Вы находитесь на странице: 1из 7

BADAN PERJUANGAN MOBLISASI DAN RASIONALISASI TENTARA DI

SULAWESI SELATAN
PAPER
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Lokal
Yang dibina oleh Bapak Drs. Marsudi, M.Hum.
oleh
Anjas Septiawan
140732602783

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
APRIL 2016

Latar Belakang Peristiwa


Sulawesi Selatan adalah sebuah jazirah yang hampir tak pernah sepi dari
pergolakan. Perang Makassar di Abad ke-17 disusul dengan berbagai gerakan sosial
di abad ke-18. Perang perlawanan dari kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar pedalaman
melawan Belanda sepanjang abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada perang Bone
dasawarsa abad ke-XX. Perlawanan perlawan fisik ini mengantar lahirnya berbagai
organisasi perjuangan di awal abad ke-XX dan mencapai puncaknya pada perang
ketika Dr. Ratulangi mendirikan organisasi SUDARA (Sumber Daerah Rakyat).
Suatu organisasi yang tersusun rapi dan berbentuk badan perjuangan. Organisasi ini
sangat sangat cepat memperoleh dukungan dan pengaruh di Sulawesi Selatan. Hal ini
dimungkinkan karena hampir semua raja-raja local yang berpengaruh dan elite
tradisional Sulawesi Selatan memihak pada SUDARA.
Para tokoh SUDARA lain yang aktif mewakili Badan Perjuangan daerah dalam
berbagai kegiatan PPKI di Jakarta menjelang 17 Agustus 1945. Mereka juga
mengikuti rapat-rapat PPKI tanggal 1819 Agustus 1945 di Jakarta. Sekembali dari
Jakarta menghadiri Proklamasi 17 Agustus 1945 dan rapat PPKI, para tokoh
SUDARA lebih aktif menggalang mobilisasi mempertahankan proklamasi di daerah
Sulawesi Selatan. Akibatnya, arus mobilisasi pemuda memerlukan penyalur ke
berbagai Badan Perjuangan. Keinginan ini mengalir seakan tak terkendali. Luapan
dinamika ini adalah perwujudan dari respon para pemuda terhadap kemerdekaan dan
sebagai tanggung jawab moral mereka mempertahankan proklamasi kemerdekaan 178-1945. Melihat realitas ini para tokoh SUDARA menciptakan wadah perjuangan
tempat para pemuda menyalurkan semangat patriotismenya. Dibentuklah BPKR
(Badan Pusat Keselamatan Rakyat) pada akhir September 1945 oleh Dr. ratulangi dan
PPNI (Pusat Pemuda Nasional Indonesia) dibawah prakarsa Manai Sophian awal
Oktober 1945. Dalam berbagai kegiatannya BPKR dipandang sangat moderat karena
lebih mengutaman perjuangan politik dibidang diplomasi sedang PPNI sedikit
radikal, keras dan mengarah ke perjuangan melalui kontak senjata.

