Вы находитесь на странице: 1из 15

1

ETIKA BISNIS ISLAM DALAM JUAL BELI


Oleh: Taufiq
ABSTRAK
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk
didalamnya persoalan bisnis yang berlandaskan pada etika. Etika bisnis
Islam tidak mengekang pelaku bisnis dalam mencari pelanggan dan
keuntungan, namun etika bisnis Islam menuntun agar pelaku bisnis, jujur,
adil dan tidak eksploitatif terhadap lainnya dalam berbagai hal. Ada
beberapa prinsip umum yang harus dijadikan landasan dalam jual beli,
yaitu prinsip antaradhin minkum (keridhaan sesama pelaku bisnis) dan
prinsip latazlimuna wa tuzlamun (jangan saling menzalimi). Dari kedua
prinsip tersebut dapat diderivatif dari dalam tadlis (penipuan), gharar
(ketidak jelasan), sumpah palsu, saling menjelekkan mitra bisnis.
Aplikasinya terhadap kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan
objek transaksi. Etika bisnis Islam memberikan batasan-batasan terhadap
bentuk larangan-larangan tersebut. Baik yang didasari pada dalil naqli
maupun aqli.
A. Pendahuluan
Dalam konteks Islam semua aktifitas harus mengacu pada Al-Quran dan
Hadis ataupun Ijtihad para ulama. Begitu juga dalam hal bisnis maka harus
mengacu pada hukum-hukum dasar tersebut. Untuk itu secara terminologi
tentunya akan berbeda antara etika bisnis dengan etika bisnis Islam. Bisnis Islam
dikendalikan oleh halal dan haram baik dari cara memperolehnya atau
pemanfaatannya.
Islam melarang semua bentuk transaksi yang akan menimbulkan kesulitan
dan masalah, sebuah bentuk transaksi yang hanya semata berdasarkan pada kans
dan spekulasi, dimana semua pihak yang terlibat dalam bisnis itu itu tidak
dijelaskan dengan seksama yang akibatnya memungkinkan sebagian dari pihak
yang terlibat bisa menarik keuntungan namun dengan merugikan pihak lain.1
Al-quran sebagai sumber nilai, telah memberikan batasan-batasan umum
mengenail nilai-nilai prinsipil yang harus dijadikan acuan dalam berbisnis. Termaterma al-batil, al-fasad, dan al-zalim yang disebutkan dalam Al-Quran dapat

Abu Ala al-Maududi, Muayyasatil Islam, (Lahore: Islamic Publication, 1969), h.58

difungsikan sebagai landasan bagi prilaku yang bertentangan dengan prilaku yang
dibolehkan Al-Quran dalam berbisnis.
Ini dapat dibuktikan dengan adanya ayat-ayat yang memiliki kandungan
makna tentang bisnis, sering menggunakan terma-terna tersebut ketika
menjelaskan prilaku bisnis yang buruk. Al-batil dalam Al-Quran terdapat 36 kali
dengan berbagai derivasinya. Batala disebut satu kali dalam surah al-Araf ayat
11, tubtilu dua kali dalam surah al-Baqarah ayat 264 dan surah Muhammad ayat
33. Yubtilu satu kali dalam surah al-Anfal ayat 8 dan sayubtiluhu satu kali dalam
surah Yunus ayat 81. Dibanding bentuk kata lainnya, kata batilun disebut paling
banyak yaitu 24 kali dalam Al-Quran. Batilan disebut dua kali dan mubtilun
disebut lima kali.2
B. Asas Transaksi Dalam Islam
Islam sangat consent dengan persoalan etika dalam bisnis, yang tidak
menginginkan adanya pelanggaran atau perampasan terhadap hak dan kekayaan
orang lain dalam berbagai bentuk kegiatan transaksi termasuk cara berkonsumsi.
Dan mengecam keras perilaku bisnis yang mengandung unsur kazaliman (zhulum)
dan kebatilan.3
Prilaku-prilaku seperti riba, mengurangi takaran tau timbangan, penipuan
(tadlis), gharar, skandal bisnis, korupsi dan kolusi, monopoli serta penimbunan,
menjatuhkan mitra bisnis dan lain-lain merupakan perilaku-perilaku yang
bertentangan dengan dengan etika bisnis.
Secara umum ada beberapa prinsip atau asas yang harus diperhatikan
dalam sebuah akad bisnis agar bisnis tersebut tidak keluar dari kaidah-kaidah
muamalah baik fasid maupun batal. Sebagaimana dijelaskan oleh Syamsul Anwar:
4

