Вы находитесь на странице: 1из 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. PRE EKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu (POGI, 2005). Dulu,
preeklampsia

didefinisikan

sebagai

penyakit

dengan

tanda-tanda

hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit


ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi
sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2010).
Preeklampsia

adalah

sindrom

spesifik

kehamilan

berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.


Proteinuria adalah tanda penting preeklampsia, dan apabila tidak terdapat
proteinuria maka diagnosisnya dipertanyakan. Proteinuria didefinisikan
sebagai terdapatnya 300mg atau lebih protein dalam urin per 24 jam atau
+1 pada dipstick secara menetap pada sampel urin secara acak. Kriteria
minimum untuk mendiagnosis preeklamsi adalah hipertensi plus proteinuri
minimal. Semakin parah hipertensi atau proteinuri maka semakin pasti
diagnosis preeklamsi. Memburuknya hipertensi terutama apabila disertai
proteinuri

merupakan

pertanda

buruk,sebaliknya

proteinuri

tanpa

hipertensi hanyamenimbulkan efek keseluruhan yang kecil angka kematian


pada bayi. Proteinuri +2 atau lebih yang menetap atau eksresi proteinuri 24
jam sebesar 2g atau lebih adalah preeklamsi berat. Apabila kelainan ginjal
parah, filtrasi glomerulus dapat terganggu dan kreatinin plasma dapat
meningkatPada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada
kasus hipertensi karena kehamilan apapun dapat terjadi eklampsia. Bentuk
serangan kejangnya ada kejang grand mal dan dapat timbul pertama kali
sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul lebih dari 48

jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan lesi lain


yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat (Cunningham et al., 1995).
Eklampsia dalam bahasa Yunani bearti halilintar karena serangan
kejang timbul tiba-tiba seperti petir. Eklampsia yang terjadi dalam
kehamilan menyebabkan kelainan pada susunan saraf. Penyebab eklampsia
adalah kurangnya cairan darah ke otak, hipoksia otak atau edema otak
(Sofian, 2011).
2. Etiologi
Penyebab pre eklampsia sampai sekarang belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satu punteori tersebut yang dianggap mutlak
benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah sebagai berikut:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Tidak terjadinya invasi trofoblas pada arteri spiralis dan
jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal
bebas atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut
toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi
peroksida

lemak

yang

akan

merusak

endotel

pembuluh

darah.Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan disfungsi


endotel dan berakibat sebagai berikut:

Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin sebagai

vasodilator kuat menurun


Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi

tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat


Perubahan endotel glomerolus ginjal

3.

Peningkatan permeabilitas kapiler


Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit

oksida (NO)
Peningkatan faktor koagulasi
Teori intoleransi imunologis antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi
penolakan karena adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi
trofoblas dari lisis oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu
invasi trofoblas pada jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G,
invasi trofoblas terhambat sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.

4.

Teori adaptasi kardiovaskuler genetik


Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi
untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya
perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka
kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi
vasokonstriksi.

5.

Teori Genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal.
Ibu dengan preeklampsi memungkinkan 26% anak perempuannya
juga mengalami preeklampsi.

6.

Teori defisiensi gizi


Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya
preeklampsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan
menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan
vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian
juga menurunkan insidensi preeklampsi.

7.

Teori inflamasi
Lepasnya debris trofoblas sebagai sisa proses apoptosis dan
nekrotik akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan
mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal
jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan

plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga
semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.
(Sarwono, 2010)
3. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya Preeklampsia dapat dijelaskan sebagai
berikut (Hariadi, 2004):
a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamspia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahanbahan vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam
jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar
angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklampsia terjadi penurunan
kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya tromboksan yang
mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka
terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga
mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan
volume plasma hingga mencapai 30-40%

kehamilan normal.

Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan


peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau
organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi
gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi
jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi
pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation
/IUGR), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.
c. Vasokonstriksi pembuluh darah

Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun


cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer.
Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahanbahan

vasoaktif

dalam

tubuh

dengan

cepat

menimbulkan

vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem


pembuluh darah artiole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan
suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila
tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada
dalam syok kronik.
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif
bahwa preeklampsia disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam
darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus,
selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ.
Pada preeklampsia berat dan eklamsi dijumpai perburukan
patologis fungsi sejumlah organ dan sistem mungkin akibat vasospasme dan
iskemia. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada preeklamsia terjadi
gangguan perfusi dari uteroplacenta. Bila hal ini terjadi maka akan
mengaktivasi sistem renin-angiotensin. Aktivasi dari sistem ini akan
melepaskan angiotensin II yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi secara
general sehingga terjadi hipertensi. Selain itu, terjadi hipovolemia dan
hipoksia jaringan. Ternyata, hipovolemia dan hipoksia jaringan dapat pula
disebabkan oleh DIC yang dapat terjadi akibat pelepasan tromboplastin
karena terdapat injury pada sel endotel pembuluh darah uterus.
Bila hipoksia dan hipovolemi terjadi pada kapiler-kapiler yang
membentuk glomerulus, maka dapat terjadi glomerular endotheliosis yang
menyebabkan peningkatan perfusi glomerular dan filtrasinya sehingga dari
gambaran klinis dapat ditemukan proteinuria. Vasokonstriksi kapiler-kapiler
dapat pula menyebabkan oedem. Selain itu, dari jalur adrenal akan
memproduksi aldosteron yang juga dapat menyebabkan retensi dari Na dan
air sehingga pada pasien preeklamsia terjadi oedem.

Kelainan trombositopenia kadang sangat parah sehingga dapat


mengancam nyawa. Kadar sebagian faktor pembekuan dalam plasma
mungkin menurun dan eritrosit dapat mengalami trauma hebat sehingga
bentuknya aneh dan mengalami hemolisis dengan cepat (Sarwono, 2010).
4. Prevalensi
Untuk

tiap

mempengaruhinya;

negara
jumlah

berbeda

karena

primigravida,

banyak

kedaan

faktor

sosial

yang

ekonomi,

perbedaan dalam penentuan diagnosa. Ada yang melaporkan 6% dari


seluruh kehamilan, dan 12% pada primigravida, frekuensi di lapangan
berkisar antara 3-10% (Sofian, 2011)
5. Faktor Risiko
Faktor risiko Preeklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang
berpotensi menyebabkan penyakit mikrovaskuler (misal, Diabetes Melitus,
Hipertensi kronik, kelainan vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid
antibody syndrome, dan nefropati. Faktor-faktor resiko lain dihubungkan
dengan kehamilan itu sendiri atau lebih spesifik terhadap ibu dan ayah
janin (Neville, 2001):
Faktor Resiko Preeklampsia
Faktor yang berhubungan Faktor yang berhubungan Faktor yang berhubungan
dengan kehamilan
Abnormalitas

dengan kondisi maternal


dengan pasangan
Usia > 35 tahun atau Partner lelaki yang

kromosom

<20 tahun

pernah

menikahi

Mola hidatidosa

Ras kulit hitam

wanita yang kemudian

Hidrops fetalis

Riwayat Preeklampsia

hamil dan mengalami

Donor

inseminasi donor
kongenital
ISK

Pemaparan

atau Nullipara

oosit

Anomali

preeklampsia

pada keluarga

Kehamilan ganda

struktur

Preeklampsia

pada

terhadap sperma

kehamilan sebelumnya Primipaternity


Kondisi
khusus

medis
:

DM,

HT

terbatas

Kronik,

Obesitas,

Penyakit

Ginjal,

trombofilia
Stress
Antibody
antifosfolipid
syndrome
6. Klasifikasi
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan.
Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain : hipertensi
kronis, Preeklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi kronis dan
hipertensi gestasional. Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah
yang timbul sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20
minggu, atau menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya,
Preeklampsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan
proteinuria yang muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia,
komplikasi berat preeklampsia adalah munculnya kejang pada wanita
dengan preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1%
wanita dengan eklampsia.
Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik ditandai dengan
proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika
sebelumnya sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi
( dengan asumsi telah ada proteinuria) atau terjadi HELLP Syndroma.
Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan
darah tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan
darah kembali normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita
dengan hipertensi gestasional mengalami proteinuria dan belakangan
berkembang menjadi preeklampsia (Bari, 2000).
Wanita hamil dengan tekanan darah

>140/90 mmHg
Sebelum usia kehamilan 20
minggu

Setelah usia kehamilan 20


minggu

Proteinuria (-)
/ stabil

Proteinuria
(+) /
meningkat,
TD
meningkat,
HELLP

Proteinuria
(+) /

Preeklampsia
superimpose
d pada
Hipertensi
kronik

Preeklampsia
/

Hipertensi
kronik

Proteinuria (-)
/

Hipertensi
Gestasional

Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :


a.

