Вы находитесь на странице: 1из 3

SUMBER PENGAMBILAN ILMU

Sumber-sumber pengambilan ilmu menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wahyu, nash-nash Al Qur-an dan As
Sunnah menurut pemahaman para salaf ash shalih. Adapun para ahli bid'ah, mereka memiliki sumber-sumber
pengambilan ilmu yang banyak sekali, dan bahwasanya boleh bagi setiap orang untuk mengambil dalil dengan
dalil-dalil yang asing dari Al Kitab dan Sunnah, dengan metode yang aneh dalam pemahaman ataupun
pengambilan dalil. Oleh karenanya muncullah beberapa pendapat yang besar dari para ahlil bid'ah yang menyelisihi
ruh syari'ah dan menyelisihi timbangan wahyu yang tetap.
1. Akal
Akal dalam syara' adalah sandaran taklif
dengan akal yang biasa, yang dilakukan
memahami ilmu kalam, ilmu filsafat dan
aqliyah tentang hari pembangkitan, tauhid

(pembebanan), dan yang dimaksud dengan akal disini adalah berfikir


dengan mudah bagi orang-orang awam dan orang-orang yang tidak
ilmu mantiq. Oleh karenanya di dalam kitab Allah terdapat dalil-dalil
uluhiyah, nubuwwah dan lain-lain.

Akal sehat yang bebas dari pengaruh nafsu dan syubhat tidak akan bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang
shahih dalam keadaan bagaimanapun juga. Dan syara' tidak datang membawa sesuatu yang ditolah oleh akal,
walaupun terkadang syara' datang membawa sesuatu yang tidak difahami oleh akal. Demikian itu disebabkan
karena pencipta akal adalah Allah dan yang menurunkan wahyu adalah Allah juga dan Dia telah menjadikan akal
sesuai dengan wahyu.
Perumpamaan yang sangat bagus dalam kedudukan akal dengan wahyu adalah:
Sesungguhnya akal ibarat mata dan wahyu ibarat cahaya. Jika tidak ada cahaya maka mata tidak akan bisa
melihat apapun selamanya, sehingga di saat itu mata tidak berguna sama sekali. Begitu juga jika tidak ada mata,
maka cahaya tidak dapat digunakan sama sekali.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak pernah mengingkari orang yang (berpegang dengan akal) sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, akan tetapi mereka mengingkari sikap mendahulukan akal daripada nash-nash wahyu,
mempergunakannya bukan pada tempatnya, yaitu hal-hal yang hakekatnya hanya diketahui oleh Allah. Ahlus
Sunnah juga mengingkari sikap menjadikan akal sebagai sumber pengambilan ilmu.
Dari sini diketahui bahawa ahli bid'ah dari kalangan ahli ilmu kalam mengucapkan kata akal maka mereka tidak
menginginkan dengan kata itu akal yang sudah diketahui umum, akan tetapi yang mereka inginkan adalah
kebodohan-kebodohan ilmu kalam yang diistilahkan dengan Qawati'ul Aqliyah (hukum-hukum akal yang pasti).
Kemudian setelah itu, mereka menganggap tidak ada apa-apa untuk menyimpangkan nash-nash agama dan
petunjuk-petunjuk berdasarkan lafadz-lafadz (dari Al Qur-an dan Sunnah) dengan tahrif (merobah makna dan
lafadz) dan ta'wil (memberikan makna yang berbeda dengan makna zhahirnya) untuk menyesuaikan dengan apa
yang mereka namakan akal menurut anggapan mereka.
Firqah (golongan) yang pertama kali menjadikan akal sebagai sumber ilmu adalah Jahmiyah, kemudian nampak
lebih jelas bentuknya pada kaum Mu'tazilah. Kemudian Asy'ariyah dan Maturidy mengikuti Jahmiyah dan
Mu'tazilah.
Sikap mereka menjadikan akal sebagai sumber pengambilan ilmu itu disebabkan oleh dua hal:
1.

Penerjemahan buku-buku Yunani pada masa pemerintahan Ma'mun dan pada masa-masa setelahnya yang
mengkultuskan akal dan mengagung-agungkannya.

2.

Munculnya ilmu kalam, yaitu pada saat munculnya firqah-firqah, ketika sebagian dari kaum muslimin
membantah dengan metode/cara musuh itu sendiri. Dengan berlangsungnya perbantahan itu muncullah
apa yang disebut dengan ilmu kalam. Dari sinilah akal menjadi sumber pengambilan ilmu yang terpercaya
pada sebagian kelompok. Adapun dalil syar'i terkadang dipakai untuk menguatkan, bukan sebagai
sandaran.

