Вы находитесь на странице: 1из 13

0

MISKONSEPSI SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4


BOYOLALI PADA MATERI POKOK SEGITIGA
TAHUN AJARAN 2014/2015
Dhika Asri Fitriani1, Tri Atmojo Kusmayadi2 , Imam Sujadi3
1,2,3

Program Studi Magister Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Sebelas


Maret Surakarta

Abstract: The objectives of this research were to analyze about misconceptions of


VIII grade students of SMP N 4 Boyolali experiencing misconceptions about
triangle. This research was categorized as a qualitative research using descriptive
qualitative type. The subject of this research were eighth grade students of SMP N
4 Boyolali that having misconception in triangle material. The criteria to choose
the main subject of the research were that the students had learn a topic about
triangle and the main subject were taken based on diagnostic test results by using
CRI technique. The main data in this research was information about misconcertion
that was the result of research interviews with the subject. Interviews were
cunducted two times in different time to obtain data that will be compared. The
purpose of the interview to find out the misconception of the subject. The result of
the analysis first interview and second interview with the subject then validated.
The triangulation time was used as the validity of the first interview and second
interview. After the data obtained were valid then analyzed the data by comparing
with the theory, if not in appropriated with the theory then the subjects considered
to had misconception. The results of this research are follows: 1) the misconception
about definition of triangle: the subject defined triangle just as the images, defined
triangle was linking the three points that were not in a line where the connecting
lines may not be straight. 2) the misconception about triangle model: the subject
defined that the model triangle is a triangle which is made of different shapes,
defined the model of the triangle are all of triangle existing triangle area. 3) the
misconception about definition of triangle related the type: the subject experienced
misconceptions on the word line shape, mentioned several angles represent. 4) the
misconception of the characteristic of triangle by type: the subject said that the
triangle has only one name, an equilateral triangle is not an isosceles triangle. 5)
the misconception about the angle of the triangle: the subject said that the sum of
angles in a triangle is 360o, did not understand about the meaning of the angle's
value well. 6) the misconception about the base and height triangle which is the
subject said that the high line is a straight line that is made from the left of base,
considered that the length of the triangle is half the height of the base. 7) the
misconception about the circumference of the triangle, most of the subject already
understood the definition of the circumference well but the steps to find
circumference were still wrong, some subjects just memorizing the formula.
Keywords: misconception, triangle, CRI technique

PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu yang mempunyai karakteristik tertentu. Salah satu
karakteristik matematika adalah memiliki objek kajian abstrak. Dalam matematika objek
dasar yang dipelajari adalah abstrak. Objek dasar itu meliputi fakta, konsep, operasi, dan
prinsip. Dari objek dasar tersebut dapat disusun suatu pola dan struktur matematika
(Soedjadi, 2000:13). Oleh karena itu, belajar matematika harus dilakukan secara
1

