Вы находитесь на странице: 1из 11

TUGAS MATA KULIAH GENETIKA MOLEKULER

TERAPI PADA PENYAKIT AKIBAT MUTASI PADA


DNA MITOKONDRIA

dr. Ardani Galih Prakosa


126070100111034

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2012

MITOKONDRIA

Mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada semua sel berinti dan
merupakan pembentuk utama ATP melalui reaksi oxidative phosphorylation (OXPHOS).
Proses ini melibatkan tahapan transfer elektron pada rantai respirasi (kompleks IIV)
dan ATP synthase (kompleks V). Mitokondria mempunyai DNA sendiri, namun organel
ini bekerja di bawah kendali genetik dari DNA inti maupun dari genome mitokondria. 1,2
DNA mitokondria (mtDNA) merupakan molekul dengan ukuran 16,569-kb
berbentuk sirkuler, double-stranded, yang mengandung 37 gen: 2 gen rRNA, 22 gen
tRNA, dan 13 gen structural yang mengkode protein enzim yang bekerja pada
respiratory chain (OXPHOS) di mitokondria, Rantai respirasi ini merupakan tahap akhir
dari metabolism oksidatif dan terbentuknya ATP. 1,2

Gambar 1. DNA mitokondria berbentuk sirkuler dengan


beberapa complex region yang menyandi protein enzim
pada rantai respirasi

MUTASI DNA MITOKONDRIA


Seperti halnya pada DNA inti, DNA mitokondria juga dapat mengalami mutasi.
Point mutation pada mtDNA dapat mengakibatkan penurunan jumlah enzim yang
diperlukan pada respiratory chain sehingga produksi ATP juga akan sangat berkurang.
Gangguan produksi energi dalam sel pada akhirnya akan menimbulkan berbagai
kelainan pada individu yang menderita. Kelainan ini terutama terjadi pada organ yang
membutuhkan energi yang besar, yaitu otak dan otot. Oleh sebab itu, manifestasi klinis
penyakit akibat kelainan mitokondria sebagian besar diakibatkan oleh kerusakan pada
otak/sistem saraf pusat dan otot 3.

Lebih dari 150 mutasi titik dan kesalahan urutan mtDNA yang telah diketahui
berhubungan dengan beberapa macam penyakit. Penyakit yang terkait dengan mutasi
pada mtDNA dibagi menjadi dua kelompok besar: 1) kelompok gangguan yang
disebabkan oleh mutasi pada gen yang terlibat pada sintesis protein, dan 2) kelompok
gangguan yang disebabkan mutasi pada gen yang mengkode protein individual yang
terlibat dalam respiratory chain. Pembagiannya adalah sebagai berikut 1,2,3

TIPE

MUTASI

Delesi tunggal
Mutasi yang
mempengaruhi
sintesis protein
mitokondria in
vivo

Mutasi tRNA

Gen ND

Mutasi pada
gen pengkode
protein

Cyt b

Gen COX
Gen ATPase 6

KLINIS

BIOKIMIAWI

KSS

Penurunan I, III, IV

PEO

Penurunan I, III, IV

PS

MELAS

Penurunan I, III, IV

MERRF &
multisitem
lain

Penurunan I, III, IV

Miopati

Penurunan I, III, IV

LHON

Penurunan I (+/-)

MELAS, LS

Penurunan I

Miopati

Penurunan I

Multisitem

Penurunan III

Miopati

Penurunan III

Multisistem

Penurunan IV

Miopati

Penurunan IV

NARP/MILS

Penurunan V

LA (lactic acidosis), ND (NADH dehydrogenase), KSS (Kearns-Sayre syndrome), PEO


(progressive external ophtalmoplegia), PS (Pearson syndrome), MELAS (mitochondrial
encephalomyopathy,lactic acidosis, stroke-like episodes), MERRF (myoclonus epilepsy and
raggered fibers), LHON (Leber hereditary optic neuropathy), LS (Leigh syndrome), NARP
(neuropathy, ataxia, retinitis pigmentosa), MILS (maternally inherited Leigh syndrome).