Saya akan menukilkan dua contoh yang akan memperjelas kepada pembaca tentang apa yang telah dijelaskan di
atas:
1. Al Qadhi Abdul Jabar Al Mu'tazily berkata: Jika dalil aqli telah mencegah sesuatu, kemudian apabila ada
zhahir dalil sam'i (wahyu) yang bertentangan dengannya, maka dalil sam'i tersebut hendaklah di ta'wilkan (diberi
arti lain), karena Allah yang telah menjadikan dalil-dalil sam'i juga telah menjadikan dalil-dalil aqli, sehingga tidak
boleh ada pertentangan padanya. (Al Mughni Fii Abwabil Adl wat Tauhid, 13/280).
2. Ar Razy Al Asy'ary berkata dalam kitabnya Asasut Taqdis (168-173): Jika bertentangan dalil sam'i dengan akal
atau dalil aqli dengan naqli atau zhahir naqli dengan hukum akal, atau ungkapan yang sejenis maka:

Kemungkinan (pertama) dicari jalan temu antara keduanya, tetapi itu adalah suatu yang mustahil karena
tidak bisa mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan.

Atau ditolak keduanya.

Atau kemungkinan dalil sam'i didahulukan, tetapi ini juga mustahil karena akal adalah dasar dari dalil
naqli, kalau kita mendahulukan dalil naqli atau dalil aqli maka itu adalah celaan pada akal yang
merupakan dasar dalil naqli. Dan cela pada dasar sesuatu adalah cela pada sesuatu itu sendiri, maka
mendahulukan dalil naqli atas akal adalah cela pada keduanya.

Maka wajib mendahulukan akal. Sedangkan dalil naqlinya bisa dita'wilkan atau bisa ditinggalkan, atau jika
memang keduanya bertentangan sama sekali, dan tidak bisa digabungkan maka bisa ditinggalkan keduaduanya.

Maka di saat ada orang yang mengatakan bahwa akal adalah sumber pengambilan ilmu dalam masalah aqidah,
jadilah kedudukan nash-nash syar'i menjadi lemah pada mereka. Sehingga ada yang mengatakan: Dalil-dalil lafadz
itu tidak memberikan keyakinan. Dan dia menolak hadits ahad dengan alasan masih bersifat zhanni. Ada juga di
antara mereka yang mengatakan: Beramal dengan dzahir-dzahir lafadz termasuk pokok-pokok kekafiran.