bertahap, berurutan dan sistematis serta didasarkan pada pengalaman belajar yang lalu.
Matematika diberikan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berdasarkan hal tersebut, matematika dianggap
sebagai ilmu yang sangat penting dan diajarkan hampir di semua jenjang pendidikan,
mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Peran penting
matematika diakui Cockcroft dalam Shadiq (2007:3) yang menulis It would be very
difficult perhaps impossible to live a normal life in very many parts of the world in the
twentieth century without making use of mathematics of some kind. Yang berarti akan
sangat sulit atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi ini pada
abad ke-20 tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika.
Seringkali guru menekankan kepada siswa akan pentingnya memahami suatu
konsep dalam pembelajaran matematika. Siswa sebenarnya belum memahami dengan
baik konsep dalam matematika atau hanya menekankan pada rumus jadi yang siap pakai.
Kemudian siswa menganggap rumus-rumus itu merupakan konsep. Anggapan sebagian
siswa bahwa rumus-rumus merupakan konsep tidaklah benar. Berdasarkan obyek kajian
matematika, rumus merupakan suatu prinsip prinsip. Kesalahan pemahaman inilah yang
menyebabkan siswa selalu bertumpu pada rumus. Hal yang biasanya ditanyakan siswa
kepada guru setiap akan mengerjakan soal adalah rumus apa yang digunakan.
Siswa menganggap dengan adanya rumus dapat memudahkan menyelesaikan soal
dan hanya cukup dengan menghafal rumusnya saja. Padahal, dengan menghafal saja
belum cukup karena harus benar-benar paham tentang konsep matematika tersebut. Siswa
yang benar-benar menguasai konsep dan paham, akan mengerti dan menemukan
pemecahan masalah dari setiap variasi permasalahan yang diberikan atau dengan kata lain
dari berbagai macam soal. Proses yang hanya sebatas hafalan akan menjadi penyebab
siswa tidak mampu menerapkan konsep matematika dengan baik. Hal ini sejalan dengan
pendapatnya Novak (2002) bahwa belajar dengan cara menghafal tidak efektif dalam
membentuk struktur kognitif, sehingga dapat memunculkan adanya miskonsepsi.
Segitiga adalah salah satu materi pokok di tingkat SMP yang merupakan materi
dasar. Materi tersebut mencakup tentang definisi segitiga, jenis-jenis segitiga, garis-garis
pada segitiga, besar sudut segitiga serta keliling dan luas segitiga. Walaupun tergolong
materi dasar akan tetapi hasil belajarnya belum memuaskan. Kesalahan dalam materi
segitiga dikemukakan oleh Ozerem (2012:6) yaitu student forgot to divide the number by
two which was on the area yang artinya ketika mencari luas murid lupa untuk
membaginya dengan dua. Kemudian disampaikan juga kemungkinan penyebab
kesalahannya yaitu just memorized the formula, cannot visualize the image, lack of
2

reasoning and few authentic in the primary grades yang artinya hanya mengingat
rumus, tidak dapat membayangkan gambar, kurang pengetahuan di kelas yang
sebelumnya. Kemudian miskonsepsi tentang sudut dikemukakan oleh yang menyatakan
bahwa it was seen that the main reason for mistakes in these question was about
visualization and analysis yang artinya dapat dilihat bahwa penyebab kesalahan adalah
tentang visualisasi dan analisis. Kemudian They cannot associate such properties with
one another yang artinya mereka tidak dapat mengasosiasikan sifat satu dengan sifat
yang lainnya. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut masih banyak ditemukan
kesalahan konsep pada siswa untuk materi geometri pada umumnya, khususnya materi
segitiga dan sudut.
Selanjutnya dapat dilihat dari data pamer UN tahun 2013/2014, di Kabupaten
Boyolali pada pelajaran matematika, nilai rata-rata untuk mata pelajaran matematika
adalah 5,28, dengan nilai terendahnya 1,00 dan nilai tertingginya adalah 10,00. Dari data
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dapat diketahui pula bahwa pada tahun 2014
hasil daya serap untuk materi pokok unsur-unsur dan sifat bangun datar dimensi dua
tingkat kabupaten lebih rendah dari daya serap untuk tingkat provinsi maupun nasional.
Hasil ujian nasional tahun ajaran 2013/2014 dengan daya serap pada materi pokok unsurunsur dan sifat bangun datar dimensi dua tingkat kabupaten adalah 59,85% dimana lebih
rendah daripada daya serap tingkat propinsi yaitu 59,93% dan tingkat nasional adalah
62,42%.
Berdasarkan analisis awal, penyebab dari rendahnya daya serap pada materi
unsur-unsur dan sifat bangun datar dimensi dua dimungkinkan adalah adanya
permasalahan dalam pemahaman konsep matematika. Langkah awal yang dilakukan
peneliti adalah melakukan kegiatan pra penelitian. Peneliti melakukan wawancara dengan
salah seorang guru SMP di Kabupaten Boyolali. Menurut guru yang diwawancarai oleh
peneliti belum maksimalnya daya serap tersebut diduga karena beberapa faktor. Salah
satu faktor yang dapat diindikasikan sebagai penyebab belum maksimalnya hasil belajar
siswa pada materi pokok unsur-unsur dan sifat bangun datar dimensi dua adalah siswa
sering kesulitan dalam memahami konsep dan menerapkannya dalam pemecahan
masalah. Permasalahan tersebut mungkin saja terjadi karena siswa lebih suka menghafal
suatu rumus, adanya prakonsepsi yang salah pada siswa, atau pembelajaran yang kurang
memberikan penanaman konsep. Pada proses pembelajaran matematika, siswa
mempelajari konsep-konsep yang saling berkaitan. Bila salah satu konsep tidak dipahami
dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh pada pemahaman konsep selanjutnya yang
berkaitan. Kadang pembelajaran di sekolah juga kurang memperhatikan prakonsepsi yang
3