Pre eklampsia ringan


- Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik

15 mmHg.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan

dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.


Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat

badan 1 kg per minggu.


Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada

urin kateter atau mid stream.


b. Pre eklampsia berat
Tekanan darah 160/110 mmHg.
Proteinuria 5 gram/liter.
Oligouria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc/24 jam.
Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan nyeri epigastrium.
Terdapat oedem paru dan sianosis.
Thrombosytopenia berat
Kerusakan hepatoseluler
Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
Klasifikasi pre-eklampsia lain , yaitu :

a.

Genuine pre-eklampsia

Gejala pre-eklampsia yang timbul setelah kehamilan 20


minggu disertai dengan oedem (pitting) dan kenaikan tekanan darah
140/90 mmHg sampai 160/90. Juga terdapat proteinuria 300 mg/24
jam (Esbach)
b.

Superimposed pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu
disertai proteinuria 300 mg/24 jam (Esbach), dan bisa disertai
oedem. Biasanya disertai hipertensi kronis sebelumnya (Basri, 2002).
7. Diagnosis Banding
-

Hipertensi kronik

Hipertensi kronik dengan superimpose preeklamsi

Hipertensi gestasional

Eklamsi

Epilepsi

8. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan dan
saat yang tepat untuk melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2010). Pada
pre eklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu pengeluaran
trofoblast. Pada pre eklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang
salah. Karena pre eklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et
al., 1995). PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan
Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya.
Perawatannya dapat meliputi :
a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi medikamentosa
b. Sikap terhadap kehamilan yaitu: (Sastrawinata, 2003)
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Indikasi bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut


ini:
a) Ibu :
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
i.

Setelah

jam

sejak

dimulai

pengobatan

ii.

medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang persisten.


Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan
medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah yang

persisten
iii.
Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
iv. Gangguan fungsi hepar
v. Gangguan fungsi ginjal
vi. Dicurigai terjadi solutio plasenta
vii. Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
b) Janin :
i. Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
ii. Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari
iii.

NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal)


Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat

(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG


iv. Timbulnya oligohidramnion
c) Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP
syndrome (POGI, 2005).
Pengobatan Medisinal :
1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring ke kiri secara intermiten
3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500
cc (60-125 cc/jam)
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
5). Anti hipertensi diberikan bila tensi 180/110
6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah
jantung kongestif, edema anasarka

7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam


(POGI, 2005).
a. Pengelolaan

Konservatif,

yang

berarti

kehamilan

tetap

dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,


meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu.Indikasinya pada kehamilan kurang bulan (< 37
minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsi dengan
keadaan janin baik.
Pengobatan Medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.). Sebagai pengobatan untuk mencegah
timbulnya kejang-kejang dapat diberikan:
a) Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat
diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas
magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella
positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit
b) klorpromazin 50 mg IM
c) diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat
diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan
kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat
oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara
intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada
penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih
besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya
persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin,

dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II


dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum
(Budiono, 1999).
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat PEB diantaranya adalah:
-

HELLP syndrom

Perdarahan otak

Gagal ginjal

Hipoalbuminemia

Ablatio retina

Edema paru

Solusio plasenta

Hipofibrinogenemia

Hemolisis
Prematuritas, IUGR dan kematian janin intrauterin (Sarwono, 2010)

B. HELLP SYNDROME
1.

Definisi
Sindroma HELLP adalah singakatan dari Hemolysis, Elevated
Liver Enzyme, Low Platelets Count yang artinya adalah hemolisis dan
peningkatan fungsi hepar dan trombositopenia. Ini merupakan komplikasi
dari Pre-eklamsia dan eklamsia yang terdiri dari:
- Hemolisis (penghancuran sel darah merah)
- Peningkatan enzim hati (yang menunjukkan adanya kerusakan hati)
- Penurunan jumlah trombosit (Sarwono, 2010; Angsar, 2003).

