Вы находитесь на странице: 1из 24

TRADISI PELAYARAN PELAUT

BUGIS-MAKASSAR DAN REPRODUKSI WAWASAN GEO-SOSIOBUDAYA MARITIM NUSANTARA DAN GLOBAL1


SEAMANSHIP TRADITION OF BUGISMAKASSAR SAILORS AND
REPRODUCTION OF GEO-SOCIO-CULTURAL INSIGTH ON INDONESIA
ARCHIPELAGO

Munsi Lampe2
ABSTRACT
The topic of this article is chosen as one initiative to develop the study focus
of maritime anthropology that up till now is stagnant and tends to concern the
surface structure of the maritime cultural phenomena. By application and
development the maritimeness ethos/cultural disposition approach in
explaining the long navigational experience and maritime interaction of BugisMakassar seamen with outsiders, some items of their maritime cultural
insigths embodied as knowledge systems of Indonesia archipelagos,
awareness and ethnic group diversity and multiculture, love to the country,
language unity, nationality and globalism can be known. These geo-sociocultural insights assumed as reproduction of long seamenship tradition.
Keywords: Bugis-Makassar seamen, sailing tradition, reproduction of geosocio-cultural insigths
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan
karakteristik geografi, sosial demografi dan ekonomi, dan budaya baharinya
yang mencolok. Karakteristik alamiah berupa 17.508 pulau besar dan kecil
dengan panjang pantai 81.000 Km; 2.027.087 Km2 luas wilayah darat; 5,8
Km2 luas wilayah laut (3.166.163 Km2 perairan nusantara dan teritorial dan
1 Makalah dipresentasikan pada Seminar -------------Tahun 2014 DI Universitas Utara
Malaysia, Mei 2014.
2 Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Antropologi Fisip Unhas.

2.500.000 Km2 ZEE (kondisi sebelum Timor Timur, Sipadan dan Ligitan lepas
dari NKRI); perairan tersebut mengandung sumberdaya alam dapat
terbaharukan (sumberdaya perikanan, terumbu karang, padang lamun,
mangrof) dan tidak terbaharukan (migas, mineral, besi, harta karun) yang
melimpah tak ternilai. Lagi pula Indonesia diapit oleh Benua Asia dan
Australia dan berada di antara Samudera Hindia dan Pasifik (BPP Teknologi
dan WANHANKAMNAS, 1996). Dari karakteristik geografi dan posisi
strategik dalam konteks dunia Internasional, maka sudah pantas dan
semestinya pengemangan peradaban kemaritiman mendapatkan prioritas
dalam program pembangunan nasional.
Karakteristik sosial-demografi dan sosial- ekonomi ditunjukkan dengan
desa-desa pantai yang memenuhi bagian terbesar gugusan pulau-pulau
besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke yang jumlah penduduknya tidak
kurang dari 60.000.000 jiwa. Mereka hidup secara langsung atau tidak
langsung dari berbagai sektor ekonomi kelautan, terutama perikanan,
transportasi, dan perdagangan laut. Ketiga sektor ekonomi kemaritiman
tersebut merupakan sektor ekonomi paling tua dan banyak digeluti penduduk
pesisir dan pulau-pulau di negara kepulauan ini sejak dahulu.
Karakteristik budaya Masyarakat Nusantara ini sarat dengan sejarah
peradaban maritim dominan mencakup aspek-aspek politik pemerintahan,
pertahanan keamanan, industri kapal kayu, arsitektur, astrologi, transportasi
dan perdagangan, dan pelabuhan yang pernah berkembang dan berjaya
diperankan oleh masyarakat di pusat-pusat kerajaan maritim. Adapun tradisi
penangkapan ikan di laut dilakoni dan didukung oleh komunitas-komunitas
nelayan pesisir yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin 3.
Dalam rangka pengembangan ilmu sosial-budaya dan pengembangan
peradaban kemaritiman Indonesia ke depan, maka studi tradisi dan proses
dinamika budaya maritim perlu ditingkatkan baik dari sisi kualitas maupun
fokus studi. Hasil kajian tentu dapat pula memberikan manfaat praktis
sebagai bahan rekayasa model pengelolaan ekonomi, pengembangan
wawasan multikultural dan nasionalisme, wawasan dunia/global, dan
penguatan integrasi bangsa. Di Indonesia, berbagai studi antropologi dan
3 Mukhlis Paeni menggunakan istilah tradisi budaya maritim besar (maritime great
tradition) untuk peradaban maritim dominan, dan tradisi budaya maritim kecil
(maritime little tradition) untuk aktivitas penangkapan ikan di laut. Kedua istilah
tersebut terkandung dalam makalahnya Memahami Kebudayaan Maritim BugisMakassar (1986).

