Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2014
LAPORAN PELAKSANAAN
Spending
Performance
Dalam Mendanai Pelayanan Publik
LAPORAN PELAKSANAAN
Spending
Performance
Dalam Mendanai Pelayanan Publik
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih
lemah, yang ditandai dengan indikasi belanja tidak langsung selalu lebih
besar daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan
bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah
yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda
perekonomian daerah.
Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian analisis tentang
spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, yang
diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi
mengenai
permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD, serta
mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional
antara belanja langsung dan tidak langsung.
Kajian analisis spending performance tersebut ditujukan untuk (1)
mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam, terutama dilihat dari
aspek cepat atau lambatnya waktu yang diperlukan dalam penyerapan
belanja daerah.; (2) mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD
antara belanja langsung dan tidak langsung; (3) melakukan analisis dan
menyusun rekomendasi terhadap spending performance APBD dalam
mendanai pelayanan publik.
Sementara itu, metodologi kajian analisis ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan analisa kuantitatif dengan kualitatif. Data
kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah (1) data sekunder
pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan
awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan
Ringkasan Eksekutif
iii
belanja daerah; dan (2) data sekunder pada SIKD tersebut kemudian
dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai
alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan
keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan
pelaksanaannya. Selanjutnya, untuk analisis kualitatif dilakukan dengan
cara wawancara, dan hasilnya dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis
yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan
belanja daerah.
Mengingat keterbatasan dana yang ada, maka kajian analisis
kepada daerah sampling dilakukan terhadap 10 daerah yang dipilih secara
convenience sampling. Adapun ke-10 daerah sampling tersebut yaitu (1)
Provinsi Riau, (2) Provinsi Banten, (3) Kabupaten Tanah Laut, (4) Kabupaten
Jepara, (5) Kabupaten Lamongan, (6) Kabupaten Badung, (7) Kota
Pontianak, (8) Kota Palembang, (9) Kota Gorontalo, dan (10) Kota Makasar.
Dari hasil kajian, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Gambaran penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki
kemiripan dalam realisasinya, dimana realisasi penyerapan belanja
daerah pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III masih sangat
rendah, dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai
dengan akhir tahun.
2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan
publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya proporsi
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga dapat
dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah
(spending performances) terutama belanja barang untuk pemeliharaan
dan belanja modal dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana
pelayanan dasar di daerah.
3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai
pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan
iv
Ringkasan Eksekutif
1.
2.
vi
Ringkasan Eksekutif
vii
viii
KATA PENGANTAR
Kata Pengantar
ix
Jakarta,
Desember 2014
Adijanto
Daftar Isi
RINGKASAN EKSEKUTIF...........................................................................iii
KATA PENGANTAR...................................................................................ix
DAFTAR ISI .............................................................................................xi
DAFTAR TABEL.......................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK............................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1. Latar Belakang...........................................................................1
2. Tujuan........................................................................................4
3. Ruang Lingkup...........................................................................5
4. Metodologi Kajian......................................................................6
BAB II KERANGKA TEORI.......................................................................... 7
1. Pengertian Spending Performances............................................7
2. Proses Pengelolaan Keuangan Daerah......................................10
3. Pengertian Belanja Daerah.......................................................17
4. Klasifikasi Belanja Daerah.........................................................20
BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN
PELAKSANAAN SPENDING PERFORMANCE DALAM MENDANAI
PELAYANAN PUBLIK............................................................................... 23
A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel.......27
1. Provinsi Riau..........................................................................27
2. Provinsi Banten......................................................................31
3. Kabupaten Badung................................................................36
4. Kabupaten Tanah Laut............................................................39
5. Kabupaten Jepara..................................................................42
Daftar Isi
xi
6. Kabupaten Lamongan............................................................46
7. Kota Pontianak.......................................................................50
8. Kota Palembang.....................................................................54
9. Kota Gorontalo......................................................................59
10. Kota Makasar........................................................................63
B. Analisis Permasalahan Pelaksanaan Spending Performances
dalam mendanai Pelayanan Publik...........................................67
BAB IV PENUTUP................................................................................... 73
A. KESIMPULAN............................................................................73
B. SARAN DAN REKOMENDASI.....................................................75
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 78
UCAPAN TERIMA KASIH......................................................................... 79
xii
Daftar Tabel
Tabel 1.1
Tabel 3.1
Tabel 3.4. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah
Laut...........................................................................................41
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
Tabel 3.8. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Palembang ...56
Tabel 3.9
Tabel 3.10 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Makasar........65
Daftar Tabel
xiii
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
pada tahun 2001, telah terjadi pergeseran kewenangan dari pemerintah
pusat ke daerah. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan
daerah dalam memberikan pelayanan publik yang juga diiringi
dengan meningkatnya pendanaan dari pusat ke daerah dalam rangka
menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tersebut. Anggaran belanja
daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan searah dengan cakupan jenis dana yang di daerahkan maupun
dari besaran alokasi dana yang didaerahkan. Belanja daerah tentu saja
diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada.
Salah satu tugas penting dari pemerintahan daerah adalah menyediakan
pelayanan dan membangun infrastruktur publik melalui alokasi dan
pelaksanaan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat kinerja
belanja daerah yaitu didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan
belanja. Semakin besar tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal
kinerja belanjanya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penyerapan
semakin rendah pula kinerja belanja suatu pemerintah daerah. Penyerapan
belanja APBD mengindikasikan kecepatan daerah dalam menggunakan
Bab I | Pendahuluan
Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah
dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar
daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan
bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah
yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda
perekonomian daerah.
Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dilakukan analisis
tentang spending performance APBD dalam mendanai pelayanan
publik, yang diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi
mengenai permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD dan
mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional
antara belanja langsung dan tidak langsung.
