Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
REFERAT
DENGUE
Gustavita Maria Bandong, Hartyn Ariskah Hadry
I. Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis
hemoragik ditambah tanda-tanda perembesan plasma berupa hemokonsentrasi atau
penumpukan cairan di rongga tubuh.1
Demam berdarah dengue hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Target Pemerintah untuk menekan
kasus DBD menjadi 20 per 100.000 penduduk di daerah endemis bahkan belum
pernah tercapai. Jumlah kejadian DHF di Indonesia sepanjang bulan Januari
November 2007 mencapai 127.687 kasus, dengan jumlah kasus meninggal 1296
kasus. Keadaan
ini
masih
menunjukkan
peningkatan
dari
tahuntahun
sebelumnya.2
Sepanjang tahun 2008 di Indonesia dilaporkan sebanyak 136.339 kasus
dengan jumlah kematian 1.170 orang (CFR = 0,86%, dan IR = 60,06 per 100.000
penduduk). Angka insidens/incidence rate (IR) tertinggi terdapat di Provinsi DKI
Ja- karta (317,09 per 100.000 penduduk) dan terendah di Provinsi Maluku,
sedangkan angka kematian/case fatality rate (CFR) tertinggi terdapat di Provinsi
Jambi (3,67%).1,3
2
salah
satu
penanganan
trombositopenia. Akan tetapi, hingga saat ini masih belum ada kesepakatan batas
nilai minimum trombosit untuk melakukan transfusi trombosit profilaksis. Di
samping itu, risiko alloimunisasi, reaksi alergi, transmisi infeksi (bakteri, virus,
dan parasit), hingga transfusion related acute lung injury (TRALI) pada transfusi
trombosit dapat merugikan pasien.1
Pada dasarnya tata laksana DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Manifestasi perdarahan adalah salah satu komplikasi yang ditakuti dan
berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada DBD. Sejak diperkenalkannya
transfusi trombosit dalam tata laksana DBD, indikasi pasti dan pada situasi apa
transfusi trombosit ini diberikan masih bervariasi. Belum ada panduan yang jelas
tentang pemberian transfusi trombosit. Keputusan pemberian transfusi trombosit
selama ini masih tergantung dari pengalaman para klinisi dan ketersediaan
komponen trombosit. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap terjadinya syok dan
perdarahan pada pasien DBD, menyebabkan praktek pemberian transfusi
komponen darah sering dilakukan secara berlebihan. Banyak dokter memberikan
transfusi demi menghindari kepanikan bukan berdasarkan standar pelayanan
medis. Kumar dkk melaporkan bahwa 35% pasien dengue mendapatkan
profilaksis transfusi trombosit yang tidak perlu dan 89% dari pasien tersebut
mendapat dosis transfusi yang tidak tepat.2,4
II. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis.
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968
hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia
sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.5
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas
dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan
di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24
orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. 5
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang
terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam
kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den2, Den-3, Den-4. 5
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41
tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,
menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi
Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain
itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus
menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD
tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan
distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. 5
III. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
theory)
atau
teori
antibody
dependent enhancement
(ADE).
dalam makrofag. Sedangkan teori ADE menyatakan bahwa adanya antibodi yang
timbul justru bersifat mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.6
6
Siklus intraseluler virus dengue hampir serupa dengan siklus virus lain yang
juga tergolong dalam genus flavivirus. Infeksi virus Dengue dimulai saat vektor
mengambil darah host dan memasukkan virus ke dalamnya. Virus Dengue
berikatan dan masuk ke dalam sel host melalui proses endositosis yang
dimediasi oleh reseptor a nitas rendah seperti DC-Sign (dendritic cells).
Selama terjadi internalisasi dan asidifikasi endosom, virus berfusi dengan
membran vesikuler mengakibatkan masuknya nukleokapsid menuju sitoplasma
dengan genome tanpa amplop (uncoating genome). 6
Selanjutnya proses translasi terjadi di membran retikulum endoplasma, suatu
protein
beberapa rantai RNA virus (vRNA). Sehingga terbentuklah protein virus dalam
jumlah yang banyak. Bersama dengan struktur protein lainnya seperti inti ( core),
premembran (prM), dan amplop (E), vRNA akan menjadi cikal bakal virus dengue
yang baru. Pematangan virus terjadi di kompartemen golgi dan akhirnya akan
disekresikan keluar sel menuju sirkulasi. 6
Sistim vaskuler
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume
plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung
penemuan
post
mortem
meliputi
efusi
pleura,
hemokonsentrasi
dan
hipoproteinemi.7
Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa
perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat.
Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi
dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada
DBD dan DSS melibatkan 3 faktor: perubahan vaskuler, trombositopeni dan
kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan
fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita
menunjukkan koagulogram yang abnormal. 7
Sistim respon imun
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral
maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue
primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
telah ada meningkat (booster effect). 7
akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktifitas
netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan
penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur
hidup terhadap serotip virus yang sama tersebut, tetapi apabila terjadi antibodi
yang non netralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan
penderita menjadi parah; hal ini terjadi apabila epitop virus yang masuk tidak
sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes. 7
Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang
berbeda terjadilah proses berikut : Virus dengue tersebut berperan sebagai super
antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan
Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang
bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2)
dengan perantaraan TCR ( T Cell Receptor ) sebagai usaha tubuh untuk bereaksi
terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1
yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu INF gama, Il-2 dan CSF (Colony
Stimulating Factor).(8,9) Dimana IFN gama akan merangsang makrofag untuk
mengeluarkan IL-1 dan TNF alpha. IL-1 sebagai mayor imunomodulator yang
juga mempunyai efek pada endothelial sel termasuk didalamnya pembentukan
prostaglandin dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM
-1). 7
10
adhesi
Neutrophil
yang
beradhesi
dengan
endothel
akan
(WHO)
tahun
2009,
merupakan
penyempurnaan
panduan
sebelumnya, yaitu panduan WHO tahun 1997. Redefinisi kasus terutama untuk
kasus infeksi dengue berat. Panduan WHO 1997 mengambil rujukan kasus infeksi
dengue di Thailand yang tidak dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain.
Sering ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke empat kriteria WHO 1997,
namun terjadi syok.1,8
Infeksi virus dengue memiliki spektrum klinis yang bervariasi mulai dari yang
asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang
lebih berat yaitu demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue. Patofisiologi
yang mendasari perbedaan demam dengue dan demam berdarah dengue adalah
adanya kebocoran plasma pada demam berdarah dengue yang sering berakibat pada
gangguan hemodinamik dan terjadi syok hipovolemik. Abnormalitas hematologi
sering muncul pada demam berdarah dengue termasuk leukopenia, trombositopenia,
gangguan koagulasi juga penekanan sumsum tulang. Infeksi virus dengue dapat
13
memanjang,
penurunan
muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie,
perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal.3,9
Fase kritis
Terjadi pada hari 3 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni
progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.3,9
Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita
membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. 3,9
15
progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok
(takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill
time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang
menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
2. Adanya perdarahan yang signifikan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang
hebat atau bertambah, ikterik)
5. Gangguan organ berat (gagal
hati
akut,
gagal
ginjal
akut,
takipnea/pernafasan
Kusmaul/efusi
pleura,
apakah
ada
adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil
yang rendah. 3
Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu
isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus. Imunoglobulin
M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam,
meningkat sampai minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat
terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig
M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,
Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke-14 dengan titer yang rendah
(<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi pada hari
ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan seumur hidup. 3
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue
(Ag NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan
pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam
darah pada hari pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah,
praktis dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l
yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue
sudah dapat ditegakkan lebih dini. 3
Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel darah penderita infeksi dengue di
Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai hari ke-0 (onset demam)
hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan
sensitivitas deteksi Ag NS-l sebesar 88,7% dan 91 % sedangkan spesifisitas
mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR
17
18
(lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD
dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi
dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 6).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat (gambar 7).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 8).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 9).
19
20
21
pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih
mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.8
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid
adalah
edema,
asidosis
laktat,
instabilitas
hemodinamik
dan
22
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan
yang mungkin didapatkan hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan
diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan
setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga
kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di
mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik
belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.8
VIII. Patofisiologi Perdarahan dan Trombositopenia pada Demam Berdarah Dengue
Penyebab perdarahan pada pasien DBD adalah vaskulopati, trombositopenia,
dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskuler diseminata
(KID/DIC) (Gambar 1). Kompleks virus-antibodi mengakibatkan trombositopenia
dan gangguan fungsi trombosit. Selain itu, kompleks virus-antibodi ini
mengaktifkan faktor Hageman (faktor XIIa), sehingga terjadi gangguan sistem
koagulasi dan fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan
sistem kinin dan komplemen yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma, serta meningkatkan risiko KID yang juga
mem- perberat perdarahan yang terjadi.1
Na Nakorn, dkk. melakukan penelitian terhadap sumsum tulang pasien DBD
23
terjadi akibat faktor genetik, sehingga produksinya tidak memadai, atau akibat
pembentukan antibodi penetralisir anti-ADAMTS13. Suplementasi ADAMTS13
dapat dilakukan dengan cara transfusi fresh frozen plasma (FFP) atau
cryosupernatant.1
Beberapa penelitian menemukan tidak terdapat hubungan signifikan antara
tingkat keparahan penyakit dengan jumlah trombosit. Meskipun trombositopenia
dan hipofibrinogenemia merupakan kelainan hemostatik paling me- nonjol yang
bertanggung jawab pada kejadian perdarahan pada infeksi DENV, trombositopenia
dan koagulopati bukan merupakan prediktor terjadinya perdarahan pada infeksi
DENV. Lye, dkk. mendapatkan insidens perdarahan terjadi pada 6% pasien dengan
trombosit >150.000/ mm3, 12% pada trombosit 100-149.000/ mm3, 11% pada
trombosit 80-99.000/ mm3, 10% pada trombosit 50-79.000/mm3, 11% pada
trombosit 20-49.000/mm3, 13% pada trombosit 10-19.000/mm3, dan 0% pada
trombosit <10.000/mm3 (p=0,22). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
kejadian perdarahan saat masuk rumah sakit tidak tergantung nilai trombosit.
