Вы находитесь на странице: 1из 26

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Nifas dengan Tindakan Seksio Sesaria
2.1.1
Pengertian
1. Pengertian Nifas
Masa nifas atau puerperium berasal dari bahasa latin, yaitu puer
yang artinya bayi dan parous yang artinya melahirkan atau bearti masa
sesudah melahirkan. Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan
kelahiran bayi, plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan
kembali organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang
lebih 6 minggu (Saleha, 2009).
2. Pengertian Seksio Sesarea
Persalinan seksio sesarea merupakan persalinan buatan dimana
janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan saraf rahim dalam keadaan utuh serta berat diatas 500 gr
(Mitayani, 2009).
Tahapan masa nifas
Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut :
1. Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini

2.1.2

sering terdapat banyak masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri.


Dilakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lokia, tekanan darah,
dan suhu.
2. Periode early postpartum (24 jam 1 minggu)
Pada fase ini memeriksa involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada
perdarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
3. Periode late postpartum (1 minggu 5 minggu)

Pada periode ini melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta


konseling KB (Saleha, 2009).
2.1.3 Perubahan Fisiologi Masa Nifas post seksio sesarea
1. Tanda-tanda Vital
Terjadi peningkatan suhu tubuh 38 C disebabkan oleh dehidrasi pada 24
jam pertama setelah persalinan atau karena pertama kali laktasi dalam 2
sampai 4 hari. Demam yang menetap atau berulang diatas 24 jam pertama
dapat menandakan adanya infeksi. Brakikardi merupakan perubahan
fisiologis normal selama 6 sampai 10 hari pasca partum dengan frekuensi
nadi 40-70 kali/menit. Frekuensi diatas 100 kali/menit (takhikardi) dapat
menunjukkan adanya infeksi, hemoragi, nyeri atau kecemasan. Tekanan
darah umumnya tetap dalam batasan normal selama kehamilan. Wanita
pasca partum dapat mengalami hipotensi ortostatik karena diuresis dan
diaforesis yang menyebabkan pergeseran volume cairan kardiovaskular
(Reeder, 2011).
2. Berat badan
Setelah melahirkan berat badan ibu akan menurun sekitar 4,5-5,44 kg.
Penuruan berat badan ini dikarenakan keluarnya bayi, plasenta dan air
ketuban. Penurunan berlanjut selama periode awal pasca melahirkan
sebagai akibat peningkatan sekresi urin dan respirasi sebanyak 2,26 kg
(Johnson, 2014).
3. Sistem Cardiovaskuler
Sistem kardiovaskular mengalami berbagai perubahan besar selama
kehamilan. Selama kehamilan terdapat sekitar 40%-50% peningkatan
volume sirkulasi darah (hipervolemia), yang memungkinkan ibu
menoleransi hilangnya darah saat melahirkan tanpa efek akut. Kehilangan

darah setidaknya 400-500 ml saat melahirkan melalui vagina dan berlipat


ganda ketika melahirkan melalui operasi sesar (Johnson, 2014). Menurut
dr. Hari Nugroho perdarahan pada wanita pasca operasi seksio sesarea
lebih banyak dibanding kelahiran normal dikarenakan adanya tambahan
luka sayatan pada dinding rahim (Merry Wahyuningsih, 2014). Selama 72
jam setelah melahirkan, terdapat penurunan volume plasma dalam jumlah
besar ketimbang jumlah sel darah. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
kadar hematokrit dan hemoglobin di hari ke-17 setelah melahirkan
(Johnson, 2014).
4. Sistem Urinaria
Selama kehamilan, kandung kemih telah meningkatkan kapasitas dan
menurunkan pola otot. Selain itu, selama kelahiran uretra, kandung kemih,
dan jaringan sekeliling lubang urin mungkin menjadi membengkak dan
luka. Perkemihan juga dipengaruhi oleh obat bius. Kesadaran kebutuhan
yang hilang untuk kencing mungkin menghasilkan penurunan sensitivitas
terhadap tekanan cairan, dan wanita tidak ada keinginan untuk berkemih.
Penting untuk mengingat karena kandung kemih terisi dengan cepat
sebagai hasil dari diuresis cairan pasca kelahiran. Retensi urin dan proses
distensi kandung kemih mungkin dapat mengarah pada infeksi saluran
kemih dan perdarahan pasca melahirkan. Dengan distensi kandung kemih,
uterus mengalami perubahan posisi (seringkali pada satu sisi, biasanya
bagian kanan) dan memiliki kemampuan untuk berkontraksi. Saat uterus
gagal berkontraksi, pembuluh darah terbuka dan terjadi perdarahan.
Karena