Data dan hasil kajian yang telah ada akan dibandingkan antara
pemda yang cepat dalam menyerap belanja dengan yang lambat dalam
penyerapan belanjanya. Kemudian akan dibandingkan pula antara pemda
yang satu dengan yang lain dalam hal proporsi dalam pengalokasian
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kedua perbandingan ini
akan dilakukan analisis dan pendalaman dengan mengunjungi beberapa
daerah sampel.
Hasil penelitian dan analisis ini diharapkan dapat memotret baik
pemda yang mampu menyerap dengan baik APBD-nya dengan yang
tidak, sekaligus pemda yang proporsional maupun yang tidak dalam
pengalokasian belanja langsung dan tidak langsung. Potret tersebut
kemudian akan diidentifikasi, untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
dari keberhasilan atau kegagalan pemerintah daerah sehingga hasilnya
akan dapat dijadikan rekomendasi kepada pemda baik yang menjadi
sampel penelitian maupun pemda-pemda lain mengenai perbaikan dan
peningkatan mengenai penyerapan belanja daerah dalam APBD dan
Bab I | Pendahuluan
2. Tujuan
Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
a. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam kaitannya
dengan spending performance APBD dalam mendanai pelayanan
publik, terutama dilihat dari aspek cepat atau lambatnya waktu yang
diperlukan dalam penyerapan belanja daerah.
b. Mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD antara belanja
langsung dan tidak langsung.
c. Melakukan analisis dan menyusun rekomendasi terhadap spending
performance APBD dalam mendanai pelayanan publik.
d. Mendukung tugas kerja Kementerian Keuangan, khususnya DJPK
dalam menganalisis, memantau, dan mengevaluasi permasalahan
yang terkait dengan spending performance APBD dalam mendanai
pelayanan publik, sehingga diharapkan dapat memberikan
rekomendasi yang komprehensif dan akurat bagi Pemerintah
Pusat dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan spending
performance APBD.
3. Ruang Lingkup
Dalam kajian ini dilakukan penelitian secara khusus terhadap 10 daerah
yang dipilih secara convenience sampling. Adapun rincian daerah sampel
adalah sebagai berikut :
Tabel 1.1
Daerah Sampel Kajian
No
No
1.
Provinsi Riau
6.
Kabupaten Badung
2.
Provinsi Banten
7.
Kota Pontianak
3.
8.
Kota Palembang
4.
Kabupaten Jepara
9.
Kota Gorontalo
5.
Kabupaten Lamongan
10.
Kota Makasar
Data primer kajian ini berasal dari hasil isian kuesioner yang dikirimkan
kepada 10 daerah sampel tersebut di atas. Kuesioner yang telah diisi
dikumpulkan dengan mekanisme kunjungan ke daerah sampel yang juga
disertai pelaksanaan Focus Group Discussion dengan Dinas Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam kajian ini meliputi :
a. Data APBD/APBD Perubahan;
b. Data Realisasi APBD; dan
c. Data Dana Pemerintah Daerah di Perbankan.
Bab I | Pendahuluan
4. Metodologi Kajian
Kajian ini menggabungkan alat analisa kuantitatif dengan kualitatif.
Analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat statistik dengan
cara memetakan daerah sampel menurut tingkat penyerapan belanja
(spending performances)-nya.
Namun demikian, mengingat keterbatasan data dan dana yang ada
maka analisis dalam kajian dalam buku ini dilakukan dengan metode
sebagai berikut:
1. Data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)
digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang
menggambarkan tingkat penyerapan belanja daerah.
2. Data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada
daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis
deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan
daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan
pelaksanaannya.
3. Untuk analisis kualitatif yang bersumber dari hasil wawancara
dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara
menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah.
BAB II
KERANGKA TEORI
2.
Performance-based
budgeting
menyediakan
informasi
dan
data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga
memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang aktual
dengan yang direncanakan.
11
i.
Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumendigunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang
dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan
dapat digambarkan sebagai berikut.
anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1
Proses PenyusunanGambar
Anggaran2.1
Pemerintah Daerah
Pelaksanaan
Penatausahaan
Penatausahaan
Pendapatan
Rancangan
DPA-SKPD
RPJMD
RKPD
Verifikasi
KUA
PPAS
DPA-SKPD
Nota
Kesepakatan
Pedoman
Penyusunan
RKA-SKPD
Pelaksanaan APBD
Pendapatan
Belanja
Pembiayaan
RKA-SKPD
RAPBD
APBD
Laporan Realisasi
Semester Pertama
Perubahan APBD
Akuntansi
Keuangan Daerah
Bendahara
Penerimaan
Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah
Penatausahaan
Belanja
Laporan Realisasi
Anggaran
Neraca
Laporan Arus Kas
Catatan atas
Laporan
Keuangan
Bendahara
Pengeluaran
Dasar Pelaksanaan
Anggaran
Pertgjwban
Kekayaan dan
Kewajiban daerah
Kas Umum
Piutang
Investasi
Barang
Dana Cadangan
Utang
Laporan Keuangan
diaudit oleh BPK
Akuntansi
Keuangan Daerah
Pertanggungjawaban
Rancangan
Peraturan Daerah
tentang
APBD
Pengawasan
Pembinaan:
Pemberian
Pedoman
Bimbingan
Supervisi
Konsultasi
Pendidikan
Pelatihan
Penelitian dan
Pengembangan
Pengawasan
terhadap
pelaksanaan
Perda tentang
APBD
Pengendalian
Intern
Pemeriksaan
Ekstern
Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumendokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah
Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah
Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan
(SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana
Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat
(PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD),
Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon
dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan
13
14
15
DPA-SKPD
menyusun
(2) Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan
DPA-SKPD.
(3) Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan
dengan pembahasan DPA-SKPD.
Pasal 126
(1) PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah
guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai
pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana
yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan.
(2) Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan
arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus
kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan
dalam setiap periode.