Selain itu, pada pasien sindrom syok dengue anak, Lum, dkk. mendapatkan bahwa
trombositopenia tidak dapat memprediksi kejadian perdarahan hebat pada analisis
univariat, yang menjadi prediktor hanyalah syok dan hematokrit rendah. Penelitian
prospektif lain juga mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara skor
perdarahan dengan nilai trombosit.1
25
26
seluruh dunia yang sering merawat pasien dengue melaporkan bahwa 112 (37,9%)
klinisi melakukan transfusi trombosit profilaksis dengan berbagai derajat
trombositopenia. Sellahewa berpendapat bahwa transfusi profilaksis pada pasien
dengue tidak mempunyai landasan dan merupakan intervensi irasional dan tidak
tepat. Makroo, dkk. mencatat bahwa kebanyakan pemberian transfusi trombosit
tidak berdasarkan alasan medis, tetapi lebih pada respons terhadap tekanan sosial
oleh pasien dan keluarganya. Demikian pula Kumar, dkk. juga mengamati bahwa
kebutuhan transfusi trombosit kebanyakan akibat reaksi panik klinisi pada epidemi
demam dengue.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama Divisi
Penyakit Tropis dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medis Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah membuat pro- tokol penatalaksanaan yang
tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi, praktis dalam
pelaksanaannya, dan mempertimbangkan cost effectiveness. Berdasarkan protokol
tersebut, pemberian transfusi trombosit hanya diindikasikan pada perdarahan
spontan dan massif, yaitu epistaksis tidak terkendali walaupun dengan pemasangan
tampon hidung, hematemesis melena atau hematokesia, hematuria, per- darahan
otak dan perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan 4-5 mL/kgBB/ jam
dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1
Panduan transfusi trombosit oleh British Committee for Standardization in
Hematology merekomendasikan pemberian transfusi trombosit profilaksis pada
27
pasien trombositopenia stabil tanpa faktor risiko perdarahan dengan nilai trombosit
<10.000/ mm3. Directorate of National Vector Borne Diseases Control Program,
India, mengeluarkan panduan serupa, menekankan bahwa transfusi trombosit
profilaksis tidak dibutuhkan pada pasien stabil meskipun trombosit <20.000/mm3.
Panduan praktik klinik Singapura juga merekomendasikan pemberian transfusi
trombosit profilaksis hanya dilakukan pada trombosit <10.000/ mm 3 pada pasien
dengan kegagalan fungsi sumsum tulang tanpa adanya faktor risiko perdarahan
tambahan, dan <20.000/mm3 pada pasien dengan faktor risiko perdarahan
tambahan atau terjadi penurunan trombosit yang cepat.1
Eapen, dkk. memberikan tiga langkah untuk menangani pasien dengue berat:
1. Hindari transfusi trombosit pada pasien infeksi dengue, karena lebih banyak
trombosit akan menyebabkan pemben- tukan sumbat trombosit oleh vWF,
sehingga memperberat kegagalan organ. 2. Jika transfusi trombosit sangat diperlukan pada pasien dengan perdarahan serius, sebaiknya dilakukan transfusi
FFP/ cryosupernatant untuk menangani defisiensi ADAMTS13 sebelum transfusi
trombosit. 3. Plasma exchange untuk mengeluarkan kelebihan vWF juga perlu
dipertimbangkan pada pasien dengue berat.
The Trial of Platelet Prophylaxis Study of United Kingdom mengevaluasi
keamanan strategi terapi transfusi trombosit saja dengan tanpa transfusi trombosit
pada trombositopenia. Pada pasien sindrom syok dengue yang mendapat transfusi
trombosit profilaksis didapatkan peningkatan trombosit hanya sementara dan akan
28
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Mulyo, Sostro. Transfusi trombosit profilaksis pada demam berdarah dengue:
bermanfaat atau merugikan?. SMF Penyakit Dalam, RSUD Siwa, Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan. CDK-235/ vol. 42 no. 12, th. 2015
2. Sumantri T, Suryanto. Difference Number of Thrombocytes in DHF Patients
After Giving the PRP (Platelet Rich Plasma) Transfusion with TC
(Thrombocyte Concentrate). Mutiara Medika. Vol. 11 No. 3: 181-188,
September 2011
3. Sudjana, Primal. 2010. Diagnosis dini penderita DBD dewasa. Buletin
Jendela Epidemiologi, vol.2. Agustus 2010.
4. Wibowo K, Juffrie M, Laksanawati IS, Mulatsih S. Pengaruh transfusi
trombosit terhadap terjadinya perdarahan masif pada demam berdarah dengue.
Sari Pediatri, Vol. 12, No. 6, April 2011. Yogyakarta.
5. Pangribowo S, Tryadi A. 2010. Demam berdarah dengue di Indonesia tahun
1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, vol.2. Agustus 2010.
31
32