas. Nilai kinerja jaringan jalan C terjadi pada
pengamatan pukul 12.00-13.00 dan 16.0017.00. Sementara itu, nilai kinerja jaringan jalan
A yang pada awalnya terdiri dari 1 kali
pengamatan meningkat menjadi 6 kali
pengamatan ketika telah dilakukan penerapan
skenario monorel Kota Bandung, baik pada
weekend dan weekday untuk arah Dago Atas ke
Dago Bawah (BIP).
Pada arah Dago Bawah menuju Dago Atas,
diketahui nilai kinerja jaringan jalan A sebelum
dilakukan penerapan skenario monorel terdapat
pada 5 pengamatan dan setelah diterapkan
terdapat 6 kali pengamatan. Pengamatan untuk
nilai kinerja jaringan jalan B di arah Dago Atas
ke Dago Bawah pada awalnya terdapat pada 6
kali pengamatan dan setelah dilakukan
penerapan monorel, maka nilai kinerja jaringan
jalan hanya terdapat pada 4 kali pengamatan di
saat weekday pada pukul (12.00-13.00, 16.0017.00, 18.0019.00) dan weekend pada pukul
15.00-16.00, sedangkan pada arah Dago Bawah
(BIP) ke Dago Atas, nilai kinerja jaringan jalan B
terdapat pada 6 kali pengamatan yang berubah
menjadi 4 kali pengamatan.
Jalan Dipati Ukur
Kinerja jaringan jalan yang paling rendah untuk
ruas Jalan Dipati Ukur ialah pada kelas A, baik
saat hari kerja (weekday) dan akhir pekan
(weekend). Kinerja jaringan jalan dengan nilai
A. Pada dasarnya, hambatan samping di Jalan
Dipati Ukur cukup besar, yakni berupa parkir onstreet dan pedagang kaki lima.
Hal ini disebabkan oleh guna lahan di sepanjang
Jalan Dipati Ukur merupakan guna lahan
perdagangan dan jasa serta sarana pendidikan
skala nasional. Sementara itu, kinerja jaringan
Jalan
Dipati
Ukur
setelah
skenario
pengembangan monorel diterapkan semakin
menunjukkan peningkatan dengan nilai kinerja
jaringan jalan A.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 377

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

Jalan Merdeka
Jalan Merdeka merupakan ruas jalan dengan 4
lajur 1 jalur/arah (4/1) dimana guna lahan di
sekitarnya berupa guna lahan perdagangan dan
jasa, pendidikan dasar skala kota hingga
nasional. Berdasarkan perhitungan kinerja
jaringan jalan di ruas Jalan Merdeka, diketahui
nilai kinerja jaringan jalan yang paling rendah
adalah C, baik pada weekday (16.00-17.00,
17.00-18.00) maupun weekend (18.00-19.00,
19.00-20.00).
Selain guna lahan di Ruas Jalan Merdeka yang
memang
didominasi
oleh
guna
lahan
perdagangan dan jasa (pusat perbelanjaan
Bandung Indah Plaza) dan pendidikan, yang
menjadi salah satu faktor penarik untuk ruas
jalan ini, penyebab lainnya adalah karena ruas
Jalan Merdeka merupakan ruas jalan yang
cukup besar dilalui oleh pekerja yang berlokasi
di kawasan Dago serta merupakan ruas jalan
yang dilalui bis Damri yang berangkat dari Jalan
Dipati Ukur menuju Terminal Leuwi Panjang.
Setelah dilakukan skenario penerapan monorel,
maka kinerja jaringan Jalan Merdeka meningkat
dengan nilai yang paling rendah adalah B. Hal
ini membuktikan bahwa dari hasil estimasi
terhadap dampak kinerja jaringan jalan
membuktikan bahwa skenario pengadaan
monorel di Kota Bandung dapat menurunkan
volume lalu lintas.
Jalan Braga
Jalan Braga merupakan ruas jalan dengan 4
lajur 1 jalur/arah (4/1) dimana guna lahan di
sekitarnya berupa guna lahan perdagangan dan
jasa, pendidikan dasar skala kota hingga
nasional. Berdasarkan perhitungan kinerja
jaringan jalan di ruas Jalan Braga, diketahui nilai
kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah
C, baik pada pagi dan sore hari pada hari kerja
(weekday).
Besarnya volume lalu lintas ini disebabkan oleh
penggunaan lahan ruas Jalan Braga yang
termasuk wilayah penelitian didominasi oleh
kegiatan perdagangan serta jasa perbankan
yang merupakan kantor. Oleh karena itu, jam
378 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

