Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
REFFARAT
Oleh
YUKE SARASTRI
NIM : 097115006
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1.2 Tujuan ........................................................................................................
3
4
5
5
6
8
8
9
10
11
13
19
22
23
BAB I
PENDAHULUAN
untuk
menjaga tekanan darah dan curah jantung. Revaskularisasi koroner yang cepat
merupakan hal yang penting. Jika tersedia, kateterisasi jantung emergensi dan
angioplasti dapat memberikan angka keselamatan yang lebih baik.1
1.2.Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas lebih lanjut pengertian,
patofisiologi, manifestasi klinis, serta penatalaksaan dari suatu syok kardiogenik
sehingga pembaca diharapkan dapat lebih waspada serta dapat memberikan
penatalaksanaan yang maksimal dalam menghadapi kasus-kasus syok kardiogenik
yang mungkin dijumpai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
2.2. Insidensi
2.3. Etiologi
Penderita dapat mengalami syok kardiogenik sejak saat masuk RS, namun
syok sering kali berkembang dalam beberapa jam setelahnya. Pada studi registri
SHOCK (Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Shock),
75% penderita mengalami syok kardiogenik dalam 24 jam setelah presentasi awal,
median keterlambatan yaitu 7 jam dari onset infark. Hasil dari studi GUSTO
(Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen Activator for
Occuded Arteries) juga serupa, dimana hasilnya menyatakan dari penderita
dengan syok, 11% sudah mengalami syok pada saat kedatangan, dan 80%
berkembang menjadi syok setelah masuk rawatan.1,7,8
Diantara penderita dengan infark miokard, syok lebih sering berkembang
pada penderita-penderita dengan usia tua, diabetes melitus, dan memiliki infark
anterior. Penderita syok kardiogenik juga lebih sering memiliki riwayat infark
sebelumnya, penyakit vaskular perifer, dan penyakit serebrovaskuler. Ejeksi fraksi
yang menurun dan infark yang lebih luas juga merupakan prediktor terhadap
perkembangan menjadi syok kardiogenik.1
Syok kardiogenik paling sering dihubungkan dengan infark miokard
anterior. Pada trial SHOCK, 55% merupakan infark anterior, 46% inferior, 21%
posterior, dan 50% pada lokasi yang multipel. Hasil angiografi sering
menunjukkan penyakit koroner multivessel. Hal ini merupakan hal yang penting
sebab, kompensasi hiperkinesis secara normal terjadi pada segmen miokard yang
tidak terlibat pada infark miokard akut, dimana respon ini membantu menjaga
curah jantung. Kegagalan dalam mendapatkan respon tersebut akibat dari infark
sebelumnya ataupun stenosis koroner derajat tinggi, merupakan faktor resiko
penting terhadap kejadian syok kardiogenik dan kematian.1
2.4. Patofisiologi
2.4.1. Efek Sistemik
akan meningkatkan
mekanisme
kompensasi,
termasuk
stimulasi
simpatetik
untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas serta retensi cairan pada ginjal
untuk meningkatkan preload. Mekanisme kompensasi ini dapat menjadi
maladaptif dan dapat memperburuk situasi ketika terjadi syok kardiogenik.
Peningkatan denyut jantung an kontraktilitas akan meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard dan memperburuk iskemik. Retensi cairan dan gangguan
Iskemik
miokard
menyebabkan
penurunan
compliance,
meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri pada volum diastolik akhir. Terjadi
peningkatan pada volum ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi untuk
menjaga volum sekuncup, yang lebih jauh dapat meningkatkan tekanan pengisian.