sosiologi selama ini cenderung pada sistem sosial ekonomi, kelembagaan,


teknologi pelayaran dan penangkapan ikan, konflik dan kemiskinan, interaksi
manusia dengan lingkungan laut, dan kearifan lingkungan, sebaliknya sangat
sedikit melihat inti budaya berupa wawasan tentang kelautan dan kepulauan,
multietnik dan budaya, kesatuan tanah air-bangsa-budaya nasional yang
dipahami sebagai reproduksi dari pengalaman kegiatan pelayaran dan
dagang yang panjang dalam konteks historik dan relasi eksternal.
Ide tentang kajian wawasan budaya kenusantaraan dan kebangsaan
yang dipahami sebagai reproduksi dari pengalaman kepelayaran muncul dari
perbincangan saya dengan Linda Christianty, seorang anggota LSM senior
yang cukup dikenal, dalam sebuah ruang seminar gedung Gubernur Propinsi
Sulawesi Selatan di tahun 1997. Dia--dilibatkan dalam Program Coral Reef
Rehabilitation and Management Programme (COREMAP) Sulawesi Selatan-mengungkapkan ketermasyhuran petualangan para pelaut Bugis-Makassar 4
di perairan Nusantara sejak dahulu hingga sekarang. Menurutnya bahwa
merekalah di antara warga negara yang memiliki wawasan nusantara dan
jiwa nasionalisme yang tinggi. Demikian halnya ide tentang kesatuan bangsa
ini, menurut Edward Poelinggomang (seorang sejarahwan maritim BugisMakassar) bahwa pembentukan Kepulauan Nusantara ini menjadi satu
bangsa diterima karena telah terjalin persahabatan dan persaudaraan yang
terbentuk melalui jaringan pelayaran dan perdagangan maritim yang
membuahkan sikap toleransi dan simpati antar kelempok kaum
(Poelinggomang, 2002). Salah satu kelompok etnis di Nusantara ini yang
memiliki andil yang cukup berarti itu, menurutnya, adalah pelaut dan
pedagang Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan.
Mengutip pernyataan-pernyataan di atas bukan dimaksudkan untuk
menunjukkan kehebatan dan jasa pelaut-pelaut Bugis-Makassar masa lalu
yang terkesan melebih-lebihkan bagi pembentukan Negara Kesatuan RI.
Sebaliknya, hal ini merupakan upaya untuk menemukenali budaya maritim
dan menjelaskannya secara empirik dalam konteks pengalaman sejarah
pengembaraan pelayaran yang panjang. Pertanyaannya, sejauhmana pelaut4 Dalam konteks kajian budaya maritim, tepat menyatukan kedua nama etnis Bugis
dan Makassar dengan menuliskan Bugis-Makassar saja. Hal demikian
dimungkinkan kedua etnis tersebut memiliki unsur-unsur kebudayaan maritim relatif
sama, terutama pada sektor pelayaran dan penangkapan ikan. Tidak ditemukan
sesuatu perbedaan berarti, baik pada wujud kognitif maupun wujud organisasi
sosial-ekonomi, praktik dan teknologi kemaritiman.

pelaut Bugis-Makassar masa lalu dan sesudahnya melakukan pelayaran


(perdagangan) dan rute-rute pelayaran mana saja yang dibangun? Berikut,
bagaimana wawasan geo-sosial-budaya kenusantaraan yang mereka miliki
sebagai reproduksi pengalaman kepelayaran?
Tulisan ini bertujuan memahami wawasan budaya maritim pelaut BugisMakassar dalam konteks penjelasan aktivitas pelayaran secara empirik dan
pengalaman sejarah pengembaraan pelayaran di Nusantara. Di Indonesia,
studi budaya maritim dengan mode penjelasan seperti ini, bukan hanya
menyumbang pada pengembangan studi antropologi maritim yang selama ini
masih mandeg, tetapi hasilnya juga bisa menjadi bahan rekayasa model
pembinaan masyarakat bahari sebagai perekat bangsa yang pluralmultikultural yang rentan terhadap ancaman konflik horizontal dan vertikal.
Sebuah pendekatan studi budaya maritim yang dapat dikembangkan
dalam studi reproduksi wawasan budaya maritim Nusantara ialah pendekatan
etos budaya kemaritiman (maritimeness cultural ethos disposition) dari Prins
(1965, 1985). Untuk mengembangan dan menerapkan pendekatan tersebut
perlu dilakukan pergeseran dan spesifikasi material yang akan di kaji dari
fenomena etos budaya tertutup ke wawasan budaya terbuka dan kompleks.
Data/informasi untuk penulisan makalah ini diambil dari beberapa catatan
sejarah dan laporan penelitian Stranas Menggali Kelembagaan dan
Wawasan Budaya Bahari Bugis-Makassar yang Menunjang bagi Penguatan
Integrasi Bangsa dan Harmonisasi Sosial (biayai Dipa Unhas tahun 2010).
REPRODUKSI WAWASAN BUDAYA MARITIM: DARI ETOS BUDAYA
MARITIM KE WAWASAN GEO-SOSIO-BUDAYA MARITIM
Bilamana kebudayaan maritim dipahami sebagai fenomena mental atau
kognitif (wawasan, nilai, norma, keyakinan, moral dan sikap) sebagai hasil
dari pengalaman pelayaran, maka hanya pendekatan etos budaya
kemaritiman (maritimeness cultural ethos disposition) yang tepat
dikembangkan dalam studi wawasan budaya maritim. Seperti diasumsikan
oleh Prins (1965, 1985), bahwa pembuatan kapal, pelayaran dan
perdagangan, dan penangkapan ikan baru merupakan jalan masuk untuk
memahami kebudayaan maritim suatu masyarakat lokal yang unik dan rumit,
yakni etos budaya kemaritiman.
Diasumsikan oleh Prins bahwa interaksi manusia (pelayar dan nelayan)
dengan lingkungan laut yang dimediai dengan perahu/kapal, pelayaran, dan
aktivitas penangkapan ikan secara berangsur-angsur mereproduksi etos

budaya kemaritiman yang kompleks dan unik (Prins at all). Elemen-elemen


etos budaya kemaritiman, menurutnya, ialah pragmatisme, instrumentalisme,
adaptivisme, keteguhan pendirian, disiplin, bertanggung jawab, keberanian
menanggung risiko, berjiwa keras, murah hati, kompetitif, dan lain-lain.
Setelah mencermati kajian dan pendekatan maritimeness ethos
disposition dari Prins, ditemukan adanya satu kelemahan pendekatan yakni
kesulitan membuktikan apakah suatu unsur etos budaya kemaritiman itu
betul-betul reproduksi pengalaman interaksi manusia dengan lingkungan
lautnya semata. Sebab mungkin sekali beberapa unsur etos budaya pelaut
yang justru merupakan pengaruh kekuatan eksternal seperti pasar dunia,
adopsi inovasi teknologi, kebijakan politik, moral agama, dan lain-lain, yang
justru bisa menjadi penguat mobilitas pengembaraan pelayaran. Demikian
halnya dalam menjelaskan bagaimana pengalaman mereproduksi setiap
unsur-unsur etos budaya maritim.
Terlepas dari kelemahan pendekatan maritimeness ethos disposition
tersebut, asumsi tentang reproduksi budaya dari Prins dinilai tajam. Asumsi
tersebut sesungguhnya memberikan inspirasi bagi saya untuk membukaka
alur pikiran dari fokus kajian pada unsur-unsur etos/kepribadian budaya
maritim pelaut yang tertutup ke fokus kajian wawasan geo-sosio-budaya
kenusantaraan (di luar ruang komunitas lokalnya) yang dipahami sebagai
reproduksi dari pengalaman panjang kepelayaran.
MELACAK JEJAK PENGEMBARAAN PELAYARAN PELAUT BUGISMAKASSAR DI NUSANTARA
Berdasarkan catatan sejarah bahwa bangsa Indonesia syarat dengan
budaya maritimnya (maritime culture)5. Tentu saja tidak semua masyarakat di
bawah kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara di masa lalu hingga masa
kemerdekaan Indonesia otomatis menjadi masyarakat maritim. Dari sekian
banyak kelompok suku bangsa laut (nelayan dan pelayar), menurut Adrian
Horridge, terdapat enam kelompok etnis yang merupakan cikal bakal
masyarakat maritim di Nusantara, yakni orang Bajo (Sea Gypsies), Bugis
(Teluk Bone), Makassar (Galesong, Tallo), Mandar (Sulawesi Barat), Buton
(Sulawesi Tenggara), dan Madura (termasuk dalam wilayah Jawa Timur).
5 Berdasarkan rasa kebahasaan (linguistic feeling), menurut Nishimura (1973),
istilah maritime mengacu pada pelayaran (kegiatan pelayaran dan unsur-unsur
kognitif seperti pengetahuan, gagasan, nilai, norma, kepercayaan yang berkaitan
dengannya.

