Вы находитесь на странице: 1из 4

BERDIKASI DALAM BIDANG EKONOMI

DENGAN MEMBUDAYAKAN TOGA (Tanaman Obat Keluarga)

Hampir 90% bahan baku obat, baik zat aktif maupun bahan pembantu di Indonesia
didapatkan melalui impor dari luar negeri, padahal sumber daya Indonesia dapat
dikembangkan (Hasan, 2011). Tingginya bahan baku dan bahan pembantu obat ke Indonesia
terus mendorong penelitian untuk menghasilkan eksipien lokal yang memenuhi kualitas
pharmaceutical grade (Kemenristek, 2011). Di Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan
tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan,
jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya dikenal
masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tersebut merupakan warisan
budaya bangsa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turuntemurun hingga ke generasi sekarang, sehingga tercipta berbagai ramuan tumbuhan obat yang
merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah bijaksana
apabila pengobatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan dengan pemanfaatan tumbuhan
obat tidak diupayakan untuk dikembangkan bagi kepentingan masyarakat dan bangsa
(Soraya, 2011)
Badan kesehatan Dunia(WHO) telah mencanangkan program hidup sehat melalui
back to nature atau kembali ke alam. Ketika menyambut Hari Kesehatan Nasional ke-34
tahun 1998, pemerintah mulai serius mengembangkan tanaman obat keluarga (TOGA) sesuai
anjuran WHO. Terkait anjuran itu, diharapkan penyebab timbulnya penyakit dapat
diminimalkan, sementara bagi orang yang sakit dapat cepat disembuhkan (Purwadaksi,
2007). Terdapat 1.000 jenis tanaman dinyatakan dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat,
dimana baru 350 spesies telah banyak digunakan masyarakat maupun industri sebagai bahan
baku obat. Terdapat 20 jenis TOGA yang dianjurkan Departemen Kesehatan RI yang
dibudayakan dipekarangan rumahan, diantaranya : jeruk nipis, bawah merah, laos, serai,
belimbing wuluh, cabai, pepaya, kunyit, temulawak, kencur, pisang, sirih, jambu biji, delima,
daun inggu, turi, asam jawa, jahe, temuhitam, dan bangle (DepKes RI, 2001).
Terdapat beberapa masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi TOGA secara bebas
tanpa konsultasi dengan dokter atau pakarnya. Fenomena tersebut terjadi, karena mereka
beranggapan bahwa obat yang terbuat dari bahan alami, seperti tanaman obat keluarga pasti
aman untuk dikonsumsi secara bebas. Padahal, menurut penelitian ditemukan bahwa terdapat
63% jenis toga akan cukup berbahaya bila tidak dikonsumsi sesuai dengan dosis/anjuran

pemakaian, dan akan sangat berbahaya bila dikonsumsi tidak sesuai dengan masalah
kesehatan yang diderita. Penggunaan bahan-bahan alami secara sembarangan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan lainnya. Gangguan kesehatan bisa berupa pusing, diare,
pingsan, muntah darah 3 sampai kerusakan ginjal (Wisnus, 2011). Tanaman obat yang masih
diproses secara tradisional atau rumahan belum dapat dipastikan jumlah kandungannya secara
tepat, sehingga bisa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika penggunaannya
tidak tepat. Untuk mencegah hal tersebut, maka diharapkan mekonsumsi tanaman obat sesuai
daftar TOGA yang aman menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2011.
Harapannya bisa menjadi bahan baku obat dalam mencanangkan preventif maupun
kuratif penyakit dan di pemerintah Indonesia mendukung penuh akan hal ini, karena Produksi
obat, 25% dari nilai total produksi adalah bahan baku yang merupakan suatu hal yang penting
pada tahapan produksi. Salah satu negara yang industri farmasinya sudah maju adalah Cina.
Cina menjadi negara industri yang kuat karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah
setempat, salah satu bentuk dukungan itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. Jika
sudah kompetitif, pelan-pelan subsidi akan dicabut oleh pemerintah.
Hal ini untuk mengurangi ketergantungan dan menjadikan industri lebih kuat dan bisa
menjalankan usahanya sendiri. Dipermudah ditahap awalnya, kemudian dilepas perlahan
hingga bisa berdiri sendiri di bawah naungan unit usahanya. Padahal Untuk keperluan riset
menemukan dan membentuk molekul pada sebuah produksi obat, membutuhkan biaya yang
cukup besar. Hal inilah yang kadang memberatkan pemerintah saat akan turun tangan
membantu industri farmasi. Jika tetap memaksakan membuat bahan baku industri farmasi di
dalam negeri dengan biaya yang tinggi, maka harga keluaran produk farmasi itu nantinya
tidak memiliki daya saing dengan produk impor seperti dari Cina dan India.
Satu catatan utama adalah untuk memulainya harus ada masukan, partisipasi, dan
kemitraan dengan industri farmasi nasional. Hal ini diharapkan mencapai titik kualitas yang
pharmaceutical grade yang lebih ekonomis tanpa mengimpor bahan baku dari negara-negara
lain, sehingga adalam jangka panjang kan memajukan ekonomi bangsa.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2011. Peraturan Kepala Badan
Pengawasan