dimiliki siswa. Padahal prakonsepsi yang dimiliki siswa berbeda-beda dan belum tentu
benar. Kondisi demikian sangat memungkinkan timbulnya salah konsep (miskonsepsi)
pada siswa.
Selain melakukan wawancara dengan guru, peneliti juga memberikan soal kepada
beberapa siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Boyolali tentang materi segitiga. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui dan memastikan apakah siswa sudah menerima konsep
dengan baik dan benar. Alasannya adalah ada kemungkinan siswa tidak mengalami
miskonsepsi, tetapi yang diterima siswa sebagai konsep ternyata sudah sesuai dengan apa
yang disampaikan guru. Pra penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui apakah masih
ada siswa mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran matematika khususnya pada
materi segitiga.
Perlunya konsep dalam geometri juga dikemukakan Ozerem (2012:3) yaitu
Studying geometry is an important component of learning mathematics because it allows
students to analyse and interpret the world they live in as well as equip them with tools
they can apply in other areas of mathematics. Therefore , students need to develop an
understanding of geometric concepts yang artinya mempelajari geometri merupakan
komponen penting dari pembelajaran matematika karena memungkinkan siswa untuk
menganalisis dan menafsirkan hal di sekitar mereka serta membekali mereka dengan
pengetahuan yang dapat diterapkan dalam hal lain selain matematika. Oleh karena itu,
siswa harus mengembangkan pemahaman tentang konsep-konsep geometri.
Dalam belajar matematika, siswa haruslah memiliki dasar untuk membangun
pengetahuan berikutnya, yaitu suatu konsep yang telah dimiliki sebelumnya secara tepat.
Apabila siswa tidak mampu memahami salah satu konsep dengan baik, tentu saja akan
berpengaruh pada konsep selanjutnya yang berkaitan dan menyebabkan adanya
miskonsepsi.
Usaha untuk mengidentifikasi miskonsepsi telah banyak dilakukan, namun
hingga saat ini masih terdapat kesulitan dalam membedakan antara siswa yang
mengalami miskonsepsi dengan yang tidak tahu konsep (Liliawati dan Ramalis, 2008).
Kesalahan pengidentifikasian miskonsepsi akan menyebabkan kesalahan dalam
penangulangannya, sebab penanggulangan siswa yang mengalami miskonsepsi akan
berbeda dengan siswa yang tidak tahu konsep. Sebagai salah

satu alternatif yang

digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi adalah teknik Certainty of Response Index


(CRI) yang dikembangkan oleh Saleem Hasan.
Hasan et al. (1999:1) menyatakan bahwa
The purpose of this study was to develop a simple and effective method for
distinguishing a lack of knowledge from misconceptions. The simplicity of the method is
4

expected to lead to a routine utilization of it by schoolteachers and college professors.