sibuk pada pagi dan sore hari merupakan waktu


untuk berangkat menuju lokasi bekerja maupun
pulang dari lokasi bekerja terutama bagi lokasi
bekerja di Jalan Braga. Selain itu, Jalan Braga
juga merupakan ruas jalan yang dilalui oleh
damri yang menghubungkan Dago hingga
Terminal Leuwi Panjang.
Setelah dilakukan penerapan skenario monorel
Kota Bandung, maka diketahui bahwa kinerja
jaringan Jalan Braga berkisar pada nilai A dan B
karena adanya penurunan volume lalu lintas.
Jalan Lembong
Kinerja jaringan Jalan Lembong pada kondisi
eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan
akhir pekan (weekend) cukup beragam, dimana
kelas kinerja jaringan jalan berkisar A hingga C.
Jalan Lembong merupakan jalan 1 arah dengan
3 lajur yang memiliki guna lahan perdagangan,
jasa, serta instansi.
Kondisi eksisting Jalan Lembong menunjukkan
bahwa kelas jaringan jalan dengan nilai
terendah adalah C pada hari kerja (weekday)
pukul 07.00-08.00, 16.00-17.00, dan 17.0018.00. Sementara itu, kelas kinerja jaringan
jalan pada kelas B sebanyak 8 kali waktu
pengamatan, baik pada weekday (07.00-08.00,
08.00-09.00 (pada 2 titik pengamatan), 12.0013.00 (pada 2 titik pengamatan), dan 16.0017.00) maupun akhir pekan (09.00-10.00,
10.00-11.00, 15.00-16.00, 18.00-19.00).
Setelah dilakukan estimasi jika skenario monorel
Kota Bandung diterapkan, maka diketahui
bahwa kelas kinerja Jalan Lembong setelah
diterapkan skenario monorel Kota Bandung,
yakni berkisar antara A hingga C.
Jalan Veteran
Analisa kinerja jaringan Jalan Veteran pada
kondisi eksisiting, baik pada hari kerja
(weekday) dan akhir pekan (weekend) dinilai
cukup baik, dimana nilai kinerja jaringan jalan A
dan B. Jalan Veteran merupakan jalan 1 arah/
jalur dengan 3 lajur serta hambatan samping
adalah parkir on street dengan guna lahan
perdagangan dan jasa. Guna lahan di sepanjang

Sara Sorayya Ermuna

Jalan Veteran merupakan perdagangan, jasa,


dan kesehatan (berupa rumah sakit).
Sementara itu, ilustrasi kinerja jaringan jalan
setelah diterapkan skenario monorel pada Ruas
Jalan Veteran, menunjukkan bahwa kinerja
jaringan jalan menjadi bernilai A. Oleh karena
itu, diyakini bahwa baik sebelum maupun
setelah diterapkan rencana monorel Kota
Bandung, ruas Jalan Veteran
yang pada
awalnya memiliki kinerja jaringan jalan baik
akan menjadi semakin baik.
Setelah dilakukan penerapan skenario monorel,
diketahui bahwa Jalan Veteran memiliki kinerja
jaringan jalan yang tetap seperti pada kondisi
eksisting, yakni dengan kelas A dan B.
Jalan Sunda
Kinerja jaringan Jalan Sunda pada kondisi
eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan
akhir pekan (weekend) cukup beragam, dimana
nilai kinerja jaringan jalan A, B, C, E, F. Jalan
Sunda merupakan jalan 1 arah/ jalur dengan 3
lajur yang memiliki hambatan samping adalah
parkir
on street dengan guna lahan
perdagangan dan jasa.
Kondisi eksisting menunjukkan bahwa kinerja
jaringan Jalan Sunda menunjukkan bahwa kelas
kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah
F pada hari weekday pukul 12.00-13.00. Selain
itu, terdapat kelas kinerja jaringan jalan E
(weekday: 07.00-08.00 dan 17.00-18.00), kelas
C pada 5 kali pengamatan (07.0008.00, 08.0009.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00, 17.00-18.00),
kelas B pada 4 kali pengamatan (08.00-09.00,
09.00-10.00, 10.00-11.00, 15.00-16.00), kelas
kinerja jaringan jalan A pada 4 kali pengamatan
(09.00-10.00, 10.00-11.00, 15.00-16.00, 18.0019.00).
Setelah diterapkan skenario monorel di Jalan
Sunda, maka kelas kinerja jaringan jalan
terendah adalah F. Sementara itu, kelas kinerja
jaringan jalan E meningkat menjadi kelas jalan C
sehingga terdapat 4 kali pengamatan (Weekday:
07.00-08.00, 08.00-09.00, 16.00-17.00, 17.0018.00) untuk kinerja jaringan jalan C. Kelas
kinerja jalan B mendominasi setelah dilakukan