Peningkatan tekanan ventrikel kiri dapat berujung pada edema paru dan
hipoksemia.1
Area yang luas dari miokard yang tidak berfungsi namun viabel dapat juga
memiliki peran terhadap perkembangan terjadinya syok kardiogenik pada
penderita setelah mengalami serangan infark miokard. Disfungsi yang reversibel
ini dapat dijelaskan melalui dua kategori: stunning dan hibernation.1
Myocardial stunning menunjukkan disfungsi post iskemik yang bertahan
meskipun telah mendapatkan kembali aliran darah yang normal; bagaimanapun,
akhirnya kemampuan miokard dapat kembali secara komplit. Patogenesis dari
stunning belum sepenuhnya dapat dijelaskan, namun sepertinya memiliki
hubungan terhadap kombinasi dari stres oksidatif, gangguan homeostasis kalsium,
dan penurunan reaksi miofilamen terhadap kalsium, yang seluruhnya mendahului
iskemia.1
Hybernating myocardium merupakan suatu keadaan dimana miokard
mengalami gangguan fungsi secara persisten pada saat istirahat akibat adanya
penurunan aliran darah koroner secara hebat, dan tidak terpisahkan dengan
defenisi miokard yang tidur yaitu bahwa fungsinya dapat menjadi normal kembali
setelah memperbaiki aliran darah. Hibernasi dapat dilihat sebagai respon adaptif
untuk menurunkan fungsi kontraksi dari miokardium yang hipoperfusi dan untuk
mengembalikan keseimbangan antara aliran dan fungsi, sehingga dapat
meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemia atau nekrosis. Revaskularisasi
dari miokardium yang hibernasi dapat berujung terhadap perbaikan fungsi
miokard sehingga dapat memperbaiki prognosis.1
Meskipun hibernasi dan stunning berbeda secara konsep dan patofisiologi,
kedua kondisi ini sulit dipisahkan pada keadaan klinis dan bahkan saling
mendukung satu sama lain. Episode berulang dari stunning miokard dapat
bersamaan maupun menyerupai hibernasi miokard. Miokard stunning dan
hibernasi pada penderita dengan syok kardiogenik merupakan hal yang vital,
karena implikasi terapinya pada kondisi ini. Hibernasi miokard dapat menjadi
lebih baik dengan revaskularisasi, dan stunning miokard dapat memberikan
respon terhadap stimulasi inotropik.1
Berikut ini merupakan beberapa tanda dan tampilan yang menunjukkan adanya
hipoperfusi organ atau jaringan, yaitu: pucat, perifer dingin, ekstremitas berbintikbintik, gangguan kesadaran, penurunan produksi urin / oliguria ( < 30 ml/jam atau
< 0.5 ml/kg/jam selama > 2 jam), nadi lemah, hipotensi arterial. Distensi vena
jugular dan rhonki paru biasanya dapat dijumpai, meskipun ketiadaan hal tersebut
tidak menyingkirkan diagnosis syok kardiogenik. Diagnosis syok kardiogenik
harus dipertimbangkan pada setiap penderita yang menunjukkan gejala hipotensi
yang tidak dapat dijelaskan dan atau curah jantung yang rendah, gangguan
kesadaran yang tidak dapat dijelaskan, dan kongesti paru yang tidak dapat
dijelaskan.1,2,5
Dorongan prekordial yang dihasilkan dari diskinesis ventrikel kiri dapat
dijumpai pada palpasi. Suara jantung mungkin mejauh, dan suara jantun tiga dan
empat, atau keduanya, biasanya dapat dijumpai. Murmur sistolik dari regurgitasi
mitral atau defek septal ventrikular dapat dijumpai, namun kompllikasikomplikasi ini dapat juga terjadi tanpa adanya murmur yang terdengar.1
Pemeriksaan elektrokardiografi harus dilakukan segera, pemeriksaan
diagnostik inisial lainnya juga dapat segera dilakukan seperti radiografi dada dan
pemeriksaan analisa gas darah, elektrolit, darah lengkap, serta enzim jantung.