The method is universally applicable in science, mathematics, engineering and other
elds, from middle to graduate school. It is centred on associating a Certainty of
Response Index (CRI) with each answer on diagnostic and other tests
yang artinya Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode sederhana dan
efektif untuk membedakan kurangnya pengetahuan dan miskonsepsi. Kesederhanaan
metode ini diharapkan dapat dimanfaatkan guru sekolah dan dosen. Metode ini berlaku
universal dalam ilmu pengetahuan, matematika, teknik dan bidang lain, dari sekolah
menengah sampai pascasarjana. Hal ini mengacu pada Certainty of Response Index (CRI)
dari setiap jawaban pada tes diagnostik dan lainnya.
Penelitian identifikasi miskonsepsi menggunakan CRI pernah dilakukan oleh
Irawan (2012). Penelitian tersebut menganalisis miskonsepsi mahasiswa STKIP PGRI
Pacitan pada mata kuliah pengantar dasar matematika yang ditinjau dari gaya kognitif
siswa. Pada penelitian tersebut masih ada mahasiswa yang mengalami miskonsepsi
tentang logika matematika. Maka dari itu disini peneliti tertarik untuk meneliti pada siswa
SMP khususnya pada materi segitiga.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan mengenai miskonsepsi sangatlah
menarik, sehingga akan dikaji lebih lanjut mengenai miskonsepsimiskonsepsi yang
dialami siswa kelas VII SMP Negeri 4 Boyolali pada materi segitiga.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini jenisnya termasuk penelitian kualitatif dengan strategi penelitian
yaitu deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 4
Boyolali. Kriteria pemilihan subjek utama penelitian adalah siswa tersebut pernah
mempelajari topik mengenai segitiga dan diambil berdasarkan hasil dari tes diagnostik
dengan menggunakan teknik CRI. Pada penelitian ini derajat CRI mengacu pada
penelitian sebelumnya. Dalam penelitiannya Yazdani (2006), untuk mengidentifikasi
miskonsepsi, siswa diminta menjawab setiap pertanyaan, di samping itu memilih salah
satu dari kode angka 1-4 yang tersedia di bawah setiap pertanyaan. Hal ini menunjukkan
skala respon 1-4 bagaimana mereka yakin pada jawaban mereka. Dalam Tabel 1 berikut
ini, berisi penjelasan tentang karakteristik-karakteristik untuk setiap kode masuk yang
diberikan menurut Yazdani (2006).

Tabel 1. Karakteristik Respon dari Macam-Macam Tingkat


Keyakinan
Kode Angka

Karakteristik Respon

Siswa menebak jawaban

Siswa tidak yakin dengan kebenaran jawaban

Siswa hampir yakin dengan kebenaran


jawaban

Siswa yakin dengan kebenaran jawaban

Ada 8 kombinasi yang mungkin dari jawaban-jawaban yang berbeda secara


kolektif dengan macam-macam tingkat keyakinan untuk setiap pertanyaan yang berbeda
pada skema tersebut. Kemungkinan-kemungkinan (P) dari setiap jawaban siswa beserta
tingkat keyakinan (DC) menurut Yazdani (2006) termuat dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Kombinasi-Kombinasi yang Mungkin dari Jawaban Siswa
dengan Bermacam-macam Tingkat Keyakinan Beserta
Diagnosa
P

Jawaban

DC

Diagnosa

1
2
3
4

Benar
Salah
Benar
Salah

1
1
2
2

Tanpa Konsep
Tanpa Konsep
Tanpa Konsep
Tanpa Konsep

Benar

Konsep yang Benar

6
Salah
3
Miskonsepsi
7
Benar
4
Konsep yang Benar
8
Salah
4
Miskonsepsi
Teknik CRI ini digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Berdasarkan
Tabel 2 terlihat jelas bahwa siswa yang menjawab dengan kriteria P6 dan P8 terindikasi
awal mengalami miskonsepsi. Siswa dengan kriteria P6 dan P8 yang paling banyak
nantinya diambil sebagai subjek penelitian.Data dalam penelitian ini berupa hasil
wawancara yang berdasarkan pada hasil tes diagnostik. Hasil dari jawaban wawancara
tersebut menjadi data analisis awal dari peneliti. Data analisis awal dari jawaban tertulis
subyek ini berupa deskripsi miskonsepsi yang dialami subyek pada masing-masing soal.
Data analisis awal ini juga sebagai acuan dalam melakukan wawancara yang kedua. Hasil
dari analisis wawancara pertama dan hasil dari analisis wawancara kedua dengan subyek
kemudian ditarik kesimpulan. Teknik analisis data yang dilakukan melalui reduksi data,
analisis dan penyajian data, mengambil kesimpulan dan verifikasi. Reduksi data
6