skenario penerapan monorel menjadi 7


(weekday: 08.0009.00, 12.00-13.00, 16.0017.00, 17.00-18.00, weekend: 09.00-10.00,
10.00-11.00, 15.00-16.00) pengamatan yang
awalnya hanya 4 pengamatan. Sementara itu,
nilai kinerja jaringan jalan A tetap terdapat 4 kali
pengamatan, baik sebelum maupun sesudah
diterapkannya skenario.
Jalan Gatot Subroto
Kinerja jaringan Jalan Gatot Subroto pada
kondisi eksisiting, baik pada hari kerja
(weekday) dan akhir pekan (weekend) dinilai
sangat beragam, dimana nilai kinerja jaringan
jalan berkisar pada B, C, D, E. Jalan Gatot
Subroto yang menjadi wilayah studi merupakan
jaringan jalan yang memiliki 2 jalur/ arah
dengan 4 lajur. Pengggunaan lahan di
sepanjang Jalan Gatot Subroto merupakan
penggunaan lahan perdagangan dan jasa.
Kondisi pada kondisi eksisting menunjukkan
bahwa kelas kinerja jaringan jalan yang paling
rendah adalah kelas E sebanyak 3 kali
pengamatan pukul 07.00-08.00 (weekday),
09.00-10.00 (weekend), dan 18.00-19.00
(weekend). Sementara itu, kelas kinerja jaringan
jalan B dan D masing-masing terdapat pada 1
kali pengamatan secara berturut-turut, yakni
15.00-16.00 dan 07.00-08.00. Kelas kinerja
jaringan jalan yang mendominasi adalah kelas C
dengan 7 kali pengamatan, baik saat hari kerja
(12.00-13.00 dan 16.00-17.00) maupun akhir
pekan (09.00-10.00,15.00-16.00, 18.00-19.00).
Setelah dilakukan estimasi terhadap penerapan
monorel, maka terjadi peningkatan kinerja
jaringan jalan menjadi kelas B, C, dan D dengan
nilai kinerja jaringan jalan terendah adalah D.
Sementara itu, nilai kinerja jaringan jalan yang
mendominasi adalah B sebanyak 6 kali
pengamatan yang pada kondisi eksisting hanya
pada 1 kali pengamatan. Hal tersebut
menunjukkan
bahwa
estimasi
terhadap
penerapan monorel memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap peningkatan kinerja
jaringan Jalan Gatot Subroto. Sementara itu,
kelas kinerja jaringan jalan D terjadi pada akhir
pekan pukul 09.00-10.00.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 379

