Вы находитесь на странице: 1из 33

Etika Lingkungan Hidup

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran
etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia
berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma
kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan
kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan hati
nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi
penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari
muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun
akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Kiranya tidak salah jika manusia dipandang sebagai kunci pokok dalam kelestarian
maupun kerusakkan lingkungan hidup yang terjadi. Cara pandang dan sikap manusia terhadap
lingkungan hidup menyangkut mentalitas manusia itu sendiri yang mempertanyakan
eksistensinya di jaman modern ini dalam kaitannya dengan waktu, tujuan hidup, arti materi dan
kepuasan materi. Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal bagaimana
mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan eksistensi manusia
dalam hubungannya dengan alam.
2. Identifikasi Pemilihan Masalah
Dari berbagai macam pemikiran di atas mendorong kami untuk memilih dan membahas
tema etika lingkungan hidup. Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang
rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan
berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini
memunculkan pertanyaan dalam hubungannya dengan ruang lingkup teologi/ teosentris Kristen
dan ruang lingkup etika lingkungan hidup;
1. Apa pengertian dan definisi etika lingkungan hidup?
2. Bagaimana kondisi real lingkungan hidup?

3. Apa saja penyebab kerusakan alam?


4. Apa saja teori-teori pendekatan atas alam?
5. Paham apa yang tepat dari teori-teori pendekatan atas alam?
6. Bagaimanakah seruan alam oleh Santo Fransiskus Asisi?
7. Apa sikap Yesus terhadap lingkungan hidup?
3. Tujuan Pemilihan Masalah
Adapun tujuan kami untuk mengangkat masalah etika lingkungan hidup ini adalah;
1. Mengetahui pengertian dan definisi etika lingkungan hidup.
2. Mengetahui kondisi real lingkungan hidup.
3. Mengetahui penyebab kerusakan alam.
4. Mengetahui teori pendekatan alam.
5. Mengetahui paham apa yang tepat dari teori-teori pendekatan atas alam.
6. Mengetahui seruan alam oleh Santo Fransiskus Asisi.
7. Mengetahui sikap Yesus terhadap lingkungan hidup.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Definisi Etika Lingkungan Hidup
a.

Pengertian Etika
Menurut bahasa Yunani Kuno, etika berasal dari kata ethikos yang berarti timbul dari
kebiasaan. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian
utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika
terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin Ethicos yang berarti
kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila
sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika
adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang
dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan
(norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping pengertian tersebut, etika dapat diartikan sebagai nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya, kumpulan asas atau nilai moral, atau semacam kode etik, ilmu tentang yang baik atau

buruk, atau pengkajian secara sistematis dan metodis semua nilai yang dianggap baik dan buruk
yang diterima begitu saja dalam suatu masyarakat (K. Bertens, 2000:6-7).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1988), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu;
1.
2.
3.
b.

Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Lingkungan Hidup
Adapun berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya.
Pengertian lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung.

Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik.


c. Etika Lingkungan Hidup
Etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam
mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan, kita tidak saja
mengimbangi hak dan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan hidup juga
membatasi perilaku, tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap
berada dalam batas kewajaran lingkungan hidup. Jadi etika lingkungan hidup juga berbicara
mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia
yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam
secara keseluruhan termasuk di dalamnya berbagai kebijakan yang mempunyai dampak langsung
atau tidak langsung terhadap alam. Untuk menuju kepada etika lingkungan hidup tersebut,
diperlukan pemahaman tentang perubahan pandangan terhadap lingkungan hidup itu sendiri.
Etika dalam konsep lingkungan hidup sangat penting karena berkaitan dengan perilaku
manusia agar dengan etika orang dapat mengenal dan memahami nilai dan norma-norma yang
membimbing perilaku proses individual dan sosial terhadap alam dan lingkungan hidupnya.
Artinya dasar etika ini adalah tindakan yang ditujukan kepada alam atau lingkungan hidup (E.
Dussel, 1980:101).
Etika sering dikatakan sebagai filsafat tentang ajaran moral. Dengan demikian, etika
berbeda dengan ajaran moral atau kesusilaan. Etika di sini tidak mengajarkan apa yang wajib

dilakukan orang, melainkan bagaimana pertanyaan itu dijawab secara rasional dan bertanggung
jawab (Franz Magnis-Suseno, 1991:10).
Manfaat etika secara filosofis adalah untuk mempertahankan ketahanan ekologi
dengan cara orang diajak untuk mereflesikan kembali:
1. Kesadaran diri sebagai bagian tak terpisahkan dari lingkungan hidup: apakah sungguh disadari
bahwa bukan hanya kita yang membutuhkan lingkungan hidup dalam artian fisik, melainkan
2.

lingkungan hidup juga membutuhkan moralitas kita terhadapnya;


Pengertian dan tindakannya yang baik terhadap lingkungan hidup: apakah ada pemahaman (yang
benar) dan tindakan yang baik terhadap lingkungan hidup karena didorong oleh hati nurani yang
bersih, dan tanggung jawab dari manusia yang mempunyai keunggulan mutu pribadi, yang
perbuatan baik dilakukannya tidak tergantung pada masyarakat dari luar atau ketakutan misalnya
pada sanksi hukum.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan
menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan
juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah
etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia,
sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan
untuk kepentingan semua mahluk.
Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling
menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini
memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu
memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk
berkembang.
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu
lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika
lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan
alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai
penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk
memelihara alam demi kepentingan bersama.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia. Etika ekologi

dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu
pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan.
Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi
estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus.
Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya
yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada
aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika.
1.
2.
3.
4.
5.

Ciri-ciri etika lingkungan hidup


Sikap dasar menguasai secara berpartisipasi.
Menggunakan sambil memlihara.
Belajar menghormati lingkungan hidup dan kehidupan.
Kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan hati nurani yang bersih,
Tidak hanya bersifat homosentri, yang sering tidak memperhitungkan ecological externalities,

melainkan juga ekosentris.