yaitu:
1. Asas Ibahah (Mabda al-Ibahah) yaitu sesuai dengan kaidah muamalah
yaitu pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dilakukan selama belum
ada dalil yang melarangnya. Ini menyiratkan kemubahan untuk
melakukan akad terhadap objek apa saja selama sesuai dengan hukum
yang ada.
2

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mujam Mufahrasy li Alfadz Al-Quran, (t.p,t., 1981), h.

123-124.
3
Abdul Karim Al-Khatib, As-Siyasah al-Maliyah fi al-Islam ea Shilatuhu bi alMuamalah al-Muashirah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1976), 151-152.
4
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h.83.

2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda Hurriyah at-Taqud), yaitu


kebebasan untuk berakad kepada siapa saja tanpa ada pembatasan dan
pengecualian selain yang ditetapkan oleh dalil-dalil.
3. Asas Konsensualisme (Mabda ar-Radhaiyyah), yaitu prinsip saling
ridha dalam diri para pihak yang berakad.
4. Asas Janji itu Mengikat, yaitu adanya akibat hukum dalam atau setelah
dilaksanakan akad yang harus dijalankan para pihak sesuai dengan
yang diakadkan.
5. Asas Kesimbangan (Mabda at-Tawazun fil Muawadhah), yaitu
adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak dan tidak
memberatkan salah satu pihak baik dari risiko yang timbul maupun
keuntungan yang diperoleh.
6. Asas Kemaslahatan, yaitu dari akad yang dilakukan tidak boleh
menimbulkan kerugian (mudharat) atau memberatkan (masyaqqah)
bagi para pihak atau salah satu pihak maupun pihak lain diluar para
pihak yang berakad.
7. Asas Amanah, yaitu kepatuhan para pihak terhadap akibat hukum yang
ditimbulkan dari akad yang dilakukan.
8. Asas Keadilan, yaitu adanya nilai-nilai keadilan dalam proses akad,
baik dari segi waktu maupun kesempatan untuk menjalankan prosesi
atau akibat hukum yang ditimbulkan.
Keadilan adalah tawazun (keseimbangan) antara berbagai potensi individu
baik moral maupun material. Ia adalah tawazun antara individu dan komunitas
(masyarakat). Kemudian antara satu komunitas dengan komunitas yang lain dan
tidak ada jalan menuju tawazun ini kecuali dengan berhukum kepada syariah
Allah dan kepada Kitab serta hikmah yang Ia turunkan.5
Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan
keadilan dalam Al-Quran (QS: an-Nisa : 135) dari kata adl, yaitu sesuatu yang
benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang
tepat dalam mengambil keputusan. Secara keseluruhan, pengertian diatas terkait
langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan
dalam kehidupan hakiki.6
Berbeda dengan Syamsul Anwar, Adiwarman A. Karim lebih umum dan
integral dalam menetapkan prinsip-prinsip akad yang mesti dipatuhi oleh para
5

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Ekonomi Islam, terj. Didin
Hafidhuddin, Setiawan Budi Utomo dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press,
2001), h. 396.
6
H. Akrim, Pengaruh Pengamalan Ibadah Terhadap Praktek Dagang Di Kalangan
Pengusaha Muslim Pusat Pasar Kota Medan, Tesis, (Medan: Pasca Sarjana IAIN Medan, 2006),
h. 55.