Sekalipun PPNI masih berada dibawah pengawasan BPKR karena tokoh


utamanya Manai Sophian adalah juga tokoh BPKR yang menjunjung tinggi
perjuangan melalui diplomasi. Manai Sophian berpendapat bahwa kontak senjata dan
kekerasan sangat membahayakan karena akan berakibat korban jiwa yang sia-sia bagi
ratusan pemuda-pemuda harapan bangsa. Para tokoh BPKR termasuk Manai Sophian
yang juga ketua PPNI sangat menyadari adanya NICA yang sangat berbahaya dan
tidak seimbang jika diarahkan ke pemuda yang masih kurang pengalaman dan tidak
memiliki persenjataan modern. Akan tetapi dalam PPNI, hanya Manai Sophianlah
yang moderat, sementara tokoh PPNI yang lainnya sangat radikal. Mereka umumnya
pemuda berusia 20 tahun. PPNI lah kemudian menjadi embrio berbagai nama
diberbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Mobilisasi Perjuangan di Sulawesi Selatan
Dalam memobilisasi kekuatan baik PKRS maupun PPNI atau badan-badan
perjuangan bersenjata yang lahir kemudian , faktor keterlibatan para bangsawan dan
elit tradisional yang menentukan terutama dalam memobilisasi tenaga-tenaga muda di
berbagai daerah. Secara kuantitatif dengan jujur dapat dikatakan bahwa kebanyakan
anak-anak muda anggota dari berbagai kelasykaran itu umumnya melibatkan diri
dalam organisasi perjuangan tanpa memahami arti keterlibatan mereka secara
ideologis. Mereka terlibat dan terjun ke badan perjuangan hanya karena patron
mereka (Ajoareng), Bangsawan yang menjadi symbol primordialnya terlibat/terjun
didalamnya. Dalam keadaan demikian menjadi kewajiban mereka karena untuk
mengikuti sang patron (Ajoareng). Karena dalam tatanan etika tradisional BugisMakassar adalah kewajiban utama seorang pengikut menjaga harga diri Ajoarengnya
dan jika perlu ia rela mati berkorban jiwa selama berkewajiban sang Ajoareng
padanya dan keluarganya terpenuhi. Kewajiban itu adalah menjaga siri joannya harga
diri pengikutnya), menjamin masa depan anak keturunan joannya, dan tidak
membiarkan Joannya kelaparan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hampir semua tokoh
kelasykaran dan badan-badan perjuangan di berbagai daerah adalah juga para

bangsawan, elite tradisional setempat yang membawa serta pengikutnya dalam


organisasi perjuangan.
Untuk membiayai perjuangan dan memberi hidup para anggota lasykar dari
berbagai badan perjuangan, para komandan yang juga patron (Ajoareng) dalam
Tatanan Tradisional, menjual bisnis ternak, sawah, kebun, tanah, dan warisan untuk
membiayai perjuangan dan menopang hidup anak buahnya yang juga pengikutnya.
Hampir seluruh wilayah Sulawesi selatan dimana terdapat pusat kekuasaan tradisional
berdiri badan-badan perjuangan dalam bentuk kelasykaran dengan berbagai nama.
Dalam struktur organisasi kelasykaran, para Raja/penguasa local yang terdiri atas
elite tradisional umumnya menjadi komandan dalam badan perjuangan sebagai salah
satu usaha mempertahankan Sulawesi yang telah dinyatakan sebagai bagian dari RI
maka pada akhir bulan Desember 1945 delegasi pemuda Sulawesi tiba di jawa.,
mereka menghadap Presiden Soekarno di Yogya pada bulan januari 1946. Mereka
juga menemui Perdana Menteri Sutan Syahrir dan panglima Sudirman. Delegasi
meminta kepada pemimpin RI agar memberi perhatian khusus atas Sulawesi yang
berada diambang pertempuran. Hasilnya, mereka memperoleh bantuan berupa
perbekalan, peralatanradio penerima dan pengirim serta surat kuasa untuk
membentuk Divisi TRI-PS di Sulawesi (Tentara Republik Indonesia-Persiapan
Sulawesi).
Di Jawa ketika itu telah berdiri organisasi bernama KRIS (Kebangkitan Rakyat
Indonesia Sulawesi). Para pemuda Sulawesi selatan yang datang ke jawa dengan
cepat bergabung dalam KRIS, tampaknya pemuda-pemuda asal Minahasa, Sulawesi
Utara memegang peranan penting , karena KRIS pada dasarnya adalah organisasi
yang secara khusus diciptakan untuk orang-orang Minahasa dari para Republikan
yang curiga pada masa lampau orang Minahasa yang dahulu banyak bekerjasama
dengan Belanda.Disamping itu organisasi ini digunakan pula secara efektif sebagai
badan propaganda pro Republik. Di mata sebagian anggotanya yang berusia muda .
KRIS sendiri dinilai sangat moderat dalam menghadapiu Belanda. Sementara dalam
KRIS sendiri ada masalah, tidak hanya masalah garis perjuangan yang dianggap

