Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB I

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

1.1 Pengertian dan Tujuan Lingkungan Hidup


Gerakan lingkungan hidup di Indonesia telah dimulai pada tahun 1960-an yang
ditandai dengan diselenggerakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjadjaran dalam bulan Mei 1972,
sebulan sebelum Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stokholm. Selain
itu, diangkatnya seorang Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1987
menjadi bukti bahwa Lingkungan Hidup merupakan bagian resmi kebijakan
pemerintah. Dengan masuknya lingkungan hidup sebagai bagian kebijakan
pemerintah pembangunan ekonomi diisyaratkan untuk berwawasan lingkungan
dengan

tujuan

untuk

menghasilkan

pembangunan

berkelanjutan,

yaitu

pembangunan berkesinambungan yang tidak mengalami keambrukan karena


rusaknya lingkungan hidup. Pembangunan telah menyebabkan kerusakan
lingkungan yang parah dan luas yang mengancam berlanjutnya pembangunan.
Kerusakan lingkungan hidup dan dampaknya yang parah menunjukkan bahwa
sistem pengelolaan lingkungan hidup kita telah gagal membuat pembangunan kita
berwawasan lingkungan.
Lingkungan

menurut

Kamus

Umum

Bahasa

Indonesia,

Poerwadarminta (Neolaka;2008;25) adalah berasal dari kata lingkung yaitu


sekeliling, sekitar. Lingkungan adalah bulatan yang melingkupi atau melingkari,
sekalian yang terlingkung disuatu daerah sekitarnya. Menurut ensiklopedia Umum
(1977) lingkungan adalah alam sekitar termasuk orang-orangnya dalam hidup
pergaulan yang mempengaruhi manusia sebagai anggota masyarakat dalam
kehidupan dan kebudayaannya. Dalam Ensiklopedia Indonesia(1983) lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada diluar suatu organisme meliputi :
1. Lingkungan mati (abiotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang
terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia,
suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir dan lainnya.

2. Lingkungan hidup (biotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang


terdiri atas organisme hidup seperti tumbuhan, hewan dan manusia.
Menurut Undang Undang RI No. 4 tahun 1982, tentang ketentuanketentuan pokok Pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-Undang RI No 23
tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa Lingkungan
Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.
Pada penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa lingkungan hidup
merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan
lingkungan hidup harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan suatu
kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah pemukiman, karena lingkungan
hidup manusia adalah sistem dimana berada perwujudan atau tempat dimana
terdapat kepentingan manusia di dalamnya (Soerjadi;1988).
Masih menurut Soerjadi (1988) bahwa lingkungan hidup manusia terdiri
dari lingkungan alam, sosial dan lingkungan buatan mempunyai hubungan saling
mempengaruhi. Lingkungan hidup manusi terdiri atas lingkungan hidup sosial
yang menentukan seberapa jauh lingkugan hidup alam mengalami perubahan
drastis menjadi lingkungan hidup buatan.
Dalam upaya meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan upaya untuk
mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan memodifikasi lingkungan, agar
pengaruh merugikan dapat dijauhkan dan dilaksanakan pencegahan melalui
efisiensi dan pengaturan lingkungan, sehingga bahaya lingkungan dapat
dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat terpelihara.
Lebih tegasnya Soerjadi (1988), menyatakan ada tiga upaya yang harus
dijalankan secara seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau sikap
dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi karena
dampak interaksi manusia dan lingkungannya.

Chiras (Neolaka;1991) menyatakan bahwa lingkungan menunjukkan keluasan


segala sesuatu meliputi air, binatang, dan mikro organisme yang mendiami tanah
itu. Jadi lingkungan termasuk segala komponen yang hidup dan tidak hidup,
interaksi antar sesame komponen. Lingkungan hidup adalah sistem yang
merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk
hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup
lainnya. Dari pengertian lingkungan yang sama yaitu perlu disadari bahwa
ternyata pengelolaan lingkungan oleh manusia sampai saat ini tidak sesuai dengan
etika lingkungan yaitu manusia bersikap superior terhadap alam. Manusia
beranggapan bahwa dirinya bukan bagian dari alam semesta sehingga dia boleh
bebas mengelolanya bahkan dapat merusak lingkungan hidupnya.
Antar manusia dengan lingkungan hidupnya selalu terjadi interaksi timbal
balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan manusia dipengaruhi
oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula manusia membentuk lingkungan
hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan hidupnya. Laporan Seminar
Pengelolaan

Lingkungan

Hidup

dan

Pembangunan

Nasional

yang

diselenggerakan oleh Universitas Padjadjaran pada bulan Mei 1972 menyatakan


Hanya dengan lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang
dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan akan berkembang
kearah yang optimal. Sepanjang masa lingkungan hidup memegang peranan
penting dalam kebudayaan manusia, mulai dari manusia primitif sampai pada
yang modern.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan,

pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan

dan pengendalian

lingkungan hidup (Pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997). Lebih lanjut
dikatakan dalam Pasal 3 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997,
bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan asas
tanggungjawab, asas keberlanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat


Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertagwa kepada Tuhan Yang maha Esa.
Dan yang menjadi sasaran pengelolaan lingkungan hidup ini adalah (Pasal 4
UUPLH No. 23 Tahun 1997) :
1. Tercapainya keselarasan dan keseimbangan antara manuisa dengan lingkungan
hidupnya.
2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
3.
4.
5.
6.

memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.


Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan
Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Terkendalinya pemanfaatan sumer daya secara bijaksana.
Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha
dan/atau kegiatan diluar wilayah Negara yang menyeabkan pencemaran
dan/atau perusak lingkungan hidup. (dalam Neolaka,2008;113)
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah

merancang tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup yaitu : (tahun 2004-2009)


1. Mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup dengan :
a. Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi air, udara, atmosfir,
laut dan tanah.
b. Penurunan laju kerusakan lingkungan hidup yang meliputi sumber daya
air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi dan atmosfir, serta
ekosistem pesisir laut.
c. Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi
lingkungan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan.
2. Meningkatnya kepatuhan para pelaku pembangunan untuk menjaga kualitas
fungsi lingkungan hidup.
3. Mewujudkan tata pemerintahan yang baik dibidang pengelolaan lingkungan
hidup. Dengan terwujudnya pengarusutamaan prinsip tata pemerintahan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dipusat dan daerah
( Zoer`aini,2009;25)
Visi pengelolaan lingkungan agar terwujudnya perbaikan kualitas fungsi
lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan asas tanggungjawab Negara, asas
berlanjutan, asas manfaat diselenggerakan untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup melalui penerapan prinsipprinsip good environmental governance, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Ada beberapa misi yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan visi
pengelolaan lingkungan hidup yaitu, :
1.

Mewujudkan kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup guna


mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Membangun koordinasi dan kemitraan para pemangku kepantingan dalam

2.

pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup secara efisien, adil
dan berkelanjutan.
3.
Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran SDA
dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup
(Zoer`aini, 2009;26)
Agar tujuan pengelolaan lingkungan hidup tersebut dapat dicapai, maka
perangkat hukum positif telah memberikan pengakuan adanya hak dan kewajiban
yang dipunyai baik individu-individu, warga masyarakat atau kelompok social
tertentu seperti ditetapkan dalam pasal 5 UUPLH No. 23/1997. Dengan demikian
berarti bahwa pasal 5 ini dapat ditafsirkan bahwa setiap manuisa tanpa kecuali
berhak untuk menikmati/memanfaatkan lingkungan hidup, manusia juga
mempunyai kewajiban untuk memelihara, mencegah, dan menanggulangi, sesuatu
akibat dan penggunaan hak atas lingkungan hidupnya.
Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup atau untuk
mendapatkan mutu lingkungan yang baik, dilakukan upaya memperbesar manfaat
lingkungan dan memperkecil resiko lingkungan, agar pengaruh yang merugikan
dapat dijauhkan sehingga kawasan lingkungan hidup dapat terpelihara.
Sujatmoko (1983) mengatakan bahwa Indonesia menghadapi 2 macam
masalah mengenai lingkungan hidup, yaitu pertama kemelaratan dan kepadatan
penduduk. Masalah yang kedua adalah pengrusakan dan pengotoran lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Pembangunan erat kaitanya
dengan lingkungan hidup, dimana pembangunan itu membutuhkan sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Menurut Hardjasumantri (2002) bahwa
pembangunan dapar berjalan, tanpa menganggu lingkungan hidup. Untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah,

dibutuhkan swadaya masyarakat banyak untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Selain dengan proses pembangunan, manusia dapat bertindak sebagai
subjek pembangunan yaitu sebagai pengelola, pencemar maupun perusak
lingkungan, tetapi juga manusia dapat juga sebagai objek pembangunan yaitu
menjadi korban pencemaran air, udara dan lain-lain. Pencemaran lingkungan
hidup tidak hanya dalam bentuk pencemaran fisik, tetapi juga dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan sosial.
Oleh karenanya setiap pengelolaan terhadap lingkungan hidup harus pula
dilakukan secara sadar dan terencana. Hubungan keserasian antara arah
pembangunan