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

Hal tersebut menunjukkan bahwa volume lalu


lintas pada akhir pekan di Jalan Gatot Subroto
cukup tinggi karena merupakan salah satu jalan
yang menghubungkan dengan pusat Kota
Bandung.
Jalan Pelajar Pejuang 45
Kinerja jaringan Jalan Pelajar Pejuang 45 pada
kondisi eksisiting dari Jalan Gatot Subroto/ Laswi
menuju Jalan Pelajar Pejuang dan Buah Batu,
baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan
(weekend) sangat beragam dari kelas A hingga
F. Kelas kinerja jaringan jalan D, E, dan F terjadi
masing-masing 1 kali pengamatan pada pukul
16.00-17.00 (weekday), 09.00-10.00 (weekend),
15.00-16.00 (weekend). Sementara itu, kelas
kinerja jaringan jalan A dan B masing-masing
terjadi dalam 4 (weekday: 07.0008.00,
weekend: 09.00-10.00, 15.00-16.00, dan 18.0019.00) dan 3 kali pengamatan (weekday: 07.0008.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00), sedangkan,
kelas kinerja jaringan jalan C terjadi pada 2 kali
pengamatan, yakni pada pukul 12.00-13.00
(weekday) dan 18.00-19.00 (weekend).
Setelah dilakukan penerapan skenario monorel
untuk arah Jalan Gatot Subroto/ Laswi menuju
Jalan Pelajar Pejuang dan Buah Batu maka kelas
kinerja jaringan Jalan Pelajar Pejuang 45 adalah
A, B, C, F. Perubahan yang terjadi adalah pada
kelas kinerja jaringan jalan A dan C. Kelas
kinerja jaringan jalan A yang pada awalnya
terdapat 4 kali pengamatan menjadi 5 kali
pengamatan, yakni pada pukul 07.00-08.00,
09.00-10.00, 12.00-13.00, 15.00-16.00, dan
18.00-19.00. Sementara itu, kelas kinerja jalan
C yang pada awalnya 2 pengamatan menjadi 4
pengamatan, yakni pada pukul 09.00-10.00
(weekend), 12.00-13.00 (weekday), 16.00-17.00
(weekday), 18.0019.00 (weekend).
Arah Jalan Pelajar Pejuang menuju Jalan Gatot
Subroto/ Laswi dari Jalan Pelajar Pejuang
sebelum diterapkan skenario monorel pada Ruas
Jalan Pelajar Pejuang 45, menunjukkan bahwa
kinerja jaringan jalan A, B, D, E, F dengan kelas
kinerja jaringan jalan terendah adalah F. Kelas
kinerja jaringan jalan A merupakan kelas yang
mendominasi jumlah pengamatan sebanyak 5
pengamatan baik saat hari kerja (weekday)
380 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

(07.00-08.00 dan 16.00-17.00) maupun akhir


pekan (weekend) (09.00-10.00, 15.00-16.00,
dan 18.00-19.00). Sementara itu, kelas kinerja
jaringan jalan D, E, dan F masing-masing 1
pengamatan dan secara berturut-turut terjadi
pada akhir pekan pukul 18.00-19.00, 15.0016.00, 09.00-10.00. Rendahnya kinerja jaringan
Jalan Pelajar Pejuang 45 untuk arah ini pada
saat akhir pekan menunjukkan bahwa Jalan
Pelajar Pejuang 45 dilalui oleh pengguna jalan
untuk menuju pusat kota dan kegiatan di Kota
Bandung.
Setelah dilakukan estimasi penerapan skenario
monorel di Kota Bandung, maka diketahui
bahwa kelas kinerja jaringan jalan menjadi A, B,
C, dan D. Kelas kinerja jaringan jalan A
mendominasi
hasil
estimasi
dengan
7
pengamatan, baik saat weekday (07.00-08.00,
12.00-13.00, 16.00-17.00) maupun weekend
(09.00-10.00, 15.00-16.00, dan 18.00-19.00).
Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan C dan
D merupakan hasil pengamatan pada saat akhir
pekan, sehingga menunjukkan bahwa pada
akhir pekan, volume lalu lintas kendaraan di
Jalan Pelajar Pejuang 45 sangat padat dan
menimbulkan kemacetan.
Jalan Buah Batu
Analisa kinerja jaringan Jalan Buah batu pada
kondisi eksisiting, baik pada hari kerja
(weekday) dan akhir pekan (weekend) dinilai
cukup baik, dimana nilai kinerja jaringan jalan A
dan B. Sementara itu, ilustrasi kinerja jaringan
jalan setelah diterapkan skenario monorel pada
Ruas Jalan Buah Batu, menunjukkan bahwa
kinerja jaringan jalan menjadi bernilai A. Oleh
karena itu, diyakini bahwa baik sebelum
maupun setelah diterapkan rencana monorel
Kota Bandung, ruas Jalan Buah Batu yang pada
awalnya memiliki kinerja jaringan jalan baik
akan menjadi semakin baik.
Jalan Terusan Buah Batu
Analisa kinerja jaringan Jalan terusan Buah batu
pada kondisi eksisiting untuk arah Soekarno
Hatta dan Buah batu menuju Terusan Buah Batu
dan Tol Purbaleunyi, baik pada hari kerja
(weekday) dan akhir pekan (weekend) cukup