6. Pembangunan tidak hanya mementingkan manusia, melainkan kesatuan antara manusia dengan
keseluruhan ekosistem atau kosmos.
Prinsip etika lingkungan hidup
1. Sikap hormat terhadap alam
2. Prinsip tanggung jawab
3. Prinsip solidaritas
4. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam
5. Prinsip tidak merugikan
6. Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam
7. Prinsip keadilan
8. Prinsip demokrasi
9. Prinsip integritas moral
2. Kondisi Real Lingkungan Hidup
Krisis lingkungan global yang terjadi pada saat sekarang ini antara lain terjadinya
kerusakan (hutan, tanah, lapisan ozon), pencemaran (air, tanah, udara, laut), kepunahan sumber
daya energi dan mineral, kepunahan keanekaragaman hayati, dan lain-lain. Dimana Krisis
lingkungan global sudah merupakan ancaman yang sangat serius dan nyata terhadap kehidupan
manusia. Apa yang menjadi akar permasalahan dalam krisis lingkungan global adalah: pertama,
kesalahan cara pandang (paradigma) manusia terhadap dirinya, alam dan hubungan manusia
dengan alam. Sifat manusia yang tamak, rakus, pola konsumsi, eksploitatif dan tidak

bertanggung jawab merupakan salah satu permasalahan yang ada. Kedua, kesalahan paradigma
pembangunan, dimana pembangunan berkelanjutan hanya sebagai jargon, yang pada
kenyataannya pembangunan yang terjadi mengorbankan lingkungan. Ketiga, adanya bad
government, bad ethics seperti KKN yang menyebabkan ijin eksploitasi tanpa peduli lingkungan
hidup.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan
tindakan agar krisis lingkungan dapat teratasi yaitu: pertama, perubahan perilaku. Kedua,
perubahan paradigma pembangunan dari pembangunan berkelanjutan ke pembangunan
keberlanjutan ekologi. Ketiga, perlunya Good Environmental Government, yang memiliki
komitmen moral yang konsisten (individu, masyarakat, dunia usaha dan pemerintah).
Proses perusakan lingkungan sudah berjalan lama, yaitu sejak dimulainya proses
industrialisasi. Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan
yang dapat memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah
menjadi barang guna memenuhi kabutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya
alat bantu, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah
intensitas pengeksploitasian lingkungan menjadi semakin gencar tak terkendali. Alam tidak lebih
dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam
tidak lagi dihargai sebagai organisme. Sayangnya, kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan
hidup mulai muncul sejak sesudah Perang Dunia II dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu
ketika alam terlanjur rusak berat. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber
alam semakin menipis.
Untuk itu etika lingkungan hidup kini hendaknya mempunyai fungsi yang sangat diperlukan
untuk kesadaran moral dan tanggung jawab penuh terhadapt alam, karena alam hanya dititipkan
Tuhan kepada manusia untuk dijaga, dirawat, dan dilestarikan.
Menjadi nyata bahwa benturan yang menyebabkan lingkungan hidup menjadi rusak datang
dari manusia dalam proses mengambil, mengolah, dan mengonsumsi sumber- sumber alam.
Benturan terjadi ketika proses-proses itu melampui batas-batas kewajaran atau proposionalitas.
Batas-batas kewajaran atau proposionalitas itu terlampaui ketika manusia semakin mampu
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber- sumber secara masal,
intensif, dan cepat dan sekaligus mengotori atau mencemarinya. Tetapi yang lebih parah lagi,
yaitu bahwa manusia yang merasa semakin enak semakin tidak tahu diri, sehingga ia seolah-olah

menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran untuk menjaga dan memelihara
lingkungan hidup harus dikembalikan pada manusia, dengan mempertanyakan tentang dirinya
dan kelakuannya terhadap alam. Agar kerusakan yang terjadi di tidak semakin menjadi-jadi dan
juga agar anak cucu kita juga dapat merasakan betapa indahnya alam.
3. Penyebab Kerusakan Alam
Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dibedakan menjadi 2
jenis, yaitu:
a. Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Peristiwa Alam
Peristiwa alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain:
1. Letusan gunung berapi
Letusan gunung berapi terjadi karena aktivitas magma di perut bumi yang menimbulkan tekanan
kuat keluar melalui puncak gunung berapi. Bahaya yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi
antara lain berupa:
1) Hujan abu vulkanik, menyebabkan gangguan pernafasan.
2) Lava panas, merusak, dan mematikan apa pun yang dilalui.
3) Awan panas, dapat mematikan makhluk hidup yang dilalui.
4) Gas yang mengandung racun.
5) Material padat (batuan, kerikil, pasir), dapat menimpa perumahan, dan lain-lain.
2. Gempa bumi
Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang bisa disebabkan karena beberapa hal, di
antaranya kegiatan magma (aktivitas gunung berapi), terjadinya tanah turun, maupun karena
gerakan lempeng di dasar samudra. Manusia dapat mengukur berapa intensitas gempa, namun
manusia sama sekali tidak dapat memprediksikan kapan terjadinya gempa. Oleh karena itu,
bahaya yang ditimbulkan oleh gempa tidak kalah dahsyatnya dengan letusan gunung berapi.
Pada saat gempa berlangsung terjadi beberapa peristiwa sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung, di antaranya:
1) Berbagai bangunan roboh.
2) Tanah di permukaan bumi merekah, jalan menjadi putus.
3) Tanah longsor akibat guncangan.

4) Terjadi banjir, akibat rusaknya tanggul.