pihak yang melakukan akad. Prinsip-prinsip umum yang dibahas oleh Adiwarman
A. Karim lebih fokus pada persoalan transaksi muamalah maliyah7, yaitu:
1. Prinsip An-Taradhin Minkum. Prinsip saling ridha diantara para pihak
yang berakad. Dalam hal ini tidak adanya unsure tadlis (penipuan) baik
dari segi kualitas, kuantitas, harga maupun waktu penyerahan.
Kata An-Taradhin Minkum memiliki arti saling ridha diantara kamu,
merupakan kalimat yang bersumber dari ayat 29 surah an-Nisa.
Para ulama menafsirkan beragam makna yang tersirat dalam ayat
tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa harus adanya khiyar8
diantara para pihak (penjual dan pembeli) setelah melakukan akad jual
beli. Mereka mengambil dalil hadis yang menyebutkan jual beli
dengan khiyar sebelum keduanya berpisah9. Dalam konteks hadis ini
dipahami bahwa keridhaan itu adalah kebebasan untuk melanjutkan
jual beli atau membatalkan selama belum berpisah
Malik bin Anas, Abu Hanifah, Abu Yusuf berpendapat, bahwa makna
An-Taradhin Minkum tersebut adalah keridhaan dalam jual beli
terletak pada akad, penjual menyerahkan barang dan pembeli
menyerahkan uangnya, baik ada khiyar atau tidak setelah atau masih
dalam transaksi. Dengan alasan karena jual beli terjadi dengan lisan
atau ucapan. Golongan ini berpegang pada makna hadis Jual beli
dengan khiyar selama belum berpisah. Dalam artian selama belum
berpisah maka keridhaan itu bisa dinyatakan dengan ucapan.
Bila dilihat dari segi arti harfiah An-Taradhin Minkum, bahwa kata
memiliki mamiliki wazan musyarakah, yang artinya bahwa
kalimat tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara
satu dengan lainnya. Kata dasar dari adalah yang artinya
rela/suka.
2. Prinsip La Tadhlimuna wa la Tudhlamuna (tidak terdhalimi dan tidak
mendhalimi). Praktek-praktek yang melanggar prinsip ini diantaranya:
gharar, riba, maysir, risywah dan sumpah palsu. Dan juga berlaku pada
kualitas, kuantitas, harga maupun waktu penyerahan.
Dhalim atau dhulum mempunyai hubungan erat dengan etika bisnis,
terambil dari kata dasar yang bermakna meletakkan
sesuatu tida pada tempatnya, ketidak adilan, penganiayaan,
penindasan, tindakan sewenang-wenang dan kegelapan.10
7

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Rawali Pers,
Cet. VII, 2010), h. 31.
8
Khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan
(menarik kembali atau tidak jadi jual beli). Khiyar dibenarkan dalam jual beli agar penjual dan
pembeli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak jadi penyesalan
di kemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiyar ada tiga macam: khiyar majlis, khiyar syarat dan
khiyar aibi.





10

947.

Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir,(Yogyakarta: PP Krapyak, 1984), h. 946-

Dalam konteks Al-Quran zalim bermakna tidak adanya cahaya dan itu
merupakan gambaran dari kebodohan, kesyirikan, kefasikan,
sebagaimana terdapat dalam surah Ibrahim ayat 1.
Dalam konteks hukum, kezaliman itu dibagi tiga; Pertama, kezaliman
manusia terhadap Allah seperti kufur, syirik, nifaq. Misalnya dalam
surah Hud ayat 18 dan az-Zumar ayat 32. Kedua, kezaliman antara
sesama manusia, hal ini diantaranya seperti termaktub dalam surah alBaqarah ayat 279, al-Isra ayat 33 dan asy-Syura ayat 42. Dan ketiga,
kezaliman terhadap diri sendiri.11
Selain al-batil dan al-zalim ada juga penyelewengan etika dalam bisnis
Islam yaitu al-fasad. Terma al-fasad disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 48 kali
dengan berbagai derivasinya.12
Penggunaan
kebinasaan,

