Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu yang mempunyai karakteristik tertentu. Salah satu
karakteristik matematika adalah memiliki objek kajian abstrak. Dalam matematika objek
dasar yang dipelajari adalah abstrak. Objek dasar itu meliputi fakta, konsep, operasi, dan
prinsip. Dari objek dasar tersebut dapat disusun suatu pola dan struktur matematika
(Soedjadi, 2000:13). Oleh karena itu, belajar matematika harus dilakukan secara
1
bertahap, berurutan dan sistematis serta didasarkan pada pengalaman belajar yang lalu.
Matematika diberikan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berdasarkan hal tersebut, matematika dianggap
sebagai ilmu yang sangat penting dan diajarkan hampir di semua jenjang pendidikan,
mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Peran penting
matematika diakui Cockcroft dalam Shadiq (2007:3) yang menulis It would be very
difficult perhaps impossible to live a normal life in very many parts of the world in the
twentieth century without making use of mathematics of some kind. Yang berarti akan
sangat sulit atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi ini pada
abad ke-20 tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika.
Seringkali guru menekankan kepada siswa akan pentingnya memahami suatu
konsep dalam pembelajaran matematika. Siswa sebenarnya belum memahami dengan
baik konsep dalam matematika atau hanya menekankan pada rumus jadi yang siap pakai.
Kemudian siswa menganggap rumus-rumus itu merupakan konsep. Anggapan sebagian
siswa bahwa rumus-rumus merupakan konsep tidaklah benar. Berdasarkan obyek kajian
matematika, rumus merupakan suatu prinsip prinsip. Kesalahan pemahaman inilah yang
menyebabkan siswa selalu bertumpu pada rumus. Hal yang biasanya ditanyakan siswa
kepada guru setiap akan mengerjakan soal adalah rumus apa yang digunakan.
Siswa menganggap dengan adanya rumus dapat memudahkan menyelesaikan soal
dan hanya cukup dengan menghafal rumusnya saja. Padahal, dengan menghafal saja
belum cukup karena harus benar-benar paham tentang konsep matematika tersebut. Siswa
yang benar-benar menguasai konsep dan paham, akan mengerti dan menemukan
pemecahan masalah dari setiap variasi permasalahan yang diberikan atau dengan kata lain
dari berbagai macam soal. Proses yang hanya sebatas hafalan akan menjadi penyebab
siswa tidak mampu menerapkan konsep matematika dengan baik. Hal ini sejalan dengan
pendapatnya Novak (2002) bahwa belajar dengan cara menghafal tidak efektif dalam
membentuk struktur kognitif, sehingga dapat memunculkan adanya miskonsepsi.
Segitiga adalah salah satu materi pokok di tingkat SMP yang merupakan materi
dasar. Materi tersebut mencakup tentang definisi segitiga, jenis-jenis segitiga, garis-garis
pada segitiga, besar sudut segitiga serta keliling dan luas segitiga. Walaupun tergolong
materi dasar akan tetapi hasil belajarnya belum memuaskan. Kesalahan dalam materi
segitiga dikemukakan oleh Ozerem (2012:6) yaitu student forgot to divide the number by
two which was on the area yang artinya ketika mencari luas murid lupa untuk
membaginya dengan dua. Kemudian disampaikan juga kemungkinan penyebab
kesalahannya yaitu just memorized the formula, cannot visualize the image, lack of
2
reasoning and few authentic in the primary grades yang artinya hanya mengingat
rumus, tidak dapat membayangkan gambar, kurang pengetahuan di kelas yang
sebelumnya. Kemudian miskonsepsi tentang sudut dikemukakan oleh yang menyatakan
bahwa it was seen that the main reason for mistakes in these question was about
visualization and analysis yang artinya dapat dilihat bahwa penyebab kesalahan adalah
tentang visualisasi dan analisis. Kemudian They cannot associate such properties with
one another yang artinya mereka tidak dapat mengasosiasikan sifat satu dengan sifat
yang lainnya. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut masih banyak ditemukan
kesalahan konsep pada siswa untuk materi geometri pada umumnya, khususnya materi
segitiga dan sudut.
Selanjutnya dapat dilihat dari data pamer UN tahun 2013/2014, di Kabupaten
Boyolali pada pelajaran matematika, nilai rata-rata untuk mata pelajaran matematika
adalah 5,28, dengan nilai terendahnya 1,00 dan nilai tertingginya adalah 10,00. Dari data
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dapat diketahui pula bahwa pada tahun 2014
hasil daya serap untuk materi pokok unsur-unsur dan sifat bangun datar dimensi dua
tingkat kabupaten lebih rendah dari daya serap untuk tingkat provinsi maupun nasional.