5) Gempa yang terjadi di dasar laut dapat menyebabkan tsunami (gelombang pasang).
3. Angin topan
Angin topan terjadi akibat aliran udara dari kawasan yang bertekanan tinggi menuju ke
kawasan bertekanan rendah. Perbedaan tekanan udara ini terjadi karena perbedaan suhu udara
yang mencolok. Serangan angin topan bagi negara-negara di kawasan Samudra Pasifik dan
Atlantik merupakan hal yang biasa terjadi. Bagi wilayah-wilayah di kawasan California, Texas,
sampai di kawasan Asia seperti Korea dan Taiwan, bahaya angin topan merupakan bencana
musiman. Tetapi bagi Indonesia baru dirasakan di pertengahan tahun 2007. Hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadi perubahan iklim di Indonesia yang tak lain disebabkan oleh adanya gejala
pemanasan global. Bahaya angin topan bisa diprediksi melalui foto satelit yang menggambarkan
keadaan atmosfer bumi, termasuk gambar terbentuknya angin topan, arah, dan kecepatannya.
Serangan angin topan (puting beliung) dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dalam
bentuk:
1) Merobohkan bangunan.
2) Rusaknya areal pertanian dan perkebunan.
3) Membahayakan penerbangan.
4) Menimbulkan ombak besar yang dapat menenggelamkan kapal.
b. Kerusakan Lingkungan Hidup karena Faktor Manusia
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan
kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi
mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan
modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak
diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan
yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, antara lain:
1. Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya
kawasan industri.
2. Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan kesalahan
dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan.
3. Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan.

Beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa
dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain:
1. Penebangan hutan secara berlebihan (penggundulan hutan).
2. Perburuan liar.
3. Merusak hutan bakau.
4. Penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman.
5. Pembuangan sampah di sembarang tempat.
6. Bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS).
7. Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas.
Upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan hidup
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan
tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan
usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi
terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa
harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program
pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah usaha meningkatkan kualitas manusia secara
bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan
dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan
merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992. Di dalamnya terkandung 2
gagasan penting, yaitu:
a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup.
b. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Adapun ciri-ciri Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah sebagai berikut:
a.

Menjamin pemerataan dan keadilan.

b. Menghargai keanekaragaman hayati.


c.

Menggunakan pendekatan integratif.

d. Menggunakan pandangan jangka panjang.


Pada masa reformasi sekarang ini, pembangunan nasional dilaksanakan tidak lagi
berdasarkan GBHN dan Propenas, tetapi berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000, tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tujuan di antaranya:
a. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan
berkelanjutan.
b. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan.
1. Upaya yang Dilakukan Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya memiliki tanggung
jawab besar dalam upaya memikirkan dan mewujudkan terbentuknya pelestarian lingkungan
hidup. Hal-hal yang dilakukan pemerintah antara lain:
a. Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna Tanah.
b. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
c. Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan).
d. Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan
pokoknya:
1. Menanggulangi kasus pencemaran.
2. Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3).
3. Melakukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
e. Pemerintah mencanangkan gerakan menanam sejuta pohon.
2. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup oleh Masyarakat Bersama Pemerintah
Sebagai warga negara yang baik, masyarakat harus memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Beberapa upaya yang dapat dilakuklan masyarakat berkaitan dengan pelestarian lingkungan
hidup antara lain:
a. Pelestarian tanah (tanah datar, lahan miring/perbukitan)
Terjadinya bencana tanah longsor dan banjir menunjukkan peristiwa yang berkaitan
dengan masalah tanah. Banjir telah menyebabkan pengikisan lapisan tanah oleh aliran air yang
disebut erosi yang berdampak pada hilangnya kesuburan tanah serta terkikisnya lapisan tanah
dari permukaan bumi. Tanah longsor disebabkan karena tak ada lagi unsur yang menahan lapisan
tanah pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Jika hal tersebut dibiarkan terus
berlangsung, maka bukan mustahil jika lingkungan berubah menjadi padang tandus. Upaya
pelestarian tanah dapat dilakukan dengan cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau
penghijauan kembali (reboisasi) terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan
atau pegunungan yang posisi tanahnya miring perlu dibangun terasering atau sengkedan,
sehingga mampu menghambat laju aliran air hujan.
b. Pelestarian udara
Udara merupakan unsur vital bagi kehidupan, karena setiap organisme bernapas memerlukan
udara. Udara yang kotor karena debu atau pun asap sisa pembakaran menyebabkan kadar
oksigen berkurang. Keadaan ini sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup setiap
organisme. Maka perlu diupayakan kiat-kiat untuk menjaga kesegaran udara lingkungan agar
tetap bersih, segar, dan sehat. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga agar udara tetap bersih
dan sehat antara lain:
1. Menggalakkan penanaman pohon atau pun tanaman hias di sekitar kita
Tanaman dapat menyerap gas-gas yang membahayakan bagi manusia. Tanaman mampu
memproduksi oksigen melalui proses fotosintesis. Rusaknya hutan menyebabkan jutaan tanaman
lenyap sehingga produksi oksigen bagi atmosfer jauh berkurang, di samping itu tumbuhan juga
mengeluarkan uap air, sehingga kelembapan udara akan tetap terjaga.
2. Mengupayakan pengurangan emisi atau pembuangan gas sisa pembakaran
Baik pembakaran hutan maupun pembakaran mesin Asap yang keluar dari knalpot kendaraan
dan cerobong asap merupakan penyumbang terbesar kotornya udara di perkotaan dan kawasan
industri. Salah satu upaya pengurangan emisi gas berbahaya ke udara adalah dengan

