Вы находитесь на странице: 1из 3

Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah yang

Kebablasan
Citizen6, Jakarta: Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Pepatah itu yang
mungkin layak disematkan pada permasalahan yang menjadi buah dari
pemekaran wilayah yang diatur oleh UU No 23 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Di satu sisi, masyarakat yang merasa daerahnya tidak
cukup tersentuh oleh pemerintah pusat terus menuntut daerahnya untuk
dimekarkan. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri melalui moratorium
(penangguhan sementara) berusaha menekan laju pemekaran wilayah karena
peningkatan kualitas yang tidak sebanding dengan peningkatan kuantitas daerah
yang terjadi. Evaluasi Kemdagri bahkan menunjukkan hanya dua daerah baru
dari total 200 lebih daerah otonom baru yang memperoleh skor di atas 60 dari
nilai maksimal 100.

Permasalahan ini masih dibumbui juga dengan konflik horinzontal dan conflict of
interest yang menyertai pengusulan daerah otonom baru. Unjuk rasa yang
menuntut dimekarkannya suatu wilayah selalu berujung pada kericuhan. Konflik
horizontal yang terjadi kerap kali memakan korban jiwa. Pada kericuhan yang
pecah akibat bentrok antara pengunjuk rasa yang menuntut terbentuknya
kabupaten Luwu Tengah dengan polisi yang berusaha membubarkan massa pada
Selasa (12/11/2013) lalu, seorang pemuda 22 tahun menjadi tumbal dari
tingginya nafsu pemekaran daerah yang tidak terkendali, ia tewas tertembus
peluru petugas. Yang tidak kalah menghebohkan adalah kericuhan pada Februari
2009 yang menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat yang dikeroyok
oleh massa penuntut lahirnya Provinsi Tapanuli.

Sentralisasi pembangunan di pulau jawa pada masa orde baru menyebabkan


ketertinggalan daerah-daerah lain. Kondisi ini menyebabkan dilakukan upayaupaya untuk melakukan pemerataan pembangunan di era reformasi. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah atau yang lebih dikenal dengan UU Otonomi
Daerah, yang ternyata masih menyimpan kelemahan terkait aturan tata cara
pembentukan daerah baru yang tidak tegas, sehingga UU ini kemudian di revisi
melalui UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut
memuat penambahan kriteria dasar kelulusan yang tak hanya mendasarkan
pada total skor penilaian, tetapi juga hasil studi kelayakan keuangan yang
komprehensif.

Otonomi daerah sebagaimana tercantum di UU No 32 Tahun 2004 adalah hak,


wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah, diharapkan

desentralisasi yang menunjang terjadinya pemerataan dalam hal pembangunan


dan kesejahteraan dapat terwujud.

Kondisi ideal yang diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah sangat


jauh dengan realita yang terjadi saat ini. Seperti yang telah dikemukakan di awal
tulisan ini, hasil rapor daerah-daerah otonom baru masih didominasi dengan
angka merah. Contohnya saja provinsi Banten yang melepaskan diri dari Provinsi
Jawa Barat sejak tahun 2000 yang tingkat kemiskinannya justru meningkat. Pada
Maret 2012 tingkat kemiskinan Provinsi Banten 652.766 Jiwa, per Maret 2013
Tingkat kemiskinannya menjadi 656.243 Jiwa dengan jumlah penduduknya saat
ini yang mencapai 11,2 juta jiwa. Selain permasalahan kemiskinan yang tak
kunjung selesai, dugaan penyelewengan anggaran pembangunan sejak awal
pemerintahan sudah mengemuka.

Permasalahan korupsi di Provinsi Banten mulai terbuka ketika adik Gubernur


Banten Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardhana (Wawan), tertangkap KPK karena
diduga terlibat dalam skandal suap Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lebak,
Banten. Setelah Wawan ditahan awal Oktober, giliran Wali Kota Tangerang Airin
Rachmi Diany (istri Wawan) yang didatangi untuk kasus lain yang KPK telusuri.
Tidak ada perkembangan yang signifikan memang di Provinsi Banten, dua kota
yang menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu Kota
Tangerang dan Kota Cilegon merupakan kota industri yang memang sudah
berkembang bahkan sebelum lepas dari Provinsi Jawa Barat. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa otonomi daerah, khususnya untuk Provinsi Banten gagal
dalam mencapai tujuannya.
Selain permasalahan yang mencuat di Provinsi Banten, masih banyak lagi
masalah yang bermunculan sebagai dampak pemekaran wilayah. Diantara
wilayah bermasalah adalah Kalimantan Selatan yang mengalami degradasi
lingkungan akibat gencarnya eksploitasi sumber daya alam sebagai dampak
gencarnya pelaksanaan otonomi daerah di daerah tersebut.

Banyaknya wilayah yang merasa menjadi penyumbang besar pendapatan


Negara, sementara fasilitas yang diterima dirasakan tidak sebanding menjadi
pemicu banyaknya tuntutan pemekaran wilayah yang mencuat. Alasan itu
pulalah yang mendasari daerah-daerah di Kalimantan Selatan untuk
memekarkan diri. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah
kabupaten untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan tujuan meningkatkan
PAD dan prekonomian daerahnya. Yang menjadi masalah adalah banyaknya izin
pengelolaan tambang dan perkebunan yang diterbitkan pemerintah kabupaten
yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan.
Izin pertambangan paling banyak diterbitkan oleh Kabupaten pemekaran
Tanahbumbu yang jumlahnya mencapai 400 buah. Peningkatan kontribusi PAD
dari ratusan perusahaan tambang tersebut tidak sebanding dengan kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan.

Tidak semua daerah mendapatkan rapor merah memang. Sebut saja Provinsi
Kepulauan Riau yang memiliki Kota Batam yang telah menjadi kota industri yang
maju. Batam dapat memaksimalkan letak geografisnya yang strategis karena
berbatasan langsung dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Dengan beragam konflik serta masalah yang timbul pada pelaksanaan Otonomi
Daerah, sudah tepat nampaknya moratorium pemekaran wilayah yang
diberlakukan sejak tahun 2010. Tapi nampaknya DPR memiliki semangat yang
bertentangan. Dengan berlindung di balik alasan bahwa pemekaran wilayah
merupakan aspirasi demokratis daerah, parlemen malah menggunakan hak
inisiatif mereka. Terhitung 65 RUU usulan inisiatif yang akan dibahas oleh DPR.

Tidak jelas memang apa yang mendasari DPR terus mendorong terbentuknya
daerah-daerah otonom baru, banyak opini yang berkembang. Para anggota DPR
dinilai berusaha menarik simpati pemilih untuk kepentingan pemilu 2014 dengan
mengesahkan usulan daerah otonom baru. Atau kita juga bisa menduga ada
permainan para elite politik yang karirnya sudah mentok dan melihat ada
peluang peningkatan karir di daerah pemekaran.

Dengan berbagai masalah yang muncul, dan tujuan yang masih jauh untuk
dicapai tidak menjadikan Otonomi Daerah harus dihentikan sepenuhnya.
Moratorium pemekaran wilayah harus tetap dipertahankan. Pemikiran,
penelitian, dan kajian yang mendalam terhadap suatu daerah harus dilakukan
secara komprehensif sebelum mengusulkan pemekaran terhadap suatu daerah.
Jangan sampai pemekaran wilayah yang kebablasan menyebabkan negeri ini
semakin terpecah-pecah dengan dalih desentralisasi, sehingga kita mudah untuk
dijadikan boneka oleh asing. (Fikri Humam Manar Amri/bnu)

Вам также может понравиться