TERAPI PADA PENYAKIT AKIBAT MUTASI mtDNA

Seperti penyakit genetis lain, penyakit akibat mutasi mtDNA membutuhkan


penanganan yang cukup kompleks. Secara garis besar, pendekatan terapi penyakit ini
dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu: 1) Terapi simptomatis sesuai gejala yang
timbul pada masing-masing penderita; 2) Terapi farmakologis untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita; dan 3) Terapi gen.
1. Terapi simptomatis
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manifestasi klinis utama dari penyakit akibat
mutasi mtDNA adalah kelainan pada otot dan sistem saraf pusat. Oleh karena itu gejalagejala yang terkait gangguan saraf dan otot seperti gangguan perkembangan mental
dan motoris, kejang, atonia/distonia, dan kontraktur otot banyak ditemukan pada
penderita. Masing-masing penderita dapat menunjukkan gejala yang berbeda, oleh
karena itu pendekatan terapinya harus disesuaikan dengan gejala klinis yang ada, bila
perlu penanganan oleh ahli dari masing-masing disiplin ilmu yang sesuai dapat
dilakukan.
Sebagai contoh, gejala kejang yang timbul pada penderita Leigh Syndrom perlu
penanganan dengan pemberian obat-obatan antikonvulsan. Obat psikotropika efektif
pada pasien dengan gejala psikiatrik, khususnya depresi, Hambatan perkembangan
mental dan motoris pada penderita PDH defisiensi memerlukan penanganan khusus
antara lain terapi wicara dan terapi okupasi. Tindakan pembedahan oleh opthalmologist
diperlukan untuk penanganan ptosis parah pada pasien dengan oftalmoplegia eksternal
progresif. Katarak kongenital juga dapat ditangani dengan pembedahan 4,5.
Pada pasien dengan sindroma Kearns-Sayre disertai blockade konduksi jantung.
Perlu dilakukan pemasangan pacemaker untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada
pasien dengan kardiomiopati dan gangguan multisystem dapat dipertimbangkan
tindakan transplantasi jantung 4,5.
Kehilangan pendengaran neurosensoris dapat ditangani dengan implantasi
koklea. Gagal hepar yang sering terkait dengan sindroma deplesi mtDNA, dapat
ditangani dengan transplantasi liver. Myoglobinuria rekuren dapat ditemukan pada
pasien dengan defisiensi coenzyme Q10 (CoQ10) primer atau dengan mutasi gen
pengkode protein mtDNA. Selama episode akut, semua pasien harus dilakukan
rehidrasi dan menjalani dialysis ginjal karena myoglobinuria dapat menyebabkan
komplikasi gagal ginjal. 4,5
2 Terapi Farmakologis

Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan terapi farmakologis adalah


