Вы находитесь на странице: 1из 4

Tantangan Taksi Konvensional

Zulkifli, nama sopir taksi tersebut, kemudian menuturkan pendapatannya kian hari
semakin surut. Kondisi ini sudah dialami selama kurun setahun terakhir, setelah hadirnya
dua penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi, Uber dan Grab Car.
Kami sedang bersaing ketat dengan taksi online itu, jangan sampai hanya berputar-putar
membuang bensin, padahal belum tentu mendapatkan penumpang, ujar Zulkifli dalam
perjalanan bersama metrotvnews.com menembus kemacetan Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Menurut Zulkifli, jika rata-rata sebelumnya bisa mengantarkan paling tidak ke sepuluh
tujuan dalam sehari, kini dia hanya bisa mendapatkan lima sampai enam penumpang
saja.
Guna menghindari lamanya proses tunggu kedatangan taksi,
calon penumpang bisa melakukan pemesanan melalui telepon
via aplikasi di telepon pintar yang juga disediakan Blue
pemesanan via aplikasi dan telepon yang dimaksud Zulkifli
payment (minimal pembayaran) Rp40.000.

kata Zulkifli, sebenarnya


atau aplikasi pemesanan
Bird. Sayangnya, untuk
ini dikenakan minimum

Sebelumnya memang 40 ribu rupiah, mungkin untuk membandingi tarif taksi online
akhirnya perusahaan menurunkan minimum payment menjadi 20 ribu rupiah per 1 Maret
kemarin, kata Zulkifli.
Polemik dunia transportasi publik di Indonesia saat ini satu sisi bisa dianggap sebagai
pertemuan dua pesaing dari ruang yang berbeda. Uber dan Grab dari dunia bisnis
teknologi berhadapan dengan para operator taksi yang bergelut langsung dalam bidang
transportasi. Namun, di sisi lainnya, baik berbasis aplikasi maupun secara langsung
bermain dalam ranah transportasi, keduanya saling berebut konsumen yang sama, yakni
konsumen transportasi.
Menurut pakar bisnis digital, Joseph Edi Lumban Gaol, kehadiran Uber dan Grab
merupakan bagian dari apa yang disebut dengan gejala disruptif dari dunia teknologi. Pola
ini sebelumnya juga dirasakan di dunia bisnis media, telekomunikasi, ritel, bahkan bisnis
finansial.
Contoh di media, seperti televisi dan radio cukup terusik dengan kehadiran Youtube, Daily
Motion, Vidio.com, dan lainnya. Karena mau tidak mau mereka telah mengambil alih
banyak pemirsa, kata Joseph kepada Metrotvnews.com, Kamis (17/3/2016).
Dalam gejala disruptif teknologi tersebut, kata Joseph, biasanya para pelaku bisnis digital
mengembangkan pola pemberdayaan konsumen sebagai daya tawar baru yang lebih
seksi dibanding apa yang dilakukan para pemain sebelumnya.
Kata kunci dari inovasi disruptif akibat teknologi digital ini adalah consumer
empowerment (pemberdayaan konsumen, red), di mana konsumen yang selama ini
biasanya didikte oleh produsen konvensional, sekarang dengan mudah memilih alternatif
lain dan bahkan mengendalikan sendiri layanan-layanan yang mereka butuhkan, kata
dia.
Polemik antara penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi dan operator taksi
konvensional, kata Joseph, sebenarnya hanya sebagai tanda dari apa yang disebut dengan
keniscayaan digital. Manusia, akan terus diantarkan pada pola yang serba canggih, praktis
dan berbasis jaringan.
Dalam soal transportasi, Grab misalnya, hadir bukan sebagai operator transportasi
melainkan pengelola komunitas berbagi. Model bisnis yang diadopsi adalah C2C atau
customer to customer, di mana Grab hanya mengumpulkan komunitas pemilik mobil
pribadi yang ingin berbagi dengan anggota komunitas lain yang ingin bepergian tanpa
harus memiliki mobil pribadi, kata dia.
Grab memainkan kecermatannya dalam tata kelola komunitas guna memfasilitasi
komunikasi dan transaksi antarpemilik kendaraan dan para konsumen. Perihal mereka
tidak tersentuh peraturan dan kewajiban seperti yang diterima operator konvensional, itu
karena memang mereka bukan pemiliki armada yang secara langsung memanfaatkan
keuntungan dari transaksi bisnis transportasi.
Tren global ini yang sangat populer disebut dengan crowdsourcing community dan tidak
hanya terjadi di industri transportasi, kata Joseph.