Hasil ujian nasional tahun ajaran 2013/2014 dengan daya serap pada materi pokok unsurunsur dan sifat bangun datar dimensi dua tingkat kabupaten adalah 59,85% dimana lebih
rendah daripada daya serap tingkat propinsi yaitu 59,93% dan tingkat nasional adalah
62,42%.
Berdasarkan analisis awal, penyebab dari rendahnya daya serap pada materi
unsur-unsur dan sifat bangun datar dimensi dua dimungkinkan adalah adanya
permasalahan dalam pemahaman konsep matematika. Langkah awal yang dilakukan
peneliti adalah melakukan kegiatan pra penelitian. Peneliti melakukan wawancara dengan
salah seorang guru SMP di Kabupaten Boyolali. Menurut guru yang diwawancarai oleh
peneliti belum maksimalnya daya serap tersebut diduga karena beberapa faktor. Salah
satu faktor yang dapat diindikasikan sebagai penyebab belum maksimalnya hasil belajar
siswa pada materi pokok unsur-unsur dan sifat bangun datar dimensi dua adalah siswa
sering kesulitan dalam memahami konsep dan menerapkannya dalam pemecahan
masalah. Permasalahan tersebut mungkin saja terjadi karena siswa lebih suka menghafal
suatu rumus, adanya prakonsepsi yang salah pada siswa, atau pembelajaran yang kurang
memberikan penanaman konsep. Pada proses pembelajaran matematika, siswa
mempelajari konsep-konsep yang saling berkaitan. Bila salah satu konsep tidak dipahami
dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh pada pemahaman konsep selanjutnya yang
berkaitan. Kadang pembelajaran di sekolah juga kurang memperhatikan prakonsepsi yang
3
dimiliki siswa. Padahal prakonsepsi yang dimiliki siswa berbeda-beda dan belum tentu
benar. Kondisi demikian sangat memungkinkan timbulnya salah konsep (miskonsepsi)
pada siswa.
Selain melakukan wawancara dengan guru, peneliti juga memberikan soal kepada
beberapa siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Boyolali tentang materi segitiga. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui dan memastikan apakah siswa sudah menerima konsep
dengan baik dan benar. Alasannya adalah ada kemungkinan siswa tidak mengalami
miskonsepsi, tetapi yang diterima siswa sebagai konsep ternyata sudah sesuai dengan apa
yang disampaikan guru. Pra penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui apakah masih
ada siswa mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran matematika khususnya pada
materi segitiga.
Perlunya konsep dalam geometri juga dikemukakan Ozerem (2012:3) yaitu
Studying geometry is an important component of learning mathematics because it allows
students to analyse and interpret the world they live in as well as equip them with tools
they can apply in other areas of mathematics. Therefore , students need to develop an
understanding of geometric concepts yang artinya mempelajari geometri merupakan
komponen penting dari pembelajaran matematika karena memungkinkan siswa untuk
menganalisis dan menafsirkan hal di sekitar mereka serta membekali mereka dengan
pengetahuan yang dapat diterapkan dalam hal lain selain matematika. Oleh karena itu,
siswa harus mengembangkan pemahaman tentang konsep-konsep geometri.
Dalam belajar matematika, siswa haruslah memiliki dasar untuk membangun
pengetahuan berikutnya, yaitu suatu konsep yang telah dimiliki sebelumnya secara tepat.
Apabila siswa tidak mampu memahami salah satu konsep dengan baik, tentu saja akan
berpengaruh pada konsep selanjutnya yang berkaitan dan menyebabkan adanya
miskonsepsi.
Usaha untuk mengidentifikasi miskonsepsi telah banyak dilakukan, namun
hingga saat ini masih terdapat kesulitan dalam membedakan antara siswa yang
mengalami miskonsepsi dengan yang tidak tahu konsep (Liliawati dan Ramalis, 2008).
Kesalahan pengidentifikasian miskonsepsi akan menyebabkan kesalahan dalam
penangulangannya, sebab penanggulangan siswa yang mengalami miskonsepsi akan
berbeda dengan siswa yang tidak tahu konsep. Sebagai salah
Karakteristik Respon
Jawaban
DC
Diagnosa
1
2
3
4
Benar
Salah
Benar
Salah
1
1
2
2
Tanpa Konsep
Tanpa Konsep
Tanpa Konsep
Tanpa Konsep
Benar
6
Salah
3
Miskonsepsi
7
Benar
4
Konsep yang Benar
8
Salah
4
Miskonsepsi
Teknik CRI ini digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Berdasarkan
Tabel 2 terlihat jelas bahwa siswa yang menjawab dengan kriteria P6 dan P8 terindikasi
awal mengalami miskonsepsi. Siswa dengan kriteria P6 dan P8 yang paling banyak
nantinya diambil sebagai subjek penelitian.Data dalam penelitian ini berupa hasil
wawancara yang berdasarkan pada hasil tes diagnostik. Hasil dari jawaban wawancara
tersebut menjadi data analisis awal dari peneliti. Data analisis awal dari jawaban tertulis
subyek ini berupa deskripsi miskonsepsi yang dialami subyek pada masing-masing soal.
