Вы находитесь на странице: 1из 3

Hari pangan sedunia dan perubahan iklim

Hari Kamis (16/10), kita kembali merayakan Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Perayaan
yang bertepatan dengan tanggal berdirinya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengambil
tema "World Food Security: the Challenges of Climate Change and Bio-Energy".Perayaan Hari
Pangan Sedunia (HPS), tahun ini, memiliki arti penting untuk berkontemplasi guna
meningkatkan kesadaran anak bangsa atas dampak perubahan iklim yang semakin hebat
pengaruhnya terhadap pertanian dan dampak dari sumber energi terbarukan yang berasal dari
produk pangan atau bioenergi. Peningkatan permintaan terhadap bioenergi, di satu sisi membuka
lapangan kerja baru dan peluang ekspor yang sangat besar.
Namun, di sisi lain ada ancaman laten di balik sukses mendulang emas hijau ini. Guna mengawal
target yang dicanangkan pemerintah, yakni pada 2010 bioenergi menggantikan sekitar 10 persen
dari konsumsi bahan bakar konvensional, maka konversi lahan tanaman pangan ke kelapa sawit
tidak terhindarkan. Ini akan menimbulkan persaingan ketat dalam penggunaan lahan untuk
memanen bioenergi dan pangan.
Dampak langsung perubahan iklim, yang sudah dirasakan oleh sektor pertanian, adalah
menurunnya produktivitas lahan karena terganggunya siklus air, perubahan pola hujan, dan
meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrem, yang mengakibatkan pergeseran musim tanam.
Fenomena ini diyakini mengancam ketahanan pangan.
Kian memburuknya keseimbangan lingkungan belakangan ini adalah cermin kegagalan
pencapaian tujuan utama Millennium Development Goals atau MDGs. Bencana ekologis yang
kian kerap terjadi menjadi paradoks dengan tujuan utama pembangunan nasional untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengurangan kemiskinan. Salah satu dari delapan
Tujuan Pembangunan Milenium, yakni mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke dalam program nasional dan merehabilitasi sumber daya alam yang rusak,
belum bisa diwujudkan. (Sibuea, 2007)
Galang Solidaritas
Keprihatinan terhadap lingkungan yang semakin rusak membuat sebagian besar negara di dunia
menggalang solidaritas untuk menyelamatkannya. Fakta-fakta ilmiah menunjukkan, bumi
semakin panas dan kehidupan manusia kian tidak nyaman. Persoalan besar lainnya, semakin
banyak orang yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan badai, banjir, kekeringan, dan
bencana ekologi lainnya. Ancaman krisis pangan global yang menetaskan kelaparan semakin
tidak terhindarkan di tengah warga dunia.
Pengembangan bioenergi menjadi salah satu pendorong deforestasi. Sepuluh tahun belakangan
ini ekspansi sawit bertanggung jawab atas cepatnya laju deforestasi di Indonesia dan Malaysia.
Indonesia telah menggeser posisi Malaysia sebagai penghasil minyak sawit nomor satu dunia,
namun konsekuensinya amat merugikan lingkungan.

Pemanasan global ekstrem yang dipicu oleh pembalakan liar guna menggenjot produksi
biodiesel berbasis sawit bisa mengancam stabilitas ketahanan pangan pada masa datang. Dalam
ukuran luas, menurut data yang dilansir Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), baru-baru ini,
Indonesia telah membabat dan menghancurkan 1,87 juta hektare hutan setiap tahun, sekitar 51
kilometer persegi hutan setiap hari atau setara luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Prestasi
yang memalukan ini, menurut Greenpeace, layak menempatkan Indonesia di dalam The
Guinness Book of World Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.
Kini, dengan suhu yang sudah naik sekitar 1 derajat Celsius dibandingkan dengan seabad silam,
iklim telah memperlihatkan perubahan dramatis. Sebagian besar petani tanaman pangan hanya
dapat pasrah terhadap dampak buruk kekeringan. Mereka cuma bisa menatap sawah yang sudah
ditanami padi makin lama makin kering dengan lumpur mengeras dan pecah-pecah, yang
membuatnya tak layak disebut sawah. Gagal panen pun kerap menghantui petani.
Efek domino kekeringan dan banjir akan menghantam pilar ketahanan pangan yang mendorong
keran impor beras dan pangan lainnya dibuka setiap tahun, menghabiskan devisa yang tidak
sedikit jumlahnya.
Pemerintah patut segera mengambil langkah antisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi secara
sungguh-sungguh guna mencegah dampak buruk perubahan iklim terhadap kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik di Indonesia.
Suka tidak suka, Indonesia harus bergegas beradaptasi dan malakukan mitigasi atas perubahan
iklim. Mekanisme pendanaan konvensional yang berasal dari APBN dan APBD harus diarahkan
sedemikian rupa dalam upaya mitigasi. Pemahaman penyusun anggaran mengenai dampak
pemanasan global patut ditingkatkan.
Pemerintah Indonesia patut menjadikan lampu kuning atas peringatan para pemimpin dunia
tentang dampak kenaikan harga berbagai jenis pangan terhadap stabilitas keamanan dan sosial
politik. Wakil Sekjen PBB Urusan Kemanusiaan dan Bantuan Darurat, John Holmes,
menyatakan, kenaikan harga pangan yang terus berlanjut bisa memicu kerusuhan dan
ketidakstabilan politik secara global.
Peringatan Holmes yang disampaikan, baru-baru ini, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan
mendorong pencarian langkah antisipasi. Saat ini, hampir semua negara di dunia mengalami
kesulitan akibat kenaikan harga pangan. Sejak pertengahan 2007, harga pangan sudah naik 40
persen. Kenaikan itu, bila berkepanjangan, akan menyulitkan 2,5 miliar penduduk negara
berkembang dan sudah pasti, termasuk jutaan anak bangsa ini.
Berangkat dari keprihatinan bersama atas dampak perubahan iklim, pada masa datang dalam
urusan pangan Indonesia jangan bergantung lagi pada pihak luar. Penyediaan pangan harus
diartikan sebagai ketersediaan dan keterjangkauan daya beli warga dalam rangka memenuhi
kebutuhan konsumsinya, sebab pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi.
Kedaulatan pangan harus dirancang tidak sekadar mencapai swasembada pangan dengan
mengenjot kenaikan produksi beras. Namun, harus mampu menyediakan berbagai prasarana dan

sarana pertanian untuk memacu produksi beragam hasil pertanian, sehingga mengantarkan
Indonesia menjadi eksportir bahan pangan yang unggul. Dengan demikian, pelaku usaha tani
yang paling bawah pun bisa hidup sejahtera.
Oleh karena itu, perubahan iklim menjadi tantangan tersendiri dan dijadikan momen penting
guna merancang program revitalisasi pertanian yang membumi guna mewujudkan kedaulatan
pangan, yakni menjamin swasembada beras dan pangan lainnya.
Kita berharap, lewat perayaan HPS 2008 akan muncul komitmen baru pemerintah untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, sehingga perubahan iklim bisa direm. Perubahan iklim
menuntut perubahan besar-besaran dalam budaya dan cara kita bercocok tanam. Salah satu
bentuk respons yang harus dilakukan adalah mempersiapkan petani untuk beradaptasi terhadap
perubahan kondisi.
Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian Unika Santo Thomas SU, Direktur Center for National
Food Security Research (Tenfoser) Medan, Sumatera Utara
sumber: suara pembaruan

Вам также может понравиться