Mereka adalah pewaris kebudayaan maritim (pembuat perahu dan pelaut


ulung) dari ras Melayu-Polinesia perintis dan pengembang kebudayaan
maritim di Asia Tenggara sejak ribuan tahun silam (Horridge, 1986). Dari
proses persebarannya yang luas, menurut Horridge, muncul juga kelompokkelompok etnis bahari lain seperti komunitas-komunitas nelayan dari pulaupulau Bawean, Masalembo dan Sapudi (Jawa), pedagang-pedagang
Bonerate dan Pulau Polue di Laut Flores, pemburu paus di Lamalerap
(Lomblen di Selat Timor, Orang Luang di sebelah barat daya), dan berbagai
Koloni Bugis di Nusantara (antara lain: Flores, Bima, Riau, Lampung) yang
menguasai jaringan perdagangan luas untuk berbagai jenis komoditi ekspor
dan inpor.
Deskripsi mendetail tentang pelayaran niaga para pelaut BugisMakassar termuat dalam catatan dari Cornelis Speelman yang ditulis seusai
Perang Makassar, yaitu pada tahun 1670 (dalam Poelinggomang at all). Ia
mencatat hubungan perdagangan yang dilakukan oleh pelaut BugisMakassar Sulawesi Selatan hingga menjelang takluknya Kerajaan Gowa dari
VOC berlangsung dari dan ke Manggarai, Timor, Tanimbar, Alor, Bima, Buton,
Tomboku, Seram, Mindanao, Sambuangan, Makao, Manilla, Cebu, Kamboja,
Siam, Patani, Bali, pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa, Batavia,
Bantam, Palembang, Jambi, Johor, Malaka, Aceh, Banjamasin, Sukadana,
Pasir, Kutai, Berau, dan kota-kota dagang di wilayah Sulawesi dan Maluku.
Komoditi dagang yang dijajakan antara lain: rempah-rempah, kayu cendana,
budak, berjenis-jenis produksi India (tekstil: karikam, dragam, touria godia,
bethilles, dan lainnya), produk Cina (porselin, sutra, benang sutra, emas,
perhiasan emas, gong, dan lainnya), hasil industri rumah tangga penduduk
kawasan timur Nusantara (parang, pedang, kapak, kain Selayar, kain Bima,
dan lainnya) dan produksi laut, khususnya sisik (kulit penyu) dan mutiara. 6
Ketika Makassar jatuh dalam kekuasaan VOC, secara drastis
menghentikan kegiatan pelayaran jarak jauh pelaut-pelaut Bugis-Makassar di
kawasan timur Nusantara. Hal ini disebabkan salah satu ketentuan dalam
kebijakan VOC di bawah Speelman yang melarang kapal-kapal pribumi
6 J.Noorduyn, De handelsrelasie van het Makassarsche Rijk volgens een Notitie
van Corrnelis Speelman uit 1670, dalam: Nederlandsche Historische Bronnen (No.
3, 1983), hal. 103-118. Karikam adalah sejenis kain yang berasal dari Gujarat, yang
biasanya berwarna merah atau biru; dragam adalah sejenis kain dari Gujarat yang
berwarna kembar; touria godia adalah sejenis kain katun berwarna yang berasal dari
India Muka; bathiles adalah sejenis kain katun berwarna yang berasal dari Portugis.

mengangkut rempah-rempah dan komoditi ekspor utama lainnya. Itulah


sebabnya seusai perang Makassar (1666-1667; 1668-1669) pelaut-pelaut
Sulawesi Selatan mengubah arah dan rute perdagangan lautnya dengan
melakukan eksodus ke berbagai bandar niaga di bagian barat, seperti ke
Kalimantan, Sumatera, dan Dunia Semenanjung Malaka. Mereka berniaga ke
bandar niaga lain seperti Jailolo (Sulu), Banjarmasin, Palembang, Johor,
Pahang, dan Aceh. Perahu dagang mereka yang mengunjungi Joilolo datang
dari berbagai pelabuhan di pesisir timur Kalimantan (seperti Kutai, Pasir, dan
Samarinda), Maluku (Ternate, Banda, dan pesisir timur Papua Barat), dan
Sulawesi (Mandar, Kaili, Bone, Gorontalo, Menado, dan Kema)(dalam
Poelinggomang at all). Mereka yang ingin berniaga ke pelabuhan yang
berada dalam pengawasan pemerintah Belanda tentu tidak melakukan
pelayaran terobosan ke wilayah yang dilarang pemerintah. Juga tidak
memperdagangkan komoditi yang dimonopoli pemerintah seperti rempahrempah. Daerah pelayaran mereka (untuk memperoleh produksi yang
dipasarkan ke bandar niaga) adalah Nusa Tenggara, Maluku Tenggara
(Kepulauan Aru dan Tanimbar) hingga pesisir utara Benua Australia.
Tidak surutnya spirit kepelayaran dan pengembaraan pelaut-pelaut
Bugis-Makassar ke seluruh daerah Nusantara, bahkan melampauinya ke
luar, meskipun Makassar telah jatuh ke tangan VOC, dipengaruhi oleh
kebijakan perdagangan bebas (kebijakan pintu terbuka) oleh Raja Gowa
Sultan Alauddin ketika menolak permohonan pihak VOC agar tidak menjalin
hubungan dengan bangsa Eropa lainnya, seperti Portugis, Spanyol, dan
Inggeris. Kebijakan ini tampak jelas dalam pernyataan Sultan Alauddin yang
mengatakan:
Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat
manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah didengar bahwa
seseorang dilarang berlayar di laut. Jika engkau melakukan itu berarti
engkau merampas makanan (roti) dari mulut kami. Saya seorang raja
miskin (dalam Poelinggomang at all).
Terjalinnya hubungan dengan dan penerimaan baik para pelaut dan
pedagang dari Sulawesi Selatan ini oleh penduduk daerah-daerah yang
dikunjunginya, menurut Poelinggomang, karena beberapa faktor. Pertama,
mereka dinyatakan sangat pandai memberikan hadiah kepada para
penguasa dan ulama dari tempat yang dikunjungi. Kedua, mereka dinyatakan
selalu menepati janji. Ketiga, mereka dinyatakan selalu dan suka berkorban