terma

kerusakan,

al-fasad

membuat

kebanyakan

kerugian,

mempunyai

kekacauan

di

pengertian

muka

bumi,

menimbulkan kerusakan, atau mengadakan kerusakan di muka bumi. Misalnya


dalam surat al-Baqarah:27, al-Maidah:32, al-Anfal:73, Hud:116 dan beberapa
tempat lainnya.
Oleh karena itu, perilaku-perilaku seperti riba, penipuan (tadlis), gharar,
sumpah palsu, menjelek-jelekkan mitra bisnis, penimbunan, mengurangi takaran
dan lain-lainnya merupakan perilaku-perilaku yang yang bertentangan dengan
etika bisnis Islam dan kesemuaannya tergolong dalam prinsip-prinsip al-fasid, albatil dan al zalim.
Selain itu, juga dimensi keberkahan menjadi perhatian khusus dalam
bisnis. Dalam hal mencari keberkahan dan keridhaan Allah harus diperhatikan
beberapa hal sebagai landasan dalam usaha atau bisnis dan itu merupakan
bahagian dari etika bisnis islami, yaitu:
1. Shiddiq, yaitu benar dan jujur, tidak pernah berdusta dalam melakukan
berbagai macam transaksi bisnis, nilai shiddiq, atau memberikan suatu
informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran, disamping bermakna
jujur, juga bermakna tahan uji, ikhlas serta memiliki keseimbangan
emosional.

11

Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad ar-Raghib Al-Asfahani, Mufradat fi Gharib


Al-Quran, (Mesir: Maktabah wa Matbaah al-Bab al-Halabi wa Auladih, 1961), h. 315-316.
12
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mujam Mufahrasy, h. 518.

Tepatnya makna jujur adalah sesuainya perkataan dalam jiwa dengan apa
yang diberitakannya.13 Sebagaimana termaktub dalam surah at-Taubah
ayat 119 dan al-Ahzab ayat 70.
2. Kreatif, berani dan percaya diri. Ketiga ciri inimencerminkan kemauan
berusaha untuk mencari dan menemukan peluang-peluang bisnis baru,
prospektif dan berwawasan masa depan, namun tidak mengabaikan prinsip
kekinian. Hal ini dapat dilakukan bila seorang pebisnis memiliki
kepercayaan diri dan keberanian untuk berbuat sekaligus siap menanggung
berbagai macam resiko.
3. Tabligh, yaitu mampu berkomunikasi dengan baik. Istilah ini juga
diterjemahkan dalam bahasa manajemen sebagai supel, cerdas, deskripsi,
kendali dan supervise.
4. Istiqamah, yaitu secara konsisten menampilkan dan mengimplementasikan
nilai-nilai diatas walau mendapatkan godaan dan tantangan. Hanya dengan
istiqamah dan mujahadah, peluang-peluang bisnis yang prospektif dan
menguntung akan selalu terbuka.14
C. Prilaku yang Dilarang dalam Bisnis Islam

Islam mengajarkan agar dalam jual beli baik penjual maupun pembeli
masing-masing

mendapatkan

keuntungan.

Pembeli

beruntung

karena

mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga wajar, sedangkan penjual


beruntung karena mendapatkan penghasilan atau untung yang wajar sebagai
balasan dalam mengadakan barang yang dijualnya. Maka dalam jual beli
hendaknya ada unsur suka sama suka (at-taradhin) antara penjual dan beli.
Sehingga tidak ada yang terpaksa dalam praktik jual beli tersebut (QS. an-Nisa:
5). Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh pedagang, prinsip-prinsip
tersebut merupakan interprestasi atau derivatif dari makna antaradhin minkum
dan latazlumna walatuzlamun, yaitu:
1. Penipuan (Tadlis)
Tadlis atau diistilahkan dengan Unknown to One Party, kondisi ideal
dalam sebuah pasar adalah adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai
informasi yang sama tentang barang akan diperjualbelikan. apabila salah satu
pihak tidak mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka

13
Abdul Rahman Abdullah, Pendidikan Al-Quran: Membina Minda & Jiwa Cemerlang,
Cet. I, (Kuala Lumpur: Zafar Sdn Bhd, 1996), h. 189.
14
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah Dalam Praktek, Cet.I,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 55-56.

salah satu pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi
kecurangan/penipuan.
Tadlis

dalam

pengertiannya

secara

etimologi,

khadaa

(menipu/memperdaya) dan zalama (menzalimi). Dan berbentuk masdar dari kata

yang berarti penipuan.