Pertarungan yang adil


Direksi PT Blue Bird Tbk menyatakan pihaknya sebenarnya tak mempermasalahkan
kehadiran Uber dan Grab dalam persaingan bisnisnya. Namun, pemerintah semestinya
menegakkan aturan yang berlaku mengenai ketentuan usaha angkutan yang
menggunakan aplikasi tersebut.
Blue Bird merasa pemerintah telah pilih kasih alias tidak adil dalam memperlakukan Grab
dan Uber. Ketidakadilan itu terletak pada aturan main bisnis transportasi yang tidak
dipenuhi perusahaan penyedia aplikasi transportasi dalam jaringan (daring) Uber dan
Grab Car. Mereka tidak mengikuti tata aturan terutama yang tertuang dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Juga tidak menaati kewajiban perusahaan
layanan angkutan umum lainnya semisal perpajakan serta penanaman modal.
Mereka tidak melakukan apa yang kami lakukan. Mereka tidak mengurus izin
operasional, uji KIR, dan pajak angkutan. Pantas saja kalau mereka dibilang murah, karena
tidak ada beban, kata Direktur Blue Bird Andre Djokosoetono kepada metrotvnews.com di
Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Ia berterus terang bahwa perusahaan taksi konvesional kesulitan untuk menyaingi Uber
dan Grab Car dalam soal penetapan tarif. Dalam perhitungan beban dan tanggungjawab
yang harus dibayar selama ini tidak berbanding lurus dengan definisi tarif murah seperti
yang didengung-dengungkan konsumen.
Kepala Humas PT Blue Bird Tbk Teguh Wijayanto menambahkan, besaran tarif sudah
ditetapkan oleh pemerintah. Namun, Uber dan Grab Car tidak mengikuti ketetapan
pemerintah. Oleh karena itu, konsumen diharapkan bijak dalam menilai. Masyarakat
dihimbau tidak menjadikan tarif Grab Car dan Uber sebagai acuan.
Mereka itu ilegal, kata Teguh.
Pemerintah pun semestinya mengambil tindakan tegas terkait kehadiran mereka yang
merupakan bagian dari jaringan bisnis global di bidang transportasi. Teguh menyatakan,
Uber dan Grab Car hanya mengambil keuntungan dari Indonesia tanpa memberi kontribusi
sebagaimana perusahaan transportasi lokal yang dilakukan selama ini.
Mereka itu milik asing. Mengapa dibiarkan? Bayar pajak saja tidak. Mereka hanya
mengambil keuntungan tanpa bersumbangsih kepada negara, kata dia.
Blue Bird, sebagai keterwakilan dari kelompok operator taksi di Indonesia mengaku tidak
hanya menjalani aktivitas bisnis. Di sisi lain, pihaknya juga merasa penting untuk
menjelaskan kepada khalayak bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dipakai untuk
melangkahi kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap negara.
Jangan terlalu mendewakan teknologi lah, kalau soal aplikasi kita sudah lama buat sejak
2011. Tapi pajak dan mengikuti peraturan pemerintah lainnya tetap penting, kata Teguh.
Dalam pola bisnis transportasi, pelayanan terhadap konsumen juga menjadi penting. Pola
jaringan yang dipakai Uber dan Grab Car dengan melibatkan mitra berupa mobil-mobil
non plat kuning, sebenarnya memberikan tanda tanya besar terhadap jaminan keamanan
para konsumen.
Kami juga mengeluarkan cost tersendiri untuk menjamin sumberdaya sopir yang
mumpuni. Pelayanan paling utama adalah menjamin kenyamanan dan keamanan
penumpang di bawah sopir yang berada dalam pengawasan penuh perusahaan, kata dia.
Lain ladang, lain ilalang
Kesan tidak taat pajak dan melenggang tanpa memenuhi peraturan pemerintah ditampik
pihak Grab sebagai keterwakilan dari perusahaan penyedia aplikasi layanan transportasi
daring. Menurut Managing Director PT Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, persoalan
tersebut hanya terletak pada pola bisnis yang mereka lakukan sebagai terobosan baru
dalam dunia serba digital.

Persoalannya bukan taat tidak taat, tapi soal pola berbeda yang dipakai. Kami tidak
merasa berkewajiban dengan seperangkat peraturan teknis angkutan jalan karena kami
memang bukan perusahaan operator taksi. Kami hanya merupakan penyedia aplikasi
layanan transportasi. Kami tidak memiliki armada, kata Ridzki saat dihubungi
Metrotvnews.com, Jumat (18/3/2016).
Kehadiran Grab, kata Ridzki, hanya untuk menjawab kebutuhan konsumen terkait
pelayanan transportasi yang nyaman, murah dan praktis. Persoalan pun bukan sekadar
terletak pada adanya aplikasi pemesanan, melainkan pola bisnis yang diterapkan
pihaknya sebagai cara baru dalam perkembangan era digital.