menolong setiap orang yang diperlakukan tidak adil. Hal ini yang mendasari
seorang penyair Belanda menyatakan bahwa pelaut dan pedagang dari
Sulawesi Selatan itu bagaikan ayam-ayam jago kesayangan dari dunia
Timur (de hantjes van het Oosten).
Penelusuran terhadap sejarah pengembaran dan pelayaran dan
perdagangan maritim Bugis-Makassar dimaksudkan untuk mengungkapkan
fakta jalinan hubungan ekonomi, sosial, dan politik yang telah terbangun dan
menjadi dasar bagi pembentukan integrasi bangsa dalam perkembangan
kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa wilayah Republik Indonesia ini
menjadi satu kesatuan dari bekas wilayah jajahan pemerintah kolonial
Belanda, namun sebagaimana dinyatakan oleh Edward Poelinggomang,
bahwa hal ini sangat ditunjang dengan sikap toleransi dan simpati di antara
kelompok-kelompok etnis yang telah menjalin persahabatan dan
persaudaraan sebagai buah dari jaringan pelayaran dan perdagangan
maritim, dalam mana pelaut dan pedagang Bugis-Makassar dari Sulawesi
Selatan memainkan peranan besar.
MEMPERTAHANKAN TRADISI PELAYARAN DAN TUMBUHNYA WAWASAN GEOGRAFI NUSANTARA7
Setelah Indonesia merdeka, tradisi pengembaraan pelayaran kembali
diproduktifkan oleh para pelaut Bugis-Makassar sebagai pewaris budaya
maritim nenek moyang yang hidup di masa kolonial dan sebelumnya. Belajar
pari proses sejarah perpolitikan yang panjang mengenai wilayah Nusantara
ini, diketahui telah terjadi perubahan wawasan kelompok-kelompok pelaut
Bugis-Makassar tentang status wilayah perairan dan daratan Nusantara ini
dari masa kolonial dan sebelumnya ke masa kemerdekaan. Dari pelaut
generasi tua, mereka memperoleh pengetahuan bahwa di masa lalu, daerahdaerah perairan Nusantara dan pulau-pulau yang banyak jumlahnya berada
dalam klaim kerajaan-kerajaan maritim berdaulat, yang di antara mereka
terjalin hubungan politik dan dagang.
Dalam masa kemerdekaan, melalui pengalamannya yang panjang para
pelaut Bugis-Makassar mengetahui bahwa daerah-daerah perairan dan
pulau-pulau yang dilayari dan disinggahi itu telah terintegrasi dalam satu
7 Bahan dalam bagian ini sepenuhnya diambil dari hasil Penelitian Stranas
Menggali Kelembagaan dan Wawasan Budaya Bahari Bugis-Makassar yang
Menunjang bagi Penguatan Integrasi Bangsa dan Harmonisasi Sosial tahun 2010.

tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wawasan yang


berkelanjutan bahwa hamparan perairan Nusantara yang luas dan kota-kota
pantai dari pulau-pulau yang banyak terbentang dari Sabang sampai
Merauke tetap menjadi ruang pelayaran dan arena transaksi ekonomi serta
pergaulan antara pelaut, termasuk pelaut Bugis-Makassar, dengan penduduk
setempat yang berasal dari etnis-etnis berbeda-beda.
Mengenai pengalaman dan pengetahuan pelaut Bugis-Makassar
tentang ruang perairan dan pulau-pulau di bagian barat dan timur nusantara,
disajiakan contoh kasus rute-rute pelayarannya dengan menampilkan empat
nakoda Bugis-Makassar yang berpengalaman.
Kasus 1, Andi Murtala (76 tahun, Mantan Nakhoda, Bugis)
Andi Murtala mulai menjadi nahkoda pada tahun 19571982. Kapal
pertama yang dilayarkan ialah pinisi dengan kapasitas GT 500 600 ton.
Kapal ini mengangkut barang berupa hasil-hasil bumi seperti beras, gula,
kacang ijo, dan lain-lain ke Kalimantan dan Medan. Kapalnya mulai
mengangkut barang pada bulan April dan Mei sampai bulan Desember. Kapal
yang diawaki anak buah kapal (ABK/Sawi) sebanyak 10 sampai 12 orang,
hanyalah salah satu di antara kurang lebih 60 buah kapal pinisi dari Bira yang
beroperasi di Nusantara ini pada waktu itu. Nakoda Andi Murtala
mengisahkan pengalaman pelayarannya seperti berikut ini.
Perjalanan pelayaran dimulai dari Bira (Bulukumba) dengan kapal
dalam keadaan kosong/tanpa muatan menuju ke pelabuhan Ampenan
Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pulau Sumbawa. Dari
sini pelayaran dilanjutkan ke Pulau Jawa, yakni ke Surabaya, Pasuruan,
Semarang, dan Jakarta. Rute pelayaran disesuaikan dengan
permintaan pedagang (penyewa kapal) yang mendagangkan hasil bumi
seperti tembakau dan kacang-kacangan. Dari pelabuhan-pelabuhan di
Jawa, pelayaran biasanya diarahkan ke Pontianak (Kalimantan),
kemudian dilanjutkan lagi ke Jambi, Palembang, dan Lampung
(Sumatra) membawa hasil bumi. Dari setiap pelabuhan di Sumatra dan
Kalimantan, kapal saya muati dengan minyak kelapa, kayu, dan tapioka
(tapioka dimuat di pelabuhan Lampung) diangkut ke Pulau Jawa,
terutama Jakarta sebagai sentra perdagangan. Seperti yang lainnya,
kapal saya juga kerapkali mengangkut kayu dari Kalimantan ke Bira
Bulukumba untuk dijuak kepada pengusaha industri perahu/kapal.