pemberian obat-obatan yang bekerja dengan menghambat metabolit toksik sebagai
hasil dari metabolism alternative, maupun obat-obatan yang bekerja meningkatkan
fungsi dan life time enzim pada rantai respirasi. Yang termasuk di sini adalah:
2.1 Pengeluaran Metabolit Noxius
Asidosis laktat adalah salah satu tanda khas dari penyakit akibat kelainan
mitokondria. Karena metabolism aerob di mitokondria mengalami gangguan, maka jalur
metabolisme anaerob meningkat dan menghasilkan metabolit asam laktat. Asam laktat
bersifat neurotoksik, sehingga kadarnya perlu diturunkan. Obat penurun asam laktat
yang umum digunakan adalah dikloroasetat (DKA) yang bekerja dengan menghambat
piruvat dehydrogenase (PDH) kinase, menyebabkan PDH tetap defosforilasi, bentuk
aktif dan membantu metabolism piruvat dan oksidasi laktat. DKA sendiri mempunyai
efek samping neuropati perifer, sehingga DKA tidak boleh digunakan dalam jangka
panjang pada kelainan mitokondria yang rentan terkena neurophaty perifer 4,5.
Sindroma ensefalopati neurogastrointestinal mitokondrial (MNGIE) mempunyai
tanda khas adanya defek pada sinyal intergenomik. Pasien dengan kelainan
multisistemik ini mengalami mutasi pada gen TP yang mengkode enzim timidin kinase,
akibat yang ditimbulkan adalah akumulasi timidin dalam darah. Strategi pengobatan
yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan metabolit ini dengan hemodialisa.
Pendekatan yang lebih radikal seperti transplantasi sel stem allogenik dapat
dipertimbangakan karena hasilnya cukup menjanjikan. 4,5
Dari beberapa pengamatan, telah diketahui bahwa sel satelit dan mioblas
mengandung jumlah mtDNA mutan lebih sedikit dibandingkan serabut otot matur. Dari
data ini, beberapa peneliti berusaha mengembangkan strategi pengobatan dengan
menggunakan agen miotoksik, bupivocaine, untuk menyebabkan nekrosis otot terbatas,
yang dapat menghasilkan jaringan otot dengan jumlah mutan mtDNA lebih sedikit.
Sayangnya, percobaan dengan injeksi unilateral bupivocaine pada otot levator palpebral
pada lima pasien dengan oftalmoplegia eksternal progresif atau KSS tidak menghasilkan
perbaikan apapun. Pendekatan lain berdasar pada fakta bahwa latihan isometric
menyebabkan mikrotrauma dan nekrosis otot terbatas. Salah satu penelitian pada 1
pasien dengan mioglobinuria rekuren karena mutasi nonsense gen COX I mtDNA,
mengindikasikan bahwa ada sebuah proses regenerasi. pada beberapa serabut otot
yang

dibiopsi.

Fakta

ini

mendukung

pendekatan

terapi

dengan

menginduksi

myoglobinuria pada pasien yang mengalami intoleransi latihan atau kelemahan karena
mutasi mtDNA spesifik otot. Selain itu, baik latihan ketahanan dan resistance dapat
digunakan sebagai kombinasi untuk penanganan miopati mitokondria.4,5

2.2 Pemberian Akseptor Elektron


Encephalomiopati mitokondrial dapat disebabkan oleh defisiensi CCoQ10
primer. Kekurangan CoQ10 di mitokondria akan mengganggu aliran eklektron dari
kompleks I dan II ke kompleks III, dimana akan mengurangi sintesis ATP. Sebagai
tambahan, CoQ10 berfungsi sebagai antioksidan sehingga defisiensinya akan
berdampak pada sel post-mitotik seperti neuron dan otot yang rentan terhadap
kerusakan oksidatif Pendekatan terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian 2
akseptor elektron buatan, yaitu menadiol difosfat 40 mg/hari dan vitamin C 4 g/hari. 4,5
Beberapa clinical trial dengan kedua obat itu menunjukkan kembalinya kekuatan
dan ketahanan otot, biopsy otot setelah 8 bulan terapi menunjukkan bahwa level CoQ10
kembali normal, penumpukan lipid menghilang, aktivitas enzim rantai pernafasan
meningkat, dan penurunan proporsi miofibril yang terapoptosis. Meskipun demikian,
pasien yang mengalami ataksia membutuhkan dosis yang lebih besar (hingga 1.000
mg/hari) dan berespon lambat, hal ini mungkin diakibatkan kerusakan serbelar yang
ireversibe.4,5
2.3 Pemberian Vitamin dan Kofaktor
Berbagai

macam

vitamin

dan

kofaktor

telah

digunakan

pada

pasien

ensepalomiopati mitokondrial dan menunjukkan hasil yang positif, antara lain adalah
riboflavin (vitamin B2), thiamine (Vitamin B1), Asam folat, CoQ10, I-Carnitine, dan
creatine. Beberapa diantaranya seperti riboflavin dan CoQ10 adalah komponen dari
rantai respiratori. Sedangkan kofaktor yang lain menurun pada beberapa kondisi seperti
asam folat yang lebih rendah dari normal pada darah dan CSF pasien dengan KSS.
Pada beberapa pasien, kadar carnitin bebas cenderung menurun karena carnitine
teresterifikasi meningkat. Pergeseran ini mencerminkan kerusakan parsial dari oksidasi disertai gangguan CoQ10. Gabungan vitamin yang dapat digunakan untuk
kasus ini