Data analisis awal ini juga sebagai acuan dalam melakukan wawancara yang kedua. Hasil
dari analisis wawancara pertama dan hasil dari analisis wawancara kedua dengan subyek
kemudian ditarik kesimpulan. Teknik analisis data yang dilakukan melalui reduksi data,
analisis dan penyajian data, mengambil kesimpulan dan verifikasi. Reduksi data
6
merupakan pemilihan data-data yang mendukung fokus dalam penelitian, baik dalam
analisis jawaban tertulis subjek yang kemudian di wawancara yang pertama, maupun
dalam analisis hasil wawancara kedua dengan subjek. Proses penyajian hasil dari jawaban
tertulis subjek merupakan penyajian data dalam penelitian ini. Hasil dari analisis
wawancara I dan wawancara II subjek kemudian ditarik kesimpulan. Dari kedua hasil
analisis ini kemudian diverifikasi sehingga diperoleh kesimpulan final. Triangulasi dalam
validasi data penelitian adalah dengan waktu yang berbeda untuk memperoleh data yang
sama, yaitu pada saat wawancara I dan wawancara II. Data dari hasil analisis wawancara
I dan wawancara II dengan subjek saling menguatkan adanya miskonsepsi dalam diri
subjek.
luasan daerah. SM1 dan SM2 mendefinisikan bahwa model segitiga adalah
segitiga yang yang bentuknya dibuat berbeda menjadi lebih gaya. jadi disini
SM1 dan SM2 salah dalam memaknai kata model sehingga menyebabkan
timbulnya miskonsepsi.. SM3 mendefinisikan bahwa model segitiga adalah
semua bangun yang bentuknya segitiga atau mempunyai tiga sisi, walaupun
ada sisi yang merupakan garis lengkung. Hal ini sesuai dengan definisi
segitiga yang didefinisikan oleh SM3 sehingga SM3 dapat menyimpulan
bahwa semua bangun yang bentunya segitiga adalah model segitiga. Pada
kasus ini SM3 salah dalam memaknai model karena menganggapnya sebagai
suatu bangun yang meliputi benda maupun gambar yang mempunyai bentuk
segitiga.. SM4 mendefinisikan model segitiga adalah segitiga yang ada
areanya. Kurangnya pengetahuan tentang segitiga membuat SM4 hanya
menjawab apa yang dia tahu sehingga menimbulkan miskonsepsi.
c. Miskonsepsi mengenai definisi segitiga terkait jenisnya
Keempat subjek mengatakan bahwa satu segitiga hanya mempunyai satu nama
saja dan segitiga sama sisi bukanlah segitiga sama kaki. Padahal satu segitiga
dapat dikategorikan menurut besar sudut dan panjang sisi. satu segitiga bisa
saja disebut sebagai segitiga sama sisi maupun segitiga lancip atau bisa juga
disebut sebagai segitiga lancip sama sisi. suatu segitiga sama sisi pun juga bisa
dikatakan sebagai segitiga sama kaki karena menurut definisi segitiga sama
kaki adalah segitiga yang mempunyai dua buah sisi yang sama panjang dan
dua buah sudut yang sama besar. bila dilihat segitiga sama sisi juga dapat
digolongkan menjadi segitiga sama kaki Hal ini bisa dikarenkan kurang
pahamnya subjek terkait jenis-jenis segitiga istimewa.
e. Miskonsepsi mengenai sudut segitiga.
mengalami miskonsepsi mengenai luas segitiga terkait alas dan tinggi segitiga
adalah SM3 dan SM4. SM3 mengatakan bahwa garis tinggi adalah garis yang
dibuat dari sebelah kiri alas dan merupakan garis lurus. garis tingi menurut
SM3 ini adalah suatu sisi segitiga yang berada di sebelah kiri alas. Hal ini
tidak sesuai dengan konsep yang ada yaitu tinggi segitiga adalah garis yang
ditarik dari salah satu titik sudut dan tegak lurus dengan sisi di depannya.