(3) Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan
dalam peraturan kepala daerah.
17
18
Untuk itulah, selain dari sisi ekonomi publik, maka belanja daerah
harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.
Terkait dengan bagaimana daerah melakukan pengeluaran APBD,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengatur beberapa hal yaitu :
Pasal 105A
(1) Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan kepala daerah
melaksanakan pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar
seperduabelas APBD tahun anggaran sebelumnya.
(2)
19
yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali
pemerintah daerah.
21
program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan
jasa serta belanja modal.
Belanja pegawai dan belanja lain-lain bersifat konsumtif, sementara
belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Karena itu penggunaan klasifikasi
ekonomi untuk menganalisis belanja dimaksudkan untuk mengetahui
sampai sejauh mana belanja pemerintah untuk kepentingan pembangunan
lebih didominasi belanja yang bersifat konsumsi atau investasi. Pergeseran
dari belanja yang bersifat konsumsi ke belanja yang bersifat investasi
merupakan indikasi yang baik, karena semakin besar belanja yang
bersifat investasi untuk layanan publik memberi dampak yang baik pada
pembentukan modal sosial. Semakin besar modal sosial, aksesibilitas
masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan semakin besar pula.
Berdasarkan perspektif ekonomi makro, belanja konsumsi bersifat
kebocoran dan belanja investasi bersifat injeksi. Perekonomian akan
mencapai full capacity bila kebocoran (konsumsi) sama dengan injeksi
(investasi). Dalam perspektif inilah klasifikasi ekonomi digunakan untuk
menganalisis belanja daerah, khususnya belanja modal.
22
BAB III
TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS
PERMASALAHAN PELAKSANAAN
SPENDING PERFORMANCE DALAM
MENDANAI PELAYANAN PUBLIK
23
24
25
26
berdampak
pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai.
Pemerintah daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang
berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya
yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien
untuk mencapai target yang ditetapkan.
daerah dapat berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai. Pemerintah
daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang berkualitas dengan berupaya secara
konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur,
A. 1. Provinsi
Pelaksanaan Spending
Performances Pada Daerah Sampel
Riau
1.
Provinsi Riau
Pada tahun 2013, APBD Provinsi Riau pada saat ditetapkan adalah
PadaRp8,432
tahun 2013,
APBD Pada
Provinsisaat
Riau pengesahan
pada saat ditetapkan
sebesar
sebesar
triliun.
APBDadalah
Perubahan,
Rp8,432
triliun.
Pada
saat
pengesahan
APBD
Perubahan,
jumlahnya
meningkat
jumlahnya meningkat menjadi Rp8,915 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
menjadi
Rp8,915
triliun.
Grafik
3.1
di bawah
ini.Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini.
Grafik3.1
3.1
Grafik
Volume
APBD
dan
APBD-Perubahan
Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013
Provinsi Riau Tahun 2013
(dalam
(dalammiliar
miliar rupiah)
rupiah)
27
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi Riau
Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 33,57%, dimana
28
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Rupiah
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
459,20
5,15
1.572,38
17,64
3.402,12
38,16
7.525,28
84,41
Belanja Pegawai
Tidak Langsung
145,86
14,75
366,51
37,05
599,44
60,60
877,50
88,72
Belanja Pegawai
Langsung
34,71
9,97
83,43
23,96
183,80
52,79
319,82
91,85
Belanja Barang
dan Jasa
51,84
2,61
329,80
16,59
716,07
36,03
1.667,28
83,89
Belanja modal
0,05
0,002
407,07
15,67
868,45
33,43
2.245,31
86,43
226,75
7,58
385,57
12,88
1.034,36
34,56
2.415,37
80,71
Belanja Lainnya
29
30
2. Provinsi Banten
APBD Provinsi Banten tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp6,052 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di
bawah ini.
31
Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di bawah ini.
Grafik 3.2
Volume APBDGrafik
dan APBD-Perubahan
3.2
Provinsi Banten Tahun 2013
Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Banten Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Dari data
di pegawai
atas, terdapat
hal yang
yaitu
padabelanja
saat lainnya
belanja
langsung,
belanja
tidak langsung,
belanjamenarik
barang dan
jasa serta
pegawai
langsung,
belanjapada
pegawai
langsung,
barang
dan
terjadi peningkatan
anggaran
APBD tidak
Perubahan,
namun belanja
untuk belanja
modal
jasa
belanja lainnya
peningkatan
anggaran
pada
APBD
justru serta
terjadi pengurangan
jumlah terjadi
anggarannya
pada saat APBD
Perubahan
disahkan,
Perubahan,
namun
untuk
belanja modal
terjadi
pengurangan
yaitu sekitar Rp80,10
miliar
jika dibandingkan
dengan justru
pagu belanja
modal
pada APBD
jumlah
anggarannya
pada
saat
APBD
Perubahan
disahkan,
yaitu
sekitar
induk pada saat ditetapkan. Untuk belanja lainnya bahkan mengalami peningkatan
Rp80,10
miliar
yang cukup
besar jika
yaitudibandingkan
sebesar Rp308,87dengan
miliar. pagu belanja modal pada APBD
induk pada saat ditetapkan. Untuk belanja lainnya bahkan mengalami
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi
peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar Rp308,87 miliar.
Banten Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 48,29%
dimana
belanja
hibah mendapatkan
alokasijenis
terbesar
yaitu dalam
sebesar Rp1,465
Adapun
proporsi
masing-masing
belanja
struktur triliun,
APBD
kemudianBanten
belanja Tahun
bagi hasil
triliun serta
bantuan
Provinsi
2013 pendapatan
yang palingsebesar
tinggi Rp1,343
adalah belanja
lainnya
yaitu
keuangan 48,29%
yaitu sebesar
Rp193,750
miliar.