Berkembangnya jalur transportasi udara dan laut serta meningkatnya


jumlah kapal laut modern yang diimpor, membuat sebagian besar
pelayar yang menggunakan PLM, termasuk kapal saya, beralih rute ke
kawasan timur, yakni ke Kendari, Ambon, Timika, dan lain-lain. Dari
Makassar ke daerah tujuan tersebut kapal-kapal mengangkut semen
dan bahan bangunan lainnya. Sebaliknya, dari daerah kawasan timur
kapal mengangkut kayu, yang sebagian besar dibongkar di Bira
Bulukumba untuk dijual kepada pengusaha industr kapal/perahu.
Beberapa tahun terakhir, rute pelayaran saya perluas, yakni dari
Jeneponto menuju Kalimantan mengangkut garam; dari Jakarta menuju
Kendari mengangkut beras dan pupuk; sebaliknya dari Kendari menuju
Jakarta mengangkut rotan dan kayu; dan dari Surabaya menuju kendari
mengangkut ikan teri. (Gambar rute perjalanan kapal Nakoda Andi
Murtala seperti pada peta 1a dan 1b terlampir).
Kisah pelayaran H.Andi Murtala di atas menunjukkan pengalaman dan
pengetahuannya yang sangat luas tentang ruang laut dan kota-kota pantai
dari pulau-pulau berpenduduk padat di Indonesia bagian barat dan timur.
Baginya, pengetahuan dan wawasan akan kesatuan wilayah perairan dan
kepulauan Indonesia lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata daripada
yang diperoleh melalui informasi dan perbincangan dengan orang lain.
Kasus 2, H.Mustadjab (70 tahun, Mantan Nakoda, Bugis)
Pada tahun 1956, H.Mustajab memulai karier sebagai ABK di dunia
pelayaran. Pada mulanya dia menjadi tukang masak yang dilakoninya
selama 5 tahun. Setelah itu, statusnya meningkat menjadi ABK, dan akhirnya
menjadi Nakoda pada tahun 1974. Mengenai pengalaman melayarkan
kapalnya di bagian timur dan barat Nusantara, diceritakan sebagai berikut:
Saya memimpin pelayaran pinisi Bunga Harapan. Pelayaran dimulai
dari pelabuhan Bira Bulukumba dengan jumlah ABK sebanyak 15 orang
menuju Pulau Sumbawa. Dari tempat tersebut, kami menuju Pelabuhan
Ampena Lombok (ditempuh selama 1 sampai 2 hari). Dari sini
perjalanan dilanjutkan ke Gersik (ditempuh selama 2 hari) untuk
menangkut semen ke Surabaya (ditempuh selama 1 hari). Dari
Surabaya, pelayaran menuju Pelabuhan Wengapu Sumbawa membawa
genteng (ditempuh selama 1 minggu). Berikutnya menuju pelabuhan
Labuan Bala, terus ke Pelabuhan Badas (Sumbawa) untuk mencari
muatan. Dari Sumbawa, kapal Bunga Harapan menuju Jakarta
10

mengangkut hasil bumi berupa kacang ijo dan kacang kedelai (ditempuh
selama 7 hari). Perjalanan ini berlangsung dalam musim timur. Setelah
muatan dibongkar, pelayaran diteruskan ke Pulau Bangka Belitung
mengangkut barang campuran (ditempuh selama 4 hari). Dari tempat
ini, pelayaran diarahkan ke Pelabuhan Kalimas Surabaya untuk
mengangkut pasir pantai 40 kubik sebagai bahan dasar pembuatan
gelas (ditempuh selama 4 hari). Dari Surabaya perjalanan dilanjutkan ke
Kota Samarinda Kalimantan Timur mengangkut barang campuran
dengan berat 50-60 ton. Dari Samarinda, Bunga Harapan kembali ke
Bira Sulawesi Selatan mengangkut kayu bahan bangunan kapal/perahu.
Di Bira, kapal diistrahatkan selama dua atau tiga bulan (Januari-Maret),
kemudian dioperasikan kembali mulai dari bulan April melalui rute-rute
yang relatif sama dengan yang sebelumnya. (Rute pelayaran Nakoda
Mustajab seperti pada gambar peta 2 terlampir).
Dari perbincangan dengan Nakoda Mustadjab dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan dan wawasannya tentang ruang perairan dan pulau-pulau di
Indonesia, terutama bagian barat, adalah cukup luas. Bagi Nakoda
Mustadjab, rizki kita ada pada pedagang di setiap pulau, mereka menunggu
untuk menyewa kapal, pelautlah yang mencarinya, kemudian mereka
menentukan tempat tujuan kapal, dan seterusnya. Pelaut, menurut
Mustadjab, harus menjaga hubungan kekal dengan langganan dengan sikap
jujur, menepati janji, dan hati-hati agar supaya tidak terjadi kerugian material
dan nonmaterial di antara kedua belah pihak. Patuh pada ajaran agama
Islam, menurutnya, merupakan pedoman hidup bagi aktivitas pelayaran.
Kasus 3, Puang Ambo (56 tahun, Nakoda, Makassar)
Puang Ambo yang berkedudukan di kawasan Pelabuhan Paotere
Makassar mulai berlayar dari tahun 1964 dan masih aktif hingga saat ini.
Kota-kota yang dilalui kapalnya ialah Kolaka, Buton, Bima, Kupang, Ambon,
Sorong, Biak, Surabaya, Dempasar, Sumbawa, Lombok (kawasan timur
Indonesia), Balikpapan, Samarinda, dan Pontianak (kawasan barat
Indonesia). Pengalaman berlayar dan kota-kota yang disinggahi serta
barang-barang dagangan yang dimuat diceritakan olehnya berikut ini:
Rute pelayaran saya ialah dari Pelabuhan Paotere Makassar ke
Kolaka, Buton, Bima, dan kupang mengangkut hasil bumi untuk bahan
makanan, terutama terigu dan beras, dan bahan bangunan, terutama
semen. Di ketiga daerah tersebut kapal saya memuat berbagai jenis