2. Etiologi dan Patogenesis


Karena

sindroma

HELLP adalah

merupakan

bagian

dari

preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia.


Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia
atau sindroma HELLP. Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan
normal dan preeklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II

(kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin


II, prostasiklin, dan volume darah meningkat. Aktivasi platelet akan
menyebabkan pelepasan tromboksan dan serotonin sehingga menyebabkan
terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregasi platelet, serta kerusakan
endothelial lebih lanjut.
Sel-sel darah merah yang, mengalami hemolisis akan keluar dari
pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya
timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah
hepar. Akibatnya enzim hepar akan meningkat. Destruksi sel darah merah
akan meningkatkan LDH sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin. Hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat ditemukan pada
10% wanita. Hemoglobin bebas dikonversi menjadi bilirubin tidak
berkonjugasi di lien atau dapat terikat di darah menjadi haptoglobin.
Hemoglobin-haptoglobin

dibersihkan

oleh

hepar,

yang

membuat

haptoglobin bernilai rendah di darah sebagai tanda terjadinya hemolisis.


Selanjutnya diagnosis hemolisis ditemukan melalui ditemukannya kadar
LDH tinggi dan adanya bilirubin tidak berkonjugasi.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat
obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini
menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi
perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis
periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang
paling sering ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan
pemakaian dan atau destruksi trombosit (Sarwono, 2010; Angsar, 2003,
Jayakusuma, 2005).
Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah pada trimester II
meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II, dan prostasiklin
menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan fungsi endotel
atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan endotel
(Sarwono, 2010).
3. Faktor Risiko

Faktor risiko sindroma HELLP berbeda dengan preeklampsia.


pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25
tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP
(rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih
dan multipara.
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien
muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar
69% pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post
partum, saat terjadinya khas,dalam waktu 48 jam pertama post partum (Angsar,
2003, Jayakusuma, 2005).
4. Klasifikasi
Berdasarkan

hasil

pemeriksaan

laboratorium,

Martin

mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu:


Kelas I

: jumlah platelet 50.000/mm3.

Kelas II

: jumlah platelet 50.000100.000/mm3.

Kelas III : jumlah platelet 100.000150.000/mm3


Sindroma HELLP partial ditegakkan apabila hanya dijumpai satu
atau lebih perubahan parameter sindroma HELLP seperti hemolisis (H),
elevate liver enzymes (EL) dan low platelets (LP); dan dikatakan sindroma
HELLP murni jika dijumpai perubahan pada ketiga parameter tersebut
(Sarwono, 2010).
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya
vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar. Oleh
karena itu, gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan fungsi
hepar yang dapat berupa: malaise, nausea, kadang-kadang disertai vomitus,
dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (Jayakusuma, 2005).
Menurut kriteria Mississippi, sindroma HELLP merupakan suatu
kondisi progresif dan dapat mengarah pada komplikasi serius. Karena
gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah diagnosis,

sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua ibu hamil


yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya dilakukan
pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit, dan enzim hepar serta
tekanan darah ibu (Jayakusuma, 2005).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan

laboratorium

pada

sindroma

HELLP

sangat

diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,


walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas
untuk masing-masing parameter.
Hemolisis
Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma
HELLP. Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan
berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan
terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum
tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang
mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur.
Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase (SGOT) dan
glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada kerusakan sel
hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus,
dimana 50% di antaranya adalah peningkatan SGOT. Pada sindroma
HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama pada fase
akut dan progresivitas sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT
dapat juga merupakan tanda terjadinya ruptur hepar. Laktat
dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggungjawab
terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat
menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar. Peningkatan kadar
LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan
terjadinya hemolisis.
Jumlah platelet yang rendah. (Angsar, 2003, Jayakusuma, 2005).

7. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindroma HELLP berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium antara lain klasifikasi Mississippi dan Tennessee. Bila
dikombinasikan kedua klasifikasi ini maka klas 1 termasuk kelompok
sindroma HELLP komplit sedangkan klas 2 dan 3 merupakan sindroma
HELLP parsial (Jayakusuma, 2005).
Sistem Mississippi

Sistem Tennessee

Grade 1 Trombosit 50 K/mm3


Grade 2 Trombosit > 50 - 100 Sindrom Komplit:

K/mm3
Grade 3 Trombosit >100 - 150 K/mm3
-

AST dan atau ALT 40IU/L


Hemolisis (gambaran sel abnormal)
LDH 600 IU/L

Hemolisis

(gambaran

sel

abnormal)
AST 70 IU/L
Platelet < 100 K/mm3
LDH 600 IU/L

Sindroma Parsial:
Terdapat satu atau dua tanda diatas

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sindroma HELLP


8. Diagnosis Banding (Preeklampsia-Sindroma HELLP)
a Trombotik angiopati
b Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya:
- acute fatty liver of pregnancy
- hipovolemia berat/perdarahan berat
- sepsis
c Kelainan jaringan ikat: SLE
d Penyakit ginjal primer (Sarwono, 2010).
9. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka
terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas utama adalah
menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi gangguan pembekuan darah.

Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan janin, kemudian keputusan


segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau tidak.
Tatalaksana

konservatif

kehamilan

48

jam)

masih

kontroversial namun dapat dipertimbangkan pada kasus usia kehamilan


<34 minggu. Persalinan diindikasikan pada HELLP syndrome setelah usia
kehamilan lebih dari 34 minggu atau adanya kegawatdaruratan janin atau
ibu, dapat berupa persalinan pervaginam. Pada usia kehamilan antara 2434 minggu disarankan pemberian terapi kortikosteroid 1 seri

untuk

maturasi paru janin, baik dengan 2 dosis 12 mg betametason selama 24


jam, atau 6 mg dexametason per 12 jam sebelum persalinan. Pemberian
kortikosteroid jangka panjang harus dihindari karena efek samping pada
otak janin. Sebelum usia kehamilan 34 minggu, persalinan harus dilakukan
bila kondisi ibu memburuk atau terjadi fetal distress. Tekanan darah harus
dipertahankan dibawah 155/105 mmHg. Pengawasan terhadap ibu harus
dilakukan sampai 48 jam setelah persalinan.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif sampai
kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas bayi yang
dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk melakukan
terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi diketahui.
Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta
jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun, semua peneliti
sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi yang
definitif. Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian
dilakukan

evaluasi

dan

koreksi

kelainan

faktor-faktor

pembekuan

(Jayakusuma, 2005).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan infus
plasma albumin 525%. Tujuannya untuk menurunkan hemokonsentrasi,
peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa gejala toksemia. Jika
cervix memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip pada usia kehamilan
32 minggu. Apabila keadaan cervix kurang memadai, dilakukan elektif seksio

sesaria. Apabila jumlah trombosit 50.000/mm3 dilakukan tranfusi trombosit


(Jayakusuma, 2005; Haram et al. 2009).
Perawatan

konservatif

pada

pasien

sindroma

HELLP dapat

dipertimbangkan pada usia kehamilan preterm. Pada usia kehamilan 27-34


minggu maksimal konservatif adalah 48 jam. Sedangkan pada usia kehamilan
34 atau lebih kehamilan harus segera diterminasi.
10. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27%
untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan
mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada
kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi
tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma
HELLP mengalami perkembangan yang terhambat (IUGR) dan sindroma
kegagalan napas (Jayakusuma, 2005).
C. Intra Uterine Device (IUD)
1. Definisi
Intra Uterine Device (IUD) atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) adalah alat kontrasepsi yang terbuat dari polythylen (plastic)
yang halus, dipasang di dalam rahim. Di mana IUD terdiri dari bermacammacam bentuk, terdiri dari plastik (polietiline), ada yang di lilit tembaga
(Cu), ada pula yang tidak. Tetapi ada pula yang di lilit tembaga bercampur
perak (Ag). Selain itu ada pula yang batangnya berisi hormon
progesterone.
IUD adalah alat kontrasepsi yang ditempatkan di dalam rahim, yang
terbuat dari plastik khusus yang diberi benang pada ujungnya,dan terdiri
dari beberapa bentuk. IUD yang berbentuk spiral disebut Lippes Loop,
yang berbentuk T disebut Copper T mengandung logam atau tembaga, ada
pula yang mengandung hormone (Sarwono, 2010).
2. Mekanisme kerja IUD