adalah L-carnitine (1000 mg 3x/hari) dan CoQ10 (minimal 400 mg/hari)

dengan tujuan mengembalikan level carnitine bebas dan meningkatkan aktivitas oxygen
radical scavenger CoQ10. 4,5

Pada pasien MELAS, terjadi defisiensi carnitin primer, pendekatan terapi yang
dapat dilakukan adalah pemberian Carnitine Monohidrat. Pada suatu percobaan,
pemberian Carnitine monohidrat pada 6 pasien dengan MELAS dan 1 dengan kelainan
mitokondrial yang tidak jelas menunjukkan adanya perbaikan pada aktifitas yang berat
tetapi tidak pada latihan aerobik yang ringan 4,5 .
Suplementasi tembaga memberikan hasil yang positif pada beberapa penelitian
in vitro untuk terapi ensepalomiopati infantile yang terkait dengan defisiensi COX. Pada
kelainan ini terjadi mutasi gen SCO2, yang mengkode protein COX-assembly yang
dibutuhkan untuk insersi cooper ke holoenzim. Ketika tembaga ditambahkan pada
medium kultur dari mioblast defisit COX yang memiliki mutasi SCO2, aktivitas COX
dapat kembali normal. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi tembaga kemungkinan
besar bermanfaat untuk bayi yang menderita cardiomiopati dan mutasi SCO2 4,5 .
Deplesi mtDNA juga dapat dicegah dengan penambahan produk defektif enzim
(deoksiguinosine monofosfat dan deoxyadenosin monofosfat), deoxiguinase kinase,
pada fibroblas dari pasien dengan sindrom hepatoserebral dan mutasi homozigus pada
gen DGUOK. 4,5
2.4 Pemberian Oxygen Radical Scavengers (ORS)
Defek rantai respirasi memiliki efek yang berbahaya yaitu kerusakan produksi
ATP, gangguan intracellular calcium buffering, produksi ROS berlebih, dan peningkatan
apoptosis. Peningkatan produksi ROS merusak membran sel melalui peroksidasi lipid
dan juga dapat memperparah jumlah mutasi mtDNA.
Dalam percobaan menurunkan ROS, beberapa Oxygen radical Scavengers telah
digunakan pada sebagian besar kelainan yang disebutkan termasuk vitamin E, CoQ10,
idebenone, dan dihidrolifoat. CoQ10 telah digunakan untuk penyakit mitokondria dengan
hasil positif dan efek negatif yang minimal. CoQ10 dan analognya, idebenone, telah
digunakan secara luas sebagai terapi kelainan neurodegenerative yang terkait dengan
peningkatan ROS. 4,5
3.3 Terapi Gen
Seperti halnya pada kelainan akibat mutasi DNA inti, pendekatan terapi gen
dapat dilakukan pada kelainan akibat mutasi DNA mitokondria. Untuk penyakit
mitokondria yang disebabkan mutasi pada gen inti, masalahnya tidak berbeda dengan

terapi gen untuk gangguan genetic mendelian, termasuk pemilihan vector viral atau nonviral yang sesuai, pengiriman ke jaringan yang sakit, dan reaksi imunologis potensial. 4,5
Namun pada penyakit akibat mutasi pada mtDNA murni, masalahnya jauh lebih
kompleks. Genome mitokondria yang bersifat poliploid, fenomena heteroplasmy,
ketidakmampuan untuk mentransfeksikan asam nukleat yang potensial untuk terapi ke
mitokondria serta belum adanya realisasi model hewan coba dengan penyakit mtDNA
menjadi masalah utama dalam pengembangan terapi berbasis gen. Walaupun demikian,
beberapa strategi untuk menyelamatkan fungsi mitokondria melalui komplementasi
defek genetic atau manipulasi langsung level mtDNA mutan telah dipertimbangkan.
Salah satu cara melengkapi protein mitokondria disfungsional adalah melalui allotopic
expression.