Dalam perdagangan biasanya penjual yang memiliki informasi lengkap
mengenai barang yang diperdagangkannya, dalam hal tadlis, pedagang tersebut
tidak memberikan atau memberikan informasi yang tidak sesuai dengan barang
yang diperdagangkan. Sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang
membicarkan tentang penipuan dalam aktivitas muamalah :














15








Artinya : Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seorang
pedagang di pasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok
makanan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan tangannya
yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada pedagang: Apa
ini, wahai pedagang? Orang itu menjawab: Makanan itu terkena air
hujan, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! kemudian
Rasulullah bersabda: Mengapa engkau tidak menaruhnya di atas, agar
bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia
tidak termasuk golongan kami.
Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa dalam kegiatan muamalah Islam,
melakukan bisnsis dengsn penipuan adalah haram dan merupakan dosa besar serta
perbuatan yang sangat dicela karena menyalahi dasar-dasar agama dan kesusilaan
serta perikemanusiaan.

15

1331.

Hadis Shahih Muslim, Kitab Iman, Jilid 1 No 183, Sunan Al-Tirmidzi, Bab Buyu , No

Tadlis dibagi tiga macam, yaitu tadlis dari segi kuantitas, kualitas, harga
dan waktu. Tadlis kuantitas, penipuan ini termasuk juga kegiatan menjual barang
kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak.
Tadlis kualitas, penipuan ini adalah menyembunyikan cacat atau kualitas
barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan
pembeli.
Tadlis harga atau ghaban, tadlis harga ini termasuk menjual barang dengan
harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan
pembeli atau penjual. Di dalam Islam, setiap penjual berhak menentukan harga
barangan yang dimilikinya, namun demikian ia masih terikat dengan harga
pasaran. Justeru, harga yang ditawarkan hendaklah :
a. Diterima harga pasaran.
b. Jika mau keluar dari harga pasaran, ia mesti mempunyai sesuatu add value

atau tambahan nilai unik pada kualitas barangan yang diperdagangkan.


c. Tidak bertujuan spekulasi (harga yang ditawar bukan bertujuan untuk jual
beli sebenar tetapi hanya dibuat bagi untuk member kesan bahwa harga
pasar tinggi
Tadlis waktu penyerahan, tadlis waktu penyerahan juga dilarang,
contohnya si penjual tahu persis ia tidak akan dapat menyerahkan barang pada
besok hari, namun menjajikan akan menyerahkan barang pada besok hari, namun
menjanjikan akan menyerahkan barang tersebut pada besok hari.
Mengenai ketetapan batasan untung yang boleh diambil, tidak ada nas
yang menerangkannya, namun hadis Rasulullah SAW menyebutkan:

- -


16

Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW memberi 'Urwah satu dinar untuk membeli
seekor kambing, maka (atas kebijaksanaannya) dapat dibelinya dua
ekor kambing, lalu dijualnya seekor dengan harga satu dinar, lalu ia
datang bertemu Nabi membawa satu dinar dan seekor kambing, maka
Nabi terus mendoakannya dalam jualannya, yang jika ia membeli tanah
sekalipun pasti ia akan mendapat untung" ( HR. Bukhari)
16

Kitab Shahih Bukhari, No 3642

Hadis ini menunjukkan bagaimana sahabat membeli dua ekor kambing


dengan harga satu dinar, bermakna 1/2 dinar seekor, dan kemudian menjualnya
degan harga 100% keuntungan iaitu 1 dinar seekor. Transaksi ini tidak dibantah
oleh Nabi SAW. malah dipuji dan didoakannya.
2. Ketidak Jelasan (Gharar)
Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk
merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada
kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya obyek akad, besar kecil jumlah
maupun menyerahkan obyek akad tersebut.17 Menurut Imam Nawawi, gharar
merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam.
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathr (pertaruhan)18.
Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang
tidak jelas hasilnya (majhul al-aqibah)19. Sedangkan menurut Syaikh As-Sadi,
al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan).
Perihal ini masuk dalam kategori perjudian20
Dalam syariat Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang
berbunyi:












21

Artinya: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah
dan jual beli gharar (HR. Muslim)
Ada beberapa jenis gharar dalam paraktek muamalah, diantaranya yaitu:
a. Jual-beli barang yang belum ada (madum), seperti jual beli habal al
habalah (janin dari hewan ternak).