Mekanisme kerja yang pasti dari IUD belum diketahui, namun ada
beberapa mekanisme kerja yang telah diajukan:
a. Timbulnya reaksi radang lokal yang non-spesifik di dalam cavum uteri
sehingga implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu.
b. Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan
terhambatnya implantasi.
c. Gangguan / terlepasnya blastocyst yang telah berimplantasi di dalam
endometrium.
d. Pergerakan ovum yang bertambah cepat di dalam tuba fallopi.
e. Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri.
f. Dari penelitian terakhir, disangka bahwa IUD juga mencegah
spermatozoa membuahi sel telur (Sarwono, 2010; Sofian, 2011)
3. Jenis - jenis IUD
a. IUD Non-hormonal
Pada saat ini IUD telah memasuki generasi ke-4. karena itu berpuluhpuluh macam IUD telah dikembangkan. Mulai dari genersi pertama
yang terbuat dari benang sutra dan logam sampai generasi
plastik(polietilen) baik yang diambah obat maupun tidak. Menurut
bentuknya IUD dibagi menjadi :
1) Bentuk terbuka (oven device)
Misalnya : Lippes Loop, CUT, Cu-7. Marguiles, Spring Coil,
Multiload, Nova-T
2) Bentuk tertutup (closed device)
Misalnya: Ota-Ring, Atigon, dan Graten Berg Ring.
IUD yang banyak dipakai di Indonesia dewasa ini dari jenis Un
Medicated yaitu Lippes Loop dan yang dari jenis Medicated Cu T, Cu7, Multiload dan Nova-T (Sofian, 2011).
4. Keuntungan dan kerugian IUD
a. Keuntungan Penggunaan IUD

Keuntungan Kontraseptif

Efektivitasnya tinggi: 0,6-0,8 kehamilan per 100 wanita dalam


tahun pertama penggunaan (Tembaga T 380A)

Segera efektif dan efek sampingnya sedikit

Metode jangka-panjang (perlindungan sampai 10 tahun jika


menggunakan Tembaga T 380A)

Tidak mengganggu proses sanggama

Kesuburan cepat pulih setelah IUD dilepas

Tidak mengganggu produksi ASI

Bila tak ada masalah setelah kunjungan ulang awal, tidak


perlu kembali ke klinik jika tak ada masalah

Dapat disediakan oleh petugas kesehatan terlatih

Tidak mahal (CuT380A)

Keuntungan Non Kontraseptif

Mengurangi kram akibat menstruasi (hanya yang mengandung


progestin)

Mengurangi darah menstruasi (hanya yang mengandung


progestin)

Mengurangi

insidensi

Progestasert)

b. Kerugian penggunaan IUD


IUD: Keterbatasan

kehamilan

ektopik

(kecuali

Perlu pemeriksaan ginekologi dan penapisan penyakit menular


seksual (PMS) sebelum menggunakan IUD

Membutuhkan

petugas

terlatih

untuk

memasukkan

dan

mengeluarkan IUD

Perlu deteksi benang IUD (setelah menstruasi) jika terjadi kram,


perdarahan bercak atau nyeri

Tidak dapat dihentikan sendiri (harus dilepas petugas)

Meningkatkan jumlah perdarahan dan kram menstruasi dalam


beberapa bulan pertama (hanya pelepas tembaga)

Kemungkinan terjadi ekspulsi spontan

Walaupun jarang (< 1/1000 kasus), dapat terjadi perforasi saat


insersi IUD

Tidak

mencegah

semua

kehamilan

ektopik

(khususnya

Progestasert)

Dapat meningkatkan risiko PRP/PID dan yang berlanjut dengan


infertilitas bila pasangannya risiko tinggi PMS (misalnya: HBV,
HIV/ AIDS)

5. Komplikasi IUD
1. Infeksi
2. Merasakan sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah
pemasangan
3. Perdarahan berat pada waktu haid atau di antaranya yang
memungkinkan penyebab anemia.
4. Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
(Sarwono, 2010)

6. Indikasi
Prinsip pemasangan adalah menempatkan IUD setinggi mungkin
dalam rongga rahim (cavum uteri). Pemasangan IUD untuk tujuan
kontrasepsi dapat dilakukan pada wanita yang:

Telah memiliki satu anak atau lebih.