itu,

penting

bahwa

perawat

memonitor

wanita

untuk

mengosongkan kandung kemih yang mengalami distensi. Tanda dan gejala


distensi kandung kemih diantaranya adalah fundus berada diatas
umbilikus, posisi fundus tidak pada posisi tengah tubuh, pembesaran
kandung kemih teraba diatas simfisis pubis, volume urin yang dikeluarkan
kurang dari 150 cc, pengeluaran lokia meningkat atau berlebihan, dan
nyeri tekan pada kandung kemih (Johnson, 2014).
5. Sistem Endokrin
Tingkat estrogen dan progesteron menurun setelah pengeluaran plasenta.
Jika ibu tidak menyusui maka tingkat estrogen meningkat sekitar 2 sampai
3 minggu pasca kelahiran, yang memungkinkan untuk terjadinya
menstruasi. Kepulihan kadar esterogen dan progesteron sebelum
kehamilan lebih lamban bagi wanita yang memberi ASI. Laktasi diawali
ketika prolaktin meningkat, ibu yang tidak menyusui bayinya kadar
prolaktin menurun dan mencapai tingkat sebelum kehamilan. Penurunan
ekstrem hormon dikarenakan oleh laktasi (sekresi susu) dimulai dengan
bayi menghisap dan kembalinya fungsi siklus menstruasi.
a. Laktasi
Pasca melahirkan esterogen, progesteron dan human placental lactogen
(Hpl) (semua agen yang menghambat prolaktin) menurun dengan cepat,
menyebabkan peningkatan cepat sekresi prolaktin. Hisapan bayi menjadi
stimulus mempertahankan produksi dan semburan susu, prolaktin
mendukung produksi susu. Oksitosin disekresi oleh kelenjar pituitari
anterior untuk mengeluarkan susu dan oksitosin juga menstimulasi
kontraksi uterin (afterpains) yang dialami ibu. Pada hari ke-3 pasca
kelahiran pembesaran payudara mulai mulai tambak akibat hormon

10

prolaktin, produksi susu menggantikan kolostrum. Pembengkakan


payudara mereda dalam waktu 24-36 jam.
b. Ovulasi dan menstruasi
Ibu yang tidak menyusui mengalami siklus menstruasi kembali dalam
waktu 7 hingga 9 minggu setelah melahirkan. Pemberian ASI
memperlambat kembalinya siklus ovulasi dan menstruasi. Ovulasi akan
kembali dalam waktu 4-6 minggu jika tidak menyusui dan 6 bulan jika ibu
menyusui (Johnson, 2014).
6. Sistem Gastrointestinal
Pada ibu post seksio sesarea fungsi gastrointestinal mengalami penurunan
sampai 24 jam sehingga menyebabkan aliran gas tidak lancar menjadikan
perut kembung dan sulit flatus. Mekanisme terjadinya penurunan sistem
gastrointestinal pada ibu post seksio sesarea disebabkan karena anestesi
mempengaruhi susunan saraf tepi yang kemudian diteruskan ke saraf tidak
sadar (otonom) dimana aktivitas saraf otonom dipengaruhi oleh
hipotalamus. Rangsangan terhadap bagian lateral dan posterior pada
hipotalamus akan menurunkan kerja otot polos pada saluran pencernaan,
sehingga peristaltik usus menjadi lambat (Ernawati, 2014).
7. Sistem Muskuloskeletal
Selama beberapa hari setelah kelahiran, banyak wanita mengalami
kelelahan atau sakit otot. Otot bagian perut, termasuk otot rectus
abdominis mungkin terpisah (diastasis recti) (Johnson, 2014). Nyeri
setelah kelahiran seksio sesarea kebanyakan diakibatkan oleh luka
ditempat insisi, nyeri pinggang akibat regangan otot-otot abdomen selama
pembedahan (Reeder, 2011).
8. Sistem saraf

11

Menurut Atun Raudotul Maarifah (2015) setelah selesai operasi, ibu mulai
sadar dan efek anestsi habis, ibu akan merasakan nyeri pada bagian tubuh
yang mengalami pembedahan. Sakit kepala pasca kelahiran membutuhkan
pemeriksaan yang cermat karena diakibatkan beberapa kondisi, termasuk
hipertensi kehamilan, tekanan, dan kebocoran cairan serebrospinal selama
penempatan jarum bius epidural atau anastesi (Johnson, 2014).
9. Sistem Integumen
Segera setelah melahirkan, kadar hormon mulai menurun dan kulit secara
perlahan kembali ke posisi sebelum hamil. Kadar hormon yang
menstimulasi Melanocyte Stimulating Hormone (MSH), esterogen, dan
progesteron yang menyebabkan pigmentasi berlebihan selama kehamilan,
berkurang dengan cepat setelah kelahiran. Striae gravidarum yang melebar
pada daerah perut, paha, dan payudara secara perlahan hilang (Johnson,
2014). Pada seksio sesarea terdapat luka insisi pada abdomen (Rohmah,
2009).
10. Sistem reproduksi
a. Involusi uteri
Involusi uteri atau pengerutan uterus merupakan proses kembalinya
uterus ke keadaan sebelum hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses
ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot
polos uterus. Saat bayi lahir berat uterus mencapai 1000 gram pada
posisi setinggi pusat dengan diameter 12,5 cm dan teraba lunak,
plasenta lahir berat uterus 750 gram pada posisi dua jari dibawah
pusat dengan diameter 12,5 cm dan teraba lunak, satu minggu pasca
melahirkan berat uterus 500 mg pada posisi pertengahan pusat sampai
simfisis dengan diameter 7,5 cm. Dua minggu pasca melahirkan berat

12

uterus 300 gram dan tidak teraba diatas simfisis dengan diameter 5
cm, pada minggu keenam beratnya menjadi 60 gr dengan diameter 2,5
cm (Kumalasari, 2015).
b. Kontraksi uterus
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah
bayi lahir. Selama 1 sampai 2 jam pertama pasca partum intensitas
kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Kontraksi
uterus timbul adanya peningkatan hormon oksitosin yang dapat
dirangsang dengan hisapan bayi saat menyusui (Bobak, 2004).
c. Afterpains
Pada primipara, tonus uterus meningkat sehingga fundus pada
umumnya tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering
dialami multipara dan biasa menimbulkan nyeri yang bertahan
sepanjang masa awal puerperium. Rasa nyeri setelah melahirkan ini
lebih nyata setelah ibu melahirkan, ditempat uterus terlalu teregang
(misal pada bayi kembar atau besar). Menyusui dan oksitosin
tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya
merangsang kontraksi uterus (Kumalasari, 2015).
11. Lokia
Lokia adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina
selama masa nifas. Macam-macam lokia antara lain lokia rubra (cruenta)
berisi darah segar sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel decidua, verniks
kaseosa, lanugo, dan mekoneum selama 2 hari pascapersalinan. Lokia
sanguilenta berwarna merah kuning berisi darah dan lendir hari ke 3-7
pascapersalinan. Lokia serosa berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi
pada hari 7-14 pascapersalinan. Lokia alba, yaitu cairan putih setelah 2