17

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),Cet. II,
(Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 147.
18
Al-Mujam Al-Wasith, hal. 648.
19
Majmu Fatawa, 29/22
20
Abdurrahman bin Nashir As-Sadi, Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni AlAkhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, ( t.p., Dar AlJail.1992), h. 164.
21
Shaih Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi
Gharar, 1513

10

b. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti
pernyataan seseorang : Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah,
tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang
: Aku jual barangku ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu, namun
jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak
jelas, seperti ucapan seseorang : Aku jual tanah kepadamu seharga lima
puluh juta, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli
budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini
juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
3. Sumpah Palsu
Termasuk juga dalam perbuatan menipu ialah perbuatan bersumpah
dengan nama Allah dengan tujuan melariskan barang jualan seperti menyatakan
demi Allah, barang ini adalah paling murah dijual di kota ini dan saya hanya
menjual harga modal saja sedangkan hakikat yang sebenar adalah sebaliknya.

: .








) ( .
Artinya : Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seorang
pedagang di pasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok
makanan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan tangannya
yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada pedagang: Apa
ini, wahai pedagang? Orang itu menjawab: Makanan itu terkena air
hujan, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! kemudian
Rasulullah bersabda: Mengapa engkau tidak menaruhnya di atas, agar
bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia
tidak termasuk golongan kami.












.












:


.

Artinya: Dari Abi Qatadah al-Anshari, sesungguhnya ia telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, awas kamu dari banyak bersumpah dalam

11

berniaga. Sesungguhnya banyak bersumpah dalam berniaga bukan


mendatangkan keuntungan akan tetapi menghilangkan keberkahan
4. Menjelekkan Mitra Bisnis
Salah satu cara menjatuhkan lawan bisnis adalah dengan meganggu
konsumen agar tidak atau beralih pada barang yang diperdagangkannya, baik
dengan menurunkan harga atau mengganggu harga orang lain dengan beragam
cara sehingga pembeli beralih. Rasulullah SAW. bersabda :

Artinya: Janganlah sebagian di antara kalian berjualan di atas jualan sebagian.

Ibnu Hajar mengatkan transaksi diatas haram berdasarkan ijma


(kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata,











Artinya: Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian
orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang
membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa
khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, Batalkan saja transaksimu tadi,
ini saya jual dengan harga lebih murah. Atau bentuknya adalah
seorang pembeli mengatakan pada penjual, Batalkan saja transaksimu
dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan.
Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama.22
Misalnya, seseorang mencari barang, dan dia membelinya dari seorang
pedagang. Lalu pedagang ini memberikan hak pilih (jadi atau tidak) kepada si
pembeli dalam tempo selama dua atau tiga hari atau lebih. Pada masa-masa ini,
tidak boleh ada pedagang lain yang masuk dan mengatakan kepada si pembeli tadi
tinggalkan barang ini, dan saya akan memberikan barang sejenis dengan kwalitas
yang lebih baik dan harga lebih murah. Penawaran seperti ini merupakan
perbuatan haram, karena berjualan di atas akad jual beli saudaranya.
Selama penjual memberikan hak pilih kepada calon pembeli, maka
biarkanlah calon pembeli berpikir, jangan ikut campur. Jika calon pembeli mau, ia
22

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz IV, Cet.III, (Kairo: Maktabah as-Salafiah,
1408 H), h.353.

