Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
isi ............................................................................................................................
..................
BAB 1.
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN.........................................................................................
......................
B. LATAR BELAKANG
MASALAH...........................................................................................
C. PEMBAHASAN...........................................................................................
......................
D. KESIMPULAN.............................................................................................
......................
E. PENUTUP...................................................................................................
......................
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Faktor dasar atau faktor sosio-struktural, yamg secara umum mencakup
aspek budaya serta aspek pola hubungan penting didalam masyarakat.
2.
Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik dan
prosesual didalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir, bersikap dan
bertindak individu dalam hubungan dengan kejahatan.
3.
Faktor pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek individu
serta situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan.
4.
Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencangkup keseluruhan
respons dalam bentuk sikap, tindakan dan kebijaksanaan yang dilakukan secara
melembaga oleh unsur -unsur sistem peradilan pidana khususnya dan variasi
respons, yang secara informal diperlihatkan oleh warga masyarakat.
Berbagai kejahatan yang ada di masyarakat memang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana khusus dan kejahatan umum.Walaupun dalam prakteknya,
tidak jarang pula terjadi tumpang tindih pada ketentuan-ketentuan yang
mengaturnya.
Seperti dapat kita lihat pada kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi, dan
kejahatan subversi.Di mana ketiganya sebenarnya juga mengacaukan
perekonomian Negara. Dalam kejahatan korupsi memang ditegaskan unsur
mengacaukan perekonomian dan keuangan Negara, demikian pula pada tindak
pidana ekonomi. Sementara itu, pada tindak pidana subversi terdapat unsure
perbuatan yang menghambat industri dan distribusi yang dilakukan oleh
Negara.
Selanjutnya pada tindak pidana umum, juga kita dapatkan beraneka ragam atau
macamnya, di mana salah satunya adalah tindak pidana pemerkosaan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI v 1,3 ) Perkosa berarti menundukkan
dengan kekerasan; memaksa dengan kekerasan; menggagahi, sedang
pemerkosaan adalah proses, perbuatan, cara memerkosa.
Tindak pidana pemerkosaan yang ada dalam KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana) diatur dalam Pasal 285 yang berbunyi Barang siapa dengan
kekersan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
Didalam penulisan ini, fokus masalah akan diarahkan kepada pemerkosaan yang
diatur dalam Pasal 285 KUHP.
Di kabupaten pohuwato pada tahun 2012 ini sudah ada 4 (empat) kasus
pemerkosaan yang masuk di Polres Pohuwato. Dan dari ketiga kasus tersebut
satu diantaranya sudah sampai pada proses peradilan (Sumber: Satuan Resosrt
Kriminal polres Pohuwato).
Di samping pelaku (ke jahatan pemerkosaan) pokok masalah utama yang akan
dibicarakan adalah peranan korbannya. Menurut Arief Gosita, dalam menghadapi
Berbicara mengenai korban kejahatan pada awalnya tentu korban orang per
seorangan atau individu.Pandangan begini tidak salah, karena untuk kejahatan
yang lazim terjadi dimasyarakat memang demikian.Misalnya pembunuhan,
penganiyayaan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.
Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan,
tetapi meluas dan kompleks.Persepsinya tidah hanya banyaknya jumlah korban
(orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan Negara. Hal ini
juga dinyatakan (Arif Gosita, 1989: 75-76) bahwa korban dapat berarti individu
atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.
Lebih luas dijabarkan (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai korban
perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan Negara
sebagai berikut:
1.
Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat
penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun nonmaterial.
2.
Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian
dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan
akibat dari keijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3.
Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang
didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan
masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan
kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah
mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun
masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4.
Korban masyarakat, bangsa, dan Negara adalah masyarakat yang
diberlakukan secara diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil
pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya
tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang disebut itu, kiranya untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan
Negara dikaitkan maraknya kejahatan baik kualits maupun kuantitas dapat
ditambahkan, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam perkara korupsi dapat menjadi korban tindak pidana korupsi berupa
kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara, kualitas kehidupan,
ruaknya insfrasturktur dan sebagainya.
2. Dalam tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat,
keresahan masyarakat, kerusakan infrastuktur, terusiknya ketenangan, kerugian
materiil, dan imateriil lainnya.
3. Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi
muda, menurunya kualitas hidup masyarakat, dan sebagainya.
b.
c.
terorisme, pencurian (bisa pemberatan dan kekerasan), dan tindak pidana lain
yang sering terjadi dimasyarakat. Koban disini dalam posisi pasif, tidak menjadi
faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana.Pihak pelaku yang mengendaki
penuh kejahatannya dan korban korban yang menjadi sasaran atau tujuan
kejahatan tersebut. Menurut Medelsohn, derajat kesalahan korban adalah yang
sama sekali tidak bersalah.
Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)
Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu
korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya
korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka
menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti isteri / suami, anakanak dan keluarga terdekat.
Pengertian Pemerkosaan
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia : Perkosa : gagah; paksa; kekerasan;
perkasa. Memperkosa : 1) menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan: 2)
melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan kekerasan. Pemerkosaan: 1)
perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan; 2) pelanggaran dengan
kekerasan.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan pemerkosaan sebagai
berikut (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:40) :
Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang
lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau
hukum yang berlaku melanggar.
Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut pemerkosaan disatu pihak dapat
dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa
hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan di pihak lain dapat dilihat pula
sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma).
Menurut R. Sugandhi, mendefinisikan pemerkosaan adalah sebagai berikut
(Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:41) :
Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk
melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana
diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang
wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.
Adapun unsur-unsur selengkapnya tentang pemerkosaan menurut R. Sugandhi
adalah:
a) Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi
istrinya
b) Pemaksaan bersetubuh itu di ikuti dengan tindak atau ancaman kekerasan
Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang
akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu
seseorang untuk berbuat kejahatan.
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan.Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu
kejahatan kalau tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari
penjahat dalam hal terjadi nya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan
sipenjahat yang berakibat penderitaan korban.
Dalam studi tentang kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa
menimbulkan korban. Dengan demikian, korban adalah partisipan utama,
meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa korban (Crime without
victim), akan tetapi harus diartikan kejahatan yang tidak menimbulkan korban
dipihak lain, misalnya penyalahgunaan obat terlarang, perjudian, aborsi, dimana
korban menyatu sebagai pelaku.
Dikatakan tanpa korban tidak mungkin terjadi suatu kejahatan.Jadi jelas bahwa,
pihak korban sebagai partisipan utama memainkan peranan penting.Bahkan
setelah kejahatan dilaksanakan. Dalam masalah penyelesaian konflik dan
penentuan hukuman bagi pihak pelaku, dapat juga terjadi suatu kejahatan yang
dilakukan oleh pihak korban apabila dirasakan ada tindak lanjut yang tidak adil
dan merugikan korban.
Pihak korban yang mempunyai status sebagai partisipan pasif maupun aktif
dalam suatu kejahatan, memainkan berbagai macam peranan yang
mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut.Pelaksana peran-peran pihak
korban dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu langsung atau tidak
langsung. Pengaruh tersebut hasilnya tidak selalu sama pada korban.
Peranan korban kejahatan ini antara lain berhubungan dengan apa yang
dilakukan pihak korban, bilamana dilakukan sesuatu, dimana hal tersebut
dilakukan. Peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban
serta pihak-pihak lain dan lingkungannya.Antara pihak korban dan pihak pelaku
terdapat hubungan fungsional.Bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak
korban dikatakan bertanggung jawab.
Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara
langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab
atau tidak, secara aktif atau pasif, dengan motivasi positif maupun
negatif.Semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan
tersebut berlangsung.
Piihak korban sebagai partisipan utama dalam terjadinya kejahatan memainkan
berbagai macam peranan yang dibatasi situasi dan kondisi tertentu, dalam
kenyataan, tidak mudah membedakan secara tajam setiap peranan yang
dimainkan pihak korban.
Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk
melakukan suatu kejahatan terhadap pihak korban. Pihak korban sendiri dapat
tidak melakukan suatu tindakan, tidak berkemauan atau rela untuk menjadi
korban. Situasi atau kondisi yang ada pada dirinyalah yang merangsang,
mendorong pihak lain melakukan suatu kejahatan, karena kerap kali antara pihak
pelaku dan pihak korban tidak terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan
kondisi tersebut antara lain berkaitan dengan kelemahan fisik, dan mental pihak
korban.
Dalam mengkaji masalah kejahatan, maka pada hakikatnya ada beberapa
komponen yang perlu diperhatikan.Lazimnya orang Cuma memperhatikan dalam
analisis kejahatan hanya komponen penjahat, undang-undang, dan penegak
hukum serta interaksi antara ketiga komponen itu.Masalah konstelasi
masyarakat dan faktor lainnya, kalaupun dikaji, lebih banyak disoroti oleh
sosiologi dan kriminologi.Selain dari pada itu, komponen korban hampir
terlupakan dalam analisis ilmiah.Kalaupun dipersoalkan faktor korban,
analisisnya belum dikupas secara bulat dan tuntas.
Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, karena hal-hal
tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah
kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka
perhatian kita tidak akan lepas dari peranan si korban dalam timbulnya suatu
kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan.Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu
kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama
dari si penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan
kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan sikorban.