Gambaran EKG yang normal dapat langsung diekslusikan sebagai kemungkinan
syok kardiogenik yang disebabkan oleh miokard infark.2
Sebagai tambahan, pemeriksaan ekokardiografi sangat penting pada
pemeriksaan awal untuk seluruh penderita yang mengalami syok, dan harus
dilakukan secepat mungkin. Ekokardiografi dapat menyediakan informasi
mengenai fungsi sistolik secara umum dan dapat menuju pada penegakan
diagnosis cepat untuk syok yang disebabkan oleh mekanikal, seperti ruptur
muskulus papilaris dan regurgitasi mitral akut, defek septum ventrikular akut, dan
ruptur free-wall dan tamponade. Regurgitasi mitral berat yang tidak diduga tidak
jarang dijumpai pada beberapa kasus, ekokardiografi dapat menunjukkan temuan
yang cocok dengan infark ventrikel kanan.1,3
Pemantauan hemodinamik invasif dapat berguna untuk menyingkirkan
deplesi volum, infark ventrikel kanan, dan komplikasi mekanik. Profil
hemodinamik dari syok kardiogenik termasuk PCWP > 15 mmHg dan cardiac
index < 2.2 L/menit/m2. Harus dikenali bahwa tekanan pengisian optimal dapat
lebih dari 15 mmHg pada pasien tertentu karena disfungsi diastolik ventrikel kiri.
Penyadapan jantung kanan dapat menunjukkan step up pada saturasi oksigen
yang merupakan diagnostik terhadap ruptur septum ventrikular atau adanya vwave yang besar yang mengesankan adanya regurgitasi mitral berat. Profil
hemodinamik dari infark ventrikel kanan termasuk tekanan pengisian sisi kanan
yang tinggi pada PCWP yang normal atau rendah.1
Pada saat identifikasi pasien dengan status pre-syok, atau syok nonhipotensi merupakan nilai spesial untuk meberikan intervensi terapeutik dan
mencegah perburukan. Tanda-tanda klinis dari hipoperfusi secara kuat
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas. Hipoperfusi merupakan suatu
penanda dari kegagalan hemodinamik yang akan datang, dan takikardi ( HR >
90/menit) pada keadaan ini harus diinterpretasikan sebagai suatu gejala pre-syok
dan bukan sebagai suatu respon terhadap curah jantung yang rendah dan
selanjutnya tonus simpatetik yang meningkat. Perhatian terutama pada penderita
dengan MI anterior dan perlu diingat bahwa sampai 30% penderita dengan MI
akan berkembang menjadi syok kardiogenik yang terlambat (sampai hari 5) pada
perjalanan penyakitnya, dan memiliki prognosis yang sangat buruk.2
Pada situasi seperti ini, pemilihan obat-obatan harus dilakukan secara
berhati-hati. Penggunaan -bloker, yang secara umum memiliki indikasi pada MI,
dapat mempercepat perkembangan syok pada penderita ini. Sebagai tambahan,
aktivasi dari sistem renin-angiotensin sebagai kompensasi yang mungkin dapat
menyelamatkan jiwa sebaiknya tidak dinetralkan dengan pemberian ACEinhibitor.2
2.6. Penatalaksanaan
Efeknya serupa baik syok kardiogenik yang muncul pada saat masuk RS maupun
pada onset terlambat. Mortalitas di RS dapat menurun dari 75% (pada pembuluh
darah yang oklusi) hingga 33% (pada pembuluh darah yang direvaskularisasi
dengan PCI). Ketika revaskulariasi emergensi dikombinasikan dengan Intra
Aortic Balloon Pump (IABP), keuntungannya meningkat dengan penurunan
mortalitas sampai 13% setelah follow-up satu tahun dibandingkan pada penderita
yang menerima terapi obat-obatan saja.2
Pendekatan inisial terhadap penderita dengan syok kardiogenik harus
termasuk resusitasi cairan kecuali dijumpai edema paru. Akses arteri dan vena
sentral, kateter urin, dan oksimetri nadi merupakan hal yang rutin. Oksigenasi dan
proteksi jalan nafas merupakan hal yang penting, intubasi dan ventilasi mekanik
sering dibutuhkan hanya jika diperlukan untuk menurunkan kerja pernafasan dan
memfasilitasi sedasi dan stabilisasi sebelum kateterisasi jantung. Apabila dijumpai
gangguan elektrolit harus segera diperbaiki. Hipokalemia dan hipomagnesium
merupakan faktor pencetus terhadap aritmia ventrikular, serta asidosis dapat
menurunkan fungsi kontraktilitas. Pengurangan rasa nyeri dan ansietas dengan
morfin sulfas dapat menurunkan aktivitas simpatis yang berlebihan dan
menurunkan kebutuhan oksigen, preload, dan afterload. Aritmia dan blok jantung