menggunakan bahan industri yang aman bagi lingkungan, serta pemasangan filter pada cerobong
asap pabrik.
3. Mengurangi atau bahkan menghindari pemakaian gas kimia
Gas kimia yang dapat merusak lapisan ozon di atmosfer Gas freon yang digunakan untuk
pendingin pada AC maupun kulkas serta dipergunakan di berbagai produk kosmetika, adalah gas
yang dapat bersenyawa dengan gas ozon, sehingga mengakibatkan lapisan ozon menyusut.
Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfer yang berperan sebagai filter bagi bumi, karena mampu
memantulkan kembali sinar ultraviolet ke luar angkasa yang dipancarkan oleh matahari. Sinar
ultraviolet yang berlebihan akan merusakkan jaringan kulit dan menyebabkan meningkatnya
suhu udara. Pemanasan global terjadi di antaranya karena makin menipisnya lapisan ozon di
atmosfer.
c. Pelestarian hutan
Eksploitasi hutan yang terus menerus berlangsung sejak dahulu hingga kini tanpa diimbangi
dengan penanaman kembali, menyebabkan kawasan hutan menjadi rusak. Pembalakan liar yang
dilakukan manusia merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan. Padahal
hutan merupakan penopang kelestarian kehidupan di bumi, sebab hutan bukan hanya
menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi, melainkan juga penghasil oksigen, penahan
lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air.
Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan hutan:
1. Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul.
2. Melarang pembabatan hutan secara sewenang-wenang.
3. Menerapkan sistem tebang pilih dalam menebang pohon.
4. Menerapkan sistem tebangtanam dalam kegiatan penebangan hutan.
5. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan
hutan.
d. Pelestarian laut dan pantai
Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan biota laut dan
pantai banyak disebabkan karena ulah manusia. Pengambilan pasir pantai, karang di laut,
pengrusakan hutan bakau, merupakan kegatan-kegiatan manusia yang mengancam kelestarian
laut dan pantai. Terjadinya abrasi yang mengancam kelestarian pantai disebabkan telah hilangnya
hutan bakau di sekitar pantai yang merupakan pelindung alami terhadap gempuran ombak.

Adapun upaya untuk melestarikan laut dan pantai dapat dilakukan dengan cara:
1. Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di areal sekitar pantai.
2. Melarang pengambilan batu karang yang ada di sekitar pantai maupun di dasar laut, karena
karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut.
3. Melarang pemakaian bahan peledak dan bahan kimia lainnya dalam mencari ikan.
4. Melarang pemakaian pukat harimau untuk mencari ikan.
e. Pelestarian flora dan fauna
Kehidupan di bumi merupakan sistem ketergantungan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan
alam sekitarnya. Terputusnya salah satu mata rantai dari sistem tersebut akan mengakibatkan
gangguan dalam kehidupan. Oleh karena itu, kelestarian flora dan fauna merupakan hal yang
mutlak diperhatikan demi kelangsungan hidup manusia. Upaya yang dapat dilakukan untuk
menjaga kelestarian flora dan fauna di antaranya adalah:
1. Mendirikan cagar alam dan suaka margasatwa.
2. Melarang kegiatan perburuan liar.
3. Menggalakkan kegiatan penghijauan.
4. Teori Pendekatan Atas Alam
Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana
pandangannya terhadap sesuatu itu, Kalau sesuatu hal dipandang sebagai berguna dan penting,
maka sikap dan perilaku terhadap sesuatu itu lebih banyak bersifat menghargai. Sebaliknya jika
sesuatu hal dipandang dan dipahami sebagai sesuatu yang tidak berguna dan tidak penting, maka
sikap dan perilaku yang muncul lebih banyak bersifat mengabaikan, bahkan merusak.. Manusia
memiliki pandangan tertentu pada alam, dimana pendangan itu telah menjadi landasan bagi
tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Dari beberapa pandangan etika yang telah
berkembang tentang alam disini akan dibahas tiga teori utama, yang dikenal dengan Shallow
environmental Ethics, Intermediate Environmental ethics, dan Deep Environmental ethics.
Ketiga teori ini dikenal juga sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.
1. Antroposentrisme
Antroposentrisme (antropos = manusia) adalah suatu pandangan yang menempatkan
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala
kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan

kepentingannya. Jadi, pusat pemikirannya adalah manusia. Kebijakan terhadap alam harus
diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan manusia. Pandangan moral lingkungan yang
antroposentrisme disebut juga sebagai human centered ethic, karena mengandaikan kedudukan
dan peran moral lingkungan hidup yang terpusat pada manusia. Maka tidak heran kalau fokus
perhatian dalam pandangan ini terletak pada peningkatan kesejahteraan dan kebahagian manusia
di dalam alam semesta. Alam dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam dilihat sebagai alat bagi
pencapaian tujuan manusia.
Antroposentrisme didasarkan pada pandangan filsafat yang mengklaim bahwa hal yang
bernuansa moral hanya berlaku pada manusia. Manusia di agungkan sebagai yang mempunyai
nilai paling tinggi dan paling penting dalam kehidupan ini, jauh melebihi semua mahluk lain.
Ajaran yang telah menempatkan manusia sebagai pusat suatu sistem alam semesta ini telah
membuat arogan terhadap alam, dengan menjadikan sebagai objek untuk dieksploitasi.
Antroposentrisme sangat bersifat instrumentalis, dimana pola hubungan manusia dengan
alam hanya terbatas pada relasi instrumental semata. Alam dilihat sebagai alat pemenuhan dan
kepentingan manusia. Teori ini dianggap sebgai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan
sempit ( shallow environmental ethics ).
Antroposentrisme sangat bersifat teologis karena pertimbangan yang diambil untuk
peduli terhadap alam didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia.
Konservasi alam misalnya, hanya dianggap penting sejauh hal itu mempunyai dampak
menguntungkan bagi kepentinmgan manusia.
Teori antroposentrisme telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis
lingkungan hidup. Pandangan inilah yang menyebabkan manusia berani melakukan tindakan
eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya. Kepedulian