12

bisa melanjutkan akad jual beli atau membatalkan akad. Jika akadnya sudah rusak
dengan sendirinya, maka engkau boleh menawarkan barang kepadanya.
Begitu juga membeli di atas pembelian saudaranya, hukumnya haram.
Misalnya, jika ada seseorang mendatangi pedagang hendak membeli suatu barang
dengan harga tertentu, lalu dia memberikan hak pilih kepada pedagang (jadi dijual
atau tidak) selama beberapa waktu. Maka selama masa memilih ini, tidak boleh
ada orang lain ikut campur, pergi ke pedagang seraya mengatakan saya akan
membeli barang ini darimu dengan harga yang lebih tinggi dari tawaran si fulan.
Demikian ini merupakan perbuatan haram. Karena dalam perbuatan ini tersimpan
banyak madharat bagi kaum muslimin, pelanggaran hak-hak kaum muslimin,
menyakitkan hati mereka. Karena jika orang ini mengetahui bahwa engkau ikut
campur dan merusak akad antara dia dengan pembeli atau penjual, dia akan
merasa marah, dongkol dan benci. Bahkan mungkin dia mendoakan keburukkan
bagimu, karena engkau telah menzhaliminya.
Dewasa ini sering sekali perdagangan yang dilakukan menyimpang dari
nilai-nilai ukhuwah, atau menjadikan mitra bisnis secara diam-diam sebagai
musuh atau memusuhi orang lain (mitra bisnis) demi melariskan barangnya.
Boleh jadi dari segi harga maupun kualitas yang ditawarkan (QS: al-Hujarat : 1112).
Prilaku menjatuhkan mitra bisnis atau sejawat dalam perdagangan
merupakan prilaku syaithaniyah yang membawa kehancuran bisnis secara
kolektif. Karena akan berimplikasi pada ketidak percayaan pelanggan atau
konsumen terhadap pasar yang tersebut.
Selain berimplikasi pada pasar juga secara konteks etika bisnis Islam akan
ada pertanggung jawab dengan Khaliq di akhirat nantinya. Al-Quran menetapkan
tanggung jawab individual. Pada tanggungjawab itulah dibebankan tanggung
jawab (taklif) dan keutamaan etika diatas tanggungjawab setiap manusia (QS; AlBaqarah: 268).
Dalam pandangan Monzer Kahf bahwa tanggungjawab muslim yang
sempurna ini tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang

13

dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan
yang paling tegas yang perlu diambil.23
D. Penutup
Pada hakekatnya berbisnis dalam Islam tidak dilarang (mubah), selama
praktek bisnis tersebut tidak menyimpang dari hukum ekonomi Islam dan etika
bisnis dalam Islam.

Secara hukum Islam (muamalah) bisnis tidak dilarang

selama yang ditransaksikan bukanlah objek dan prilaku yang diharamkan, namun
secara etika binis Islam ada bentuk-bentuk larangan yang harus diperhatikan yaitu
penipuan (tadlis), gharar, sumpah palsu, menjelek-jelekkan mitra bisnis. Baik
secara kualitas, kuantitas, harga maupun waktu. Bentuk larangan seperti ini
merupakan tujuan dari bentuk keridhaan dalam berbisnis.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Al-Khatib, As-Siyasah al-Maliyah fi al-Islam ea Shilatuhu bi alMuamalah al-Muashirah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1976.
Abdul Rahman Abdullah, Pendidikan Al-Quran: Membina Minda & Jiwa
Cemerlang, Cet. I, Kuala Lumpur: Zafar Sdn Bhd, 1996.
23

Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam,
terj. Machnun Husein, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 53.

14

Abdurrahman bin Nashir As-Sadi, Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni


Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud,
Cet. II, t.p., Dar Al-Jail.1992.
Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad ar-Raghib Al-Asfahani, Mufradat fi
Gharib Al-Quran, Mesir: Maktabah wa Matbaah al-Bab al-Halabi wa
Auladih, 1961.
Abu Ala al-Maududi, Muayyasatil Islam, Lahore: Islamic Publication, 1969.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rawali
Pers, Cet. VII, 2010.
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: PP Krapyak, 1984.
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah Dalam Praktek,
Cet.I, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Fathul Bari, 4/353
H.Akrim, Pengaruh Pengamalan Ibadah Terhadap Praktek Dagang Di Kalangan
Pengusaha Muslim Pusat Pasar Kota Medan, Tesis, Medan: Pasca Sarjana
IAIN Medan, 2006.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz IV, Cet.III, Kairo: Maktabah as-Salafiah,
1408 H
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),Cet. II,
Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Majmu Fatawa, 29/22
Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam, terj. Machnun Husein, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mujam Mufahrasy li Alfadz Al-Quran, t.p,t., 1981.
Muslim, Shahih Muslim, Jilid 1 No 183,
Sunan Al-Tirmidzi, Bab Buyu , No 1331.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Ekonomi Islam, terj. Didin
Hafidhuddin, Setiawan Budi Utomo dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid,
Jakarta: Robbani Press, 2001.

15

Вам также может понравиться