Вы находитесь на странице: 1из 5

Pentingnya Keikhlasan Dalam Seluruh Amal Ibadah

Sabtu, 1 Januari 2011 22:33:16 WIB


Kategori : Risalah : Tazkiyah Nufus

PENTINGNYA KEIKHLASAN DALAM SELURUH AMAL IBADAH





Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus[Al-Bayyinah: 5]
Segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabb semesta alam Shalawat dam salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad
Shalalllahu 'alaihi wa sallam Pembawa risalah yang haq ini sebagai rahmat bagi semesta alam kepada keluarganya para shahabatnya
dan orang-orang yang setia mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
Berikut ini adalah pembahasan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan pentingnya keikhlasan dalam seluruh `amal `ibadah.
Sesungguhnya perkara paling mendasar dan terpenting dalam dien ini adalah mengikhlaskan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan, hal itu sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah. Ikhlas adalah termasuk amalan hati
yang perlu mendapatkan perhatian istimewa (secara mendalam) dan dilakukan dengan cara istimrar (terus menerus) di setiap kita
hendak melakukan `amal `ibadah, agar amalan kita menjadi bernilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
PENTINGNYA AMALAN HATI.
Telah kita ketahui bahwa pengertian iman menurut Ahlus Sunah adalah : Keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan
seluruh anggota badan, bertambah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Perlu diketahui bahwa ikhlas adalah perkara terpenting dalam amalan hati, yang hal tersebut sangat erat hubungannya dengan
pengertian iman tersebut di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Amalan-amalan hati adalah termasuk pokok-pokok dari keimanan dan tonggak-tonggak agama
Islam ini, seperti: mencintai Allah dan Rasul-Nya, bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengikhlaskan seluruh macam
`ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat-Nya dan berlaku sabar di atas
hukum-hukum-Nya, khauf (perasaan takut kepada-Nya akan siksa atau adzab-Nya), raja` (berharap) kepada-NyaSemua amalan ini
wajib atas seluruh makhluk berdasarkan kesepakatan para imam agama. [Majmu Al-Fatawa 10/5 dan 20/70]
Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan amalan-amalan hati : Amalanamalan hati ialah pokok adapun amalanamalan anggota
badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan dengan ruh, adapun amalan sekedudukan dengan jasad,
sehingga apabila ruh telah terpisah dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu mengetahui hukum hukum hati lebih penting dari
pada mengetahui hukum-hukum jasad. [Badai`ul Fawaaid 3/224].
Hal inilah di antaranya yang mendorong kami untuk mengulas hal ini agar seluruh aktifitas kita sehari-hari tidak menemui kesia-siaan,
yakni hampa, jauh dari berkah Allah atau Ramat-Nya, seolah-olah tiada nilainya aktifitas yang kita laksanakan setiap hari.
Niat berasal dari bahasa Arab, yang berarati tujuan. Sedangkan menurut istilah syara' memiliki dua arti:
1. Ikhlash dalam beramal, yaitu semata-mata karena Allah, dan inilah yang sering dibicarakan oleh para Ulama ahli tauhid, suluk
(perilaku) dan akhlak.
2. Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, atau ibadah dengan kebiasaan. Istilah ini sering dipakai oleh ulamaulama Fiqh.
Niat dipakai untuk membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan yang dilakukan oleh manusia), misalnya : Mandi, apabila
dimaksudkan (niatkan) karena Allah semata untuk menghilangkan hadats besar (mandi junub misalnya) maka hal yang semacam itu
akan menjadi ibadah, lain halnya apabila mandi semata-mata dimaksudkan untuk membersihkan badan atau mendapatkan kesegaran,
maka hal itu menjadi adat (kebiasaan) saja.
Kemudian bahwa niat itu tempatnya di hati dan apabila di lafadzkan menjadi bid`ah.
KEDUDUKAN IKHLAS.
Sesungguhnya ikhlas adalah hakekat dien dan kunci dakwah para rasul, yakni menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata dan
menjauhi thagut :



Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus[Al-Bayyinah: 5]
Yang dimaksud dengan " ( ) agama yang lurus pada ayat di atas adalah terjauhkan dari perkara-perkara syirik dan menuju kepada
tauhid. Di sinilah pentingnya ikhlash dalam selurus amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan tidak mendapat adzab dari
Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kemudian bahwa pengaruh ikhlas terhadap amalan itu sangatlah besar, amal yang kecil dan sedikit jika dilakukan dengan ikhlas dapat
memperoleh pahala yang besar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam perkara ini mengatakan: Suatu jenis amalan yang dikerjakan oleh
manusia dengan menyempurnakan keikhlasannya dan ketundukkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, terkadang Allah Subahnahu
wa Ta'ala akan mengampuni dosa-dosa besar dengan sebab amalan itu, sebagaimana hadits al-bithaqah (seorang yang memiliki satu
kartu Laa ilaaha illa Allah, lalu diampuni dosa-dosanya sebanyak 99 lembaran catatan amal keburukan-red)ini karena dia
mengucapkan Laa ilaaha illa Allah dengan ikhlas dan jujur/benar, karena kalau tidak, maka para pelaku dosa besar yang masuk ke
dalam neraka semuanya juga mengucapkan tauhid, tetapi perkataan mereka tidaklah lebih berat terhadap dosa-dosa mereka
sebagaimana pemilik kartu (Laa ilaaha illa Allah) itu.
Hadits pemilik kartu Laa ilaaha illa Allah itu, adalah sebagai berikut:



b

n













Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhu , dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: Sesungguhnya Allah akan mengadili salah seorang laki-laki dari ummatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat.
Lalu ditunjukan kepada laki-laki tersebut 99 catatan (amal keburukan), setiap satu catatan panjangnya sejauh mata memandang.
Kemudian dikatakan kepada laki-laki tersebut: Apakah kau ingkari dari semua ini (kedzaliman yang telah kau perbuat)? Apakah para
malaikat-Ku pencatat dan penjaga amalan menzhalimimu? Laki-laki tersebut menjawab: Tidak Ya Tuhanku!. Lalu Allah berkata kepada
laki-laki tersebut: Apakah engkau punya alasan (berbuat kezhaliman itu)? Laki-laki tersebut menjawab: Tidak Ya Tuhanku!. Kemudian
Allah berkata kepada laki-laki tersebut: Ya benar, tetapi sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami, dan sesungguhnya
tidak ada kedzaliman atasmu pada hari ini. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan sebuah kartu kecil yang di dalamnya
terdapat : Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhamadan abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan

yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala
berkata kepada orang tersebut: Datangkan timbanganmu, maka orang tersebut berkata: Ya Tuhan untuk apa kartu kecil ini
dibandingkan dengan catatan (amal keburukan) ini ?, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada orang tersebut: Sesungguhnya
pada hari ini tiada kedzaliman. Maka diletakkanlah catatan itu pada salah satu daun timbangan, dan kartu kecil itu diletakan pada satu
daun timbangan yang lain. Maka jadi ringanlah catatan-catatan `amal keburukan itu dan beratlah kartu kecil tersebut, maka tiadalah
sesuatupun yang menjadi berat dibandingkan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. [HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa'i].
PENGERTIAN IKHLAS DAN BATASNNYA
Ada beberapa pengertian tentang ikhlas yang disebutkan oleh ulama, antara lain :
1. Diantaranya ada yang mengatakan : Ikhlas ialah Menjadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya tujuan di dalam menjalankan
ketaatan.
2. Ada juga yang mengatakan : Ikhlas ialah membersihkan perbuatan dari mencari pandangan manusia.
3. Al-Harawi berkata: Ikhlas ialah membersihkan amalan dari setiap noda.
4. Dan sebagian yang lain ada yang mengatakan: Orang yang mukhlis ialah orang yang tidak perduli, seandainya hilang seluruh
penghormatan kepadanya di dalam hati manusia, untuk kebaikan hatinya bersama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dia tidak suka
manusia mengetahui amalannya walaupun seberat debu. Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan membutuhkan kesungguhan yang tinggi hingga seorang hamba meraihnya dengan sempurna.
PENGERTIAN RIYA', SUM'AH, UJUB
Telah kita ketahui bahwa keikhlasan dapat dihilangkan oleh beberapa perkara, seperti: mencintai dunia, kemasyhuran, kemuliaan, riya',
sum'ah dan ujub.
1. Riya ialah melakukan `ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia, sehingga orang yang riya itu mencari pengagungan, pujian,
harapan atau rasa takut terhadap orang yang dia berbuat riya karenanya.
2. Sum'ah adalah amalan yang dilakukan dalam rangka agar didengar orang lain, misalnya memperdengarkan bacaan Al-Qur'an atau
yang lainnya.
3. Ujub adalah teman riya, yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri atas kemampuan yang dimiliki secara berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan antara keduanya (antara riya dan ujub ).
a. Riya adalah salah satu bentuk dari syirik kepada makhluk.
b. Adapun ujub adalah bentuk dari pada syirik kepada diri sendiri. [Al-Fatawa:10/277]
DIANTARA BENTUK-BENTUK RIYA, UJUB DAN SUM'AH
1. Riya dalam ibadah sholat, misalnya: Memperbaiki posisi atau gerakan shalat karena mengetahui bahwa dia sedang diperhatikan oleh
orang yang dianggap lebih alim atau lainya.
2. Riya atau sum'ah dalam kepribadian misalnya : Karena di karuniai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala suara yang merdu misalnya, maka
timbulah penyakit riya` atau ujub ini pada ni`mat tersebut; Mengeraskan/menbaguskan bacaan dalam membaca Al-Qur`an atau ketika
mengumandangkan adzan dengan harapan ingin mendapatkan pujian atau agar diakui bahwa dia memiliki suara yang bagus atau
merdu. Pada hakekatnya membaguskan suara dalam membaca Al-Qur'an, dengan tidak dibuat-buat atau berlebih-lebihan merupakan
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana sabadanya:

.
Baguskanlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian [HR. Abu Dawud dan Ahmad]
3. Ujub atau Riya dalam berdakwah misalnya : Berceramah, menasehati orang, atau mentahdzir (memberi peringatan terhadap
seseorang) dengan niat agar dikenal sebagai seorang penasehat, ahli pidato dengan harapan agar semua orang memujinya atau
menyanjungnya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari semua perkara ini. Hendaklah kita ikhlash dalam berda`wah
agar orang yang mendengarnya pun menerima dengan ikhlash (yakni : mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala)
4. Riya atau Ujub dalam menuntut ilmu : Yaitu berbangga dengan ilmu yang dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya atau
menuntut ilmu hanya dalam rangka ingin menjadi seorang yang ahli dalam berdebat, bukan mengharapkan wajah Allah atau mencari
berkah dari Allah atas ilmu yang dimilikinya. Sehingga ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan tidak mampu membawa dia ke
dalam kebahagian di dunia ataupun diakhirat. Padahal rasulullah telah memperingatkan dengan keras bagi para penuntut ilmu dengan
ancaman tidak akan mendapatkan bau surga, apabila mempelajari suatu ilmu dalam rangka untuk mencari dunia semata; Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabada:





Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala ; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu
kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat kelak. [HR. Abu Dawud]
5. Riya atau Ujub ketika bershadaqah, misalnya : Memperlihatkan harta yang telah dishadaqahkan, atau mengungkit-ungkit kembali
pemberian yang telah lalu dengan harapan agar disebut sebagai seorang dermawan.
PENAWAR RIYA
Adapun di antara cara-cara mengobati riya adalah sebagi berikut:
1. Mengetahui seluk beluk riya itu sendiri dan takut terhadapnya. Sebagaimana hal tersebut adalah perkara yang paling ditakutkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
.

" : , ." " :


"
Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari perkara yang aku takutkan atas kalian ialah syirik kecil. Para shahabat bertanya: Apakah
syirik kecil itu wahai rasulullah? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Riya', Pada hari kiamat , ketika membalas amalanamalan manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan berfirman: Pergilah kepada orang yang kamu dahulu sewaktu di dunia berbuat riya
kepadanya, dan lihatlah apakah kamu dapakan balasan (pahala) darinya? [HR. Ahmad, At-Thabrani dan Al-Baihaqi]
2. Memberikan sanjungan atau pujian hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
sumber dari segala kebaikan; maka hanya Allahlah yang berhaq mendapatkan pujian:

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. [Al-Fatihah:2]
3. Mengingat mati dan sekaratnya, hari akhir dan kedahsyatan adzabnya, kubur dan kerasnya siksa yang diberikan karena dosa-dosa
yang diperbuat selama di dunia. Keadaan di kubur yang sunyi, gelap gulita dan sempit, tidak ada ibu dan bapak atau orang-orang yang
dicinta di dekatnya.
4. Melihat akibat riya', baik di dunia maupun diakhirat.
Maka perlu diketahui oleh setiap orang bahwa seandainya seluruh manusia berkumpul dalam rangka memberikan manfaat kepada
siapapun, maka tiadalah mereka mampu memberikannya kecuali sesuatu itu telah ditentukan oleh Allah Subhanhau wa Ta'ala baginya;
Oleh sebab itu sebagian orang-orang salaf mengatakan: Bersungguh-sungguhlah dalam mencegah timbulnya riya` darimu, anggaplah

orang lain bagimu seperti binatang dan anak-anak, janganlah kau bedakan adanya mereka atau tidak adanya, mereka tahu atau tidak
tahu, cukuplah Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang mengetahuinya.
Kemudian singkirkan perasaan ingin dipuji ketika (syetan menggoda), dengan do'a-do'a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam seperti:

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.
Adapun akibat riya di akhirat antara lain ; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
h u
Barang siapa (yang beramal) ingin didengar maka Allah akan memperdengarkannya dan barang siapa (beramal) ingin dilihat maka Allah
pun akan memperlihatkannya. [HR. Bukhari & Muslim]
Artinya : Bila seseorang beramal hanya ingin didengar atau dilihat orang lain maka itulah yang akan dia dapatkan, Allah Subhanahu wa
Ta'ala Maha Sempurna tidak butuh sekutu-sekutu tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: bahwa Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:


Aku adalah Yang paling tidak butuh sekutu, barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan, yang di dalamnya dia menyekutukanKu
dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR. Muslim dari Abu Hurairah]
5. Memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar senantiasa berlaku ikhlas dalam segala amal ibadah dan berlindung
dari-Nya dari riya`. Seorang mu`min atau mu`minah hendaklah tunduk, berserah diri kepada-Nya, berusaha semaksimal mungkin
menghindarkan diri dari riya, sum'ah dan ujub; dan memperbanyak dzikir (mengingat Allah kapan saja di manapun berada) dan
berdo`a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana do'a-do'a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam antara lain :
, : . .
(3/332 : )
Kesyirikan yang ada pada kalian lebih tersembunyi merayapnya seekor semut, dan aku akan memberitahukan sesuatu kepadamu
apabila hal itu kau kerjakan, maka akan menghilangkan kesyirikan kecil dan besar darimu. Yaitu engkau mengatakan (berdo'a): Ya
Allah aku berlindung kepada-Mu dari mensekutukan-Mu sedangkan saya mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari apa-apa
yang aku tidak aku tahu."
Wallahu Alam.
(Disadur oleh Abdul Wahid dari kitab Al-Ikhlash Wasy Syirkul Ashghar, karya Syeikh Abdul Aziz Ali Abdul Lathif dan tambahan dari
sumber lain)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Jangan Biarkan Amalan Berlalu Sia-Sia


Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari
Allah ta'alla, lantas bagaimana jika amalan yang sangat diharapkan
sebagai tabungan diakherat ternyata 'kopong' alias sia-sia dan tak tertulis
sabagai amalan?
By Redaksi Muslimah.Or.Id May 13, 2010
396 23

Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari Allah taalla, lantas bagaimana
jika amalan yang sangat diharapkan sebagai tabungan diakherat ternyata kopong alias sia-sia dan
tak tertulis sabagai amalan?
Bagaimana mungkin amalan akan diterima tatkala kita tidak mengetahui cara agar amalan bisa
diterima dan mendapat ridho dari Allah? Apalagi jika barometer kesuksesan dalam beramal tatkala
mendapat pujian belaka. Tak dapat diragukan lagi walaupun lisan ini mengatakan Aku ikhlas namun
ikhlas tak semudah hanya ucapan saja dan malahan perlu dicek lagi arti keikhlasannya. Baiklah
marilah kita berusaha mengetahui kaidah-kaidah dalam beramal agar amalan kita tidak sia-sia. Dan
ingatlah tak ada satu detik waktupun menjadi sia-sia dan berakhir penyesalan jika segera diikuti
dengan taubat dan membenahi cara beramal dengan benar.
Amalan tidak lepas dari 2 hal yaitu ikhlas dan ittiba.
1.

Ikhlas adalah niat dalam beramal, dan ikhlas merupakan ruh bagi amalan. Dalilnya,
Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu
mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya. (Muttafaqunalaihi)

2.

Yang kedua adalah ittiba. Iittiba adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan ittiba ini laksana jiwa bagi
amalan. Allah taala berfirman,
Kataknlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Ali
Imran:31)

Kedua syarat tersebut jangan sampai tercecer, karena jika salah satu syarat hilang maka ia tidak
benar (bukan amal shalih) dan tidak akan diterima di sisi Allah, diantara dalil yang memperkuat
pernyataan tersebut,
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya. (Qs. AL
Kahfi: 110)
Tidak Ikhlas Namun Ittiba
Misalnya, melakukan shalat sesuai dengan rukun-rukun shalat yang telah dicontohkan Rasulullah,
namun ditengah perjalanan shalat tersebut, ada orang yang melihat dan hati timbul rasa ingin
memperbagus gerakan, memperlama waktu shalat, dll. Nah inilah perlu dipertanyakan keikhlasan
shalatnya. Apakah shalat hanya mengharap wajah Allah ataukah disertai pula mengharap pujian orang
lain?
Ikhlas Namun Tidak Ittiba
Misalnya, mencari berkah dikuburan, mengkhususkan membaca surat yasin selama 7 hari setelah
kematian. Mungkin mereka ikhlas melakukannya, namun sayangnya tidak ada contoh dari Rasulullah
dan perbuatan tersebut bisa dikatakan bidah.