13

minggu pascapersalinan, lokia purulenta bila terjadi infeksi dan


lochiostasis bila lokia tidak lancar keluarnya (indriyani, 2013). Beberapa
wanita memiliki jumlah lokia yang lebih sedikit setelah kelahiran seksio
sesarea karena teknik operasi yang digunakan dalam mengeluarkan
plasenta (Reeder, 2011).
Ligamen-ligamen
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu

12.

persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali


sehingga tidak jarang uterus jatuh ke belakang dan menjadi retrofleksi
2.1.4

karena ligamentum rotundum menjadi kendor (Indriyani, 2013).


Perubahan Psikologi Masa Nifas post seksio sesarea
Setelah proses kelahiran tanggung jawab keluarga bertambah dengan

adanya seorang bayi baru lahir. Dorongan serta perhatian anggota keluarga
merupakan dukungan positif untuk ibu. Dalam menjalani adaptasi setelah
melahirkan ibu akan melalui fase-fase sebagai berikut :
1. Taking In
Terjadi pada hari ke 1 sampai ke 2, fakus perhatian pada diri sendiri,
mungkin pasif dan tergantung. Kelelahannya membuat ibu perlu cukup
istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur seperti mudah tersinggung.
Kondisi ini perlu dipahami dengan menjaga komunikasi dengan baik. Fase
ini perlu diperhatikan pemberian ekstra makanan untuk proses pemulihan
di samping memamng nafsu makan ibu saat ini sedang meningkat.
Biasanya ibu tidak menginginkan kontak dengan bayinya tetapi bukan
berarti ibu tidak memeperhatikan. Pada fase ini ibu perlu informasi
mengenai bayinya bukan cara merawat bayinya.
2. Taking hold

14

Terjadi pada hari ke 3 sampai hari ke 10, ada kekhawatiran tidak mampu
merawat bayinya dan perasaan ibu pada fase ini sangat sensitif sehingga
mudah tersinggung jika komunikasi kurang hati-hati. Ibu mulai berusaha
mandiri dan berinisiatif. Perhatian terhadap kemampuan mengatasi fungsi
tubuhnya seperti buang air kecil dan buang air besar, melakukan aktivitas
duduk dan jalan, ingin belajar tentang perawatan diri dan bayi. Sering
timbul rasa tidak percaya diri, sehingga ibu butuh dukungan khususnya
suami, pada fase ini baik untuk memberikan penyuluhan dalam merawat
diri dan bayi sehingga tumbuh rasa percaya diri.
3. Letting Go
Terjadi setelah hari ke 10 post partum. Fase ini ibu merasakan terpisah dari
dirinya. Menerima peran dan tanggung jawab baru, terjadi peningkatan
kemandirian dalam merawat diri dan bayinya, penyesuaian dalam
hubungan keluarga termasuk bayinya. Fase adaptasi psikologis pada ibu
merupakan perubahan perasaan sebagai respon alami terhadap rasa lelah
yang dirasakan dan akan kembalisecara perlahan setelah ibu dapat
menyesuaikan diri dengan peran barunya dan tumbuh kembali pada
keadaan normal (Lowdermilk, Perry, Alden, Cashion, & Corbett, 2006)
didalam (Johnson, 2014).
2.1.5
Penatalaksanaan Masa Nifas dengan Tindakan Seksio Sesaria
1. Mobilisasi
Disebabkan oleh sehabis bersalin ibu harus istirahat, tidur terentang selama
8 jam pascapersalinan. Kemudian, boleh miring kiri kanan untuk
mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli. Pada hari kedua boleh
duduk, hari ketiga boleh jalan-jalan. Mobilisasi diatas mempunyai variasi
tergantung komplikasi persalinan, nifas, dan sembuhnya luka-luka

15

(indriyani, 2013). Salah satu tujuan mobilisasi dini adalah memperlancar


pengeluaran lokia karena pengeluaran lokia pada wanita postpartum dalam
posisi berbaring lebih sedikit keluar daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat
pembuangan menggumpal di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi
berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri (Varney, 2007).
2. Diet
Cairan intravena pada umumnya diberikan selama 24 jam pertama. Sedikit
cairan diberikan melalui oral setelah mual berkurang (Reeder, 2011).
Makanan harus bermutu, bergizi dan cukup kalori. Sebaiknya makanmakanan yang mengandung cukup protein, banyak cairan, sayur-sayuran
dan buah-buahan (indriyani, 2013).
3. Miksi
Kateter tetap terpasang selama 12-24 jam, kateter terus dipantau untuk
melihat apakah urin keluar mengalir tanpa hambatan. Perlu observasi
warna, kejernihan, jumlah dan bau dari urin dan melaporkan kepada dokter
jika terjadi abnormalitas (Reeder, 2011).
4. Defekasi
Buang air besar harus dilakukan maksimal 3-4 hari pascapersalinan. Bila
sulit buang air besar dan konstipasi kontrol diet, bila perlu menggunakan
pengobatan sampai klisma (indriyani, 2013).
5. Perawatan payudara
Untuk menghadapi masa laktasi sejak dari kehamilan telah terjadi
perubahan-perubahan pada kelenjar mammae, yaitu proliferasi jaringan
pada kelenjar-kelenjar, alveoli, dan jaringan lemak bertambah. Keluarnya
cairan susu, hipervaskularisasi dan setelah persalinan pengaruh supresi
esterogen dan progesteron hilang. Maka timbul pengaruh hormon prolaktin
akan merangsang keluarnya air susu ibu. Disamping itu, pengaruh