lingkungan hanya muncul sejauh terkait dengan kepentingan manusia, dan itupun lebih banyak
berkaitan dengan kepentingan jangka pendek saja.
Walaupun kritik banyak dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya
argumen yang ada didalamnya cukup sebagai landasan kuat bagi pengembangan sikap
kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidupn yang baik, maka demi
kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam
lingkungannya. Kekurangan pada teori ini terletak pada pendasaran dari tindakan memberi
perhatian pada alam, yang tidak didasarkan pada kesadaran dan pengakuan akan adanya nilai
ontologis yang dimiliki oleh alam itu sendiri, melainkan hanya kepentingan manusia semata.
2. Biosentrisme
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan
kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster.
Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan
senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk
hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya
manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul
Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan
dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai
nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian biosentrisme
menolak antroposentrisme yang menyatakan bahwa manusialah yang mempunyai nilai dalam
dirinya sendiri. Teori biosentrisme berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia
saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang
rumit dari biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia
menanggapi pertanyaan: Apakah hidup itu?[i]. Pandangan biosentrisme mendasarkan
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena

yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara
moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang
sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk
hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan
lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa
kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain dimuka
bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat dituliskan sebagai berikut:
adalah hal yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan,
sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan.
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya
sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya.
Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap sesama manusia.
Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral
bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai
kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk
biologis yang lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan kehidupan
yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Maka secara
biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Salah satu tokoh yang
menghindari penyamaan begitu saja antara manusia dengan mahluk hidup lainnya adalah
Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan
mahluk hidup lainnya. Kelangsungan hidup manusia mendapat tempat yang penting dalam
pertimbangan moral yang serius. Dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya, manusia
tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan kelangsungan dan kelestarian komunitas

ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat
tanggung jawab untuk tidak mengorbankan integrity, stability dan beauty dari mahluk hidup
lainnya. untuk mengatasi berbagai kritikan atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk
biologis lainnya, salah seorang tokoh biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku
moral (moral agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena
dia memiliki kemampuan untuk bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan
kebebasan. Maka hanya manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab moral atas
pilihan-pilihan, dan tindakannya. Sebaliknya, subyek moral adalah mahluk yang bisa
diperlakukan secara baik atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua mahluk hidup, termasuk
manusia. Dengan demikian semua pelaku moral adalah juga subyek moral, namun tidak semua
subyek moral adalah pelaku moral, di mana pelaku moral memiliki kewajiban dan tanggung
jawab terhadap mereka.
Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus
dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup
yang lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada
semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung
didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak
mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala
isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Ekosentrisme
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan
seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini
terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah
semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling
menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian
dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang.

Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi
alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang
maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan
keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Ekosentrisme dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika lingkungann biosentrisme.
Kalau biosentrisme hanya memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme
justru memusatkan perhatian pada seluruh komunitas biologis, baik yang hidup maupun tidak.
Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun
benda-benda antibiotik lainnya saling terkait satu sama lainnya. Jadi ekosentrisme, selain sejalan
dengan biosentrisme di mana keduanya sama-sama menentang pandangan antroposentrismejuga
mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Jadi ekosentrisme, menuntut tanggungjawab moral
yang sama untuk semua realitas biologis.
Ekosentrisme, yang disebut juga deep environmental ethics, semakin dipopulerkan
dengan versi lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia dengan
menyebutnya sebagai Deep Ecology ini adalah suatu paradigma baru tentang alam dan seluruh
isinya. Perhatian bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya
dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat
dari dunia moral. Deep Ecology memusatkan perhatian kepada semua kehidupan di bumi ini,
bukan hanya kepentingan seluruh komunitas ekologi.
Arne Naes bahkan juga menggunakan istilah ecosophy untuk memberikan pendasaran
filosofi atas deep ecology. Eco berarti rumah tangga dan sophy berarti kearifan atau
kebijaksanaan. Maka ecosophy berarti kearifan dalam mengatur hidup selaras dengan alam
sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Dalam pandangan ecosophy terlihat adanya suatu
pergeseran dari sekedar sebuah ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom). Dalam arti ini,
lingkungan hidup tidak hanya sekedar sebuah ilmu melainkan sebuah kearifan, sebuah cara
hidup, sebuah pola hidup selaras dengan alam.

Deep ecology menganut prisip biospheric egalitarianism, yaitu pengakuan bahwa semua
organisme dan mahluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang
terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Ini menyangkut suatu pengakuan bahwa hak
untuk hidup dan berkembang untuk semua mahluk (baik hayati maupun nonhayati) adalah
sebuah hak universal yang tidak bisa diabaikan.
Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat jelas, tidak hanya memusatkan perhatian
pada dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, teapi juga pada kehidupan secara
keseluruhan. Pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi berbagai isu lingkungan hidup
bukan bersifat antroposentris, melainkan biosentris dan bahkan ekosentris. Isi alam semesta tidak
dilihat hanya sebagai sumberdaya dan menilainya dari fungsi ekonomis semata. Alam harus
dipandang juga darisegi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, medis dan biologis.

5. Paham yang Tepat


Dari beberapa pemaparan mengenai teori-teori etika tentang lingkungan, perlu
dirumuskan suatu pemahaman dan sikap yang semakin baik dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan hidup. Pemahaman yang semakin tepat adalah pemahaman yang mendorong pada
sikap dan perilaku yang semakin menjamin keberlangsungan segala proses kehidupan yang
terdapat di dalam alam semesta ini, termasuk diantaranya, manusia.
a.