Belanja
modal dianggarkan
23,73%
sebesar
dimana
belanja
hibah
mendapatkan
alokasisebesar
terbesar
yaitu
sebesar
hasil
pendapatan
dari total Rp1,465
APBD dantriliun,
belanjakemudian
barang dan belanja
jasa hanyabagi
sebesar
17,42%
dari total sebesar
APBD.
Rp1,343
keuangan
yaitu
sebesardalam
Rp193,750
miliar.
Sedangkantriliun
untuk serta
belanjabantuan
pegawai tidak
langsung
dianggarkan
APBD hanya
26 | belanja
Page
Belanja modal dianggarkan sebesar 23,73% dari total APBD dan
barang dan jasa hanya sebesar 17,42% dari total APBD. Sedangkan untuk
32
33
Tabel 3.2
Realisasi Belanja Tahun 2013 Provinsi Banten
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Belanja
Belanja Pegawai
Tidak Langsung
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Rupiah
Rupiah
469,33
7,33
1.617,05
90,98 19,22
Realisasi
Triwulan III
Rupiah
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
25,24 2.934,86
45,81
5.294,92
82,64
192,78
40,74
318,27
67,25
423,14
89,41
Belanja Pegawai
Langsung
4,77
2,35
48,73
24,00
91,46
45,04
181,86
89,55
Belanja Barang
dan Jasa
21,53
1,93
213,61
19,14
460,93
41,29
983,73
88,13
Belanja modal
0,91
0,06
131,25
8,63
348,66
22,93
813,26
53,49
351,14 11,35
1.030,67
33,31 1.715,55
55,45
2.892,93
93,50
Belanja Lainnya
34
mencapai 41,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 88,13%. Realisasi belanja modal mencapai 0,06% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 8,63% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 22,93%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal
mencapai 53,49%. Realisasi belanja lainnya mencapai 11,35% pada akhir
Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 33,31% pada akhir bulan Juni
2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 55,45%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya
mencapai 93,50%.
Terdapat hal yang menarik, yaitu penyerapan belanja modal sampai
dengan akhir tahun 2013 hanya mencapai 55,45% padahal belanja modal
merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh
penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki
daya ungkit dalam menggerakkan roda perekomian daerah. Sementara
itu, untuk belanja lainnya yang realisasi penyerapannya mencapai
93,5%, diantaranya untuk belanja hibah (realisasinya sebesar 90,9% dari
pagu Rp1,465 triliun), belanja bantuan sosial (realisasinya 41,6% dari
pagu Rp86,94 miliar), belanja bagi hasil kepada pemerintah Kabupaten/
Kota (realisasinya sebesar 99,3 dari pagu Rp1,34 triliun) dan belanja
bantuan keuangan kepada pemerintah Kabupaten/Kota/Pemerintah Desa
(realisasinya sebesar 98,5% dari pagu Rp193,75 miliar).
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Banten untuk
mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan
menerbitkan Surat Keputusan Sekretaris Daerah No.903/2044.adm.
pem/2012 tentang Penetapan Pejabat Penghubung TEPPA Provinsi Banten.
Di samping itu, Pemerintah Provinsi Banten juga telah membentuk Tim
Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi secara intens dengan
Kabupaten/Kota terkait TEPPA, melakukan bimbingan teknis sengan SKPD
Provinsi, dan rapat koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Dalam rangka
35
3. Kabupaten Badung
3.
Kabupaten Badung
Sumber: :Pemda
PemdaKabupaten
Kabupaten Badung
Badung dan
Sumber
danKementerian
KementerianKeuangan
Keuangan(data
(datadiolah)
diolah)
Fenomena yang menarik adalah pada saat belanja pegawai langsung, belanja
36
37
Tabel 3.3
Realisasi Belanja Tahun 2013 Kabupaten Badung
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Rupiah
Rupiah
Belanja
212,99
7,03
809,98
Belanja Tidak
Langsung
189,84 11,70
Belanja
Langsung
Realisasi
Triwulan III
Rupiah
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
26,75 1.572,14
51,92
2.755,46
91,01
589,20
36,30
977,32
60,21
1.488,22
91,69
23,16
1,65
220,78
15,72
594,82
42,35
1.267,24
90,22
7,45
9,34
19,63
24,60
39,15
49,07
75,69
94,87
Belanja Barang
dan Jasa
14,15
2,99
95,28
20,13
199,86
42,24
424,83
89,78
Belanja modal
1,56
0,18
105,88
12,43
355,81
41,78
766,71
90,03
Belanja
Pegawai
38
Sumber: :Pemda
Pemda Kabupaten
Kabupaten Tanah
Keuangan
(data
diolah)
Sumber
TanahLaut
Lautdan
danKementerian
Kementerian
Keuangan
(data
diolah)
Gambaran
menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan,
Gambaran menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan, telah
telah
terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,23
terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,23 miliar atau sekitar
miliar
atau dan
sekitar
3,32
persen,
belanja
barang
danmiliar
jasaatau
meningkat
3,32 persen,
belanja
barang
dan jasadan
meningkat
sebesar
Rp19,17
sekitar
sebesar
Rp19,17
miliar
atau
sekitar
8,41
persen,
serta
belanja
8,41 persen, serta belanja lainnya meningkat sebesar Rp2,90 miliar atau sekitarlainnya
5,01
meningkat
sebesar
Rp2,90langsung
miliar dan
ataubelanja
sekitar
5,01
persen.penurunan
Untuk belanja
persen. Untuk
belanja pegawai
modal
mengalami
pada
pegawai
langsung
belanja
modal
mengalami
penurunan
saat
saat APBD
Perubahandan
ditetapkan
namun
jumlahnya
sangat kecil,
yaitu turunpada
sebesar
APBD
Perubahan
ditetapkan
namun
jumlahnya
sangat
turun
0,66 persen
untuk belanja
modal, dan
turun sebesar
0,02 persen
untukkecil,
belanjayaitu
lainnya.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Tanah Laut Tahun
yang paling
tinggi
adalah
belanja
pegawai tidak 39
Bab2013
III | Temuan
Lapangan
Dan
Analisis
Permasalahan
langsung yaitu sebesar 41,72%, belanja modal sebesar 25,86%, belanja barang dan jasa
sebesar 21,74%, belanja pegawai langsung sebesar 5,35%, dan belanja lainnya sebesar
sebesar 0,66 persen untuk belanja modal, dan turun sebesar 0,02 persen
untuk belanja lainnya.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD
Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja
pegawai tidak langsung yaitu sebesar 41,72%, belanja modal sebesar
25,86%, belanja barang dan jasa sebesar 21,74%, belanja pegawai langsung
sebesar 5,35%, dan belanja lainnya sebesar 5,34%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kabupaten Tanah Laut telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD)
dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah
ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Tanah Laut termasuk
lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan
anggaran masih rendah yaitu sebesar 8,11%, masih jauh di bawah realisasi
belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan
belanja hanya sebesar 22,17%, kemudian pada Triwulan III sebesar 46,39%.
Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai
80,44%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan
belanjanya sekitar 34,05% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir
Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember
2013, Kabupaten Tanah Laut mampu menyerap belanja daerah sebesar
Rp386,86 miliar.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Grafik 3.4.
40
Tabel 3.4.
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah Laut
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Rupiah
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
92,12
8,11
251,89
22,17
527,04
46,39
913,90
80,44
Belanja pegawai
tidak langsung
73,33
15,47
181,22
38,23
315,59
66,59
455,86
96,18
Belanja pegawai
langsung
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Belanja barang
dan jasa
9,49
3,84
34,42
13,94
85,99
34,82
170,55
69,06
Belanja modal
0,13
0,05
17,61
6,00
95,91
32,65
241,69
82,27
Belanja lainnya
9,16
15,10
18,63
30,72
29,55
48,72
45,80
75,51
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
41
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 3,84% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 13,94% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 34,82%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 69,06%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,05% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 6,00% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
32,65%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
82,27%.
Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 15,10% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 30,72% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 48,72%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya
mencapai 75,51%.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Tanah Laut untuk
mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan
menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Daerah selaku koordinator
pengelolaan keuangan daerah.
5. Kabupaten Jepara
APBD Kabupaten Jepara tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp1,351 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp1,472 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.5 di bawah ini.
42
Grafik 3.5
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Jepara Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber :: Pemda
Pemda Kabupaten
dandan
Kementerian
Keuangan
(data(data
diolah)
Sumber
KabupatenJepara
Jepara
Kementerian
Keuangan
diolah)
Kajadian
menarik dapat
dapat ditemui
padapada
penetapan
APBD Perubahan,
dimana
Kejadian
menarik
ditemui
penetapan
APBD Perubahan,
telah terjadi
peningkatan
belanja pegawaibelanja
tidak langsung
sebesar
Rp57,00
miliarsebesar
atau
dimana
telah
terjadi peningkatan
pegawai
tidak
langsung
sekitar 8,1 miliar
persen, dan
belanja
barang
danpersen,
jasa meningkat
miliar
ataujasa
Rp57,00
atau
sekitar
8,1
dan sebesar
belanjaRp57,89
barang
dan
sekitar 16,4 persen,
sertaRp57,89
belanja lainnya
sebesar16,4
Rp8,28
miliar serta
atau sekitar
meningkat
sebesar
miliarmeningkat
atau sekitar
persen,
belanja
9,8 persen.
Untuk belanja
pegawaiRp8,28
langsungmiliar
dan belanja
mengalami
penurunan
lainnya
meningkat
sebesar
ataumodal
sekitar
9,8 persen.
Untuk
pada
saat
APBD
Perubahan
ditetapkan
namun
jumlahnya
sangat
kecil.
belanja pegawai langsung dan belanja modal mengalami penurunan pada
Adapun
proporsi masing-masing
belanja
dalam struktur
APBD
Kabupaten
saat APBD
Perubahan
ditetapkanjenis
namun
jumlahnya
sangat
kecil.
Jepara Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan
kas keluar dan
untukmenjamin
mengatur ketersediaan
dana yang cukup
gunadan
Untuk arus
memastikan
dapat terlaksananya
program
mendanai pelaksanaan
dalam setiap
Terkait
dengan
hal tersebut,
kegiatan
yang telahkegiatan
ditetapkan
dalamperiode.
APBD,
daerah
harus
membuat
Pemerintah
Kabupaten
Jepara
telah
membuat
Rencana
Penarikan
Dana
(RPD)
anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kasdalam
masuk
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Jepara termasuk lambat dalam
III | Temuan
Lapangan
Dan Analisis
Permasalahan
realisasinya. Pada Tahun 2013Bab
Triwulan
I, realisasi
penyerapan
anggaran
masih rendah 43
yaitu sebesar 10,39%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%.
Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 29,00%, kemudian
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah
Kabupaten Jepara telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Jepara termasuk lambat
dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan
anggaran masih rendah yaitu sebesar 10,39%, masih jauh di bawah
realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi
penyerapan belanja hanya sebesar 29,00%, kemudian pada Triwulan III
sebesar 52,09%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV
yang mencapai 91,81%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi
penyerapan belanjanya sekitar 39,72% jika dibandingkan dengan realisasi
pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d.
Desember 2013, Kabupaten Jepara mampu menyerap belanja daerah
sebesar Rp584,68 miliar.
Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis
belanja dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Jepara
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
152,90
10,39
426,98
29,00
766,85
52,09
1.351,53
91,81
Belanja pegawai
tidak langsung
122,44
16,16
296,11
39,07
503,44
66,43
710,55
93,76
44
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Rupiah
Realisasi
Triwulan II
Rupiah
Realisasi
Triwulan III
Rupiah
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Belanja pegawai
langsung
1,15
4,95
4,93
21,16
10,52
45,14
19,68
84,39
Belanja barang
dan jasa
25,61
6,22
92,04
22,34
164,48
39,92
374,72
90,96
Belanja modal
0,68
0,37
6,74
3,62
34,03
18,29
158,80
85,35
Belanja lainnya
3,02
3,25
27,16
29,22
54,38
58,50
87,78
94,43
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
45
mencapai 39,92%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 90,96%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,37% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 3,62% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
18,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
85,35%.
Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 3,25% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 29,22% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 58,50%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya
mencapai 94,43%. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten
Jepara untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah
dengan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Daerah selaku koordinator
pengelolaan keuangan daerah.
6. Kabupaten Lamongan
APBD Kabupaten Lamongan tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah
sebesar Rp1,550 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan,
jumlahnya meningkat menjadi Rp1,710 triliun. Hal ini dapat dilihat pada
Grafik 3.6 di bawah ini.
46
Grafik 3.6
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Lamongan Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
sebesar 55,39%,
belanja
barang dan jasa jenis
sebesarbelanja
15,24%, dalam
belanja struktur
modal sebesar
Adapun
proporsi
masing-masing
APBD
14,66%,
belanja
lainnya
sebesar
11,52%,
dan
belanja
pegawai
langsung
sebesar
3,19%.
Kabupaten Lamongan Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja
menjamin
dapat55,39%,
terlaksananya
program
dan kegiatan
pegawai Untuk
tidak memastikan
langsung dan
yaitu
sebesar
belanja
barang
dan jasa
yang
telah
ditetapkan
dalam
APBD,
daerah
harus
membuat
anggaran
kas.
Anggaran
sebesar 15,24%, belanja modal sebesar 14,66%, belanja lainnya sebesar
Kas adalah
kas masuk
yang bersumber
11,52%,
dan dokumen
belanja perkiraan
pegawaiarus
langsung
sebesar
3,19%. dari penerimaan dan
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kabupaten Lamongan telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD)
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
47
dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
38 | P a g e
48
Tabel 3.6
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Lamongan
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
189,00
11,05
484,58
28,33
780,17
45,61
1.606,78
93,94
Belanja pegawai
tidak langsung
152,51
16,10
380,88
40,20
609,26
64,31
930,80
98,25
Belanja pegawai
langsung
0,00
0,00
0,00
0,00
Belanja barang
dan jasa
19,45
7,46
64,13
24,61
108,81
41,75
249,72
95,82
Belanja modal
1,63
0,65
10,44
4,16
19,26
7,68
240,07
95,73
Belanja lainnya
15,40
7,81
29,12
14,77
42,84
21,74
186,19
94,47
49
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 7,46% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 24,61% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 41,75%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 95,82%.
Realisasi belanja modal mencapai 0,65% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 4,16% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada
akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 7,68%.
Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 95,73%.
Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 7,81% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 14,77% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
21,74%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai
94,47%.
Untuk realisasi belanja modal dan belanja lainnya melonjak sangat
drastis pada Triwulan IV yaitu sebesar 88,05% untuk realisasi belanja modal
dan sebesar 72,73% untuk realisasi belanja lainnya.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Lamongan untuk
mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan
membentuk Tim Koordinasi yang bertugas memantau dan membuat
laporan realisasi penyerapan belanja setiap SKPD dan mengevaluasi serta
mengkoordinasikan laporan tersebut untuk mempercepat penyerapan
belanja daerah.
7. Kota Pontianak
APBD Kota Pontianak tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp1,408 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
50
meningkat menjadi Rp1,353 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.7 di
bawah ini.
Grafik
Grafik3.7
3.7
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Kota Pontianak TahunKota
2013Pontianak Tahun 2013
(dalam miliar
rupiah)
(dalam
miliar
rupiah)
Sumber: Pemda
: Pemda Kota
Kota Pontianak
Pontianak dan
Keuangan
(data(data
diolah)
Sumber
danKementerian
Kementerian
Keuangan
diolah)
Hal menarik terdapat adalah pada penetapan APBD Perubahan, dimana telah
terjadi
pergeseranterdapat
alokasi belanja
dimana
untuk belanja
pegawai
tidak langsung
Hal menarik
adalah
padapagu
penetapan
APBD
Perubahan,
dimana
dan belanja
langsung
mengalami
penurunan,
pegawai
telah
terjadipegawai
pergeseran
alokasi
belanja
dimanabahkan
pagu untuk
untukbelanja
belanja
pegawai
langsung
turun
sebesar
Rp133,45
miliar,
sedangkan
untuk
belanja
modal
meningkat
tidak langsung dan belanja pegawai langsung mengalami penurunan,
sebesar Rp80,38 miliar dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp8,78 miliar.
bahkan
untuk belanja pegawai langsung turun sebesar Rp133,45 miliar,
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota
sedangkan
untuk belanja modal meningkat sebesar Rp80,38 miliar dan
Pontianak Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp8,78 miliar.
sebesar 40,67%, belanja modal sebesar 34,93%, belanja barang dan jasa sebesar
Adapun
masing-masing
17,45%
dan proporsi
belanja pegawai
langsung sebesarjenis
6,95%.belanja dalam struktur APBD
Kota Pontianak
Tahun 2013
yang paling
adalah program
belanjadan
pegawai
Untuk memastikan
dan menjamin
dapattinggi
terlaksananya
kegiatantidak
langsung
sebesar
belanja
belanja
yang telah yaitu
ditetapkan
dalam 40,67%,
APBD, daerah
harus modal
membuatsebesar
anggaran 34,93%,
kas. Anggaran
Kas adalah
perkiraan17,45%
arus kas dan
masukbelanja
yang bersumber
darilangsung
penerimaansebesar
dan
barang
dandokumen
jasa sebesar
pegawai
perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna
6,95%.