Dengan

menggunakan

pendekatan

ini,

menjadi

mungkin

untuk

mengekspresikan protein ATPase 6 wild-type secara allotopic dari suatu konstruksi


nucleus-transfected pada sel cybrid transmitochondrial yang bersifat homoplasmy untuk
mutasi pada 8993T>G MTATP6 (subunit 6 dari ATP synthase mitokondria) dimana dapat
menyebabkan

kelemahan

neurogenik,

ataxia

dan

retinitis

pigmentosa

(NARP

syndrome). Intervensi ini ternyata menyebabkan pemulihan parsial pada defek biokimia
akibat mutasi mtDNA. Strategi yang sama juga digunakan untuk mengekspresikan gen
modifikasi subunit 4 NADH dehydrogenase (ND4) untuk melengkapi (complementation)
mutasi 1778G>A yang menyebabkan LHON. 4,5
Strategi terapi selanjutnya adalah melakukan pergeseran pada heteroplasmy,
yaitu menurunkan rasio genom mutan terhadap wild-type (gene shifting). Pendekatan ini
dapat dicapai melalui beberapa cara: (1) menghambat replikasi genome mutan secara
selektif dengan peptide asam nukleat; (2) memasukkan RNAs ke mitokondria; (3)
memasukkan polipeptida ke mitokondria; (4) memilih untuk fungsi respirasi; (5) induksi
regenerasi otot; dan (6) induksi fusi mitokondria. 3,4
Hibridisasi selektif derivate asam nukleat mtDNA mutan dapat menghambat
replikasinya selama propagasi genome wild-type, sehingga menyebabkan proporsi
genome mutan turun di bawah ambang patogenik (pathogenic threshold). Beberapa
percobaan in vitro berhasil menurunkan rasio mutan A8344G MERRF. 4,5
Strategi terapi selanjutnya adalah memasukkan polipeptida ke mitokondria.
Strategi terapi ini mempunyai implementasi logistic yang berbeda, meliputi ekspresi
allotopik, ekspresi xenotopik, dan impor endonuclease restriksi. Ekspresi allotopik
mengacu pada strategi yang ditujukan untuk menurunkan beban protein mutan dengan
mengimpor versi normal dari protein mutan yang dikode mtDNA dari gen snuck ke