Teori-teori etika lingkungan


Sudah diuraikan mengenai ketiga teori utama etika lingkungan: antroposentrisme,
biosentrisme dan ekosentrisme. Ketiganya sama-sama menuntut kewajiban dan tanggung jawab
manusia terhadap alam. Antroposentrisme, banyak dituduh sebagai sumber terjadinya eksploitasi
lingkungan. Namun teori ini tetap menuntut kesediaan manusia untuk memelihara
lingkungannya. Teori biosentrisme, memusatkan perhatian pada keseluruhan kehidupan yang
memiliki nilai pada dirinya sendiri, perhatian bukan hanya ditujukan kepada manusia melainkan

juga kepada mahluk hidup lain selain manusia. Teori ekosentrisme menawarkan pemahaman
yang semakin memadai tentang lingkungan. Kepedulian moral diperluas, sehingga mencakup
komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Ekosentrisme yang semakin
diperluas dalam deep ecology dan ecosophy, sangat menggugah pemahaman manusia tentang
kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak
berpusat kepada manusia, melainkan berpusat pada keseluruhan kehidupan dalam kaitan dengan
upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menjadi pusat dunia moral bukan hanya lagi
manusia, melainkan semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Deep ecology bukan hanya
sekedar pemahaman filosofis tentang lingkungan hidup, melainkan sebuah gerakan konkrit dan
praktis penyelamatan lingkungan hidup. Inilah pandangan yang sebaiknya kita kembangkan
secara konsisten.
b. Deep ecology dan pengembangannya
Paham ekosentrisme semakin diperluas dan diperdalam melalui teori deep ecology,
sebagaimana dipopulerkan oleh Arne Naess, yang menyebut dasar dari filosofinya tentang
lingkungan hidup sebagai ecosophy, yakni kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Dengan
demikian manusia dengan kesadaran penuh, diminta untuk membangun suatu kearifan budi dan
kehendak, suatu gaya hidup yang semakin selaras dengan alam.
Ada 8 prinsip deep ecology yang dapat dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut oleh
pendukung deep ecology.
1. Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupun kehidupan bukan manusiawi
di bumi, mempunyai nilai intrinsik. Nilai-nilai ini tak tergantung dari bermanfaat tidaknya dunia
bukan manusiawi untuk tujuan manusia.
2. Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup, menyumbangkan kepada terwujudnya nilai-nilai
ini dan merupakan nilai-nilai sendiri.

3.

Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali untuk memenuhi
kebutuhan vitalnya.

4. Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan dengan dikuranginya
secara substansia jumlah penduduk. Keadaan baik kehidupan bukan-manusiawi memerlukan
dikuranginya jumlah penduduk itu.
5. Campur tangan manusia dengan dunia bukan-manusia kini terlalu besar, dan situasi memburuk
dengan pesat.
6.

Karena itu kebijakan umum harus berubah. Kebijakan itu menyangkut struktur-struktur dasar
dibidang ekonomi, teknologi dan ideologi. Keadaan yang timbul sebagaimana hasilnya akan
berbeda secara mendalam dengan struktur-struktur sekarang.

7.

Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan (artinya, manusia dapat
tinggal dalam situasi-situasi yang bernilai inheren), dan bukan berpegang pada standar kehidupan
yang semakin tinggi. Akan timbul kesadaran mendalam akan perbedaan antara big(=kuantitas)
dan great(=kualitas).

8.

Mereka yang menyetujui butir-butir sebelumnya berkewajiban secara langsung dan tidak
langsung untuk mengusahakan mengadakan perubahan-perubahan yang perlu.

Pandangan deep ecology patut dihargai karena menempatkan manusia sebagai bagian dari
alam. Pandangan ekosentrisme juga bisa dibenarkan sejauh pandangan itu tidak melepaskan
manusia dari alam. Alam memang mempunyai nilai intrisik, yang tidak tergantung pada
manfaatnya untuk manusia. Akan tetapi, kita perlu juga realistis melihat bahwa pendekatan
teknokratis telah membawa manfaat yang tidak perlu bahkan tidak perlu dihilangkan lagi.
Biospherical egalitarianisme tidak bisa dibenarkan bila dimaksudkan sebagai penyamaan
martabat semua mahluk hidup. Pengakuan bahwa segenap mahluk mempunyai nilai dalam
dirinya sendiri, termasuk dalam hal ini manusia, tidak boleh membawa konsekuensi pengurangan

derajat dan martabat manusia sebagai satu-satunya mahluk di bumi ini yang memiliki akal budi
dan kehendak bebas. Akan tetapi pengenaan martabat istemewa kepada pribadi manusia,
martabat alam tidak dikurangi sedikitpun, tetapi justru ditingkatkan. Dengan keistimewaan yang
dimilikinya itu, manusia menjadi satu-satunya mahluk hidup yang memilik tanggung jawab
moral, terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungannya.
Pandangan dalam teologis/ teosentris Kristen
Pandangan pertama, yaitu antroposentris/ materialistik, adalah pandangan yang telah
lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau lingkungan hanya
mempunyai nilai alat (instrumental value) bagi kepentingan manusia. Pandangan antroposentris
ini sering dihubungkan dengan pandangan Barat yang melihat lingkungan hidup sebatas
maknanya bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Manusia Barat menganut pandangan
mengenai hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Hanya manusia yang subjek,
sedangkan alam atau lingkungan adalah objek. Maka alam diteliti, dieksplorasi, lalu
dieksploitasi. Maka etika antroposentris ini tidak sejalan dengan etika Kristen yang menekankan
adanya kontinuitas antara manusia dengan alam (adam-adamah, homo-humus).
Pandangan yang kedua adalah biosentris. Penganut pandangan ini berpendirian bahwa
semua unsur dalam alam mempunyai nilai bawaan (inherent value), misalnya kayu memunyai
nilai bawaan bagi kayu sendiri sebagai alasan berada. Jadi kayu tidak berada demi untuk
kepentingan manusia saja. Demikianlah seluruh makhluk hidup memiliki nilai interen lepas dari
kepentingannya bagi manusia. Manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya memunyai
hubungan kontiunitas, maka manusia dan lingkungan mempunyai tujuannya masing-masing.
Maka tiap makhluk mempunyai hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan hak yang melekat
padanya. Pandangan ini misalnya dianut oleh Paul Taylor, Peter Singer, dan Albert Schweitzer.
Pandangan ketiga, yaitu ekosentris, berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau
sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka lingkungan harus diperhatikan
karena manusia hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh ekosistem.
Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk orang Indonesia, yang sangat
menekankan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia adalah mikro
dari makro kosmos. Menurut pandangan ini, bumi memiliki nilai hakiki (intrinsic value) yang
harus dihormati oleh manusia. Maka alam atau lingkungan tidak boleh diperlakukan semena-