Kami hadir di Indonesia sebagai perusahaan teknologi yang menghubungkan konsumen


dengan para pemilik angkutan. Soal pajak dan lain-lain, kami juga membayar pajak PPN,
dan pemberian intensif, kata dia.
Terobosan baru dalam bisnis yang dilakukan Grab tidak bisa dibenturkan dengan pola
perusahaan transportasi konvensional yang selama ini dijalani. Grab, kata Ridzki,
merupakan perusahaan rintisan (startup) sebagaimana kecenderungan baru yang telah
muncul dalam dunia transaksi jual beli, telekomunikasi, media, dan lain-lain.
Kami legal. Kami juga mencoba memenuhi saran-saran yang diberikan pemerintah.
Seperti kemarin soal pentingnya membuat koperasi bagi mitra, ya kami ikuti, karena ini
juga baik untuk kepentingan bersama, ujar Ridzki.
Grab bertekad akan menempatkan diri sebagai perusahaan teknologi karena pola ini
dinilai pas guna menjawab kebutuhan publik pengguna jasa transportasi. Kehadiran
mereka di bidang layanan jasa transportasi, ujar Ridzki, tidak bermaksud memberangus
keberadaan bisnis operator taksi yang selama ini beroperasi di Indonesia.
Urusan ini biar dijadikan alternatif bagi konsumen untuk menjawab kebutuhan mereka
sendiri, kata Ridzki.
Baik penyedia layanan transportasi daring maupun perusahaan taksi konvensional seakan
telah begitu mantap memertahankan dalih masing-masing. Lantas, siapa dan bagaimana
seharusnya peran penyelesaian polemik ini dimainkan?, tentu hal ini terletak pada
ketegasan pemerintah sebagai perumus regulasi, dan konsumen sebagai raja yang
memiliki kebebasan untuk memilih.
Ambil jalan tengah
Dalih yang dipersoalkan operator taksi konvensional yang menuntut kesetaraan
tanggungjawab dalam bisnis transportasi memang tak sepenuhnya keliru. Pajak
perusahaan transportasi yang selama ini sedikit banyaknya turut mendorong
pembangunan nasional menjadi hal yang juga patut dipertimbangkan.
Pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Onno W. Purbo menganggap kedua
sisi pertentangan tersebut memang harus diakomodir. Terobosan Grab dan Uber sebagai
perusahaan teknologi tidak bisa dihalang-halangi. Tapi di sisi lain, persoalan syarat dan
prasyarat perusahaan yang ambil untung dalam ranah transportasi juga patut
dipertimbangkan.
Masalahnya lama-lama Uber dan Grab menjalankan usaha seperti perusahaan taksi.
Meski term taksi pun harus ditelaah kembali. Apakah mobil rental dengan tarif per jam itu
disebut taksi?. Saya pikir, kalau persoalannya itu, ada baiknya Uber dan Grab turut
mengurus perizinan mereka, kata Onno.
Menurut Onno, tak jarang perkembangan digital di Indonesia ini cukup membingungkan.
Suatu waktu, pemerintah kerap mempromosikan peluang bisnis digital melalui
pengembangan perusahaan rintisan. Tapi di sisi lain, ketika memunculkan polemik dan
perdebatan, solusi pemblokiran seolah-olah menjadi solusi terbaik.
Termasuk pada persoalan transportasi ini. Kenapa Menhub kok tiba-tiba meminta adanya
pemblokiran aplikasi Uber dan Grab?. Kalau persoalannya di izin, ya diskusikan yang
matang atau tawarkan solusi titik tengah dari persolan itu, ujar dia.
Menurut Onno, penyelesaian polemik tidak hanya dibebankan kepada pemain baru yang
dalam hal ini diwakili Uber dan Grab. Akan tetapi, perusahaan operator taksi juga perlu

untuk mempertimbangkan kecenderungan pola bisnis yang terus berubah, terutama saat
memasuki era serba digital sekarang ini.
Sederhananya pemerintah maupun perusahaan konvensional juga harus mulai
memikirkan pentingnya mengubah alur bisnis. Jangan salahkan perusahaan startup
karena mereka dianggap lebih efektif. Justru belajarlah dari terobosan yang biasanya
digalakan oleh anak-anak muda ini, ujar Onno.
Kehadiran perusahaan rintisan merupakan gejala keniscayaan digital. Hal ini, menurut
Onno, cukup memalukan jika memandangnya dalam nalar yang sempit dan sinis.
Perubahan menuju dunia serba digital memungkinkan bagi semua pihak untuk terus
belajar dan mengembangkan diri. Bukan menjadikan mereka berhadap-hadapan, terlebih
saling menghalangi.
Dalam hal ini saya sering mengutip Phil Karn. Either lead or follow but please don't block
the road for those who would move forward. Itu yang sering menjadi prinsip yang
didengungkan para pendobrak di negara maju, kata Onno.

Вам также может понравиться