16

oksitosin menyebabkan mio-epitel kelenjar susu berkontraksi sehingga


ASI keluar. Perawatan mammae telah dimulai sejak wanita hamil supaya
puting susu lemas, tidak keras, dan kering sebagai persiapan untuk
menyusui bayinya. Dianjurkan ibu untuk menyusukan bayinya dengan
baik dan benar karena ASI sangat baik buat kesehatan bayinya (indriyani,
2013).
6. Pemeriksaan pascapersalinan
Balutan harus dibuka satu hari setelah melahirkan dan diinspeksi untuk
memastikan bahwa luka kering dan ujung kulit menutup dengan rapat. Ibu
diyakinkan bahwa kulit biasanya akan sembuh dalam waktu seminggu,
meskipun diperlukan waktu lebih lama bagi jaringan dibawahnya untuk
pulih (Baston, 2011).
7. Nasihat untuk ibu postnatal
Ibu biasanya diberitahu bahwa mereka tidak boleh mengangkat beban
yang berat dihindari selama 2-3 minggu (Reeder, 2011) dan tidak
dianjurkan mengemudi selama minimal 6 minggu setelah pelahiran
(Baston, 2011).
8. Latihan postnatal
Latihan postnatal secara khusus penting dilakukan setelah seksio sesarea
karena latihan ini juga akan membantu mencegah komplikasi setelah
pembedahan. Dalam beberapa hari pertama setelah melahirkan, latihan
harus meliputi napas dalam, latihan tungkai dan latihan dasar panggul
(Baston, 2011).
2.2 Konsep Ketidakefektifan Pemberian ASI
2.2.1 Pengertian Ketidakefektifan Pemberian ASI
Ketidakefektifan Pemberian ASI merupakan ketidakpuasan atau kesulitan
ibu dan bayi dalam proses pemberian ASI (Wilkinson, Judith M, 2011).
2.2.2 Penyebab Ketidakefektifan Pemberian ASI

17

1. Bayi prematur dengan berat badan lahir rendah kurang dari 2500 gram
yang

memiliki

refleks

hisap

lemah

menyebabkan

berkurangnya

rangsangan untuk pengeluaran oksitosin dan pelepasan prolaktin oleh


hipofisi anterior berkurang sehingga produksi ASI berkurang.
2. Efek anestesi yang diterima bayi mengakibatkan bayi lemah, malas
menyusu dan tidak ada rangsangan hisap pada payudara ibu sehingga
proses laktasi akan terhambat.
3. Pada dinding abdomen ibu post seksio sesarea timbul rasa nyeri
menyebabkan ibu sulit untuk menyusui karena kalau ibu bergerak atau
merubah posisi maka nyeri bertambah. Rasa sakit yang dirasakan ibu
menghambat produksi oksitosin sehingga akan memengaruhi pengaliran
ASI.
4. Ibu post seksio sesarea merasa tidak berdaya dan cemas dikarenakan rasa
nyeri yang dirasakan membuat ibu kesulitas merawat bayi. Kecemasan ini
menyebabkan pikiran ibu terganggu dan ibu merasa tertekan sehingga
reflek let down terganggu dan air susu tidak mengalir atau mengalami
bendungan ASI (Enok Nurliawati, 2010).
5. Praktek di rumah sakit yang secara efektif tidak mendukung kondisi untuk
menyusui (seperti memisahkan ibu dengan bayinya dan pemberian susu
formula yang terlalu dini).
6. Perawatan medis bagi ibu atau bayi setelah kelahiran yang dapat menunda
saat mulai menyusu (Welford, 2008).
7. Ibu post seksio sesarea yang merasa tidak puas akan tubuh mereka
cenderung memilih untuk tidak menyusui dan pandangan negatif payudara
sebagai objek seksual atau ketakutan akan sentuhan juga berdampak pada
pandangan ibu tentang pemberian susu bagi bayinya (Baston, 2011).

18

2.2.3

Tanda dan gejala Ketidakefektifan Pemberian ASI


Menurut Budiati (2010) keefektifan pemberian ASI dari indikator bayi

meliputi frekuensi dan karakteristik BAK, frekuensi, warna dan karakteristik


BAB, jumlah jam tidur, serta berat badan bayi. Pemberian ASI dikatakan lancar
jika minimal 4 dari 6 indikator terpenuhi. Sedangkan dari indikator ibu pemberian
ASI dikatakan lancar jika 5 dari 10 indikator terpenuhi. Indikator itu meliputi
payudara tegang karena terisi ASI, ibu rileks, let down reflek baik, frekuensi
menysui >8 kali sehari, ibu menggunakan kedua payudara bergantian, posisi
perlekatan benar, puting tidak lecet, ibu menyusui bayi tanpa jadwal, ibu terlihat
memerah payudara karena payudara penuh, payudara kosong setelah bayi
menyusu sampai kenyang dan tertidur, serta bayi nampak menghisap kuat dengan
irama perlahan.
Menurut Wilkinson, J (2011) batasan karakteristik ketidakefektifan
pemberian ASI meliputi ibu merasa tidak puas dalam menyusui karena
pengosongan masing-masing payudara setiap kali menyusui yang tidak sempurna
dan payudara masih teraba keras setelah menyusui, reflek hisap bayi tampak
lemah, suplai ASI yang tidakadekuat sehingga bayi rewel dan menangis dalam
waktu satu jam setelah menyusui, ketidakmampuan bayi untuk menempel pada
payudara ibu dengan benar, kesempatan untuk mengisap pada payudara yang
tidak mencukupi, bayi mengisap payudara tidak kontinu atau tidak secara terusmenerus dan bayi menolak untuk latch on.
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
1. Identitas