mena, karena bumi mempunyai nilainya yang luhur yang harus dijaga, dihormati, dan dianggap
suci.
Kita akan mencoba melihat pandangan-pandangan ini berdasarkan kesaksian Alkitab.
Dapat disimpulkan bahwa etika lingkungan tidak bersifat antroposentris, tetapi juga tidak
sekadar bersifat biosentris atau ekosentris. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya, bahkan
seluruh planet bumi ini, bersumber dari Allah. Allah yang menciptakannya dan Allah
menghendaki seluruhnya berada, topang-menopang, dan saling membutuhkan. Maka etika
lingkungan, dari perspektif teologi Kristen, mestinya bersifat teosentris, artinya berpusat pada
Allah sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup bukan saja karena kita
membutuhkan sumber-sumber di dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah kita
(antroposentris), bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi seperti hak asasi manusia
(biosentris), juga bukan karena bumi ini merupakan suatu ekosistem yang memiliki nilai intrinsik
(ekosentris); kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup karena lingkungan hidup
adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat dan kemuliaan- Nya.
6. Seruan Alam Menurut Santo Fransiskus Asisi
Di tengah kegalauan penduduk bumi menghadapi aneka bencana alam akibat kerusakan
lingkungan, menarik kiranya menonjolkan kembali figur agung St. Fransiskus Assisi. Santo
pelindung lingkungan hidup ini mempunyai sejuta pengalaman rohani dengan alam yang tak
habis-habisnya menginspirasi manusia sesudahnya. Di era kita, hampir delapan abad setelah
kematian sang poverello, cara pandang dan perlakuan sang santo terhadap alam masih bergaung
keras di hati para pemerhati lingkungan.
Dalam cara pandang dan perlakuan Fransiskus terhadap alam, kita menemukan perspektif
yang unik. Berhadapan dengan alam, Fransiskus tidak takut seolah-olah dalam alam tersembunyi
dewa-dewa penunggu. Ia jauh dari mitos dan takhyul orang zaman dulu. Namun ia juga tidak
semena-mena terhadap alam atau memandang alam sebagai obyek yang lepas dari diri manusia
sehingga bisa dan harus dikuasai. Melampaui kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari
alam, Fransiskus menyelam lebih dalam hingga melihat alam sebagai jejak kaki Sang Pencipta.
Sedemikian kuat kesadaran itu sehingga Fransiskus menyebut matahari, bulan, angin, air,
udara, api, dan segala ciptaan sebagai saudara dan saudarinya. Di hadapan Sang Pencipta,
Fransiskus melihat segenap ciptaan setara dengan dirinya yang selayaknya dihormati. Menarik

untut dicatat, visi ini justru terangkat ketika dunia Barat menyambut alam pikir rasionalisme di
ambang zaman Renaissance; permulaan abad modern yang mengagungkan logos (rasio) di atas
mitos. Kala itu manusia mulai melihat alam sebagai obyek yang harus dikuasai dan dieksploitasi.
Hal ini menunjukkan betapa sosok Fransiskus merupakan figur yang tidak suka ikut arus zaman
begitu saja.
Fransiskus adalah sahabat makhluk. Ia merasa bersatu dan senasib dengan semua makhluk
sebagai sesama ciptaan Allah. Ia dikenal sebagai santo pelindung bagi binatang dan lingkungan
hidup, sehingga patungnya seringkali diletakkan di taman untuk menghormati minatnya dan
kesatuannya dengan alam. Santo Fransiskus Asisi bisa berbicara dengan burung dan binatang
lainnya. Atas kedekatannya dengan alam maka sangatlah tepat jika pada tanggal 29 September
1996 Fransiskus diangkat/ dikukuhkan oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai pelindung ekologi.
Sikap Fransiskus terhadap alam sepatutnya digaungkan kembali dalam benak kita. Manusia
modern jauh dari kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga alam
merupakan rumah yang harus dipelihara. Solidaritas dengan alam bukanlah hal luar biasa,
melainkan hal sepatutnya. Sebab melestarikan alam berarti melestarikan hidup manusia sendiri.
Sebaliknya, perusakan alam tidak lain merupakan pemusnahan riwayat manusia. Kenangan akan
figur Fransiskus di era modern ini selayaknya menyerukan kembali kesadaran ini. Dengan itu
barulah kita dapat, bersama Fransiskus, menyebut matahari, bulan, udara, air, dan sekalian
makhluk sebagai saudara dan saudari.
7. Sikap Yesus Terhadap lingkungan Hidup
Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh
alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan
lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan
sebagai gambar Allah ("Imago Dei") dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan
menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari
ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan
memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi yang
mesti dijalani secara seimbang.
1. Kesatuan Manusia dengan Alam