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kota Pontianak telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Dalam penyerapan belanja daerah, Kota Pontianak termasuk lambat dalam
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
51
realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah
yaitu sebesar 10,53%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%.
52
Tabel 3.7
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Pontianak
(dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
142,56
10,53
398,84
29,46
738,50
54,56
1.274,96
94,18
Belanja Pegawai
Tidak Langsung
88,93
16,16
179,79
32,66
361,03
65,58
529,65
96,21
Belanja Pegawai
Langsung
8,74
9,30
30,22
32,13
53,69
57,10
81,35
86,51
Belanja Barang
dan Jasa
27,67
11,71
71,41
30,22
116,22
49,19
212,67
90,01
Belanja modal
17,21
3,64
117,43
24,83
207,56
43,89
451,30
95,43
53
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 11,71% pada akhir Maret
2013, kemudian meningkat menjadi 30,22% pada akhir bulan Juni 2013,
dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
mencapai 49,19%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan
jasa mencapai 90,01%.
Realisasi belanja modal mencapai 3,64% pada akhir Maret 2013,
kemudian meningkat menjadi 24,83% pada akhir bulan Juni 2013, dan
pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai
43,89%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai
95,43%.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Pontianak untuk mempercepat
penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat
Keputusan Walikota tentang TEPPA Kota Pontianak.
Di samping itu, Pemerintah Kota Pontianak juga telah membentuk Tim
Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi dengan SKPD terkait
percepatan pengadaan barang dan jasa dan penyerapan anggaran SKPD.
8. Kota Palembang
APBD Kota Palembang tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp2,607 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp2,858 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.8 di
bawah ini.
54
Grafik 3.8.
Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Palembang Tahun 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber :: Pemda
Kementerian
Keuangan
(data
diolah)
Sumber
PemdaKota
KotaPalembang
Palembangdan
dan
Kementerian
Keuangan
(data
diolah)
PadaPada
saat
Perubahan
Palembang
terjadi
saat APBD
APBD Perubahan
Kota Kota
Palembang
ditetapkan,ditetapkan,
terjadi peningkatan
peningkatan
seluruhdaerah
jeniskecuali
belanja
daerah
kecuali
lainnya
yang
seluruh jenis belanja
belanja
lainnya
yang belanja
mengalami
penurunan
mengalami
penurunan
sebesar
miliar.modal
Yangmeningkat
menarik sebesar
adalah
sebesar Rp12,31
miliar. Yang
menarikRp12,31
adalah belanja
belanja
modal
sebesar
dari total
57,62% dari
total meningkat
kenaikan belanja
daerah 57,62%
atau meningkat
sebesarkenaikan
Rp145,01 belanja
miliar
daerah
atau
meningkat
sebesar
Rp145,01
miliar
dalam
APBD
Perubahan.
dalam APBD Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota
Untuk
dan
menjamin
dapat
terlaksananya
program
dan
yang
telah memastikan
ditetapkan dalam
APBD,
daerah harus
membuat
anggaran kas.
Anggaran
kegiatan
telah
ditetapkan
APBD,
daerah
membuat
Kas adalahyang
dokumen
perkiraan
arus kasdalam
masuk yang
bersumber
dariharus
penerimaan
dan
anggaran
kas. kas
Anggaran
Kas adalah
perkiraan
aruscukup
kas masuk
perkiraan arus
keluar untuk
mengaturdokumen
ketersediaan
dana yang
guna
yang
bersumber
dari
penerimaan
dan
perkiraan
arus
kas
keluar
untuk
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Pemerintah Kota Palembang telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam
DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran
masih rendah yaitu sebesar 11,19%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
319,88
11,19
889,58
31,12
1.490,19
52,13
2.636,74
92,24
Belanja pegawai
tidak langsung
202,69
14,31
560,14
39,54
811,00
57,25
1.305,42
92,16
56
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Rupiah
Realisasi
Triwulan II
Rupiah
Realisasi
Triwulan III
Rupiah
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Belanja pegawai
langsung
8,96
8,64
38,03
36,70
50,22
48,46
91,07
87,88
Belanja barang
dan jasa
58,39
10,24
177,17
31,06
303,18
53,15
518,81
90,95
Belanja modal
22,65
3,16
79,33
11,07
288,30
40,24
678,42
94,69
Belanja lainnya
27,20
52,71
33,23
64,39
37,50
72,67
43,03
83,37
57
58
9. Kota Gorontalo
APBD Kota Gorontalo tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp719,90 miliar. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat
menjadi Rp774,05 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.9 di bawah ini.
9. Kota Gorontalo
APBD Kota Gorontalo tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar
Rp719,90 miliar. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
meningkat menjadi Rp774,05 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.9 di
bawah ini.