merupakan pemilihan data-data yang mendukung fokus dalam penelitian, baik dalam
analisis jawaban tertulis subjek yang kemudian di wawancara yang pertama, maupun
dalam analisis hasil wawancara kedua dengan subjek. Proses penyajian hasil dari jawaban
tertulis subjek merupakan penyajian data dalam penelitian ini. Hasil dari analisis
wawancara I dan wawancara II subjek kemudian ditarik kesimpulan. Dari kedua hasil
analisis ini kemudian diverifikasi sehingga diperoleh kesimpulan final. Triangulasi dalam
validasi data penelitian adalah dengan waktu yang berbeda untuk memperoleh data yang
sama, yaitu pada saat wawancara I dan wawancara II. Data dari hasil analisis wawancara
I dan wawancara II dengan subjek saling menguatkan adanya miskonsepsi dalam diri
subjek.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan paparan data dan analisis yang dilakukan peneliti, baik dari analisis
hasil wawancara I, hasil analisis wawancara II, maupun analisis data keseluruhan,
menunjukkan subjek yang terindikasi awal mengalami miskonsepsi (melalui tes
berbantuan CRI), ada kemungkinan mengalami miskonsepsi dalam menghadapi
permasalahan selanjutnya. Miskonsepsi dalam diri subjek dapat berlangsung secara
berkelanjutan. Berikut ini beberapa miskonsepsi yang dialami oleh subjek:
a. Miskonsepsi mengenai definisi segitiga

Berdasarkan paparan data dan analisis didapatkan dua subjek yang


mengalami miskonsepsi mengenai definisi segitiga yaitu SM1 dan SM3.
Menurut definisi pada penelitian ini segitiga adalah bangun yang dibentuk dari
tiga titik tak segaris yang dihubungkan dengan garis lurus. SM1
mendefinisikan segitiga hanyalah sebatas gambar segitiga yang digambar
dikertas saja. Salah satu penyebab miskonsepsi adalah kesalahpahaman
tentang konsep yang diterimanya. Miskonsepsi yang dialami SM1 bisa
dikarenakan kesalahpahamannya memaknai segitiga. SM3 mendefinisikan
segitiga adalah menghubungkan 3 titik yang tidak segaris dimana garis
penghubung boleh tidak lurus. Konsepsi SM3 ini tergolong miskonsepsi
karena SM3 salah memahami maksud dari definisi segitiganya.
b. Miskonsepsi mengenai model segitiga

Berdasarkan paparan data dan analisis didapatkan keempat subjek


mengalami miskonsepsi mengenai model segitiga. menurut teori pada
penelitian ini model segitiga adalah kerangka segitiga yaitu segitiga tanpa
7

luasan daerah. SM1 dan SM2 mendefinisikan bahwa model segitiga adalah
segitiga yang yang bentuknya dibuat berbeda menjadi lebih gaya. jadi disini
SM1 dan SM2 salah dalam memaknai kata model sehingga menyebabkan
timbulnya miskonsepsi.. SM3 mendefinisikan bahwa model segitiga adalah
semua bangun yang bentuknya segitiga atau mempunyai tiga sisi, walaupun
ada sisi yang merupakan garis lengkung. Hal ini sesuai dengan definisi
segitiga yang didefinisikan oleh SM3 sehingga SM3 dapat menyimpulan
bahwa semua bangun yang bentunya segitiga adalah model segitiga. Pada
kasus ini SM3 salah dalam memaknai model karena menganggapnya sebagai
suatu bangun yang meliputi benda maupun gambar yang mempunyai bentuk
segitiga.. SM4 mendefinisikan model segitiga adalah segitiga yang ada
areanya. Kurangnya pengetahuan tentang segitiga membuat SM4 hanya
menjawab apa yang dia tahu sehingga menimbulkan miskonsepsi.
c. Miskonsepsi mengenai definisi segitiga terkait jenisnya