Miskonsepsi ini bisa saja muncul karena seringnya soal yang ditemui adalah
tinggi segitiga berada pada kiri alasnya. Pengalaman belajar seperti ini juga
bisa menyebabkan muncunya miskonsepsi. Untuk SM4 dalam penentuan alas
dan tinggi nya sudah benar tetapi mengalami miskonsepsi karena
menyebutkan bahwa panjang dari tinggi segitiga adalah selalu setengah dari
panjang alasnya. Hal ini tidak sesuai dengan informasi-informasi yang
diketahui pada soal. seharusnya daam menentukan panjang alas dan tinggi
segitiga harus menyesuaikan pada infomasi yang diketahui pada soal bukan
langsung menyimpulkan bahwa panjang dari tinggi adalah setengah dari
panjang alasnya.
g. Miskonsepsi mengenai keliling segitiga
sebatas
pada
gambar
saja,
subjek
mendefinisikan
segitiga
adalah
menghubungan 3 titik yang tidak segaris dimana garis penghubung boleh tidak lurus; (2)
10
miskonsepsi mengenai model segitiga yang meliputi subjek mendefinisikan bahwa model
segitiga adalah segitiga yang yang bentuknya dibuat berbeda menjadi lebih gaya, subjek
mendefinisikan bahwa model segitiga adalah semua bangun yang bentuknya segitiga atau
mempunyai tiga sisi, walaupun ada sisi yang merupakan garis lengkung, subjek
mendefinisikan model segitiga adalah segitiga yang ada areanya; (3) miskonsepsi
mengenai definisi segitiga terkait jenisnya yang meliputi subjek menyebutkan bahwa
segitiga lancip membentuk garis yang kurang dari 90o, subjek mengalami miskonsepsi
pada kata membentuk garis, subjek menyebutkan beberapa sudut yang kurang dari 90 o
saat menjelakan definisi segitiga lancip, tetapi tidak dapat menarik kesimpulan bahwa
sudut-sudut tersebut kurang dari 90o; (4) miskonsepsi mengenai sifat-sifat segitiga
berdasarkan jenisnya yang meliputi subjek megatakan bahwa satu segitiga hanya
mempunyai satu nama saja dan segitiga sama sisi bukanlah segitiga sama kaki; (5)
miskonsepsi mengenai sudut segitiga yang meliputi subjek mengatakan bahwa jumah
sudut daam segitiga adalah 360o, subjek tidak memahami maksud soal dengan baik,
ketika diminta untuk menentukan besar sudut ABC yang dilakukan adalah
menjumlahkan semua sudut dalam segitiganya dan diperoleh jawabn 180o; (6)
miskonsepsi mengenai alas dan tinggi segitiga yang meliputi subjek mengatakan bahwa
garis tinggi adalah garis tegak yang dibuat dari sebelah kiri alas dan merupakan garis
lurus, subjek menganggap bahwa garis tinggi segitiga adalah setengah dari alasnya; (7)
miskonsepsi mengenai keliling segitiga yang secara garis besar semua subjek sudah
memahami definisi keliling dengan baik tetapi salah dalam langkah penyelesaiannya,
beberapa subjek hanya menghafal rumus saja. Subjek menjumlahkan semua sisinya
kemudian membagi dua, kemungkinan subjek terpengaruh langkah dalam menentukan
luas segitiga serta subjek mengalikan ketiga sisinya dalam menentukan keliling segitiga.
Berdasarkan kesimpulan pada penelitian ini, peneliti memberikan saran bahwa :
(1) Guru hendaknya membangun konsep yang kuat terkait definisi; (2) Guru sebaiknya
lebih menekankan siwa pada pahamnya konsep bukan menghafal rumus karena masih
ditemukan beberapa siswa yang hanya menghafal rumus saja; (3) Para peneliti
selanjutnya,
yang
hendak
mengembangkan
karya
ini,
dapat
menambahkan
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, S, Bagayoko, D and Kelley , E. L.. 1999. Misconception and The Certainty of
Response Index CRI. Phys. Educt. 34(5), pp. 294-299.
11
Irawan, E. 2012. Analisis Miskonsepsi Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan pada Kuliah
Pengantar Dasar Matematika Pokok Bahasan Logika Ditinjau dari Gaya Kognitif
Mahasiswa. Tesis. UNS
Liliawati, W. dan Ramalis, T.R. 2009. Identifikasi Miskonsepsi Materi IPBA di SMA
dengan menggunakan CRI (Certainty of Response Index) dalam Upaya Perbaikan
Urutan Pemberian Materi IPBA pada KTSP. Makalah disajikan dalam Seminar
MIPA UNY.
Novak, J.D. 2002. Meaningful Learning: The Essential Factor for Conceptual Change in
Limited or Inappropriate Propositional Hierarchies Leading to Empowerment of
Learners. Science Education.Vol.86. No.4. pp: 549-571.
Ozerem, A. 2012. Misconception In Geometry And Suggested Solutions For Seventh
Grade Students. International Journal of New Trends in Arts, Sports and Science
Education. Volume 1. Issue 4. pp: 23-35.
Shadiq, F. 2007. Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting. Yogyakarta : Depdiknas.
Soejadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Depertemen pendidikan Nasional..
Yazdani, M.A. 2006. The Exclusion of the Students Dynamic Misconceptions in College
Algebra: a Paradigm of Diagnosis and Treatment. Journal of Mathematical
Sciences & Mathematics Education. Vol. 1. No.2. pp: 32-38
12