kelestarian

lingkungan

hidup

perlu

diusahakan

dengan

memperhatikan kebutuhan manusia, seperti lapangan kerja, pangan, sandang, dan


pemukiman, kesehatan dan pendidikan (Emil Salim;1991).
Dari gambaran diatas dapat diketahui kunci permasalahan lingkungan
adalah manusia. Jadi manusia dengan lingkungannya merupakan suatu yang tidak
dapat dipisahkan.Karena kedua hubungan tersebut saling pengaruh dan
mempengaruhi (Natsir;1986). Tingkah laku manusia selalu mempengaruhi
keharmonisan dan keseimbangan lingkungan. Manusia yang mampu memelihara
lingkungan dengan baik adalah manusia yang mampu mempergunakan alam
sekitarnya guna memenuhi kebutuhan materinya secara wajar, sehingga kualitas
lingkungan dapat dijaga dan ditingkatkan sekaligus memberikan manfaat kepada
manusia.
Berdasarkan pengertian pengelolaan lingkungan hidup yang telah
diutarakan diatas, maka pengelolaan sampah domestik pun harus dikaitkan dengan
upaya memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Artinya
pengelolaan sampah hendaknya merupakan upaya dalam pendayagunaan,
pengawasan, dan pengendalian sampah, serta pemulihan lingkungan akibat
pencemaran sampah.
Atas dasar adanya interaksi antara lingkungan sosial dan lingkungan
buatan dan dengan kegiatan manusia yang menghasilkan sampah, maka bila
sampah tidak dikelola secara tepat akan mengancam kualitas lingkungan kota.

Dalam hal pengelolaan sampah pertimbangan lingkungan hendaknya selalu


menjadi dasar perumusan kebijakan dan atau penanggulangannya. Atas dasar itu
tidak berlebihan kiranya dinyatakan bahwa pengelolaan sampah haruslah
berwawasan lingkungan.
1.2 Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Berbagai permasalahan yang diakibatkan karena buruknya pengelolaan
lingkungan hidup muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam
dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi
kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar.
Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini:
1. Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Hutan merupakan salah satu
sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian
nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap
keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas
hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun, bersama
Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Salah satu akibatnya
jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan negara
ASEAN lainnya.
2. Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan
konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem
dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS berkondisi kritis meningkat, selain itu
kerusakan DAS tersebut juga dipacu oleh pengelolaan DAS yang kurang
terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Hal
ini akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya
cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian,
industri, dan konsumsi rumah tangga.
3. Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Kerusakan habitat
ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di
wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau
Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan
mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan

padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya


keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh
perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat.
Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai,
antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel,
dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan
perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir
juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan
Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi
yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan
benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat
pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi
yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut
terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan
pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut,
terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta
kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang
merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih
terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan
laut.
4. Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha pertambangan,
khususnya tambang terbuka (open pit mining), selalu merubah bentang alam
sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat aslinya. Dalam skala besar
akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak
buruk bagi kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha
pertambangan cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh
banyaknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak lingkungan.
5. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity).
Sampai saat ini 90 jenis flora dan 176 fauna di Pulau Sumatera terancam
punah. Populasi orang-utan di Kalimantan dan Hutan bakau di Jawa dan
Kalimantan menyusut tajam, disertai rusaknya berbagai ekosistem. Gambaran
tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kritis berdasarkan Red Data

Book IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Di sisi lain,
pelestarian plasma nutfah asli Indonesia belum berjalan baik.

Kerusakan

ekosistem dan perburuan liar, yang dilatarbelakangi rendahnya kesadaran


masyarakat, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di
Indonesia.
6. Pencemaran air semakin meningkat. Penelitian di 20 sungai Jawa Barat
menunjukkan bahwa angka BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD
(Chemical Oxygen Demand)- nya melebihi ambang batas. Indikasi serupa
terjadi pula di DAS Brantas, ditambah dengan tingginya kandungan amoniak.
Limbah industri, pertanian, dan rumah tangga merupakan penyumbang
terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan danau, situ, dan
perairan umum lainnya juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan.
Umumnya disebabkan karena tumbuhnya phitoplankton secara berlebihan
(blooming) sehingga menyebabkan terjadinya timbunan senyawa phospat
yang berlebihan. Matinya ikan di Danau Singkarak (1999), Danau Maninjau
(2003) serta lenyapnya beberapa situ di Jabodetabek menunjukkan tingginya
sedimentasi dan pencemaran air permukaan. Kondisi air tanah, khususnya di
perkotaan, juga mengkhawatirkan karena terjadinya intrusi air laut dan banyak
ditemukan bakteri Escherichia Coli dan logam berat yang melebihi ambang
batas.
7. Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun. Kualitas
udara di 10 kota besar Indonesia cukup mengkhawatirkan, dan di enam kota
diantaranya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan
Baru dalam satu tahun hanya dinikmati udara bersih selama 22 sampai 62 hari
saja. Senyawa yang perlu mendapat perhatian serius adalah partikulat (PM10),
karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NOx). Pencemaran udara
utamanya disebabkan oleh gas buang kendaraan dan industri, kebakaran hutan,
dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Hal ini juga diperburuk oleh
kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di
stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons
(CFCs), halon, carbon tetrachloride, methyl bromide yang biasa digunakan
sebagai refrigerant mesin penyejuk udara, lemari es, spray, dan foam.

Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon (BPO) atau ODS


(ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal Protocol dan Kyoto
Protocol yang telah diratifikasi untuk ikut serta mengurangi penggunaan BPO
tersebut, namun demikian sulit dilaksanakan karena bahan penggantinya
masih langka dan harganya relatif mahal.
Selain permasalahan tersebut di atas, juga terdapat berbagai permasalahan
lain yang pada akhir-akhir ini justru sangat menonjol, termasuk masalah-masalah
sebagai dampak dari bencana dan permasalahan lingkungan lainnya yang terjadi
karena fenomena alam yang bersifat musiman.
1. Sistem

pengelolaan

hutan

secara

berkelanjutan

belum

optimal

dilaksanakan. Sejak tahun 1970-an hutan telah dimanfaatkan sebagai mesin


ekonomi melalui ekspor log maupun industri berbasis kehutanan. Sistem
pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan (HPH)
kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan
masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah daerah. Kontrol
sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar
keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya.
2. Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum
jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusatdaerah. Titik berat
otonomi daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan Pemerintah
PusatPropinsiKabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam
peraturan

perundang-undangan,

menjadi

berbeda-beda

penafsirannya.

Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber
daya alam. Misalnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan lebih menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan hutan secara
ideal, sementara aspek kewenangan pengelolaan hutan tidak terakomodasi
secara jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
walaupun sudah menegaskan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam hal kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,

pengendalian, bagi hasil, penyerasian lingkungan dan tata ruang, masih


memerlukan peraturan perundang-undangan lebih lanjut.
3. Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging)
dan penyelundupan kayu. Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya
pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan
kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over
cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri,
dan tindakan illegal lainnya banyak terjadi. Diperkirakan kegiatan-kegiatan
illegal tersebut saja telah menyebabkan hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar
per tahun, melebihi luas hutan yang ditebang berdasarkan ijin Departemen
Kehutanan. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek
penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan
yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya
hutan.
4. Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan. Sumber daya manusia,
pendanaan, sarana- prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola
kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan
yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah
kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan
hutan, dan lain-lain. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta
mengamankan hutan juga sangat rendah.
5. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa
lingkungan. Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan,
seperti nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara bersih,
keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan yang
memiliki manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan memiliki
potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan
hasil penelitian, nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih besar dari nilai produk
kayunya. Diperkirakan nilai hasil hutan kayu hanya sekitar 7 persen dari total
nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan.
Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan mulai meningkat, khususnya
untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya.

Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum


berkembang secara maksimal.
6. Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal. Sektor kelautan
menyumbang sekitar 20 persen dari PDB nasional. Kontribusi terbesar berasal
dari migas, diikuti industri maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata
bahari, bangunan laut, dan jasa-jasa lainnya. Namun demikian, bila
dibandingkan dengan potensinya, sumber daya laut masih belum tergarap
secara optimal. Kebijakan pembangunan nasional selama ini cenderung terlalu
berorientasi ke wilayah daratan, sehingga alokasi sumber daya tidak dilakukan
secara seimbang dalam mendukung pembangunan antara wilayah darat dan
laut.
7. Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak.
Pencurian ikan (illegal fishing), baik oleh kapal-kapal domestik dengan atau
tanpa ijin maupun kapal-kapal asing di perairan teritorial maupun di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), menyebabkan hilangnya sumber daya
ikan sekitar 1-1,5 juta ton per tahun dengan nilai kerugian negara sekitar US$
2 milyar. Hal ini diperburuk oleh upaya pengendalian dan pengawasan yang
belum optimal akibat kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut.
Selain itu, jumlah dan kapasitas petugas pengawas, sistem pengawasan,
partisipasi masyarakat, dan koordinasi antar instansi terkait juga masih lemah.
Sementara itu, penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti
penggunaan bahan peledakdan racun (potasium) masih banyak terjadi, yang
dipicu oleh meningkatnya permintaan ikan karang dari luar negeri dengan
harga yang cukup tinggi. Kegiatan ini menyebabkan rusaknya ekosistem
terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang sangat penting.
8. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal. Indonesia memiliki banyak
sekali pulau- pulau kecil, tetapi lebih dari tiga dasawarsa terakhir pulau-pulau
kecil tersebut kurang atau tidak memperoleh perhatian dan atau tersentuh
kegiatan pembangunan. Pulau kecil, yang didefinisikan sebagai pulau yang
luasnya kurang dari 10.000 km yang umumnya jumlah penduduknya kurang
dari 200.000 jiwa, sangat rentan terhadap perubahan alam karena daya dukung
lingkungannya sangat terbatas dan cenderung mempunyai spesies endemik