19

Pada pengkajian ibu dengan seksio sesarea data yang ditemukan meliputi
distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin,
prolaps tali pusat, abrupsio plasenta dan plasenta previa (Jitowoyono,
kristiyanasari, 2010). Pada ibu dengan usia 35 atau lebih tidak dapat
menyusui bayinya dengan ASI yang cukup (Eka, 2009).
2. Riwayat keperawatan/kesehatan
a. Keluhan utama
Pada umumnya ibu post Seksio Sesarea keluhan utama yang dirasakan
ibu diantaranya adalah nyeri insisi bedah, sakit kepala, pandangan kabur,
nyeri epigastrik, mual dan muntah, kram uterus ringan, haus, letih dan
gelisah (Goa, 2011). Keluhan mammae bengkak, keras dan terasa panas
sampai suhu badan meningkat bila terjadi bendungan ASI karena
ketidakefektifan pemberian ASI.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan yang dirasakan setelah ibu operasi (Mitayani, 2009).
Biasanya pada hari ke-2 sampai hari ke-3 pasca partum, payudara akan
menjadi besar dan keras dengan berbagai derajat nyeri tekan karena tidak
adanya pengisapan awal dan sering oleh bayi (reeder, 2011).
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit
sekarang, maksudnya apakah ibu pernah mengalami penyakit yang sama
(plasenta previa) (Jitowoyono, kristiyanasari, 2010).
d. Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi penyakit yang diderita ibu dan apakah keluarga ibu ada juga
mempunyai riwayat persalinan seksio sesarea (Mitayani, 2009).
e. Riwayat kesehatan lingkungan

20

Penyakit ini dapat terjadi pada siapa saja, akan tetapi kemungkinan
dapat lebih sering terjadi pada penderita malnutrisi dengan sosial ekonomi
rendah (Mitayani, 2009).
f. Riwayat psikososial
Wanita dapat memiliki respon emosional yang negatif post seksio
sesarea, tingkat kecemasan, rasa marah, kekecewaan dan kebingungan
mungkin tinggi pada kasus kelahiran per seksio sesarea yang tidak
diantisipasi (Reeder, 2011).
g. Latar belakang budaya
Berisi tentang kepercayaan atau keyakinan yang dimiliki ibu maupun
keluarga berhubungan dengan perawatan post partum. Biasanya ada
pantangan akan pemenuhan nutrisi pada ibu post partum yang bisa
memperberat kondisi ibu dan memperlambat proses penyembuhan ibu
(Kementrian Kesehatn RI Poltekkemenkes) didalam (Yayuk, 2014) dan
menyebabkan ibu tidak memungkinkan untuk menyimpan cadangan
lemak dalam tubuhnya, yang akan digunakan sebagai salah satu
komponen ASI dan sebagai sumber energi selama menyusui.
h. Dukungan keluarga
Berisi tentang sikap dan perilaku anggota keluarga ibu berhubungan
dengan post partum (Kementrian Kesehatan RI Poltekkemenkes) didalam
(Yayuk, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Enok Nurliawati (2010)
menunjukkan dukungan suami dan keluarga yang positif berpengaruh
dalam produksi ASI pads ibu post seksio sesarea.
i. Riwayat kebidanan
a. Riwayat haid, mengetahui tentang keadaan menstruasi yang dulu,
waktu menarche terjadi pada ibu, disminore, lama menstruasi,

21

siklusnya dan ditanyakan pula frekuensi terakhir menstruasi (Goa,


2011).
b. Riwayat perkawinan, biasanya dicantumkan umur ibu saat
menikah, lama pernikahan, berapa kali ibu menikah (Goa, 2011).
c. Riwayat kehamilan dan persalinan, biasanya dicantumkan keluhan
saat masa kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu normal atau
melalui seksio sesarea, hamil ke berapa, keluhan saat hamil, lahir
pada usia berapa, cara persalinan, penolong persalinan. Untuk anak
berisi tentang jenis kelamin, berat badan lahir, berapa usia anak,
dan penggunaan KB (Goa, 2011). Jumlah kehamilan tinggi
cenderung memberikan ASI pada bayi dibandingkan dengan paritas
rendah, ASI lebih cepat keluar pada multipara daripada primapara
(Suradi, 2008).
j. Data persalinan, pada data persalinan berisi kondisi ibu dan janin
mulai dari kala I-IV. Biasanya masalah yang timbul pada anak
dengan kelahiran seksio sesarea adalah resiko terjadinya hipoksia
dan perdarahan jaringan saat masa intrapartum yang dapat
menyebabkan gangguan yang permanen pada organ penglihatan
(Goa, 2011).
k. Keadaan bayi
Berisikan gambaran kondisi bayi, berapa berat badan bayi baru
lahir, adakah kelainan atau tidak, cacat kongenital atau tidak (Goa,
2011). Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah dalam hal
menyusui karena refleks mengisapnya masih lemah (Yuliarti,
2010).