11

hasil bumi untuk diangkut ke Surabaya atau kembali ke Makassar. Dari


Makassar dan Surabaya kapal mengangkut berbagai jenis hasil bumi,
barang campuran, dan semen diangkut ke Samarinda, Pontianak, dan
Banjarmasin. Barang-barang yang sama juga dibawa ke Ambon,
Sorong, dan Biak. Sebaliknya dari ketiga tempat tersebut, kapal memuat
hasil bumi terutama coklat dan cengkeh. Pedagang pemilik barangbarang tersebutlah yang menyewa kapal, saya bersama ABK
pengangkut barang dari satu kota pelabuhan ke kota-kota pelabuhan
lainnya di Indonesia ini (lihat peta rute pelayaran 2).
Berbeda dengan kedua kelompok awak kapal Nakoda Andi Murtala dan
Mualim Mustajab, pengetahuan kelautan dan kepulauan Puang Ambo lebih
banyak diarahkan pada kawasan timur daripada kawasan barat Indonesia.
Meskipun demikian, Puang Ambo mengakui dan bersyukur atas
pengalamannya menjelajahi lautan, mendatangi kota-kota pelabuhan, dan
bergaul dengan orang-orang Indonesia dari berbagai suku-bangsa selain
Bugis-Makassar.
Kasus 4, Masruddin (60 tahun, Nakoda, Bugis)
Masruddin mulai berlayar pada tahun 1962 dengan status ABK/Sawi.
Kapal yang diikuti bertipe perahu layar pinisi, yang dinakodai Andi Murtala.
Pada mulanya dia menjadi tukang masak, kemudian lama kelamaan
meningkat menjadi ABK atau Sawi biasa. Seperti halnya pelaut lainnya dari
Bira, Masruddin selama masih berstatus ABK juga telah mendatangi cukup
banyak kota pelabuhan di Indonesia, baik di kawasan barat maupun timur.
Karena prestasinya meningkat memungkinkan dia diangkat menjadi Mualim II
(Wakil Nakoda) mendampingi Nakoda Andi Murtala pada tahun 1972.
Pengelaman berlayar dan pengetahuan kelautan dan kepulauan
Masruddin meningkat pesat ketika melakukan pelayaran ke luar negri
sebanyak tiga kali, yakni duakali ke Darwin Australia dan sekali ke Tokio
Jepang membawa perahu tradisional pesanan dari Bira Bulukumba untuk
dimasukkan ke museum nasional kedua negara tersebut. Pelayaran pertama
dan kedua ke Darwin Australia masing-masing membawa perahu tipe
padewakang HATI Marege dan pinisi PINISI NUSANTARA, berikutnya ke
Tokio Jepang membawa perahu tipe padewakang DAMAR SAGARA.
Puncak karir Masruddin dicapainya ketika terangkat menjadi Kapten Kapal di
tahun 1990. Dia dipercayakan memimpin kapal Pinisi untuk pesiar milik

12

perusahaan industri pariwisata di Bali. Untuk gambaran rute perlayaran ke


Pelabuhan Darwin Australia, dikisahkan di berikut ini.
Pada tahun 1984, saya bergabung dengan awak perahu layar
Padewakkang HATI MAREGE mendampingi Kapten Andi Mappagau.
Perahu buatan Bira tanpa mesin ini dilayarkan ke Pelabuhan Darwin
dalam bulan Desember 1984 untuk dimasukkan ke dalam Museum
Nasional Australia di Darwin. HATI MAREGE diberangkatkan dari
Pangkalan Hasanuddin menuju Australia melalui beberapa tempat di
Indonesia bagian timur seperti Bira (ditempuh selama 3 hari dari
Makassar), Pelabuhan Maumere Flores (ditempuh selama 2 hari dari
Bira), Pulau Kisar NTT (ditempuh selama 2 hari dari Pulau Kisar), dan
terakhir pelayaran langsung ke Pelabuhan Darwin Australia (ditempuh
selama 20 hari). Rute pelayaran tersebut ditentukan atas permintaan
beberapa turis Australia yang ikut dalam rombongan karena ingin
melihat beberapa pulau yang menarik. Sesampai di tempat tujuan, kami
semua awak perahu disambut oleh pemerintah Australia, sementara
HATI MAREGE langsung dimasukkan ke dalam Museum. Kami
diinapkan di hotel selama 47 hari kemudian di pulangkan ke Indonesia
dengan pesawat terbang (Rute pelayaran kapal HATI MAREGE seperti
pada gambar peta 4a dan 4b terlampir).
Dari kisah pengembaraan pelayarannya di perairan Indonesia, diketahui
bahwa Masruddin adalah salah seorang pelaut Bugis yang kaya dengan
pengalaman dan pengetahuan wilayah perairan dan pulau-pulau di Indonesia
bagian barat dan timur. Bahkan pengetahuannya melampui Nusantara ini ke
luar negeri, yakni Australia melalui perairan bagian selatan antara Indonesia
dan Negara tersebut. Demikian halnya ke Jepang melalui pelayaran yang
sangat jauh di perairan ketiga Negara kepulauan Indonesia, Pilipinan dan
Jepang.
Sebetulnya semua pelaut Bugis-Makassar, termasuk para ABK atau
Sawi, telah memiliki wawasan yang luas tentang pulau-pulau dan kota-kota
pantai lainnya di bagian barat dan timur Indonesia. Pengetahuan dan
wawasan kelautan dan pulau-pulau tersebut juga diperoleh para pelaut
melalui perbincangan dengan pelaut lainnya, pengalaman melihat peta di
atas setiap kapal, dan informasi melalui media massa, terutama tayangan TV
dan pemberitaan radio. Bagi mereka, pengalaman dan pengetahuan serta
wawasan yang diperoleh melalui interaksi secara langsung dengan orang-