dapat mempengaruhi curah jantung dan harus dikoreksi dengan segera
menggunakan obat-obatan antiaritmia, kardioversi, maupun pacu jantung.1
Pada penderita dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volum
intravaskular yang mencukupi, sokongan kardiovaskular dengan agen inotropik
harus dimulai. Dobutamin, reseptor selektif -agonis adrenergik, dapat
memperbaiki kontraktilitas miokard dan meningkatkan curah jantung tanpa
mengakibatkan perubahan denyut jantung maupun resistensi vaskular sistemik
secara bermakna, ini merupakan pilihan agen utama pada penderita dengan
tekanan sistolik > 80 mmHg. Dobutamin dapat memperburuk hipotensi dan dapat
mencetuskan takiaritmia pada beberapa penderita. Dopamin bekerja secara
langsung pada reseptor miokard 1-adrenergik dan bekerja tidak langsung dengan
melepaskan norepinephrin. Dopamin memiliki efek inotropik dan vasopresor, dan
penggunaannya lebih dipilih pada keadaan tekanan sistolik < 80 mmHg. Takikardi
dan
kebanyakan pasien mengalami syok kardiogenik lebih dari 6 jam setelah datang
ke RS. Jika tidak dijumpai kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan
kepada penderita dengan IMA-STE dengan syok kardiogenik yang tidak sesuai
sebagai kandidat untuk mendapatkan terapi PCI atau CABG. (Kelas I, Level
B).1,10
Meskipun demikian, tidak ada suatu trial yang telah menunjukkan bahwa
terapi trombolitik menurunkan angka mortalitas pada penderita yang sudah
mengalami syok kardiogenik. Jumlah penderitanya kecil karena kebanyakan trial
trombolitik mengekslusikan penderita dengan syok kardiogenik pada saat masuk.
Pada trial GUSTO, 315 pasien menderita syok pada saat kedatangan, angka
mortalitas sebesar 56% pada penerita yang diterapi dengan streptokinase dan 59%
pada penderita yang diterapi dengan rTPA.1,7
Kegagalan terapi trombolitik untuk memperbaiki angka keselamatan pada
penderita dengan syok kardiogenik terlihat berlawanan dengan bukti bahwa
penurunan absolut angka mortalitas yang dihasilkan dari penggunaan agen
trombolitik paling baik pada penderita yang memiliki resiko tertinggi pada saat
presentasi awal. Suatu metaanalisis yang dilakukan oleh Fibrinolytic Therapy
Trialists Collaborative Group menunjukkan penurunan angka mortalitas dari
36.1% sampai 29.7% ketika terapi trombolitik digunakan pada penderita dengan
tekanan darah sistolik inisialnya kurang dari 100 mmHg. Pada penderita dengan
denyut jantung inisial lebih dari 100 kali/menit, angka mortalitas menurun dari
23.8% sampai 18.9%. namun bagaimanapun, kebanyakan penderita pada subgrup
ini tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik.1
Alasan mengapa efikasi trombolitik menurun pada penderita dengan syok
kardiogenik tidak sepenuhnya dimengerti namun
2.6.3. Revaskularisasi
Banyak trial telah melaporkan hasil yang baik untuk penderita dengan
syok kardiogenik yang menjalani CABG. Left main dan 3 vessel diasease sering
dijumpai pada penderita dengan syok kardiogenik. Namun bagaimanapun,
dibutuhkannya pertimbangan logistik dan waktu untuk mengerahkan tim operasi,
adanya angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi terhadap tindakan operasi,
serta hasil intervensi perkutan yang lebih disenangi, mematahkan tindakan rutin
CABG terhadap penderita syok kardiogenik. Sokongan IABP digunakan sebagai
jembatan untuk dilakukan tindakan CABG.1,10
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sampai 30% pada penderita infark
inferior dan signifikan secara klinis pada 10%. Syok ventrikel kanan secara umum
hanya 5% dari kasus syok kardiogenik akibat komplikasi IMA. Disfungsi
ventrikel kanan dapat menyebabkan atau memiliki peran terhadap syok
kardiogenik. Penderita menunjukkan gejala hipotensi, peningkatan vena jugularis,
dan paru yang bersih. Penegakan diagnosis dilakukan dengan mengidentifikasi
peningkatan segmen ST pada prekordial kanan atau karakteristik hemodinamik
pada kateterisasi jantung kanan (peningkatan tekanan atrial kanan dan tekanan
diastolik akhir ventrikel kanan dengan PCWP normal atau rendah serta curah
jantung
yang
rendah).