Berdasarkan paparan data dan analisis didapatkan dua subjek


mengalami miskonsepsi mengenai definisi segitiga terkait dengan jenisnya.
Subjek yang mengalami miskonsepsi mengenai definisi segitiga terkait
jenisnya adalah SM1 dan SM4. SM1 menyebutkan bahwa segitiga lancip
membentuk garis yang kurang dari 90o, SM1 mengalami kebingungan dalam
memaknai sebuah kalimat sehingga SM1 menyebutkan bahwa bahwa segitiga
lancip adalah segitiga yang membentuk garis kurang dari 90 o bukan
membentuk sudut kurang dari 90o. SM4 menyebutkan beberapa sudut yang
kurang dari 90o saat menjelakan definisi segitiga lancip, tetapi tidak dapat
menarik kesimpulan bahwa sudut-sudut tersebut kurang dari 90o. begitu pula
saat menjelaskan definisi segitiga tumpul. SM4 hanya menyebutkan beberapa
sudut yamg lebih dari 90o tanpa bisa menarik kesimpulan nahwa sudut-sudut
tersebut besarnya lebih dari 90o. Dalam hal ini SM4 mengalami miskonsepsi
terkait teori sudut. SM4 tidak bisa menarik kesimpulan terkait sudut-sudut
yang sudah dia sebutkan.
d. Miskonsepsi dalam mengklasifikasikan segitiga berdasarkan jenisnya.

Berdasarkan paparan data dan analisis didapatkan keempat subjek


mengalami miskonsepsi mengenai definisi segitiga terkait dengan jenisnya.
8

Keempat subjek mengatakan bahwa satu segitiga hanya mempunyai satu nama
saja dan segitiga sama sisi bukanlah segitiga sama kaki. Padahal satu segitiga
dapat dikategorikan menurut besar sudut dan panjang sisi. satu segitiga bisa
saja disebut sebagai segitiga sama sisi maupun segitiga lancip atau bisa juga
disebut sebagai segitiga lancip sama sisi. suatu segitiga sama sisi pun juga bisa
dikatakan sebagai segitiga sama kaki karena menurut definisi segitiga sama
kaki adalah segitiga yang mempunyai dua buah sisi yang sama panjang dan
dua buah sudut yang sama besar. bila dilihat segitiga sama sisi juga dapat
digolongkan menjadi segitiga sama kaki Hal ini bisa dikarenkan kurang
pahamnya subjek terkait jenis-jenis segitiga istimewa.
e. Miskonsepsi mengenai sudut segitiga.

Berdasarkan paparan data dan analisis didapatkan dua subjek


mengalami miskonsepsi mengenai sudut segitiga. Subjek yang mengalami
miskonsepsi mengenai sudut dalam segitiga adalah SM1 dan SM3. SM1
mengatakan bahwa jumlah sudut dalam segitiga adalah 360o. Hal ini tidak
sesuai dengan konsep yang ada bahwa jumlah sudut dalam segitiga adalah
180o. Penyebab dari kesalahan jawaban SM1 terkait dengan analisis dari
gambar segitiga. SM1 memahami bahwa satu putaran penuh adalah 360o dan
menurut gambar yang dia lihat bahwa segitiga merupakan satu puratan penuh.
SM3 tidak memahami maksud soal dengan baik, ketika diminta untuk
menentukan besar sudut ABC yang dilakukan SM3 adalah menjumlahkan
semua sudut dalam segitiganya dan diperoleh jawabn 180o. SM3 salah dalam
memaknai besar sudut ABC. menurut SM3 besar sudut ABC adalah jumlah
sudut dalam segitiga ABC yaitu 180o padahal yang dimasudkan disini adalah
besar sudut B saja yang dibentuk oleh segme garis AB dan BC. sedangkan bila
yang ditanyakan adalah besar sudut B saja maka menurut SM3 cukup
menuliskan besar sudut B. SM3 tidak memahami cara menyajikan besar sudut,
karena yang dimaksud dengan besar ABD adalah besar sudut B yang dibuat
oleh sinar garis AB dan BC, tetapi SM3 salah dalam mengartikannya.
f.