Kelainan anatomi yang menyebabkan bayi tidak bisa

22

menghisap adalah labiapalatoskisis dan lingual frenulum (Enok


nurliawati, 2010).
3. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi-pemeliharaan kesehatan
Pada ibu post seksio sesarea persepsi terhadap kesehatan belum
mampu melaksanakan karena masih adanya pengaruh anestesi (Goa,
2011). Ibu merasa kesulitan dalam merawat bayinya dan melakukan
aktivitas sehari-hari seperti membersihkan tubuhnya (Enok Nurliawati,
2010).
b. Pola aktivitas dan latihan
Ibu mungkin akan membungkuk di sekitar luka dan merasa tidak
nyaman untuk melakukan latihan tungkai serta napas dalam. Ibu
enggan untuk berjalan ke toilet dan tingkat mobilitas umum akan
berkurang (Baston, 2011).
c. Pola nutrisi-metabolisme
Biasanya ibu nifas terjadi peningkatan nafsu makan merasa lapar dan
haus karena sebelum pembedahan tindakan seksio sesarea ibu
dipuasakan dan pengaruh dari keinginan ibu dalam menyusui bayinya,
seorang ibu menyusui akan merasa mudah lapar.
d. Pola eliminasi
Kateter tetap terpasang selama 12-24 jam dipantau ketat untuk melihat
adakah hambatan (reeder, 2011). Haluaran urine 3000 ml selama 4
samapi 5 hari dan konstipasi terjadi selama 2-3 hari (Reeder, 2011).
e. Pola tidur-istirahat
Kurang tidur paling sering terjadi selama periode awal postnatal yang
menyebabkan keletihan yang lebih hebat, dapat bertambah buruk pada
ibu yang sedang menjalani pemulihan dari persalinan seksio sesarea
(lee, 2000) didalam (Baston, 2011).
f. Pola kognitif-perseptual

23

Biasanya tidak ada permasalahan pada ibu post seksio sesarea,


interaksi ibu dengan tenaga kesehatan baik karena ibu sangat butuh
dukungan

bantuan

dari

tenaga

kesehatan

akan

keterbatasan

kemampuan aktivitas sehari-hari ibu. (Goa, 2011).


g. Pola toleransi-koping stress
Biasanya ibu cemas dan ketakutan atas bendungan ASI dan cara
menetek yang benar. Ibu menunjukkan labilitas emosional dari
gembira sampai takut, marah dan menarik diri ibu. Biasanya ibu
mengekspresikan ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru
(Goa, 2011).
h. Pola persepsi diri-konsep diri
Pada pola persepsi Sering terjadi gangguan persepsi tubuh dan banyak
kekhawatiran lainnya seputar menjadi ibu bagi bayi baru lahir selama
masa pemulihan mereka dari pembedahan (Reeder, 2011). Ibu post
seksio sesarea yang merasa tidak puas akan tubuh mereka cenderung
memilih untuk tidak menyusui dan pandangan negatif payudara
sebagai objek seksual atau ketakutan akan sentuhan juga berdampak
pada pandangan ibu tentang pemberian susu bagi bayinya (Baston,
2011).
4. Pemeriksaan Fisik
Data obyektif
a. Tanda-tanda vital
1) Tekanan darah
Hipotensi umunya terjadi pada ibu post seksio sesarea akibat dari
kehilangan darah 600-800 ml.
2) Nadi
Biasanya brakikardi terjadi selama 6 sampai 10 hari post seksio sesarea
dengan frekuensi nadi 40-70 kali/menit.
3) Suhu tubuh

24

Terjadi peningkatan suhu tubuh 38 C disebabkan oleh dehidrasi pada


24 jam peratama setelah persalinan atau karena awal laktasi dalam 2
sampai 4 hari.
4) Pernapasan
Terjadi peningkatan frekuensi pernapasan dan kembali normal pada
satu jam post seksio sesarea.
b. Pemeriksaan fisik Head to Toe
1) Payudara
Terdapat kolostrum, bentuk puting pada hari pertama utuh dan
pada hari kedua puting susu dapat mengalami luka yang memerah.
Konsisten payudara pada hari pertama post seksio sesarea teraba
lunak dan pada hari kedua payudara teraba mengeras, membesar,
hangat karena adanya pembengkakan payudara. Tanda-tanda
bendungan ASI teraba nyeri pada payudara (Reeder, 2011)
2) Abdomen
a) Tinggi fundus uteri :
Biasanya pada hari pertama post seksio sesarea didapatkan temuan
fundus uteri setinggi umbilikus, dan pada hari kedua post seksio
sesarea fundus uteri setinggi 1-2 cm dibawah umbilikus (Reeder,
2011).
b) Kontraksi uterus :
Biasanya pada ibu post seksio sesarea terdapat nyeri epigastrik,
nyeri abdomen karena kontraksi uterus (Rohmah, 2009).
c) Bekas/luka pembedahan :
Terdapat luka insisi pada abdomen dan nyeri dirasakan setelah efek
anestesi hilang (Rohmah, 2009).
d) Diastasis recti :
Selama kehamilan otot-otot abdomen secara bertahap melebar dan
terjadi penurunan tonus otot. Periode pasca partum penurunan