Sara Sorayya Ermuna

bervariasi. Namun, nilai kinerja jalan yang paling


rendah pada arah ini adalah pada tingkat E. Nilai
kinerja jalan pada tingjat E terjadi pada hari
kerja (weekday) di jam 07.00-08.00 dan 16.0017.00 serta pada akhir pekan (weekend) di jam
15.00-16.00.

Model Perhitungan Polusi Udara

Sementara itu, pada arah Terusan Buah Batu


menuju Jalan Soekarno Hatta dan Buah Batu
(menuju pusat kota Bandung), nilai tingkat
kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah
F.

Model perhitungan polusi udara yang dihasilkan


dari kendaraan bermotor dilakukan berdasarkan
beberapa model yang telah berkembang.
Selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil uji
udara roadside pada ruas jalan ini. Adapun ruas
jalan yang menjadi focus utama dalam
pembahasan ini adalah ruas jalan yang setelah
dilakukan estimasi pengembangan monorel
masih memiliki kelas kinerja jaringan jalan
dibawah kelas B, yakni kelas C-F.

Lebih lanjut, ilustrasi kinerja jaringan jalan


setelah diterapkan skenario monorel pada Ruas
Jalan Terusan Buah Batu, menunjukkan bahwa
pada arah Kota Bandung Tol Purbaeunyi
(Soekarno Hatta dan Buah Batu menuju Jalan
Terusan Buah Batu) kinerja jalan terbesar ialah
A dengan 5 kali pengamatan dan B dengan 4
kali pengamatan. Sementara itu, nilai kinerja
jaringan jalan adalah C (2 kali pengamatan pada
weekday: 16.00-17.00, weekend: 15.00-16.00)
dan D merupakan kinerja jaringan jalan yang
paling rendah pada weekend (07.00-08.00).

Model yang akan digunakan dalam analisa


perhitungan polusi udara ini menggunakan
model Zongan (2005) dengan faktor emisi dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan LAPI ITB.
Kedua model ini membutuhkan standar faktor
emisi sesuai dengan unsur-unsur yang dinilai,
yakni CO, NO, dan SO2. Lebih kanjut, maka
hasil perhitungan berdasarkan akan disesuaikan
dengan hasil uji primer dan standar sesuai
dengan baku mutu lingkungan yang berlaku,
yakni Peraturan Pemerintah No.41 Th.1999
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Hal ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan


penerapan skenario monorel Kota Bandung,
maka nilai kinerja jaringan jalan semakin baik.
Nilai kinerja jaringan jalan Terusan Buah Batu
tidak lagi E dan meningkat menjadi D pada hari
kerja (weekday: 07.00-08.00). Nilai kinerja
jaringan jalan C terdiri dari 2 pengamatan yakni
pada weekday pukul 16.00-17.00 dan weekend
pukul 15.00-16.00. Pada arah Terusan Buah
Batu menuju Kota Bandung, kinerja jaringan
jalan yang terbesar adalah pada kelas A dan B.
Pada kelas A terdapat 5 kali pengamatan
(weekday:
12.0013.00,
16.00-17.00
dan
weekend: 09.00-10.00, 15.00-16.00, 18.0019.00) yang sebelumnya hanya terdapat pada 3
pengamatan dan kelas B terdapat 3 kali
pengamatan (weekday: 07.00-08.00 dan 12.0013.00, weekend: 09.00-10.00) yang sebelumnya
4 kali pengamatan. Nilai terendah terdapat pada
kelas C (weekday: 07.00-08.00) dan kelas E
(weekday: 16.00 17.00).