Pada artikel ini penulis akan lebih memperinci mengenai syarat yang pertama yaitu berkaitan dengan
keikhlasan. Hendaknya dalam beramal selain mengetahui syarat-syarat beramal juga mengetahui
bagaimana caranya agar dapat mewujudkan syarat-syarat tersebut dengan mudah.
Untuk mewujudkan keikhlasan dalam beramal ada beberapa cara :
1.

2.
3.

4.

5.
6.

7.

8.

Doa. Berdoalah agar setiap amalan ikhlas karena Allah. Sebagai manusia tak lepas dari
riya, pamer dan suka dipuji. Khalifah besar seperti Umar Ibnul
Khattabradhiyallahuanhum yang merupakan shahabat Rasul dan sudah dijanjikan surga
kepadanya pun masih saja berdoa agar ikhlas dalam beramal. Ya Allah jadikanlah amalku
shalih semuanya dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu dan janganlah Engkau jadikan untuk
seseorang dari amal itu sedikitpun.
Menyembunyikan amal. Sembunyikan amal seperti menyembunyikan keburukan, seperti
perkataan Bisyr Ibnul Harits berkata, Jangan kau beramal supaya dikenang. Sembunyikanlah
kebaikanmu seperti kamu menyembunyikan kejelekanmu.
Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik. Bacalah biografi-biografi dari para
shahabat, tabiin serta orang-orang terdahulu, sebagai suri teladan dalam beramal. Karena
hidup di jaman sekarang ini terkadang dari penampakan terlihat bagus dan banyak yang
meneladani, namun ternyata amalan-amalan bidah yang dilakukannya. Naudzubillahi min
dzalik
Memandang remeh apa yang telah diamalkan. Terkadang manusia terjebak dengan
godaan setan, yaitu melakukan sedikit amal dan merasa kagum dengan sedikit amal
tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, karena bisa jadi satu amal kebaikan bisa memasukkan
manusia ke neraka. Seperti perkataan Sad bin Jubair, Ada seseorang yang masuk surga
karena sebuah kemaksiatan yang dilakukannya dan ada yang masuk neraka karena sebuah
kebaikan yang dilakukannya. Seseorang yang melakukan maksiat setelah itu ia takut dan
cemas terhadap siksa Allah karena dosanya, kemudian menghadap Allah dan Allah
mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya dan seseorang berbuat suatu kebaikan
lalu ia senantiasa mengaguminya kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu
maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.
Khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima. Poin ini berkaitan dengan poin
sebelumnya, bahwa lebih baik menganggap remeh amal yang telah diperbuat agar dapat
menjaga hati ini dari rasa kagum terhadap amal yang telah diperbuat.
Tidak terpengaruh dengan ucapan orang. Orang yang mendapat taufik adalah orang
yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Ibnul Jauzy (Shaidul Khaathir) berkata,
Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan
tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya
adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.
Senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik manusia. Manusia tidak dapat
memberikan manfaat maupun menimpakan bencana kepada manusia, begitu pula manusia
bukanlah pemilik surga maupun neraka. Manusia tidak bisa memasukkan manusia lain ke
surga dan mengeluarkan manusia lain keluar dari neraka,lantas untuk apalagi beramal demi
manusia, agar dipuji atasan, agar disanjung mertua, atau agar datang simpati dari manusia
lain?
Ingatlah bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. Jiwa akan menjadi lebih baik
tatkala ingat tempat ia kembali. Bahwa ia akan beralaskan tanah dikuburnya sendiri, tak ada
yang menemani, ingat bahwa manusia tidak dapat meringankan siksa kuburnya, seluruh
urusannya berada ditangan Allah. Ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat
menyelamatkannya kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang
Maha Pencipta semata.

Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu dengan disertai
keikhlasan dalam mengamalkannya tersebut. Ingatlah bahwa hanya Allah yang dapat membolakbalikkan hati hamba-Nya.
Disusun ulang oleh: Ummu Hamzah Galuh Pramita Sari
Murojaah: Ust. Aris Munandar
Rujukan:
Ikhlas Syarat Diterimanya Ibadah, penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Langkah Pasti Menuju Bahagia, penerbit Daar An Naba
Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, penerbit Putaka Muslim

Вам также может понравиться