13

orang lain, yang dianggapnya sebagai kekayaan tak ternilai, tidak akan habis,
dan sangat membanggakan.
Aktivitas pelayaran pelaut-pelaut Bugis-Makassar yang berulang kali
dari satu pulau ke pulau-pulau lainnya telah terpetakan dalam ingatannya
(cognitive maps); mereka mengetahui letak-letak pulau-pulau dan jarak di
antara pulau-pulau serta waktu tempuh masing-masing. Mereka menghapal
nama-nama wilayah perairan, pulau-pulau, dan kota-kota pantai yang pernah
disinggahi atau tinggal sementara di situ. Bahkan hingga batas-batas
tertentu, mereka mengenal karakteristik pisik lingkungan alam laut dan
daratnya. Ada sebagian di antara mereka secara relatif mengetahui batasbatas antara wilayah perairan Indonesia dan perairan negara-negara lainnya
(seperti, Malaysia, Pilipina, Papua Timur, Australia, dan Timor Timur/Timor
Leste).
INTERAKSI KEMARITIMAN DAN REPRODUKSI WAWASAN KEBERAGAMAN ETNIS DAN BUDAYA NUSANTARA, NKRI, DAN DUNIA
EKSTERNAL
Dari catatan sejarah pengembaraan pelayaran para pelaut BugisMakassar, baik dalam masa kedaulatan kerajaan-kerajaan maritim Nusantara
hingga masa kolonial, maupun dalam masa setelah kemerdekaan Indonesia,
ditemukenali berbagai unsur nilai budaya dan wawasan budaya kemaritiman
yang dapat diasumsikan sebagai reproduksi dari pengalaman pelayaran dan
interaksi kemaritiman pelaut-pelaut Bugis-Makassar dengan dunia luar.
Konsep dunia luar bukan hanya dengan kerajaan-kerajaan maritim
Nusantara, tetapi juga dengan kelompok-kelompok suku laut, terutama Bajo,
pedagang-pedagang Cina, India, Timur Tengah, Portugis, Spanyol, VOC
(Belanda), dan lain-lain. Pengalaman interaksi dengan dunia luar tersebut
banyak memberikan inspirasi kreatif-inovatif dan penyerapan teknologi
perkapalan, pengetahuan dan keterampilan pelayaran, kompetisi dagang,
kebijakan politik dan perang (lihat antara lain Curtin, 1984: 158-166).
Pelaut-pelaut Bugis-Makassar di masa lalu diakui pula oleh sejarahwan
Robert Dick-Read (2005: 88-105) sebagai pelaut yang memiliki keahlian
kebaharian yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang
sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku
baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang. Menurutnya, jika
seorang raja maritim di masa lalu atau penguasa Indonesia membutuhkan

14

sebuah armada, maka mereka muncul menjadi orang-orang terpercaya, tak


ada yang melebihi kehebatan mereka itu di Nusantara ini.
Pelaut-pelaut Bugis-Makassar setelah kemerdekaan dengan spirit
kebahariannya mengembara ke daerah-daerah bagian barat dan timur,
demikian halnya ke selatan dan utara, bukan hanya memperkaya
pengetahuan ruang perairan dan Kepulauan Nusantara dengan kota-kota
pantainya, tetapi juga memperluas hubungan sosial melalui transaksi bisnis
dengan para pedagang, terutama pedagang antarpulau, di setiap tempat
tujuan. Transaksi ekonomi dan perkenalan dengan siapapun di tempat tujuan
secara berangsur-angsur mereproduksi wawasan keragaman etnis dan
budaya (ethnic group and cultural diversity), dan ke-Indonesia-an (kesatuan
tanah air, bahasa, dan bangsa Indonesia ini).
Wawasan keberagaman etnis, sebagaimana diceritakan oleh beberapa
pelaut Bugis-Makassar, secara berangsur-angsur tumbuh ketika mereka
melakukan transaksi dengan para pedagang dan pihak berkepentingan
seperti pengelola warung makan, penginapan, aparat pemerintah, dan lainlain di setiap tempat tujuan. Dalam situasi-situasi seperti itu mereka
mengalami dan mengetahui akan adanya perbedaan warna kulit, bahasa
yang diucapkan, bentuk bangunan, termasuk bentuk dan arsitektur perahu,
kesenian, hingga sikap dan perilaku bergaul. Pengalaman seperti ini
menumbuhkan wawasan dan kesadaran akan keberagaman dan
keberbedaan ras dan budaya, namun tetap satu dalam kesatuan Negara
Republik Indonesia.
Melampaui wawasan jagat perairan dan kepulauan serta pemukiman
kota-kota pelabuhan, dalam aktivitas pelayaran dan dagang, para pelaut
Bugis-Makassar diperhadapkan dengan aneka warna simbol budaya
kesukubangsaan (ethnicity) dan kebangsaan (nationality) yang harus
diadaptasi dalam rangka kelancaran transaksi dagang dan pergaulan dengan
orang-orang warga negara Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa.
Simbol-simbol tersebut mulai dari bahasa daerah, seni, kepercayaan, bentuk
rumah, perahu, jenis makanan, pakaian yang berbeda-beda hingga simbolsimbol kebangsaan yang seragam seperti bahasa Indonesia, bendera merah
putih, birokrasi dan prosedur pelayanan administratif, kepemilikan Kartu
Tanda Penduduk (KTP), dan berbagai kebijakan pemerintah.
Dalam rangka transaksi dagang dan pergaulan dengan orang-orang dari
berbagai suku bangsa lain yang dijumpainya, pelaut-pelaut Bugis-Makassar
sejak awal berusaha keras menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.