Walaupun korban berperan dalam terjadinya kejahatan, tetapi korban juga tetap
memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dalam implementasinya.Dengan melihat
beberapa hak-hak korban diharapkan masyarakat memahami, bahwa korban
juga mempunyai hak-hak yang harus dihormati seperti layaknya manusia yang
merupakan bagian dari anggota masyarakat. Begitu juga dengan pelaku tindak
pidana yang menjadi korban tindak main hakim sendiri adalah sama dengan
korban yang lain, mereka mempunyai hak-hak korban yang dimiliki oleh korban
kejahatan lain karena mereka juga merupakan korban kejahatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Jabrin Kadir SH, Salah seorang
penyidik yang ada di Kepolisian Resort Pohuwato yang menjabat sebagai Kepala
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak pada tanggal 04 Desember 2012, beliau
mengatakan bahwa ada banyak hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya
tindak pidana pemerkosaan, diantaranya: korban mempunyai hubungan dengan
pelaku, faktor lingkungan, pengaruh video atapun gambar-gambar porno dan
faktor korban itu sendiri.
Dikatakan korban mempunyai hubungan dengan pelaku artinya sudah ada relasi
terlebih dahulu (dalam ukuran intensitas tertentu) antara korban dengan
pelakunya.Dimana dalam beberapa kasus yang ada selalu tersangka terlebih
dahulu sudah mengenal atau mempunyai hubungan dengan korban.Misalnya,
pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, seorang wanita yang
diperkosa oleh pacarnya, dan lain-lain.
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah faktor eksternal yang berasal dari luar
diri pelaku tindak pidana, misalnya situasi dan kondisi yang sepi, sehingga
memungkinkan bagi pelaku untuk melancarkan aksinya kepada korban.
Pengaruh video ataupun gambar-gambar porno ini merupakan faktor internal
yang berasal dari diri pelaku tindak pidana. Kebiasaan pelaku yang sering
menonton video ataupun melihat gambar-gambar porno dapat menimbulkan
dampak negative pada diri pelaku, sehingga ia mempunyai keinginan untuk
menyalurkan nafsu birahinya dengan cara melakukan tindak pidana
pemerkosaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan faktor korban disini adalah kebiasaan atau
tingkah laku korban yang cenderung menjadi penyebab dilakukannya tindak
pidana pemerkosaan oleh pelaku. Kebiasaan atau tingkah laku korban ini antara
lain: cara berpakaian korban yang selalu menggunakan pakaian yang
fulgar/minim, tingkah laku korban yang merangsang pelaku melakukan tindak
pidana pemerkosaan, tutur bicara korban yang merangsang pelaku sehingga
melakukan tindak pidana pemerkosaan, ataupun kebiasaan-kebiasaan korban
yang suka berjalan ditempat-tempat sepi tanpa didampingi suami, orang tua
atau unsure keluarga dekatnya.
Pendapat itu dipertegas oleh Eko Prasetyo Dan Suparman Marzuki yang dikutip
oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul
Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi
Perempuan yang menyatakan bahwa Dalam setiap kasus perkosaan paling tidak
melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban dan situasi serta kondisi. Ketiga hal
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing mempunyai andil
sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya suatu tindak pidana perkosaan.
Pendapat itu menunjukan bahwa pemerkosaan dapat terjadi bukan semata-mata
disebabkan oleh dorongan seksual yang tidak bisa dikendalikan dan
membutuhkan pelampiasan, namun juga di dukung oleh peran pelaku, posisi
korban dan pengaruh lingkungan.
Pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang gagal mengendalikan emosi dan
naluri seksualnya secara wajar, sementara korban juga memerankan dirinya
sebagai faktor kriminogen, artinya sebagai pendorong langsung maupun tidak
langsung terhadap terjadinya tindak pidana pemerkosaan.Posisi pelaku dengan
korban ini pun di dukung oleh peran lingkungan (seperti jauh dari keramaian,
sepi dan ruang tertutup) yang memungkinkan pelaku dapat leluasa menjalankan
aksi-aksi jahatnya.
Hal senada disampaikan oleh Brigadir Markus Pusut (Wawancara Tanggal 19
Desember 2012) salah satu penyidik di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
Resort Kriminal Polres Pohuwato, beliau mengatakan bahwa dalam setiap tindak
pidana pemerkosaan yang terjadi, secara tidak langsung korban pasti
mempunyai peranan sebagai penyebab terjadinya tindak pidana tersebut
meskipun hanya kecil, dan hal ini sangat jarang dibicarakan karena mengingat
korban adalah pihak yang dirugikan.
Dari keterangan beliau diatas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa dala setiap
tindak pidana pemerkosaan terjadi, secara tidak langsung korban mempunyai
peran yang tak bisa dipisahkan dan menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya tindak pidana pemerkosaan.