Unsur Karbon Monoksida


Perbandingan hasil uji model menggunakan
kombinasi Model Zhongan dan Kementerian
Lingkungan Hidup dengan hasil uji primer, maka
terdapat selisih hingga mencapai rata-rata 94,2% - -98,6%. Lebih lanjut, jika dilakukan
perbandingan hasil uji model menggunakan
kombinasi Model Zhongan dan LAPI ITB dengan
hasil uji primer, maka terdapat selisih hingga
mencapai -64,2% - -91%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan
tingkat emisi yang terjadi dari hasil perhitungan
model akan sangat dipengaruhi oleh volume lalu
lintas setelah dilakukan penerapan skenario
monorel. Sementara itu, jika dibandingkan hasil
perhitungan model dengan hasil uji primer,
maka penggunaan model Zhongan dan LAPI ITB
akan lebih sesuai digunakan karena tingkat
selisih dengan hasil uji primer lebih rendah
sehingga lebih mendekati hasil uji primer.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 381

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

Unsur Nitrogen Oksida

Kesimpulan

Perbandingan hasil uji model menggunakan


kombinasi Model Zhongan dan Kementerian
Lingkungan Hidup dengan hasil uji primer, maka
penurunan terjadi hingga mencapai -6,3% - 63,9%.
Lebih
lanjut,
jika
dilakukan
perbandingan hasil uji model menggunakan
kombinasi Model Zhongan dan LAPI ITB dengan
hasil uji primer, maka terjadi peningkatan
mencapai 717,4% - 2549,9%.

Hasil temuan studi dari penelitian ini berkaitan


langsung dengan rumusan masalah yang
diangkat, sebagai berikut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan


tingkat emisi yang terjadi dari hasil perhitungan
model akan sangat dipengaruhi oleh volume lalu
lintas setelah dilakukan penerapan skenario
monorel. Sementara itu, jika dibandingkan hasil
perhitungan model dengan hasil uji primer,
maka penggunaan model Zhongan dan
Kementerian Lingkungan Hidup akan lebih
sesuai digunakan karena tingkat selisih dengan
hasil uji primer lebih rendah sehingga lebih
mendekati hasil uji primer.
Unsur Sulfur Dioksida
Perbandingan hasil uji model menggunakan
kombinasi Model Zhongan dan Kementerian
Lingkungan Hidup dengan hasil uji primer, maka
terdapat selisih hingga mencapai rata-rata 95,3% - -99,3%. Lebih lanjut, jika dilakukan
perbandingan hasil uji model menggunakan
kombinasi Model Zhongan dan LAPI ITB dengan
hasil uji primer, maka terdapat selisih hingga
mencapai -73% - -99,5%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan
tingkat emisi yang terjadi dari hasil perhitungan
model akan sangat dipengaruhi oleh volume lalu
lintas setelah dilakukan penerapan skenario
monorel. Sementara itu, jika dibandingkan hasil
perhitungan model dengan hasil uji primer,
maka penggunaan model Zhongan dan LAPI ITB
akan lebih sesuai digunakan karena tingkat
selisih dengan hasil uji primer lebih rendah
sehingga lebih mendekati hasil uji primer.
Namun, untuk unsur SO2 ini selisih faktor emisi
baik LAPI maupun Kementerian Lingkungan
Hidup tidak sebesar unsur CO maupun NOx.