2. Ilmu Kasyf
Ilmu kasf menurut orang-orang tasawuf adalah ilmu yang diterima secara yakin, yang didahulukan atas ilmu-ilmu
syara'. Padahal kasyf adalah bisikan-bisikan jiwa, sehingga kadang ada kebenaran dan kebatilan padanya, sebagian
ada yang dari syetan dan sebagian lagi ada yang dari hawa nafsu. Meskipun demikian orang-orang ahli tasawuf
menganggap bisikan-bisikan itu sebagai sumber pengambilan ilmu ma'rifat dan agama.
Mereka mengatakan kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah: Kalian, sanad kalian dari orang yang telah mati, kami
mengambilnya langsung dari Rabbul Alamin. Mereka juga mengatakan: Hatiku telah membisikiku dari Rabbku.
Mereka mendahulukan kasyf daripada Al Kitab dan As Sunnah. Menurut mereka kasyf itu akan terjadi dengan
mujahadah nafsiyah dan berkhalwat dan mengkonsentrasikan tekad untuk berzikir dengan zikir yang bid'ah bahkan
terkadang termasuk syirik.
Padahal ilmu kasyf tidak ada kaitan dan hubungannya dengan Al Kitab dan As Sunnah. Dan para ahli tasawuf tidak
mengharuskan adanya hubungan antara kasyf dengan Al Kitab dan As Sunnah, apalagi menjadikan wahyu sebagai
hakim (penentu) atas perasaan dan kasyf. ini bukanlah cara Rasulullah dan para sahabat dalam mengambil ilmu
ma'rifat dan keimanan.
Tidak diragukan lagi bahwa kebersihan dan kesucian jiwa itu akan menambah ilmu dan ma'rifat. Akan tetapi yang
dimaksud di sini adalah pembersihan dan penyucian jiwa degnancara Ahlus Sunnah wal Jama'ah yaitu cara yang
syar'i. Adapun metode orang-orang tasawuf sangat jauh dari cara Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam pembersihan
jiwa.
Abu Hamid Al Ghazali mengatakan: Ilmu kasyf itu adalah ungkapan dari cahaya yang muncul di dalam hati ketika
hati itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, dan banyak hal-hal yang tersingkap oleh sebab adanya cahaya
itu, sehingga akan terjadi ma'rifat dengan sebenarnya terhadap Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya yang kekal, bisa
mengetahui makna nubuwah dan Nabi, makna wahyu, bisa mengetahui cara muncul para malaikat kepada para
nabi, cara sampainya wahyu kepada mereka dan bisa mengetahui kerajaan langit-langit dan bumi. (Ihya'
Ulumuddin 1/18).
Saya akan menghadirkan beberapa contoh kasyf orang-orang tasawuf, sehingga bisa diketahui prakteknya:
Al Jily telah menyebutkan di dalam kitabnya Al Insanul Kaamil (II/97) bahwasanya telah dibukakan baginya tabir
sehingga ia bisa melihat alam bagian bawah dan atasnya, ia bisa melihat para malaikat seluruhnya, dan ia
dipindah-pindah dari satu langit ke langit yang lainnya. Dia berkata: Pada masyhad (jenjang, tingkatan menurut
ahli tasawuf) ini berkumpulnya para nabi dan wali, aku berdiri di tempat itu, maka saya melihat semua para rasul
dan nabi-nabi, para wali dan malaikat yang tinggi dan malaikan muqarrabin (yang dekat dengan Allah) dan
malaikat taskhir (yang bertugas mengatur alam), dan dibukakan bagiku hakekat banyak dari sejak zaman azaly
sampai selama-lamanya.
Cobalah anda renungkan kekafiran yang jelas ini, dari seorang yang mengaku wali, dia (mengaku) telah bisa
mencapai tingkat ketinggian para nabi, mengetahui hal-hal yang ghaib dan mengetahui keadaan segala sesuatu
dengan kasyf, sesuatu yang belum tercapai bagi Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan bagi para tokoh umat Islam.
Tidaklah anda perhatikan wahai para pembaca bagaimana kasyf menjadi sumber pengambilan ilmu menurut para
orang tasawuf tersebut.
Dengan kasyf ala sufi (menurut anggapan mereka) manusia bisa membedakan hadits yang shahih dengan hadits
dhaif walaupun ia tidak bisa membaca dan menulis.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah penghancuran terhadap pilar-pilar agama dan pengrusakan terhadap ajaranajaran syari'at. kalau memang demikian, kenapa para ulama bersusah payah untuk mencari ilmu hadits dan
melakukan perjalanan karenanya?
Adapun mencari ilmu agama dan membaca Al Qur-an dianggap oleh orang-orang tasawuf sebagai tujuan-tujuan
dunia yang seharusnya dijauhi.
Al Ghazali berkomentar tentang apa yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat kasyf: Dan
hendaklah ia duduk dengan hati yang kosong dan niat yang terpusat. Dan janganlah ia kacaukan pikirannya
dengan bacaan Al Qur-an, merenungi tafsir atau menulis hadits serta yang lainnya (Al Ghazali wat Tashawwuf,
194).
Dia juga mengatakan tentang kasyf: Orang-orang yang mendapatkan taufiq adalah orang-orang yang mengetahui
banyak hal dengan cahaya ilahi, bukan dengan sama' (dalil-dalil agama). Mereka menetapkan apa yang sesuai
dengan apa yang mereka lihat dan mereka menakwilkan apa yang tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat.
(Ihya Ulumuddin I/104).
Dan dia berkata tentang dalil-dalil syar'i: Barangsiapa yang mengambil ilmu tentang sesuatu hanya dari dalil
syari'at, maka kakinya tidak akan berpijak dengan mantap, dan sikapnya tidak akan jelas.
Dengan demikian jelaslah bagi kita tentang sikap orang-orang ahlu tasawwuf yang menjadikan kasyf sebagai
sumber pengambilan ilmu.
3. Madzhab
Tidak memperhatikan dalil-dalil syar'i dan ta-ashub (fanatik) terhadap pendapat-pendapat orang adalah termasuk
perangai kebodohan dan lemahnya ilmu, yang menimpa banyak manusia. Sehingga mata hati menjadi buta dan
akal menjadi tertutup, dia tidak menganggap sesuatu itu baik dan benar kecuali apa yang dianggap baik dan benar
oleh imam (tokoh/pemimpin). Inilah yang telah terjadi pada orang-orang yang taklid buta terhadap madzhab.
Sesungguhnya hakekat taklid yang mereka lakukan kepada imam-imam mereka adalah ketaatan yang mutlak
kepada imam atau kelompok meskipun kebenaran itu telah nyata dan dalilnya kuat.
Penyebab ini semua adalah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang yang memiliki keutamaan, yang hal itu
termasuk sarana menuju kebatilan. Dan di antara senjata tajam untuk membela sikap ghuluw ini adalah sikap
fanatik yang menuduh -kepada setiap orang yang berusaha untuk mengembalikannya kepada kebenaran- dengan
tuduhan membenci dan memusuhi orang-orang yang memiliki keutamaan tadi. Padahal para imam telah