dalam nucleus. Sebagai contoh, gen ATPase 6 mtDNA dapat diubah dari mitokondria ke
kode genetic inti. Untuk meyakinkan bahwa protein inti baru dikode oleh gen yang telah
diubah dikenali, dan ditranspor ke mitokondria, maka pada protein tersebut diberi leader
peptide, dimana sekuen genetiknya dipinjam dari protein yang dikode mtDNA yang lain.
Setelah genetic Trojan horse dibawa ke nucleus, produk translasinya di sitoplasma
ditranspor ke mitokondria, dilepaskan iktan leader peptide-nya, dan bergabung dengan
komponen F0 dari kompleks V bersama dengan ATPase 8 yang disintesis di
mitokondria. Pendekatan ini telah direalisasikan in vitro untuk mengkoreksi defek
biokimia sel cybrid yang mengalami mutasi T8993G NARP/MILS dan cybrid yang
mengalami mutasi G11778A LHON (Lebers hereditary optic neuropathy). 4,5
Trik molekuler lain yang digunakan untuk mengkoreksi defek rantai respirasi
yang disebabkan mutasi mtDNA dengan transfeksi sel mamalia yang sakit adalah
dengan gen mitokondria maupun gen inti dari organisme lain tetapi mengkode cognate
protein xenotopic expression. Pendekatan molekuler langsung adalah dengan
mengimpor endonuclease restriktif spesifik sebagai magic bullets untuk merusak mtDNA
mutan secara selektif. Pendekatan ini telah dilakukan pada sel cybrid model mutasi
pada gen ATPase 6 T8993G NARP/MILS dengan membuat site Smal unik pada mtDNA
manusia. Gen untuk Smal fusi ke sekuen target mitokondria dan secara transien
diekspresikan pada cybrid heteroplasmik yang kehilangan mtDNA mutan. 4,5
Pendekatan lain yang cukup efektif untuk menurunkan beban mutasi mtDNA
secara in vitro adalah pemaparan terhadap metabolit keton. Sel hybrid yang mengalami
delesi tunggal mtDNA dibiakkan dalam medium yang mengandung keton sebagai
sumber karbon. Sel yang homoplasmik untuk delesi mtDNA mati, sedangkan sel
homoplasmik untuk mtDNA wild-type hidup. Pada heteroplasmic cell lines, proporsi
mtDNA wild-type meningkat dari 13% menjadi 22% setelah 5 hari perlakuan dalam
medium ketogenik, dan pada percobaan ini didapatkan perbaikan sintesis protein
mitokondria. Pergeseran heteroplasmik (heteroplasmic shifting) tidak hanya terjadi
diantara sel (seleksi interseluler) tetapi juga di dalam sel (seleksi intraseluler). Hasil ini
dapat dijadikan rujukan kemungkinan dilakukannya percobaan in vivo pada pasien
menggunakan diet ketogenik. 4,5
Dalam kaitannya dengan heteroplasmic shifting, mungkin tidak perlu lagi
menurunkan jumlah mutasi jika kita dapat mendistribusikan ulang proporsi mtDNA
mutan dengan wild-type dalam mitokondria, mengubah organel mutan homoplasmi dan
organel wild-type homoplasmi menjadi organel heteroplasmi. Dengan cara ini, maka

dapat dimanipulasi populasi mitokondria mutan di bawah threshold untuk mengobati


disfungsi mitokondria. 4,5
Pendekatan terapi selanjutnya adalah mengurangi produksi ROS. Pendekatan
genetic dengan menangkap ROS telah berhasil dilakukan pada hewan coba tikus.
Pertama, defisiensi kompleks I disebabkan oleh ekspresi anti-NDUFA1 ribozyme
(NDUFA1 merupakan subunit katalitik kompleks I) menginduksi lesi retina dan saraf
optic sama dengan LHON pada manusia. Kedua, regulasi penurunan MnSOD oleh
ekspresi anti-SOD2 ribozyme pada tikus juga menginduksi lesi menyerupai LHON. Data
ini mendukung konsep bahwa produksi ROS berlebihan merusak retina dan saraf optic.
Ketika peneliti melakukan ko-ekspresi anti-NDUFA1 rybozyme (racun) dan SOD2
(antidot) pada tikus yang sama, lesi tidak muncul. Fakta ini menjelaskan bagaimana
potensi terapi suatu SOD scavenging. 4,5

DAFTAR PUSTAKA

1. Chial H, Craig J. 2008. mtDNA and Mitochondrial Diseases. Nature


Education 1(1). http://www.nature.com/scitable/topicpage/mtdna-andmitochondrial-diseases-903. Diakses tanggal 1 Januari 2013.
2. Solano A, Playn A, Lpez-Prez MJ, Montoya J. 2001. Genetic Diseases of
Human Mitochondrial DNA. Salud Publica Mex 2001;43:151-161

3. Reeve AK, Krishnan KJ, Turnbull D. 2008. Mitochondrial DNA Mutations in


Disease, Aging, and Neurodegeneration. Annals of the New York Academy of
Sciences; 1147: 21-29

4. Dimauro S, Dacidzon G. 2005. Mitochondrial DNA and Disease. Annals of


Medicine. 2005; 37: 222-232

5. Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA Mutations in Human Disease.
(Online) http://www.nature.com/reviews/genetics. Diakses tanggal 1 Januari
2013.

Вам также может понравиться