382 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

a. Terdapat 11 ruas jalan di Kota Bandung yang


dijadikan sebagai wilayah penelitian sesuai
dengan rencana jalur monorel di Kota
Bandung. Sebelas ruas jalan tersebut memiliki
geometrik jalan yang berbeda dimana 3 ruas
jalan memiliki lajur dan jalur 4/2 D (Jalan Ir.
H. Juanda, Jalan Pelajar Pejuang 45, Jalan
Terusan Buah Batu), 3 ruas jalan (Jalan Dipati
Ukur, Jalan Gatot Subroto, Jalan Buah Batu)
memiliki lajur dan jalur 4/2 UD, 4 ruas jalan
memiliki lajur dan jalur 3/1, 1 ruas jalan
(Jalan Merdeka) memiliki lajur dan jalur 4/1.
b. Hasil perhitungan kinerja jaringan jalan pada
kondisi eksisting menunjukkan bahwa 8 dari
11 ruas jalan (Kecuali ruas Jalan Dipati Ukur,
Jalan Veteran, dan Jalan Buah Batu) memiliki
kelas kinerja jaringan jalan di bawah B,
sehingga memiliki potensi untuk terjadinya
tundaan
hingga
kemacetan
di
masa
mendatang.
c. Hasil perhitungan kinerja jaringan jalan
setelah dilakukan penerapan skenario monorel
Kota Bandung, maka terjadi perbaikan kelas
kinerja jaringan jalan, dimana hanya 5 ruas
jalan yang memiliki kelas kinerja jaringan
jalan di bawah kelas B. Hal tersebut
menunjukkan bahwa skenario monorel dapat
memperbaiki kelas kinerja jalan di Kota
Bandung.
d. Hasil uji primer untuk unsur CO, NO2, dan
SO2 pada kondisi eksisting menunjukkan
bahwa seluruh ruas jalan yang direncanakan
sebagai monorel tidak melebihi baku mutu
yang berlaku di Indonesia. Namun, untuk
faktor kebisingan seluruh ruas jalan melebihi
dari standar baku mutu yang ditetapkan.
Pengambilan data uji primer ini dilakukan
selama 1 jam untuk masing-masing ruas jalan
pada jam puncak.
e. Hasil perhitungan model emisi gas buang
kendaraan untuk unsur CO, NO2, dan SO2
dengan menggunakan data volume lalu lintas
dan faktor emisi yang berlaku di Indonesia
(LAPI ITB dan Kementerian Lingkungan
Hidup) menunjukkan hasil yang lebih rendah

Sara Sorayya Ermuna

atau sama dengan hasil uji primer yang telah


dilakukan, terutama untuk unsur CO dan SO2
yang dirasakan lebih sesuai jika menggunakan
faktor emisi yang dikeluarkan oleh LAPI ITB
sedangkan pencemar NO2 lebih sesuai untuk
menggunakan faktor emisi dari Kementerian
Lingkungan Hidup. Pernyataan mengenai
penggunaan
faktor
emisi
NO2
dari
Kementerian Lingkungan Hidup ini juga
diperkuat dari penelitian Srikandi Novianti
(2009).
f. Secara keseluruhan, adanya skenario monorel
di Kota Bandung dapat meningkatkan kelas
kinerja jaringan jalan dan menurunkan emisi
gas pencemar dari sector transportasi.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih peneliti berikan dengan
setulus-tulusnya kepada Dr. Iwan Pratoyo
Kusumantoro selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan masukan, dukungan serta
kritikan yang membangun dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Anonim. Studi Pra Kelayakan Monorel Kota
Bandung. Kota Bandung.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah.
(2010). RTRW Kota Bandung 2010-2030.
Bandung: Bappeda.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah.


(2010).
Masterplan
Transportasi
Kota
Bandung. Bandung: Bappeda.
Bina Marga. (1997). Manual Kapasitas Jalan
Indonesia 1997. Jakarta: Ditjen Bina Marja
Jalan Kota
Novianti, Srikandi dan Driejana. (2009).

Pengaruh Karakteristik Faktor Emisi terhadap


Estimasi Oksida Nitrogen dari Sektor
Transportasi (Studi Kasus: Wilayah Karees,
Bandung). Penelitian FTSL ITB
Pemerintah Kota Bandung. (2009). Masterplan
Transportasi Kota Bandung. Bandung
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara
Suhadi, Dollaris R. (2008). Penyusunan Petunjuk

Teknis Perkiraan Beban Pencemaran Udara


dari Kendaraan Bermotor di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
Zhongan, Mao, Sjaak Slanina, Gert Spaargaren,
and Zhang Yuanhang. (2005). Traffic and

urban air pollution, the case of Xian city,


P.R.China.
(Online,
http://cleanairasia.org/portal/system/files/arti
cles-37335_tp_15C_maozhongan.pdf)

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 383

Вам также может понравиться