Miskonsepsi mengenai alas dan tinggi segitiga.

Berdasarkan paparan data dan analisis didapatkan dua subjek


mengalami miskonsepsi mengenai alas dan tinggi segitiga. Subjek yang
9

mengalami miskonsepsi mengenai luas segitiga terkait alas dan tinggi segitiga
adalah SM3 dan SM4. SM3 mengatakan bahwa garis tinggi adalah garis yang
dibuat dari sebelah kiri alas dan merupakan garis lurus. garis tingi menurut
SM3 ini adalah suatu sisi segitiga yang berada di sebelah kiri alas. Hal ini
tidak sesuai dengan konsep yang ada yaitu tinggi segitiga adalah garis yang
ditarik dari salah satu titik sudut dan tegak lurus dengan sisi di depannya.
Miskonsepsi ini bisa saja muncul karena seringnya soal yang ditemui adalah
tinggi segitiga berada pada kiri alasnya. Pengalaman belajar seperti ini juga
bisa menyebabkan muncunya miskonsepsi. Untuk SM4 dalam penentuan alas
dan tinggi nya sudah benar tetapi mengalami miskonsepsi karena
menyebutkan bahwa panjang dari tinggi segitiga adalah selalu setengah dari
panjang alasnya. Hal ini tidak sesuai dengan informasi-informasi yang
diketahui pada soal. seharusnya daam menentukan panjang alas dan tinggi
segitiga harus menyesuaikan pada infomasi yang diketahui pada soal bukan
langsung menyimpulkan bahwa panjang dari tinggi adalah setengah dari
panjang alasnya.
g. Miskonsepsi mengenai keliling segitiga

Secara garis besar semua subjek sudah memahami definisi keliling


dengan baik tetapi salah dalm langkah penyelesaiannya, beberapa subjek
hanya menghafal rumus saja. Pada penelitian ini SM3 dan SM4 hanya
menghafal rumus dalam menentukan hasil dari keliling segitiga. SM3
menjumlahkan semua sisinya kemudian membagi dua. Kemungkinan SM3
terpengaruh langkah dalam menentukan luas segitiga. SM4 mengalikan ketiga
sisinya dalam menentukan keliling segitiga. Setelah lancar menyebutkan
definisi, kedua subjek kembali mengingat rumus ketika menentukan keliling,
sehingga menyebabkan memberikan jawaban yang salah ketika menentukan
keliling segitiga yang ditanyakan pada soal.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan: (1)
miskonsepsi mengenai definisi segitiga yang meliputi subjek mendefinisikan segitiga
hanyalah

sebatas

pada

gambar

saja,

subjek

mendefinisikan

segitiga

adalah

menghubungan 3 titik yang tidak segaris dimana garis penghubung boleh tidak lurus; (2)
10