Grafik
Grafik 3.9
3.9
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Volume APBD dan APBD-Perubahan
Kota
Gorontalo Tahun 2013
Kota Gorontalo Tahun
2013
(dalam miliar
(dalam
miliarrupiah)
rupiah)
59
60
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
122,62
15,84%
287,72
37,17%
441,81
57,08%
655,06
84,63%
Belanja pegawai
tidak langsung
67,83
16,85%
152,18
37,79%
260,07
64,59%
374,28
92,95%
Belanja pegawai
langsung
5,90
10,21%
22,82
39,44%
30,22
52,23%
52,33
90,45%
61
Jenis Belanja
Realisasi
Triwulan I
Rupiah
Realisasi
Triwulan II
Rupiah
Realisasi
Triwulan III
Rupiah
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Belanja barang
dan jasa
24,94
14,87%
65,93
39,30%
88,51
52,76%
136,84
81,57%
Belanja modal
15,04
12,07%
35,84
28,77%
51,43
41,29%
76,37
61,31%
Belanja lainnya
8,90
41,94%
10,96
51,66%
11,58
54,57%
15,24
71,84%
62
63
Grafik 3.10
Kota Makasar TahunKota
2013 Makasar Tahun 2013
Volume APBD dan APBD-Perubahan
(dalam
miliar
rupiah)
(dalam miliar rupiah)
Uraian Belanja
Realisasi
Triwulan I
Realisasi
Triwulan II
Realisasi
Triwulan III
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Belanja
315,30
12,62
765,72
30,65
1.386,61
55,51
2.341,33
93,73
Belanja pegawai
tidak langsung
168,31
15,51
414,84
38,24
713,40
65,76
1.022,77
94,27
Belanja pegawai
langsung
14,70
7,28
44,84
22,23
95,27
47,22
190,43
94,39
Belanja barang
dan jasa
78,12
11,20
204,55
29,31
344,13
49,31
640,49
91,78
Belanja modal
24,27
6,19
53,56
13,66
127,73
32,57
369,46
94,20
65
Uraian Belanja
Realisasi
Triwulan I
Rupiah
Belanja lainnya
29,90
%
24,67
Realisasi
Triwulan II
Rupiah
47,93
%
39,54
Realisasi
Triwulan III
Rupiah
106,08
%
87,50
Realisasi
Triwulan IV
Rupiah
118,19
%
97,49
67
68
Grafik 3.11
Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD
2011 s.d. 2013 APBD Tahun 2011 s.d. 2013
Keterlambatan Penetapan danTahun
Penyampaian
Agar seluruh dana yang ditransfer dari pemerintah pusat bisa segera terserap dalam
dibandingkan dengan kondisi daerah tetangga mereka apabila terdapat perbedaan alokasi
yang mencolok.
Penetapan
angka pendapatan APBD sangat tergantung kepada
Penetapan
angkaPusat
pendapatan
APBD hanya
sangat tergantung
kepada informasi
transfer
informasi transfer dari
dimana
Dana Alokasi
Umum
(DAU) dan
dari Pusat dimana hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai
saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal tenggat waktu penetapan APBD
dengandi mana
jadwal
tenggat
waktu
penetapan
APBD
di mana
besaran
besaran
alokasi DAU
dan DAK
sudah terinfokan
ke daerah
pada minggu
pertama alokasi
DAU dan
DAK sebelum
sudah tahun
terinfokan
daerah
pada minggu
pertama
November
November
anggaran ke
yang
baru. Sedangkan
transfer DBH
baru dapat
terinformasikan
setelah
tahun
anggaran
telah
berjalan
yaitu
sekitar
Januari
s/d
Maret.
sebelum tahun anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat
55 | P a g e
terinformasikan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari
s/d Maret. Sebagai akibatnya, daerah cenderung menganggarkan sangat
pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut.
69
70
71
Dalam konteks ini terdapat dua hal yang perlu dicermati. Pertama,
Kementerian Teknis sangat kurang memberikan kepercayaan kepada
daerah untuk melaksanakan urusan yang sebenarnya telah menjadi
kewenangan daerah. Meskipun ada petunjuk pelaksanaan, seharusnya
tidak bersifat mengikat dan lebih merupakan guidance atau panduan
bagi pelaksanaan DAK. Kedua, masih banyak daerah yang takut dan tidak
percaya diri untuk melaksanakan urusannya sehingga mereka juga selalu
menuntut adanya petunjuk dari pusat karena tidak mau bertanggung
jawab.
Keterlambatan penetapan petunjuk teknis oleh Kementerian Teknis
terkait seringkali menyebabkan kegiatan DAK harus dilakukan melalui
perubahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah (DPA-SKPD) dan/atau APBD karena perencanaan kegiatan
pembangunan yang bersumber dari DAK dan sudah tertuang dalam APBD
tidak sesuai dengan petunjuk teknis sehingga berpotensi menimbulkan
keterlambatan dan atau tidak selesainya kegiatan DAK. Apabila kegiatan
yang didanai oleh DAK terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir
tahun anggaran maka sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya
penyerapan dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Keterlambatan
petunjuk teknis ini mengakibatkan keterlambatan berantai dari keseluruhan
proses pelaksanaan kegiatan yang didanai DAK.
Meskipun bukan merupakan keharusan bagi pemerintah daerah untuk
membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Keuangan Daerah, namun
keberadaan Tim Koordinasi yang dibentuk oleh Kepala Daerah sangat
membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah terkait
pengelolaan APBD, mempermudah koordinasi antara SKPD sehingga pada
akhirnya realisasi penyerapan belanja daerah dapat dipercepat, terutama
belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur serta belanja modal yang
terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar kepada
masyarakat.
72
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa
hal terkait pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan
publik daerah sebagai berikut:
1. Penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan
dalam realisasinya, di mana pada awal Triwulan I sampai dengan
Triwulan III penyerapan belanja daerah sangat rendah dan baru
meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun.
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan rencana penarikan dana yang
telah ditargetkan dan tertuang dalam DPA SKPD serta menimbulkan
potensi terjadinya kesulitan likuiditas keuangan daerah pada saat
meningkatnya penyerapan belanja daerah.
2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan
publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya porsi
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik tetapi juga dapat
dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah
(spending performances) terutama belanja barang dan belanja modal
dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar
di daerah.
3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai
pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan
anggaran dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah
dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan
Bab IV | Penutup
73
74
2.
Bab IV | Penutup
75
Pemerintah pusat perlu mendorong penyusunan peraturan perundangundangan mengenai penerapan Midle Term Expenditure Framework
(MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui informasi transfer ke
daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan Dana Penyesuaian
untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat penetapan APBD
dan percepatan penyerapan belanja daerah.
Bab IV | Penutup
77
DAFTAR PUSTAKA
78
79
80