kurang keras tetapi juga masalah etnis antara Utara-Selatan. Munculnya masalah
etnik dalam perjuangan KRIS merupakan masalah non militer yang berdampak jauh.
Di Jawa Timur IF. Warouw lebih mempertegas keetnisannya dalam KRIS dengan
yang anggotanya hampir seluruhnya orang Minahasa (Sulawesi Utara). Melihat
realitas ini Abd. Lahar Muzakkar salah satu tokoh KRIS membentuk pula BKI
(batalyon Kemajuan Indonesia) yang anggotanya terdiri atas anak-anak Sulawesi
Selatan yang berintikan narapidana dari Nusakambangan.
Untuk merealisasikan persetujuan MBT (Markas besar Tentara) dalam upaya
membentuk TRI-PS, para tokoh pemuda Sulawesi Selatan Andi Mattalatta dan Saleh
Lahade yang diberi mandate membentuk TRI-PS mengajak Abd. Kahar Muzakkar
pimpinan BKI untuk memiliki persiapan tenaga dan senjata yang cukup. Tanggal 24
April 1946 TRI-PS resmi terbentuk Kahar Muzakkar komandannya. A Mattalatta
wakil Komandan dan Saleh Lahade Kepala Stafnya. 23 Mei 1946 kelompok pertama
dikirim ke Sulawesi. Dari 12 kali pengiriman 8 yang berhasil mendarat, 4 kelompok
gagal, ditangkap atau kembali.
Rasionalisasi Tentara di Sulawesi Selatan
Terbentuknya Brigade Hasanuddin yang merupakan penampungan para anggota
berbagai kelasykaran di Sulawesi Selatan oleh suasan perdebatan dikalangan para
tokoh AD tentang Profil Tentara Nasional Indonesia. Persoalan ini bersumber dari
rendahnya pendidikan orang SulSel dalam hubungannya dengan Rasionalisasi
Tentara. Persoalan Rasionalisasi Tentara bermula dari adanya silang pendapat yang
terjadi di Markas Besar Angkatan darat di Jakarta Tentang profil Tentara Nasional
Indonesia. Kolonel Bambang Supeno, Kepala Staf Teritorial Jawa . disatu pihak
berpendapat bahwa yang diutamakan dari seorang tentara adalah semangat
revolusioner yang tinggi dan keerat hubungan dengan rakyat. Sementara itu Kolonel
Nasution , Kepala Staf Angkatan Darat dipihak lain berpendapat bahwa tentara
haruslah terdiri atas orang-orang yang cakap secara teknis dan professional dan harus
diorganisir atas hirarki yang jelas. Karena itu faktor pendidikan sangat diutamakan.
Ketika perdebatan kian memuncak di MBAD, Panglima Sudirman sakit keras dan