25

tonus otot jelas terlihat. Abdomen menjadi lunak, lembut dan


lemah, serta muskulus rektus abdominis memisah (Rohmah, 2009).
e) Bising usus :
Umunya pada ibu post seksio sesarea bising usus tidak ada hingga
ibu melakukan mobilisasi (Rohmah, 2009).
f) Konsistensi
Biasanya abdomen lunak, tidak terdapat distensi pada awal post
seksio sesarea (Rohmah, 2009)
g) Kandung kemih
Umumnya mengalami distensi kandung kemih jika selama
persalinan diberikan cairan intravena. Kandung kemih ibu cepat
terisi penuh karena diuresis pasca partum dan cairan intravena
(Mitayani, 2009; Rohmah, 2009).
3) Genetalia
Terpasang kateter, adanya edema pada perineum dan bersih
(Reeder, 2009; Rohmah, 2009). Terdapat Lokia yang umumnya
pada hari pertama muncul lokia rubra dengan jumlah sedang dan
berbau amis. Pada hari kedua dapat ditemukan lokia rubra hingga
serosa dengan jumlah sedang dan tidak berbau.
5. Pemeriksaan Penunjang
Kadar hemoglobin dan hemotokrit sulit diintepretasikan selama 3 hari
pertama, tingkat hemoglobin dan hematokrit umumnya mencapai tingkat
sebelum kehamilan dalam waktu 4 sampai 8 minggu setelah melahirkan.
Nilai plasma normal (30-45 ml/kg) kembali dalam waktu 2 hingga 4
minggu post partum. Leukositosis terjadi segera setelah post partum,
sementara sel darah putih meningkat hingga 16.000/mm3 . Tingkat sel
darah merah kembali normal (5000-10.000/mm3) dalam waktu 10 hari
2.3.2

(Johnson, 2014).
Diagnosa Keperawatan

26

Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan Diskontinuitas


pemberian ASI, belum berpengalaman, pengaruh budaya, pembengkakan
payudara, ketidakmampuan bayi untuk menempel atau menghisap payudara
(Wilkinson, Judith M, 2011).
2.3.3

Perencanaan Keperawatan
Dx : Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan Diskontinuitas

pemberian ASI, belum berpengalaman, pengaruh budaya, pembengkakan


payudara, ketidakmampuan bayi untuk menempel atau menghisap payudara.
Tujuan dan Kriteria hasil :
1) Mengenali isyarat awal bayi lapar
2) Mengungkapkan kenyamanan posisi selama menyusui
3) Membantu bayi dengan alignment dan latch on yang benar
4) Mempertahankan isapan/penelanan yang teratur dan kontinu pada payudara
5) Bayi puas setelah menyusu
6) Ibu mengungkapkan kepuasan dengan proses menyusui
7) Memperhatikan pola eliminasi bayi yang adekuat sesuai dengan usia
Intervensi :
1. Kaji pengetahuan tentang menyusui (mis. posisi latch on, mengkaji isapan
dan penelanan).
Rasional : Untuk menentukan kebutuhan edukasi pada ibu guna
merencanakan penyuluhan.
2. Kaji tingkat maturitas dan usia gestasi bayi.
Rasional : Untuk menentukan perbedaan yang dapat menghambat
kemampuan bayi untuk mengisap atau latch on pada payudara.
3. Observasi kemampuan bayi untuk menghisap.
Rasional : Untuk menentukan apakah bayi memperoleh ASI yng adekuat
guna memenuhi kebutuhan nutrisi. Bayi prematur mungkin memiliki refleks
isap yang buruk sehingga berisiko tinggi mengalami kekurangan gizi.
4. Pantau kemampuan bayi untuk meraih puting dengan benar dan latch on.
Rasional : Kemampuan bayi untuk latch on bergantung pada ukuran mulut
bayi dan ukuran puting serta areola ibu. Mulut bayi harus menutupi seluruh
puting dan kira-kira 2 hingga 3 cm area di sekitar puting. Hidung, pipi, dan

27

dagu bayi akan menyentuh payudara ketika bayi melakukan latch on dengan
benar
5. Pantau bayi untuk bunyi kecapan dan sesapan saat menyusu.
Rasional : Bunyi tersebut dapat mengindikasikan bahwa bayi tidak
melakukan latch on dengan benar. Bayi harus dilepas dari payudara dan latch
on dicoba kembali.
6. Kaji ibu untuk nyeri saat bayi mengisap.
Rasional : Dapat mengindikasikan bahwa bayi tidak melakukan latch on
dengan benar. Menyusui seharusnya tidak menimbulkan rasa terjepit atau
nyeri
7. Kaji aliran ASI.
Rasional : Untuk memastikan bahwa bayi menerima ASI. Tanda ASI mengalir
mencakup sensasi kesemutan pada puting, kram uterus, pengeluaran ASI dari
payudara lainnya, perubahan tempo isapan bayi dari cepat ke lambat, pola
menarik, dan suara menelan yang terdengar.
8. Instruksikan ibu posisi yang tepat, dan bantu memosisikan bayi bila
diperlukan.
Rasional : Untuk menyadarkan ibu bahwa menyusui yang efektif bergantung
pada teknik yang tepat. Posisi yang tepat adalah posisi ketika ibu merasa
paling nyaman dan memungkinkan bayi untuk melakukan latch on. Posisi
dapat mencakup football hold, ayunan, ayunan yang dimodifikasi, atau posisi
melewati pangkuan.
9. Jelaskan tentang perawatan puting yang tepat, mencakup cara mencegah nyeri
pada puting.
Rasional : Penggunaan sabun dan alkohol dapat mengeringkan puting,
menyebabkan pecah, serta meningkatkan nyeri serta ketidaknyamanan. Bra
suportif yang yang pas dipakai secara kontinu minimal 72 jam setelah