Peranan tersebut dapat berupa: kebiasaan seorang wanita berjalan sendiri
ditempat-tempat sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang
seseorang untuk melakukan kejahatan pemerkosaan ataupun sikap dan tutur
kata korban yang merangsang pelaku melakukan tindak idana tersebut.
Hal ini sejalan dengan pendapat Made Darma Weda yang dikutip oleh Abdul
Wahid dan Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, yang
menyatakan bahwa Studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan
korban yang disebut victim precipitation. Dalam hal ini prilaku sikorban,
disadari atau tidak , merangsang timbulnya perkosaan. Sebagai contoh, seorang
wanita berjalan sendiri di tempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat
merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan perkosaan.
Pendapat itu menunjukan mengenai posisi korban yang secara tidak langsung
turut ambil bagian terhadap terjadinya pemerkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku,
cara menempatkan diri, cara bergaul, dan hadir pada suasana yang menurut
pandangan umum tidak lazim, yang dapatt mendorong emosi dan nafsu laki-laki
untuk berbuat tidak senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan
dirinya sebagai pelaku secara tidak langsung, karena apa yang diperbuatnya
telah mendorong terjadinya kriminalitas.
Pendapat itu dipertegas oleh Anton Tabah (Dalam Abdul Wahid dan Muhammad
Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual Advokasi Atas Hak Asasi
Perempuan, Hlm:71), beliau mengatakan meningkatnya kasus perkosaan terkait
erat dengan aspek sosial-budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang
semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang dan
kadang-kadang dengan berbagai perhiasan mahal, kebiasaan bepergian jauh
sendirian, adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi
kasus perkosaan.
Begitu pula dengan beberapa tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai
secara terpisah (Bapak Suharto (Taluditi) Pada tanggal 28 Desember 2012, Bapak
Bambang Hari Utomo (Randangan) Pada tanggal 5 Januari 2013, Bapak Kahar
Sabu (Buntulia Jaya) pada tanggal 7 Januari 2013, Ibu Sartin Pakaya (Buntulia
Selatan) Pada tanggal 10 Januari 2013 dan Bapak Riadi S.Pdi (Makarti Jaya) pada
tanggal 19 Januari 2013), mereka mengatakan yang pada intinya bahwa selain
kebiasaan pelaku yang suka menonton atau melihat gambar-gambar porno,
kebiasaan korban yang sering berpakaian fulgar dan berjalan ditempat-tempat
sepi sendirian juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tindak pidana
pemerkosaan dimasyarakat.
Upaya Kepolisian Resort Pohuwato Untuk Mencegah Peningkatan
Tindak Pidana Pemerkosaan Di Kabupaten Pohuwato
Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang
pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini
juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan
kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk
memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai
seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya
penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.
a.
Upaya preventif
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dari pembahasan pada bab sebelumnya, penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam terjadinya tindak pidana pemerkosaan dikabupaten pohuwato
ternyata korban mempunyai peranan dalam menyebabkan tindak pidana
tersebut terjadi. Peranan ini berupa tindakan-tindakan korban yang dapat
menyebabkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan, seperti kebiasaan korban
yang sering berpakaian minim/vulgar, kebiasan-kebiasaan korban yang suka
berjalan ditempat-tempat sepi sendirian tanpa didampingi suami, orang tua atau
keluarga-keluarga terdekatnya dan kebiasaan-kebiasaan lain korban yang dapat
merangsang pelaku untuk melakukan tindak pidana pemerkosaan.
2.
Pihak polres pohuwato sudah melakukan upaya-upaya penanggulangan
terhadap peningkatan tindak pidana pemerkosaan berupa upaya preventif
seperti melakukan sosialisasi-sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan kepada
masyarakat, dan upaya represif berupa penanganan-penanganan tindak pidana
pemerkosaan yang masuk di Unit PPA sesuai dengan standar penanganan yang
ada ditingkat polres.
Saran
1.
Untuk masyarakat
Diharapkan kepada orang tua yang memiliki anak perempuan, agar supaya
membiasakan anaknya untuk menggunakan pakaian-pakaian yang menutup
aurat, agar bisa mencegah atau meminimalisir peningkatan tindak pidana
khususnya pemerkosaan.
2.
Untuk pemerintah
Agar kiranya pemerintah dapat dapat membuat suatu aturan untuk mencegah
peningkatan tindak pidana pemerkosaan dimasa mendatang. Seperti larangan
kepada perempuan untuk keluar lewat dari tengah malam atau kewajiban bagi
perempuan muslim untuk memakai jilbab dan menggunakan pakaian yang
menutup aurat bagi yang non muslim.