meninggal tahun 1950, kelompok Kolonel Bambang Supeno terpojok dan akhirnya
golongan militer professional memegang peran di MBAD apalagi karena Menteri
Pertahanan Sultan HB IX disebut sebut sebagai pendukung golongan militer
Profesional. Dengan keadaan demikian dapat diduga akibatnya: ribuan orang
gerilyawan perang kemerdekaan yang pada umumnya berpendidikan rendah bahkan
banyak yang buat huruf, berhadapan dengan satu dilemma yang sangat menentukan
masa depannya. Persoalan inilah yang dihadapi oleh Brigade Hasanuddin Kahar
Muzakkar di Sulawesi Selatan. Tetap berkarier dalam kemiliteran sebagai TNI atau
kembali ke masyarakat. Pihak MBAD mengajukan surat bagi mereka(gerilya) yang
akan masuk ke TNI, antara lain:
a. Badan: Pemeriksaan atas berat/tinggi badab , lebar dada, mata, telinga, gigi,
penyakit kadas dll. melalui tim dokter tentara.
b. Jiwa: Kecerdasan berpikir, kelancaran berbicara (Bahasa Indonesia),
pengetahuan umum, pemeriksaan yang dilakukan oleh sebuah tim
Bagi sebagian besar gerilyawan di Sulawesi selatan yang tergabung dalam Brigade
Hasanuddin persyaratan yang diajukan oleh MBAD tidak lebih dari satu kemunafikan
belaka. Karena jika rasionalisasi dijalankan berdasarkan syarat itu maka banyak
gerilya yang tidak dapat diterima dalam TNI, karena sebagian besar ditolak sebelum
diseleksi oleh tim. Persoalan rasionalisasi ini, ternyata kemudian membawa bencana
besar yang tidak hanya menimpa masyarakat dan daerah Sulawesi Selatan sajatetapi
juga Indonesia Timur pada umumnya. Pada tanggal 22 Juni 1950, Abd. Kahar
Muzakkar tiba di Sulawesi Selatan untuk melaksanakan tugasnya. Ia berkeliling dan
mendatangi kesatuan-kesatuan gerilya untuk menyatukan mereka agar mau menerima
syarat yang diajukan pemerintah . Sementara itu Kahar mengajukan pula syarat agar
mereka diakui sebagai prajurit dulu.barulah rasionalisasi dijalankan kemudian.
Karena adalah hak sejarah mereka untuk diakui sebagai TNI. Setelah itu, apakah
mereka masih dibutuhkan atau tidakitu soal kemudian. Sekembali dari perjalanannya
menjumpai kesatuan-kesatuan gerilya di pedalaman, Kahar mengajukan usul kepada
Kolonel AE. Kawilarang , panglima Teritorium Indonesia Timur agar gerilya

ditrerima sebagai tentara dan sedikitnya berkekuatan satu brigade dan diresmikan
dalam satu brigade initidak terpencar-pencar dalam sejumlah satuan-satuan yang
berbeda . mereka yangtidak dapat diterima akan dimasukkan dalam satu depot khusus
sambil menunggu akan dikembalikan dalam masyarakat.
Usul KGGS lewat Kahar tidak dapat diterima oleh Kawilarang. Panglima
Teritorial Indonesia Timur Kawilarang bahkan mengeluarkan pengumuman untuk
membubarkan KGGS. Alasannya adalah karena persyaratan resmi untuk menjadi
tentara, secara umum tidak dapat dipenuhi oleh anggota gerilya KGGS.Kawilarang
sebagai seorang militer professional dengan latar belakang berpendidikan militer
yang baik , sulit menerima ususlan Kahar dan bahkan dianggap lucu, dan tidak masuk
akal karena penempatan dalam tugas militer baginya haruslah berdasarkan garis
komando dan hirarki kemiliteran yang jelas. Sedang usul Kahar lebih mengutamakan
ikatan emosional, kekeluargaan dan ikatan sosial yang lebih mengarahkan ke
hubungan Bapak-Anak dalam patron klien Joa-Ajoareng (Bhs. Bugis), bukan
hubungan Komandan Bawahan dalam militer yang sesungguhnya.
Tanggal 1 Juli 1950 kahar mencopot tanda pangkat dipundaknya dan semua
symbol-simbol kemiliteran yang dimilikinya atas kemauan nya sendiri dan kemudian
menyerahkan dengan hormat kepada Kolonel Kawilarang, panglima Teritorial
Indonesia Timur. Sejak itu ia menyatakan diri keluar dari tentara dan bergabung
bersama kesatuan gerilya Sulawesi Selatan di hutan-hutan pedalaman Sulawesi
selatan. Apa yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar ini adalah manifestasi dari puncak
perdebatan dalam MBAD sendiri, dan perdebatan perbuatan Kahar itu ternyata tidak
dapat dukungan secara langsung dari perwira-perwira tinggi di MBAD, termasuk
Kolonel bambang Supeno, karena pada dasarnya sejak kematian Panglima Sudirman
corak militer professional yang ditanamkan oleh Nasution mendominasi MBAD,
dimana Kawilarang termasuk salah seorang pendukungnya yang sangat keras.

Вам также может понравиться