yang tinggi. Ciri lainnya adalah jenis kegiatan pembangunan yang ada bersifat
merusak lingkungan pulau itu sendiri atau memarjinalkan penduduk lokal.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa pulau kecil yang
berpotensi memiliki konflik dengan pihak asing, terutama pulau-pulau kecil
yang berada di wilayah perbatasan. Pada saat ini terdapat 92 pulau-pulau kecil
menjadi base point (titik pangkal) perbatasan wilayah RI dengan 10 negaranegara tetangga. Sampai sekarang baru dengan satu negara, yaitu Australia
telah dibuat perjanjian yang menetapkan pulau-pulau kecil Nusantara sebagai
titik pangkal batas wilayah. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus
dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang ada, yang berbeda pola
pendekatannya dengan pulau-pulau besar lainnya.
9. Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan. Banyak wilayah
Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. Secara geografis Indonesia
terletak di atas tiga lempeng aktif besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia,
Eurasia, dan Pasifik. Disamping itu, juga merupakan wilayah pertemuan arus
panas dan dingin yang berada di sekitar Laut Banda dan Arafura. Kondisi ini,
dari satu sisi, menggambarkan begitu rentannya wilayah Indonesia terhadap
bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami dan taufan. Apabila tidak disikapi
dengan pengembangan sistem kewaspadaan dini (early warning system) maka
bencana alam tersebut akan mengancam kehidupan manusia, flora, fauna, dan
infrastruktur prasarana publik yang telah dibangun; seperti yang terjadi di
NAD, Sumatra Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam jangka
menengah ini, pengembangan kebijakan sistem mitigasi bencana alam menjadi
sangat penting, yang antara lain melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mampu membantu mengurangi dampak negatif bencana
tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman akan kawasan rawan bencana
geologi (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan secara baik, dan
rencana tata ruang yang disusun dengan memperhitungkan kawasan rawan
bencana geologi dan lokasi kegiatan ekonomi, serta pola pembangunan kota
disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal. Upaya-upaya lain yang

perlu dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan mangrove dan


terumbu karang) di wilayah pesisir.
10. Rendahnya tingkat pemanfaatan ini karena kurangnya daya saing
Indonesia dalam hal suplai. Berbeda dengan Malaysia dan Australia yang
selalu siap dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru dikembangkan
setelah ada kepastian kontrak dengan pembeli, sehingga dari sisi supply
readiness Indonesia kurang bersaing. Pertambangan mineral seperti timah,
nikel, bauksit, tembaga, perak, emas, dan batubara tetap memberikan
kontribusi walaupun penerimaannya cenderung menurun.
11. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan
limbah secara terpadu dan sistematis. Meningkatnya pendapatan dan
perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan
pencemaran akibat limbah padat, cair, maupun gas secara signifikan. Untuk
limbah padat, hal ini membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya
tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sebagai gambaran, di JakartaBogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) umur operasi TPA rata-rata
tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas. Selain itu,
sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun
begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan
leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Penurunan kualitas air di
badan-badan air akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan industri juga
memerlukan upaya pengelolaan limbah cair yang terpadu antar sector terkait.
Semakin tingginya intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk
menjadi pemicu memburuknya kualitas udara, terutama di perkotaan.
Pengaturan mengenai sistem pengelolaan dan pengendalian gas buang (emisi),
baik industri maupun transportasi diperlukan sebagai upaya peningkatan
perbaikan kualitas udara. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun)
yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga
belum dikelola secara serius. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Basel
Convention, saat ini hanya ada satu fasilitas pengolahan limbah B3 yang
dikelola swasta di Cibinong. Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta

rendahnya pemahaman masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya


mengurangi dampak negatif limbah terutama limbah B3 terhadap lingkungan.
12. Adaptasi kebijakan terhadap perubahan iklim (climate change) dan
pemanasan global (global warming) belum dilaksanakan. Fenomena
kekeringan (El Nio) dan banjir (La Nia) yang terjadi secara luas sejak tahun
1990-an membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150
tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6 C akibat emisi
gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO 2 , CH 4 , dan NOx dari
negara-negara industri maju. Sampai tahun 2100 mendatang suhu rata-rata
permukaan bumi diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,4-5,8 C.
Keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier dan lapisan es di kutub
mencair, permukaan laut naik, dan iklim global berubah. Indonesia, sebagai
negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu
adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut mutlak dilakukan, khususnya yang
terkait

dengan

strategi

pembangunan

sektor

kesehatan,

pertanian,

permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu perubahan iklim memberi