memeperingatkan para pengikut mereka dari bertaklid kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk
mengambil hadits dan sunnah sebagaimana para imam itu.
Telah datang riwayat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bahwasanya mereka
mengatakan, Jika hadits itu shahih maka itulah madzhab (pendapat)-ku.
Dan mereka juga berkata, Tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak tahu dari
mana kami mengambil pendapat itu.
Mereka juga berkata, Barangsiapa menolak hadits Rasulullah maka ia berada di tepi jurang kehancuran.
Meskipun demikian, para mukallid (orang-orang yang bertaqlid) kepada madzhab tidak memahami hal itu, bahkan
mereka mengambil perkataan-perkataan para imam, fanatik kepadanya dan menolak hadits dan sunnah-sunnah.
Sehingga mereka menentang nash-nash syari'i dari satu sisi, dan menentang perkataan imam-imam mereka
sendiri dari sisi lain. Berarti mereka tidak taat kepada Allah dan juga tidak taat kepada imam mereka sendiri.
Nisywan Al Himayari berkata tentang orang-orang yang fanatik itu:
Jika aku datang membawakan firman Rabb-ku
Dia menjawab dengan membawakan ucapan Yahya dengan cara menentang
Diantara contoh sikap para muqallid yang menjadikan perkataan imam-imam mereka menjadi sumber ilmu adalah
sebagai berikut: Sebagian para muqallid yang fanatik berkata:
Pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat kawan-kawan kami (madzhab atau kelompok
mereka) maka ayat itu difahami sebagai ayat yang mansukh atau ditarjih dan yang lebih utama adalah dita'wilkan
sehingga masuk dalam masalah penyesuaian nash.
Sebagian pengikut Abu Hanifah berkata, Apabilan Isa bin Maryam turun pada masa akhir zaman, maka
sesungguhnya beliau akan menghukumi berdasarkan madzhab Abu Hanifah. (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/56).
Dan diantara perbedaan pendapat yang masyhur diantara mereka mengenai bolehkan pengikut Imam Abu Hanifah
menikah dengan pengikut Imam Syafi'i, atau sebaliknya? Maka orang yang membolehkan pernikahan itu
mengkiaskan pengikut Imam Syafi'i dengan Ahlul Kitab.
Diantara fanatik buta yang dilakukan oleh Muhammad Zahid al Kautsary seorang yang berfaham Jahmiyah dalam
aqidah, dan bermadzhab Hanafi adalah celaan yang dia lakukan terhadap tiga ratus imam dan para perawi hadits
yang sebagian dari mereka adalah para sahabat seperti Anas bin Malik. Celaan yang dia lakukan itu dikarenakan
oleh komentar para ahli hadits dan periwayatan. Oleh karena celaan yang dia lakukan terhadap ratusan para imam
dan ulama maka orang yang menyebut al Kautsary sebagai Majnun Abi Hanifah (seorang yang gila terhadap Abu
Hanifah) adalah benar. Yang bersikap sama seperti al Kautsary adalah muridnya: Majnun al Kautsary, bahka ia
adalah al Kautsary kecil, seorang yang bermadzhab Hanafiyah dan seorang sufi.
Di antara bukti sikap sangat fanatik terhadap madzhab, bahwa sebagian dari pengikut Abu Hanifah memalsukan
hadits yaitu:
Akan datang setelahku seorang lelaki yang bernama Nu'man bin Tsabit yang bergelar Abu
Hanifah, sungguh agama Allah dan sunnahku akan hidup dengannya.
Dan lafadz palsu yang lain:
Dia adalah lentera ummatku.
Setelah ini semua, tidakkah dikatakah bahwa fanatik dan taklid termasuk bid'ah yang paling berbahaya yang akan
menghancurkan ummat Islam ini?
Wallahu a'lam bish shawwab
Disarikan dari Majalah As Sunnah Edisi 11/Th. IV/1421 - 2000

Вам также может понравиться