Вы находитесь на странице: 1из 13

Tugas-Tugas Kuliah

SELASA, 19 JUNI 2012

makalah euthanasia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek
hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke
dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan
euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua
masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul
berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau
dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus
provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara
di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan
agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien
sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien
memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi
atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega
melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk
tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian.
Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari
penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin banyak
kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya
tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi canggih dalam
menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasuskasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit
perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat
dibantu lagi.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa pengertian dari Euthanasia?
1.2.2. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
1.2.3. Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?
1.2.4. Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?

1.3.TUJUAN
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia
1.3.2. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
1.3.3. Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia
1.3.4. Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap euthanasia
1.4.METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik,
tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan
mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian,

namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi
kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan
panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga
tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan
perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang
ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini
maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga
banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks
karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi,
euthanasia diartikan:
Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman
dengan nama Allah dibibir.
Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah
sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2. JENIS-JENIS EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang
permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan
dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan
beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri
hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan

obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua
golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang
diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet
sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan
tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut
dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan
lainnya.

2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan
akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian
atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini
sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang
lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain
euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek
kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat
mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping,
bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian
segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat
memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan
bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang
disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan
pemerintah.

2.3. TINJAUAN ETIS EUTHANASIA


A. Tinjauan Kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran
adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk
merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas
menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan
saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi
dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini
bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada
pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami
kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut
secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus
secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan
medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini
berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar
batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk
melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi,
dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

B. Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi
dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh
sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati).
Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan
terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan

matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia


menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya
menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas
larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang
berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang
sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai
kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik
(ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia).
Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui
atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya
sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri.
Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai
suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang
banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien
sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.
Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan
bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang
baik, tanpa penderitaan yang tidak perlu.

2.4. TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan
(dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi
bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan
nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit
mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai
landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum
jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat
padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun.

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa
alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau
memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati,
dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selamalamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam
KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang
pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya
sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka
hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna
kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh
undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

BAB III
PENUTUP
2.1. SIMPULAN
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka
menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan
yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.
Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia
volunter, dan uethanasia involunter.
Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang
sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan
(dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Maka satusatunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
2.2.SARAN
Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi layanan kesehatan
khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia, karena jika dilihat dari segi hak
asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang
mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005


http://Hukum-Kesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadi

Indonesia

HukumKesehatan.htm
http:// JohnkoplosWeblog.com/Euthanasia Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral

Diposkan oleh satria bara di 21.54


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar

Posting Lebih BaruBeranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)
ARSIP BLOG

2012 (3)
Juni (3)

tugas ilmu penyakit umum

makalah akk- penilaian program kesehatan

makalah euthanasia
SATRIA BARA GOOGLE+ BADGE

Lihat profil
lengkapku
satriabara212@yahoo.co.id. Template Picture Window. Gambar template oleh sololos.
Diberdayakan oleh Blogger.

http://satriabara.blogspot.com/2012/06/makalah-euthanasia.html

h parah (Utomo, 2003:176).


Macam-macam Euthanasia
Euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).

Contoh
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara
dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap
pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak
diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan
dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana
pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia,
baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien
sendiri
atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-Anaam : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja
(al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.(QS
Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan
lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990:
111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas),
atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (AlMaliki,
1990:
113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek
lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat
kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah)
dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah
SAW bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter
bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah
hukumnya
menurut
Syariah
Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian

ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib.
Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu
bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut
ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li aththalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani,
1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan,
qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas
tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi SAW berkata,Jika kamu mau,
kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu. Perempuan itu berkata,Baiklah aku akan bersabar, lalu
dia berkata lagi,Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa
untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini
menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan
perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib
(Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah,
termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat
ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis
keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada
dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan
yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak

memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital
lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada
pasien,
karena
organ-organ
ini
pun
akan
segera
tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah matinya/rusaknya organ otak
hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat
tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat
dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili,
1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan
izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu alam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syari fi Al-Istinsakh, Naql Adha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul Inasy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

http://ilmugreen.blogspot.com/2012/07/pengertian-macam-macameuthanasia.html

Вам также может понравиться