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan
manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga
"membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam
bahasa Ibrani, manusia disebut "adam". Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk
tanah, "adamah", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit
manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut "homo", yang juga memunyai
makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan
dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia
diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia
pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam
(lingkungan hidup) hidup saling bergantung sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau
manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.
2. Kepemimpinan Manusia Atas Alam
Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas
adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan
segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi
dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara
lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada
makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat
(Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk
yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra
Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan
perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh
sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah
kekuasaan "care-taker". Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya
pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau
pelestarian alam.
Kata "mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama
maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya
memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata

lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan
sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan
kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola ("abudah") dan memelihara
("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.
3. Kegagalan Manusia Memelihara Alam
Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama
seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan
melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan
Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi
dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya".
Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan
dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik-materialistik). Manusia
hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan
demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.
Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang
terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi"
(Kej. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya
cenderung rakus dan materialistik (baca Mat. 6:19-25 par.). Secara teologis, dapat dikatakan
bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang
dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa
menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk
memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya
berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam melaksanakan tugas
kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya,
khususnya keinginan- keinginannya.
4. Hubungan Baru Manusia dan Alam
Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi
dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu
Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan
(Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma
menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta

kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta
panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol. 1:19- 20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan
hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan
manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah
dipulihkan.
Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh
bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes. 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos. 2:18-23) telah dipenuhi
dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka dalam iman Kristen, hubungan baru manusia dengan alam
bukan saja hubungan "dominio" (menguasai) tetapi juga hubungan "comunio" (persekutuan). Itu
sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam, yaitu
"air, angggur, dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia
dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin
dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus
tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus
mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" (Why. 21:15) yang menjadi tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam
langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.
Kalau kita memelihara lingkungan sekadar karena diperlukan untuk menopang hidup
manusia, kita akan jatuh ke dalam materialisme, nilai etis yang telah terbukti merusak
lingkungan. Kalau kita memelihara lingkungan karena sekadar kecintaan kita pada lingkungan
yang memiliki hak seperti kita, maka kita akan jatuh ke dalam romantisisme, nilai etis yang
cenderung utopis. Kita perlu memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada
Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya
untuk menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga sebagai tanda
syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan
Yesus Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak lain dari ibadah kita kepada Allah. Bagaimana
menjabarkan ibadah ini, norma-norma berikut kiranya perlu dikembangkan sebagai penjabaran
etika lingkungan yang bersifat teosentris, dengan menunjukkan solidaritas dengan semua
makhluk, dengan sesama (termasuk generasi penerus) dalam kasih dan keadilan.
Karena manusia dengan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan
hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus

(2 Kor. 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider (sesama
ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan.
Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai
kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena- mena,
tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia
tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara
itu, manusia dan alam secara bersama (kooperatif) menjaga dan memelihara ekosistem.
5. Pelayanan yang Bertanggung Jawab (Stewardship)
Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan
kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan
sumber- sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka pemanfaatan/penggunaan sumbersumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan
memerhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan, yaitu
menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan memerhatikan kebutuhan sesama,
termasuk generasi yang akan datang.
Memanfaatkan

alam

adalah

bagian

dari

pertanggungjawaban

talenta

yang

diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat. 25:14-30 par.). Allah telah
memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk
disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam
mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit
terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam
memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab
mereka yang merasa kurang akan mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering
kurang memerhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, mengebom bunga
karang untuk ikan, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan
pengurasan sumber alam secara tanpa batas.
6. Pertobatan dan Pengendalian Diri
Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya
manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara
teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/ krisis etika dan krisis

moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian, setiap perilaku
yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam
arti itu, maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan
pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup
yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan
dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi
dikendalikan oleh cinta kasih.
Materialisme adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Maka materialisme menjadi praktik
penyembahan alam (dinamisme modern). Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang
diprioritaskan bahkan disembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme
(cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat.
6:19-24 par.; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan
keuntungan material. Maka supaya alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia
harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan
bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada
Allah

melawan

penyembahan

materialisme/mamonisme.

alam,

khususnya

penyembahan

alam

modern

alias

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita untuk digunakan
dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk
menopang hidupnya. Dengan kata lain, alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis,
yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi bukan hanya kebutuhan manusia
menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh
seluruh sistem kehidupan atau ekosistem.
2. Saran
Untuk itu manusia dituntut untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, agar
lingkungan hidup yang ada didunia ini bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia itu
sendiri. Karena manusia saling ketergantungan terhadap lingkungan hidup, begitu pula dengan
segala lingkungan hidup maupun yang tak hidup sangat membutuhkan bantuan manusia.

Perlakuan-perlakuan manusia hendaknyalah memperhatikan keserasian lingkungan dalam


mengambil dan memanfaatkan lingkungan hidup jangan hanya bersifat eksplotatif tanpa
memperhatikan etika lingkungan hidup yang baik sesuai dengan aturan dan nilai-nilai yang
berlaku.
Sebaik dan selayaknyalah kita harus mengikuti jejak kaki Santo Fransiskus Asisi yang
bersatu dan senasib dengan lingkungan. Dengan menyadari lingkungan itu begitu berguna untuk
setiap aspek kehidupan ekosistem bagi lingkungan manusia itu sendiri, pelestarian alam yang
juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di
mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.

Daftar Pustaka
http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pe%20ngertiankerusakan-lingkungan-dan-pelestarian-/AfandiKusuma/03.03/24
http://anitamegawati89.blogspot.com/2012/06/etika-lingkungan-anita-megawati-2501.html
http://ariagusti.wordpress.com/
http://billyoktaflorian.blogspot.com/2012/05/sepuluh-teori-lingkungan-hidup.html
http://geoenviron.blogspot.com/2011/09/lingkungan-hidup.html
http://id.scribd.com/doc/92375770/teori-lingkungan
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosentrisme
http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-faqihyahul-5131
http://www.pontianak.kapusin.org/2010/04/st-fransiskus-assisi-pelindung.html

http://psl.uii.ac.id/berita/penelitian/etika-lingkungan-dalam-mengatasi-kerusakan-lingkunganhidup.html
http://www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=41663
http://www.slideshare.net/jamessinambela/etika-lingkungan
http://www.slideshare.net/Reaper-Ami/kuliah-3-etika-lingkungan-ma
http://www.slideshare.net/jayamartha/pertemuan-15-7173241

Вам также может понравиться