Вы находитесь на странице: 1из 2

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi

yang diajukan perwakilan sekolah swasta terhadap Pasal 55 Ayat (4)


Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Tim Advokasi Keadilan Pelayanan Pendidikan Dasar untuk Anak
Bangsa, Baskoro Poedjinoegroho mengatakan, mereka keberatan
dengan kata dapat pada ayat tersebut yang berbunyi, Lembaga
pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Penggugat terdiri dari Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah
Pekalongan) dan Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria
Pekalongan). Kata dapat dalam pasal tersebut dimaknai
pemerintah pusat dan daerah bisa memberikan bantuan atau bisa
tidak memberikan bantuan sehingga timbul diskriminasi terutama di
pendidikan dasar swasta. Jadi, kini pemerintah harus proaktif untuk
memberikan bantuan yang sama, seperti sekolah negeri, katanya
kepada wartawan kemarin.
MK pun pada Kamis 29 September, membuat putusan untuk
mengubah kata dapat menjadi wajib bagi negara untuk turut
membantu pembiayaan teknis di lembaga pendidikan tanpa
diskriminasi, baik negeri maupun swasta terutama di pendidikan
dasar. Putusan tersebut diambil dalam sidang terbuka yang dipimpin
Ketua MK, Mahfud MD.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh
menjelaskan, keputusan tersebut disambut baik karena sama seperti
kebijakan pemerintah pusat selama ini yang tidak boleh melakukan
pendekatan diskriminatif pada sekolah negeri atau swasta dan
umum atau agama. Pendidikan ya pendidikan, dan pemerintah
pusat sudah melakukan itu, jauh sebelum ada putusan MK, " tegas
Nuh.
Nuh mencontohkan, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan

program rehabilitasi sekolah rusak serta kebijakan soal guru,


diberlakukan untuk negeri dan swasta. Namun, Nuh mengingatkan
putusan MK hendaknya tidak hanya mengikat pemerintah pusat,
melainkan juga pemerintah daerah. Faktanya, tidak semua daerah
dapat membantu pembiayaan pendidikan swasta.
Mendiknas juga mencontohkan, seperti DKI yang tidak memberikan
BOS daerah bagi sekolah swasta padahal Jakarta adalah ibu kota
Negara.
Hal tersebut, kata Nuh, baru diketahuinya ketika berkunjung ke
Cilincing, Jakarta Utara. Di sana M Nuh bertemu dengan seorang
ibu yang bekerja sebagai pengasuh anak. Ketika bertanya pada ibu
beranak tiga tersebut, dia mengaku, putranya sudah putus sekolah
karena tidak mampu membayar uang SPP sebesar Rp15 ribu per
bulan.
"Sekolahnya swasta, di depan permukiman kumuh itu. Padahal
hanya bayar Rp15 ribu. Itu kualat Pemdanya. Coba bayangkan,
cuma Rp15 ribu per anak jadi putus sekolah dan hanya karena DKI
tidak memberikan BOSDA. Dan tidak ada perilaku yang sama
dengan negeri. Alasan mereka karena aturan, aturannya siapa yang
buat? Kan mereka sendiri yang buat," kata Nuh kesal.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Raihan Iskandar
mengatakan, kata "wajib" dalam putusan MK harus dilokalisir
dengan jelas. "Wajib untuk jenjang apa? Lalu bantuan jenis apa?
sebab putusan ini juga harus mempertimbangkan postur anggaran
yang ada," jelas Raihan.
Raihan juga menyarankan agar dibuat klasifikasi terhadap definisi
penyelenggara pendidikan swasta. "Sebab kan ada swasta
yang social oriented dan profit oriented, masa iya yang profit
oriented juga dibantu," pungkasnya.
(rhs)

Вам также может понравиться