peluang tersendiri bagi Indonesia, yang telah meratifikasi Kyoto Protocol, di
mana negara-negara industri maju dapat menurunkan emisinya melalui
kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism)
di negara berkembang seperti Indonesia.
13. Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan. Alokasi dana
pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total
alokasi dana pembangunan, sector lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1
persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara, maka upaya
pendanaan alternatif harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara
lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development
Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax. Upaya ke arah itu masih
tersendat karena sistem dan aturan keuangan negara sangat kaku dan tidak
fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Selain
itu, perlu dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber
pendanaan dalam negeri dengan mengembangkan berbagai mekanisme

pengelolaan pendanaan melalui lembaga keuangan maupun lembaga


independen lainnya.
14. Isu lingkungan global

belum

dipahami

dan

diterapkan

dalam

pembangunan nasional dan daerah. Tumbuhnya kesadaran global tentang


kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang semakin buruk, telah
mendesak seluruh negara untuk merubah paradigma pembangunannya, dari
ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. Untuk itu telah dihasilkan
154 perjanjian internasional dan multilateral agreement yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan isu lingkungan global. Indonesia telah
meratifikasi 14 perjanjian internasional di bidang lingkungan tetapi sosialisasi,
pelaksanaan dan penaatan terhadap perjanjian internasional tersebut kurang
mendapat perhatian sehingga pemanfaatannya untuk kepentingan nasional
belum dirasakan secara maksimal. Selain itu, masukan Indonesia untuk
memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai konvensi internasional
juga masih terbatas mengingat lemahnya kapasitas institusi, sumber daya
manusia, serta sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi tersebut.
Dengan aktifnya Indonesia pada perjanjian perdagangan baik regional seperti
AFTA dan APEC atau global seperti WTO, maka pembangunan nasional dan
daerah perlu mengantisipasi dampaknya terhadap lingkungan.
15. Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup. Hukum
lingkungan atau peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup masih
kurang bersinergi dengan peraturan perundangan sektor lainnya. Banyak
terjadi inkonsistensi, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan baik
peraturan perundangan yang ada baik di tingkat nasional maupun peraturan
perundangan

daerah.

pengarusutamaan

Untuk

memberikan

prinsip-prinsip

penguatan

pembangunan

sebagai

upaya

berkelanjutan

maka

pengembangan hukum lingkungan perlu terus dilakukan.


16. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam

pemeliharaan

lingkungan. Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam


akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma.
Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah
Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa

lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan


kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan,
akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber
daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan
adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan
keserakahan.
1.3 Sasaran Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dengan permasalahan-permasalahan di atas, sasaran pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang ingin dicapai adalah membaiknya sistem
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi terciptanya
keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal
pertumbuhan ekonomi (kontribusi sektor perikanan, kehutanan, pertambangan dan
mineral terhadap PDB) dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi
lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya
keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk itu,
pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) di seluruh sektor, baik di pusat maupun di daerah,
menjadi suatu keharusan. Yang dimaksud dengan sustainable development adalah
upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan
generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus dilandasi tiga pilar
pembangunan

secara

seimbang,

yaitu

menguntungkan

secara

ekonomi

(economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah


lingkungan (environmentally sound).
Sasaran pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah: (1)
Meningkatnya kualitas air permukaan (sungai, danau dan situ) dan kualitas air
tanah disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor; (2)
Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui pendekatan terpadu antara
kebijakan konservasi tanah di wilayah daratan dengan ekosistem pesisir dan laut;
(3) Meningkatnya kualitas udara perkotaan khususnya di kawasan perkotaan yang
didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah

lingkungan; (4) Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara


bertahap dan sama sekali hapus pada tahun 2010; (5) Berkembangnya
kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; (6) Pelestarian dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP
2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan); (7) Meningkatnya
upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan perlindungan
lingkungan sebagai salah satu faktor penentu kebijakan; (8) Meningkatnya sistem
pengelolaan dan pelayanan limbah B3 (bahan berbahaya beracun) bagi kegiatankegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan; (9) Tersusunnya informasi dan
peta wilayah-wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, bencana banjir,
kekeringan, gempa bumi, dan tsunami, serta bencana-bencana alam lainnya; (10)
Tersusunnya aturan pendanaan-lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk
mengatasi rendahnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; (11) Meningkatnya
diplomasi internasional di bidang lingkungan; dan (12) Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
1.4 Arah Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh
meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam,
optimalisasi manfaat ekonomi dari sumber daya

alam termasuk jasa

lingkungannya, pengembangan peraturan perundangan lingkungan, penegakan


hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian
pencemaran lingkungan hidup dengan memperhatikan kesetaraan gender. Melalui
arah kebijakan ini diharapkan sumber daya alam dapat tetap mendukung
perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa
mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap
dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Secara lebih rinci arah kebijakan yang
ditempuh dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup adalah sebagai berikut.
Pembangunan dan Pengelolaan lingkungan hidup diarahkan untuk:

1.

Mengurusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

2.

ke seluruh bidang pembangunan;


Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan

3.

daerah;
Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan

4.

penegakannya secara konsisten terhadap pencemar lingkungan;


Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat

5.

pembangunan;
Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat

kegiatan

nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang


6.

bersifat akumulasi, fenomena alam yang bersifat musiman dan bencana;


Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan
berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan

7.

hidup; dan
Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi
wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi
kewaspadaan dini terhadap bencana.
1.5 Hak dan Kewajiban Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas
tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Adapun sasaran yang hendak dicapai dalam pengelolaan lingkungan
hidup tersebut adalah:
a. Tercapainya keselarasan, keserasian, keseimbangan antara manuisa dan
lingkungan hidup.
b. Terwujudnya manusia Indonesai sebagai INSAN LINGKUNGAN HIDUP
c.
d.
e.
f.

yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan membina lingkungan.


Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan
Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
Terlindunginya NKRI terhadap dampak dan atau kegiatan di luar wilayah
Negara yang menyebabkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

Untuk mencapai sasaran tersebut, masyarakat secara yuridis diberikan hak,


kewajiban serta kesempatan untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan
hidup.

Keikutsertaan

masyarakat

dalam

pengelolaan

lingkungan

hidup

menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup bukanlah tanggung jawab


pemerintah semata-mata, melainkan merupakan tanggung jawab seluruh
komponen bangsa dan negara. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), diatur tentang
hak, kewajiban dan peran serta masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah
seluruh komponen masyarakat termasuk para pelajar (dari TK sampai Perguruan
Tinggi). Beberapa hak masyarakat yang disebutkan pada Pasal 5, yaitu:
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Subyek Hukum, termasuk para siswa SLTA seharusnya bisa melaksanakan
haknya dengan baik, akan tetapi tidak semua subyek Hukum mengetahui
haknya.Untuk ini diperlukan proses penyadaran melalui berbagai sarana, misalnya
melalui komunikasi Hukum, dialog interaktif atau melalui media yang lain.
Melalui proses penyadaran ini diharapkan subyek Hukum berani untuk menuntut
haknya dan berani meminta keadilan apabila hak tersebut dilanggar.
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis
dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan ada
ASAS KETERBUKAAN. Informasi lingkungan ini ini dapat berupa data,
keterangan atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan
hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui
masyarakat, seperti dokumen AMDAL. Laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantauan panaatan maupun pemantauan perubahan
kuatlitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang.

Di samping hak yang diberikan oleh undang-undang, subyek Hukum


(orang) juga dituntut untuk memenuhi beberapa kewajiban dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Kewajiban-kewajiban diatur pada Pasal 6 UUPLH, yaitu:
1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup.
2. Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.
Kewajiban setiap orang tersebut di atas tidak terlepas dari kedudukannya
sebagai anggota masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu
dan mahluk sosial. Kewajiban tersebut mengandung makna bahwa setiap orang
turut berperanserta dalam upaya memelihara lingkungan hidup, misalnya
peranserta masyarakat dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan hidup,
kegiatan penyuluhan dbimbingan di bidang lingkungan hidup.
1.6 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam
UUPLH pada Pasal 7. Masyarakat diberikan kesempatan yang sama dan seluasluasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut
dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan.
b. Menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial,
d. Memberikan saran pendapat
e. Menyampaikan informasi dan atau menyampaikan laporan.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menjadi
semakin penting setelah disepakati dan dikukuhkannya landasan institusi global
dan nasional pengelolaan lingkungan hidup pada Rapat Koordinasi Nasional I
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan 1994.
Kesepakatan itu dituangkan dalam Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup
(sebagai landasan pembangunan lingkungan hidup) yang terdiri dari :

1)
2)
3)
4)
5)

Lestarikan tatanan lingkungan;


Indahkan daya dukung lingkungan;
Naikkan mutu lingkungan;
Gerakkan perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman fauna dan flora;
Koordinasikan keterpaduan sumber daya alam dan sumber daya buatan dalam

pengelolaan lingkungan hidup;