Ekokardiografi
dapat
menunjukkan
penurunan
menjaga
preload
ventrikel
kanan
dengan
pemberian
cairan.
akibat persamaan
tekanan yang cepat pada atrium kiri dan ventrikel kiri. Murmur juga bisa sangat
lemah atau tidak terdengar, terutama ketika curah jantung rendah.1,3
Ekokardiografi sangat penting untuk diagnosis banding, dimana termasuk
ruptur free-wall, dan ruptur septum intraventrikel. Pemantauan hemodinamik
dengan kateterisasi arteri pulmonal dapat juga bermanfaat.1,3
Penatalaksanaan termasuk penurunan afterload dengan nitropusside, dan
IABP sebagai tindakan bertahan. Terapi inotropik dan vasopresor juga dibutuhkan
untuk mendukung curah jantung dan tekanan darah. Bagaimanapun, terapi
diagnosis
paling
mudah
dilakukan
dengan
menggunakan
ekokardiografi.1
Stabilisasi cepat, dengan menggunakan IABP, diikuti dengan operasi
perbaikan merupakan satu-satunya pilihan untuk mendapatkan keselamatan
jangka panjang. Pemilihan waktu operasi masih kontroversial, namun banyak ahli
saat ini menyarankan operasi perbaikan harus dilakukan segera dalam 48 jam
setelah ruptur terjadi.1
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Outcomes.
Circulation
2008,
117:686-697.
http://circ.ahajournals.org/content/117/5/686
4. Gersh, Bernard J. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Dalam:
Fuster V, Alexander R.W, ORourke R., ed. Hursts the heart. 12th ed.
New York: McGraw-Hill; 2008.
5. Callif R.M; Bengston J.R. Current Concepts Cardiogenic Shock: Review
Article. N Engl J Med. 1994;330:1724-28.
6. Goldberg R.J; Gore J.M; Alpert J.S; Osganian V; deGroot J; Bade J; et al.
Cardiogenic Shock After Myocardial Infarction. Incidence and Mortality
from a Community-wide Perspective. N Engl J Med. 1991;325:1117-22.
7. Hochman J.S; Buller C.E; Sleeper L.A; Boland J; Dzvik V; Sanborn T.A;
et al. Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial InfarctionEtiologies, Management and Outcome: A Report from the SHOCK Trial
Registry.
Am
Coll
Cardiol.
2000;36:1063-70.
http://content.onlinejacc.org
8. Holmes D.R; Bates E.R; Kleiman N.S; Sadowski Z; Horgan J.H; Morris
D.C; et al. Contemporary Reperfusion Therapy for Cardiogenic Shock:
The GUSTO-I Trial Experience. Global Utilization of Streptokinase and
Tissue Plasminogen Activator for Occluded Coronary Arteries. J Am Coll
Cardiol. 1995;26:668-74.
9. Overgaard C.B; Dzavik V. Inotropes and Vassopressors. Review of
Physiology and Clinical Use in Cardiovascular Disease. Circulation.
2008;118:1047-1056.
10. OGara P.T; Kushner F.G; Ascheim D.D; Casey Jr D.E; Chung M.K; de
Lemos J.A; et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of STElevation Myocardial Infarction. J Am Coll Cardiol. 2013;61:e78-140.
http://content.onlinejacc.org
11. Menon
V;
Hochman
J.S.
Management
of
Cardiogenic
Shock