15

Kemampuan para pelaut menggunakan bahasa Indonesia dengan baik


terbukti ketika saya wawancarai beberapa di antara mereka. Dalam
percakapan ternyata mereka lebih mampu berbahasa Indonesia daripada
orang-orang dari komunitas-komunitas petani, peternak, para pedagang, dan
para perantau Bugis-Makassar lainnya yang hidup di darat. Diakuinya bahwa
kelancaran transaksi dagang yang mereka kelola banyak ditentukan oleh
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan mitra dagang
dan konsumen, buruh-buruh pelabuhan, aparat pemerintah, dan sebagainya.
Diasumsikan bahwa segenap pengalaman pelayaran, pengalaman
berinteraksi dan saling kenal dengan orang-orang Indonesia yang berbeda
suku bangsa, terlibat dalam dan mematuhi segala peraturan dengan
memahami keberagaman atau keseragaman simbol-simbol budaya itulah
yang menumbuhkan wawasan kebinekaan, kesatuan tanah air, kesatuan
bahasa, dan kesatuan bangsa Indonesia.
Bagi pelaut Bugis-Makassar lintas negara, antara lain seperti H.
Masruddin dan nelayan penyelam teripang dan kerang dari Sulawesi Selatan
yang sampai di perairan pantai utara Australia, pengalaman pengembaraan
yang panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang
samudra dan dunia internasional serta sikap keterbukaan. Mengenai hal ini,
contoh paling tepat ialah kelompok-kelompok nelayan Eropah yang
tergabung dalam Perhimpunan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) beroperasi
secara bersama-sama di Laut Utara dan Laut Atlantik. Mereka memiliki
wawasan kesatuan wilayah laut bebas tersebut; saling kenal dan pengakuan
akan kesamaan hak pemanfaatan atas wilayah perairan Laut Utara; dan
tanggung jawab bersama dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan dan lestari tanpa terjadinya konflik di antara mereka (Lampe,
1986).
PENUTUP
Dari gambaran akan aktivitas pelayaran pelaut-pelaut Bugis-Makassar
yang diperoleh dengan pelacakan sejarah ke belakang (backward in time)
dan hubungan ke luar (outward in space), dapat ditemukan perangkatperangkat wawasan geo-sosio-budaya kemaritiman, keberagaman etnis dan
budaya, dan kesatuan bangsa Indonesia. Dengan aplikasi dan
pengembangan perspektif maritimeness cultural/ethos disposition) dari Prins
dan konsep reproduksi budaya maritim, maka diasumsikan bahwa perangkatperangkat wawasan geo-sosio-budaya maritim merupakan reproduksi dari

16

pengalaman kepelayaran dan proses interaksi kemaritiman yang berlangsung


lama. Dalam konteks .pembangunan peradaban kemaritiman Indonesia,
kajian tentang wawasan geo-sosio-budaya maritim menjadi sangat berarti
bagi pembinaan masyarakat bahari sebagai perekat bangsa yang plural dan
multikultural yang rentan terhadap ancaman konflik dan desintegrasi pada
satu sisi, dan menumbuhkan wawasan keterbukaan, responsif, dan
kerjasama dunia internasional (khususnya Asean) pada sisi lainnya.
REFERENSI
BPPT TeknologiWANHANKAMNAS. 1996). Benua Maritim Indonesia.
Jakarta: Direktorat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam.
Curtin, Philip D. 1984. Cross-Cultural Trade in World History. London, New
York: Cambridge University Press.
Dick-Read, Robert. 2005. British: Turlton Publishing
Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and States Development in Early
Southeast Asia. Honolulu University of Hawaii Press.
Horridge, Adriand. 1981. The prahu; Traditional sailing boat of Indonesia.
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Horridge, Adrian. 1986. Sailing Craft of Indonesia. Oxford University Press,
Oxford, New York.
Lampe, Munsi. 1986. Relatie tusschen visscherij economie, verwanschap,
en religie (Lampe, 1986). Penelitian lapangan dilakukan dalam rangka
program studi Magister Antropologi Budaya pada Universitas Leiden
Nederland.
Lampe, Munsi. 1995. Antropologi Maritim, Antropologi Marin, dan Antropologi
Perikanan: Sebuah Perkenalan Kajian. Beberapa Essai Antropologi, No.
08, tahun 1995 (Munsi Lampe dan Hamka Naping (eds.), Diterbitkan
oleh Ikatan Kekerabatan Antropologi, FISIPOL, Universitas Hasanuddin,
Ujung Pandang.
Lampe, Munsi dkk. 2010. Menggali Kelembagaan Lokal dan Wawasan
Budaya Bahari yang Menunjang Bagi Penguatan Integrasi Bangsa dan
Harmoni Sosial di Indonesia. Laporan penelitian Hibah Stranas
Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar.
Lette, J.R. 1985. Dapat ? Incorporatie en Schaarste in Gayang-Malaysia.
Disertasi. Landbouwuniversiteit te Wegeningen-Nederland.
Nishimura, A. 1973. A Preliminary Report on Current Trends n Marine
Anthropology. Occasional Papers of The Centre Of Marine Ethnology.
No. 01. Japan.

17

Noorduyn, J. De handelsrelasie van het Makassarsche Rijk volgens een


Notitie van Cornelis Speelman uit 1670, dalam: Nederlandsche
Historische Bronnen (No. 3, 1983). hal. 103-118.
Paeni, Mukhlis. 1985. Memahami Kebudayaan Maritim di Sulawesi Selatan.
Makalah disajikan dalam Seminar Kebudayaan Maritim, Fakultas Sastra
Unhas.
Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX. Studi tentang
Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Prins, A.H.K. 1984. Watching the Sea Side: Essays on Maritime
Anthropology. Festschrift on the Occasion of His retirement from the
Chair of Anthropology University of Groningen, Nederland (Durk Hak
dan Ybeltje Krues eds).
Sutherland, H.A. Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society
in Eighteenth-Century Makassar, dalam: Frank Broeze, ed. Brides of the
Sea: Port Cities of Asia from the 16 th-20th Centuris (Kensinton: New
South Wales University Press, 1989).

18

LAMPIRAN: PETA RUTE PELAYARAN INFORMAN

Peta Rute Pelayaran 1a


Peta Rute Pelayaran 2

4
5
6
8
7

BIRA

3
2

19

Peta Rute Pelayaran 1b

BIRA

20

Peta Rute Pelayaran 2

10

11
12

7
9

BIRA

5
6
2

21

Peta Rute Pelayaran 3

6
5

2
31
BIRA

22

Peta Rute Pelayaran 4a

Darwin

23

Peta Rute Pelayaran 4b

Okinawaa

24

Вам также может понравиться