28

kelahiran dapat meningkatkan kenyamanan, terutama ketika timbul


pembengkakan.
10. Ajarkan ibu cara membuat bayi baru lahir bersendawa dan peragakan bila
diperlukan.
Rasional : Agar ibu mengetahui teknik yang dapat meningkatkan pemberian
ASI dan kenyamanan bayi serta mencegah akumulasi udara dalam lambung
bayi. Udara yang tertelan mengurangi ruang untuk ASI dan dapat
menyebabkan kram lambung atau usus.
11. Anjurkan untuk menyusui bayi menurut isyarat dan tidak membatasi durasi
menyusui, bayi selesai menyusu bila pola mengisap/menelan menjadi lambat,
payudara melunak dan bayi tampak puas.
Rasional : Nyeri puting terjadi akibat posisi latch on dan perlepasan bayi dari
payudara yang salah, bukan durasi menyusui. Beberapa bayi mungkin selesai
menyusu dalam waktu 5 hingga 10 menit, yang lain mungkin memerlukan
waktu hingga 45 menit. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyusu
adalah 15 menit tiap payudara.
12. Tunjukan pada ibu cara membangunkan bayi yang mengantuk (mis. Melepas
pakaian, kecuali popok, masase dada dan punggung, letakkan kain dingin di
wajah bayi, bicara dengan bayi).
Rasional : Tidur bayi baru lahir sangat lama dan mungkin tidak pada awalnya,
bangun tepat waktu untuk menyusu agar tidak mengalami hipoglikemia. Bayi
baru lahir harus disusui minimal setiap 2 hingga 3 jam (8-12 kali dalam
sehari).
13. Anjurkan rawat gabung (menempatkan bayi di kamar ibu).
Rasional : Memberi kesempatan pada ibu untuk belajar mengenali isyarat
menyusu.
14. Sebelum pulang pastikan orang tua memiliki pengetahuan tentang menyusui
dan mengetahui kapan menghubungi penyedia layanan kesehatan.

29

Rasional : Menyusui tentunya tidak terjadi secara alami. Orang tua harus
menganggap menyusui sebagai proses belajar.
15. Kaji keefektifan menyusui
Rasional : Untuk membantu memastikan bahwa bayi menerima nutrisi yang
adekuat tanpa menimbulkan peningkatan nyeri pada ibu. Ibu yang memiliki
insisi bedah mungkin enggan menyusui atau dapat berhenti menyusui
sebelum bayi menerima cukup ASI, akibat peningkatan nyeri atau
ketidaknyamanan.
16. Ajarkan posisi yang dapat memfasilitasi menyusui tanpa meningkatkan nyeri
Rasional : Posisi menyusui yang berbeda tidak memperparah nyeri pada insisi
bedah. Pilihan yang tersedia mencakup berbaring miring, football hold (tubuh
bayi dibawah dan disangga lengan ibu serta kepala di payudara), atau duduk
dengan bayi dibaringkan diatas bantal. Semua posisi ini memungkinkan
pemberian ASI yang efektif tanpa menimbulkan tekanan pada abdomen.
17. Anjurkan untuk menggunakan analgesia untuk meredakan nyeri selama
menyusui
Rasional : Ibu sering kali khawatir tentang penggunaan narkotika untuk
mengontrol nyeri dan efeknya terhadap bayi baru lahir sehingga pemberian
mandiri analgesik tidak adekuat. Narkotika memang dapat masuk ke dalam
ASI; akan tetapi dosis kecil yang diberikan tidak berdampak buruk pada bayi
baru lahir, dan narkotika tersebut meningkatkan kenyamanan ibu secara
signifikan, yang membuat menyusui lebih efektif secara fisiologis dan
psikologis (Green, 2012).

30

2.3.4

Pelaksanaan Keperawatan
Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan

keperawatan. Intruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu ibu


memenuhi kriteria hasil. Adapun implementasi dalam diagnosa ketidakefektifan
pemberian ASI adalah mengkaji pengetahuan tentang menyusui dan tingkat
maturitas bayi, mengobservasi kemampuan (menghisap, meraih puting dan latch
on), memantau bunyi kecapan dan sesapan saat bayi menyusu, mengkaji aliran
ASI, membantu memosisikan bayi bila diperlukan dan menjelaskan tentang
perawatan puting yang tepat, anjurkan untuk menyusui bayi menurut isyarat dan
tidak

membatasi

durasi

menyusui,

bayi

selesai

menyusu

bila

pola

mengisap/menelan menjadi lambat, payudara melunak dan bayi tampak puas


(Green, 2012).
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Ibu keluar dari siklus proses
keperawatan apabila kriteria hasil telah tercapai. Ibu akan masuk kembali ke
dalam siklus apabila kriteria hasil belum tercapai. Komponen tahap evaluasi
terdiri dari pencapaian kriteria hasil, keefektifan tahap-tahap proses keperawatan
dan revisi atau terminasi asuhan keperawatan (Allen, Carol Vestal, 1998) didalam
(Wilkinson, Judith M, 2011).
Pada evaluasi ibu dengan post operasi seksio sesarea, kriteria evaluasi
meliputi hasil fisiologi, seperti kemajuan normal pengeluaran lokia dan proses
penyembuhan luka episiotomi, dapat diamati. Kepuasan interaksi antara ibu dan
bayi baru lahir dan perkembangan kemampuan ibu menunjukkan hasil hubungan
ibu dan bayi baru lahir yang efektif. Ibu, ayah, dan keluarga dapat menjelaskan

31

adaptasi terhadap bayi baru lahir yang efektif, rutinitas baru terbentuk dan
berlangsung stabil. Ibu dan keluarga memiliki keyakinan bahwa masalah mereka
telah terjawab dan merasa mampu menangani proses keluarga baru mereka.

Вам также может понравиться