Obat

dan

Makanan

Tanaman Keluarga. BPOM. Jakarta.

Republik

Indonesia

TentangPenggunaan

Almost 90% of pharmaceutical raw materials, both the active ingredient and
excipients in Indonesia obtained through imports from abroad, whereas Indonesia's resources
can be developed (Hasan, 2011). The high raw materials and auxiliary materials of drugs into
Indonesia continues to encourage research to produce excipients locally that meets the
quality pharmaceutical grade (Kemenristek, 2011).In Indonesia they know and utilize
medicinal plants as part of efforts to tackle health problems, long before the formal health
services with drugs known to modern society. Knowledge of the use of medicinal plants is a
national heritage based on knowledge and experience handed down through the generations
to the present generation, so as to create a variety of medicinal herbs that are characteristic of
traditional medicine in Indonesia. Therefore, it is not prudent for the treatment of diseases
and health care with the use of medicinal plants is not sought to be developed for the benefit
of society and the nation (Soraya, 2011)
The World Health Organization (WHO) has launched a program of healthy living
through a back to nature or returned to nature. When the National Health Day 34th 1998, the
government began to seriously develop medicinal plant families (TOGA) as recommended by
WHO. Related suggestion, it is expected the cause of the disease can be minimized, while for
those who are sick can be quickly cured (Purwadaksi, 2007). There are 1,000 kinds of plants
can otherwise be used as medicinal plants, of which 350 new species have been widely used
community and industry as raw material medicine. There are 20 types of TOGA
recommended the Ministry of Health were cultivated dipekarangan home, including: lime,
red bottom, galangal, lemongrass, starfruit, chili, papaya, turmeric, ginger, kencur, banana,
betel nut, guava, pomegranate, leaves inggu , turi, tamarind, ginger, temuhitam and bangle
(MOH RI, 2001).
There are few people in Indonesia who consume TOGA freely without consulting a
doctor or an expert. The phenomenon occurs, because they think that drugs made from
natural materials, such as medicinal plants should be safe to be consumed freely. In fact,
according to research found that there were 63% type of gown will be quite dangerous if not
taken according to the dose / recommendations of use, and would be very dangerous if taken
does not comply with ma one health suffered. The use of natural materials carelessly can
cause health problems more. Health problems can include dizziness, diarrhea, fainting,
vomiting of blood 3 to kidney damage (wisnus, 2011). Medicinal plants are still processed
traditionally or housing can not be ascertained exactly the number implies, that can cause
unwanted side effects if its use is not appropriate. To prevent that, it is expected that
appropriate medicinal plants mekonsumsi TOGA safe list according to the Food and Drug
Supervisory Agency (BPOM) in 2011.
The hope can become raw materials for drugs in the preventive and curative launched
the disease and in the Indonesian government fully supports this, because the production of
drugs, 25% of the total production is the raw material that is an important thing at this stage
of production. One of the countries already developed pharmaceutical industry is

China. China became a powerful industry as it gets full support from the local government,
one of the forms of support it is providing subsidies in the form of taxes. If it is competitive,
slowly subsidy will be withdrawn by the government.
This is to reduce dependence and make industry stronger and could run his own
business. Ditahap easy initially, then released slowly until he could stand alone in the shade
of its business units. In fact,for research purposes across and form a molecule in a drug
production, requires a considerable cost. This is sometimes burdensome when the
government will intervene to help the pharmaceutical industry. If still forced to make raw
materials in the pharmaceutical industry in the country with a high cost, the price of
pharmaceutical products output it will not be competitive with imported products such as
those from China and India.
One major note is to start there must be input, participation, and partnership with the
national pharmaceutical industry. It is expected to reach the point of quality pharmaceutical
grade more economical without importing raw materials from other countries, so the longterm adalam advancing the nation's economy.

Agency for Food and Drug Administration. 2011. Regulation of the Food
and Drug Administration of the Republic of Indonesia TentangPenggunaan Plant
Families. BPOM. Jakarta.

Вам также может понравиться