Ingin menjarangkan kehamilan (spacing).

Sudah memiliki cukup anak hidup, tidak mau hamil lagi, tetapi
takut atau menolak kontrasepsi mantap, biasanya dipasang IUD
yang dapat bertahan lama.

Tidak boleh atau tidak cocok memakai kontrasepsi hormonal


(mengidap penyakit jantung, hipertensi, hati).

Usia lebih dari 35 tahun, pada umur tersebut kontasepsi hormonal


dapat kurang menguntungkan (Sofian, 2011).

7. Kontraindikasi pemakaian IUD


a. Kehamilan
b. Peradangan panggul
c. Perdarahan uterus abnormal
d. Karsinoma organ-organ panggul
e. Malformasi rahim
f. Mioma uteri, terutama jenis submukosa
g. Dismenorea berat
h. Stenosis kanalis sevisitis
i. Anemia berat dan gangguan pembekuan darah
j. Penyakit jantung reumatik (Sofian, 2011).
8. Waktu pemasangan IUD
a. Sewaktu haid sedang berlangsung
Pemasangan AKDR pada waktu ini dapat dilakukan pada hari-hari
pertama atau pada hari-hari terakhir haid.

Keuntungan pemasangan AKDR pada waktu ini antara lain ialah:


Pemasangan lebih mudah oleh karena serviks pada waktu itu agak

terbuka dan lembek.


Tidak terlalu nyeri
Perdarahan yang timbul sebagai akibat pemasangan tidak seberapa

dirasakan
Kemungkinan pemasangan AKDR pada uterus yang sedang hamil

tidak ada.
b. Sewaktu postpartum
Secara dini (immediate insertion) yaitu AKDR dipasang pada wanita

yang melahirkan sebelum dipulangkan dari rumah sakit.


Secara langsung (direct insertion)yaitu AKDR dipasang dalam masa

tiga bulan setelah partus atau abortus.


Secara tidak langsung (indirect insertion) yaitu AKDR dipasang
sesudah masa 3 bulan setelah partus atau abortus atau pemasangan
AKDR dilakukan pada saat yang tidak ada hubungan sama sekali
dengan partus atau abortus.Bila pemasangan AKDR tidak dilakukan
dalam waktu seminggu setelah bersalin, sebaiknya pemasangan
AKDR ditangguhkan sampai 6-8 minggu postpartum oleh karena
jika pemasangan AKDR dilakukan antara minggu kedua ,dan

keenam setelah partus, bahaya perforasi lebih besar.


c. Sewaktu postabortum
Sebaiknya AKDR dipasang segera setelah abortus oleh karena dari segi
fisiologi dan psikologi waktu itu adalah paling ideal.Tetapi septic
abortion merupakan kontraindikasi.
d. Sewaktu melakukan Sectio Caesaria (Sarwono, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari S., 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB
POGI, FKUI. Jakarta.
Abdul Bari S., George Andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000, Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR,pp: 10-19; 2003.

Budiono Wibowo. (1999). Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark, 1997,
Williams Obstetrics 20thPrentice-Hall International,Inc.
Haram K, Svendsen E, dan Abilgaard U. The HELLP syndrome: clinical issues
and management: a review. BMC Pregnancy and Childbirth. 2009; 9:8
Jayakusuma A. Sindroma HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK
UNUD. 25 43; 2005.
Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta: Hipokrates,
POGI. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia
Edisi 2. Semarang: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.
Sofian A. 2011. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Edisi 3
Jilid 1. Jakarta : EGC. pp: 143-149
Sarwono, 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sawono
Prawirohardjo. Pp: 451-455, 530-559
Sastrawinata, S. 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Вам также может понравиться