miskonsepsi mengenai model segitiga yang meliputi subjek mendefinisikan bahwa model
segitiga adalah segitiga yang yang bentuknya dibuat berbeda menjadi lebih gaya, subjek
mendefinisikan bahwa model segitiga adalah semua bangun yang bentuknya segitiga atau
mempunyai tiga sisi, walaupun ada sisi yang merupakan garis lengkung, subjek
mendefinisikan model segitiga adalah segitiga yang ada areanya; (3) miskonsepsi
mengenai definisi segitiga terkait jenisnya yang meliputi subjek menyebutkan bahwa
segitiga lancip membentuk garis yang kurang dari 90o, subjek mengalami miskonsepsi
pada kata membentuk garis, subjek menyebutkan beberapa sudut yang kurang dari 90 o
saat menjelakan definisi segitiga lancip, tetapi tidak dapat menarik kesimpulan bahwa
sudut-sudut tersebut kurang dari 90o; (4) miskonsepsi mengenai sifat-sifat segitiga
berdasarkan jenisnya yang meliputi subjek megatakan bahwa satu segitiga hanya
mempunyai satu nama saja dan segitiga sama sisi bukanlah segitiga sama kaki; (5)
miskonsepsi mengenai sudut segitiga yang meliputi subjek mengatakan bahwa jumah
sudut daam segitiga adalah 360o, subjek tidak memahami maksud soal dengan baik,
ketika diminta untuk menentukan besar sudut ABC yang dilakukan adalah
menjumlahkan semua sudut dalam segitiganya dan diperoleh jawabn 180o; (6)
miskonsepsi mengenai alas dan tinggi segitiga yang meliputi subjek mengatakan bahwa
garis tinggi adalah garis tegak yang dibuat dari sebelah kiri alas dan merupakan garis
lurus, subjek menganggap bahwa garis tinggi segitiga adalah setengah dari alasnya; (7)
miskonsepsi mengenai keliling segitiga yang secara garis besar semua subjek sudah
memahami definisi keliling dengan baik tetapi salah dalam langkah penyelesaiannya,
beberapa subjek hanya menghafal rumus saja. Subjek menjumlahkan semua sisinya
kemudian membagi dua, kemungkinan subjek terpengaruh langkah dalam menentukan
luas segitiga serta subjek mengalikan ketiga sisinya dalam menentukan keliling segitiga.
Berdasarkan kesimpulan pada penelitian ini, peneliti memberikan saran bahwa :
(1) Guru hendaknya membangun konsep yang kuat terkait definisi; (2) Guru sebaiknya
lebih menekankan siwa pada pahamnya konsep bukan menghafal rumus karena masih
ditemukan beberapa siswa yang hanya menghafal rumus saja; (3) Para peneliti
selanjutnya,

yang

hendak

mengembangkan

karya

ini,

dapat

menambahkan

pengkategorian subjek penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, S, Bagayoko, D and Kelley , E. L.. 1999. Misconception and The Certainty of
Response Index CRI. Phys. Educt. 34(5), pp. 294-299.

11

Irawan, E. 2012. Analisis Miskonsepsi Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan pada Kuliah
Pengantar Dasar Matematika Pokok Bahasan Logika Ditinjau dari Gaya Kognitif
Mahasiswa. Tesis. UNS
Liliawati, W. dan Ramalis, T.R. 2009. Identifikasi Miskonsepsi Materi IPBA di SMA
dengan menggunakan CRI (Certainty of Response Index) dalam Upaya Perbaikan
Urutan Pemberian Materi IPBA pada KTSP. Makalah disajikan dalam Seminar
MIPA UNY.
Novak, J.D. 2002. Meaningful Learning: The Essential Factor for Conceptual Change in
Limited or Inappropriate Propositional Hierarchies Leading to Empowerment of
Learners. Science Education.Vol.86. No.4. pp: 549-571.
Ozerem, A. 2012. Misconception In Geometry And Suggested Solutions For Seventh
Grade Students. International Journal of New Trends in Arts, Sports and Science
Education. Volume 1. Issue 4. pp: 23-35.
Shadiq, F. 2007. Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting. Yogyakarta : Depdiknas.
Soejadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Depertemen pendidikan Nasional..
Yazdani, M.A. 2006. The Exclusion of the Students Dynamic Misconceptions in College
Algebra: a Paradigm of Diagnosis and Treatment. Journal of Mathematical
Sciences & Mathematics Education. Vol. 1. No.2. pp: 32-38

12

Вам также может понравиться