6) Upayakan pemanfaatan ruang wilayah secara optimal;
7) Normalisasikan fungsi lingkungan dengan mengurangi resiko perusakan dan
pencemaran lingkungan;
8) Gairahkan peran serta masyarakat;
9) Antisipasi dan andalkan sistem informasi lingkungan dan ekonomi lingkungan
dan
10) Nyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pengelolaan lingkungan serta
penegakan hukum lingkungan.
Butir 8 Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan
dukungan terhadap peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat seperti apakah
yang dikehendaki dalam pengelolaan lingkungan hidup sekarang? Seiring dengan
perkembangan demokratisasi (dan sekaligus otonomi daerah), sudah saatnya kita
mengubah paradigma pengelolaan lingkungan hidup dari model ADA ( Atur Dan
Awasi ) ke model ADS ( Atur Diri Sendiri ). Model ADA masih mendominasi
sistem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Sikap dan kelakuan kita
terhadap lingkungan hidup lebih banyak diatur dengan peraturan perundangundangan dan dibina dengan berbagai instrumen suasif (melalui adat dan agama)
dibandingkan dengan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Pemerintah mengawasi kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan perundangundangan di bidang lingkungan hidup dan menindak para pelanggar. Kekuasaan
mempunyai ciri: penindakan, top-down, birokratis, instruktif dan kaku sedangkan
ADS lebih bersifat persuasif, bottom-up, partisipatoris, dialogis dan supel.
perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pengawasan dan penindakan mengalir
dari pusat ke daerah (insturktif, birokratis) dan dari atas ke bawah (top-down).
Transisi ADA (Atur Dan Awasi) ke ADS (Atur Diri Sendiri) hendaknya
dimulai dengan mengimplentasikan peraturan perundang-undangan yang telah ada
dalam UUPLH. Hal itu dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan peranan
orang (Pasal 5 ayat 3) dan masyarakat (Pasal 7 ayat (1) dan (2)) dalam

pengelolaan lingkungan hidup. Bila perlu harus segera dilakukan perubahan


terhadap PP dan Kepmen yang membatasi atau kurang mengatur peranan
masyarakat secara eksplisit. Keputusan Kepala Bapedal No.8 Tahun 2000 tentang
Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup merupakan kemajuan yang cukup berarti.
Keputusan ini seharusnya juga harus segera ditindaklanjuti dengan kebijakan
nyata dalam pengelolaan lingkungan hidup. Jenis-jenis participatory planning,
advocacy planning dan external monitoring sudah saatnya untuk diterapkan
melalui forum-forum yang lebih bersifat dialogis (misal dengan cara Public
Consultation and Disclosure Plan (PCDP)).. Hal ini ditempuh agar dapat
menguntungkan para pihak yang terkait (stakeholders). Perbedaan persepsi antara
pemerintah dengan masyarakat atau orang terkena dampak (OTD) harus
dijembatani dengan penuh kearifan.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menggariskan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian maka pendekatan
pembangunan yang tepat adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) didasarkan pada visi yang dinamis. Terdapat beberapa alasan yang
mendorong pentingnya strategi pemberdayaan masyarakat ini, yaitu:
1. Konsekuensi OTDA dalam pengelolaan lingkungan hidup;
2. Menuju pada model pengelolaan lingkungan yang baik, harus ada integrasi
pemerintah, masyarakat (LSM, lembaga pendidikan, kelompok masyarakat
lain) dan dunia usaha.
3. Internalisasi agenda publik dalam kebijakan lingkungan.
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus memiliki kepekaan
untuk memperhatikan aspirasi yang masuk melalui lembaga-lembaga demokratis
dan jalur-jalur lainnya serta mempunyai kemampuan untuk melaksanakan Good
Environmental Governance pada tingkatnya masing-masing. Masyarakat
(individu, entitas dan system) secara bersama-sama harus terlibat dalam menjamin
terwujudnya GEG yang bercirikan: (1) partisipatif, (2) berorientasi pada
consensus, (3) transparan, (4) responsive, (5) aturan hukum, (6) kesetaraan dan

inklusif, (7) efektifitas dan efisiensi, dan (8) dapat dipertanggungjawabkan


(accountable).
Adapun bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat. dapat berupa:
a. Peningkatan kesadaran masyarakat atas pentingnya lingkungan yang baik dan
sehat;
b. Memberdayakan masyarakat untuk berani menuntut hak atas lingkungan yang
baik dan sehat
c. Menguatkan inisiatif masyarakat lokal dalam menjaga, memelihara dan
meningkatkan fungsi lingkungan, misalnya berperan serta dalam prose
pengambilan keputusan demi kesejahteraan dan kepentingan umum.
d. Menerapkan prinsip participatory dalam semua siklus proyek pengembangan
lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA
[1].Fahmi,Sudi.2011. Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum No. 2 Vol.
18 April 2011: 212 228. Pekanbaru.
[2].Indonesia Policy Briefs.Mengelola Lingkungan Hidup
[3].Presiden Republik Indonesia. Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Bab 32.
[4].Santosa, Sigit.2005. Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Perhitungan Sumber Daya Alam: Upaya

Dalam Menjaga Kualitas

Lingkungan.Universitas Sebelas Maret.Surakarta


Setiawati, Tity Wahju.2009.Hak,Kewajiban dan Partisipasi Masyarakat

[5].

dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Media Hukum/Vol.IX/No2/April-Juni/


2009 No ISSN 1411-375.

Вам также может понравиться