Вы находитесь на странице: 1из 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(PERKENI, 2006).
2. Faktor Risiko
Menurut Suyono (2007), DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan
beberapa faktor antara lain :
a. Faktor keturunan (genetik)
b. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2)
- Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat
- Makan berlebihan
- Hidup santai, kurang gerak badan
c. Faktor demografi
- Jumlah penduduk meningkat
- Urbanisasi
- Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat
d. Kurang gizi.
3. Epidemiologi
Sekitar 18,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM dan diantara pasien ini
5,2 juta orang tidak terdiagnosa. Risiko mengalami diabetes untuk bayi yang

dilahirkan pada tahun 2000 diperkirakan adalah 32,8% untuk pria dan 38,5% untuk
wanita. DM tipe 1 ditemukan pada 5% sampai 10% pasien dengan diabetes dan
prevalensinya pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun adalah sekitar 1 dalam
400. DM tipe 1 tidak memiliki variasi musiman dan perbedaan jenis kelamin secara
klinis tidak bermakna. DM tipe 2 dijumpai pada 90% sampai 95% dari semua pasien
dengan diabetes. Prevalensinya berbeda di antara kelompok ras dan etnis yang
berbeda (Afrika-Amerika 11,4%, Latino 8,2%, dan Amerika Asli 14,9%) (Cramer dan
Manyon, 2007).

Menurut data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia

(PERSI) tahun 2008, Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah
penderita diabetes mellitus di dunia.

Pada 2006, jumlah penyandang diabetes

(diabetasi) di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita
yang sadar mengidap, dan sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara
teratur. Menurut beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi diabetes di Indonesia
berkisar 1,5% sampai 2,3%, kecuali di Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1
% (PERSI, 2008) Menurut kepala Dinas Kesehatan Kota Medan Edwin Effendi,
penyakit DM di Medan, sejak September-Oktober 2009 merupakan penyakit dengan
penderita terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya, jika dibanding
dengan jumlah pasien Penyakit Jantung Koroner atau penyakit yang lainnya.
Diperkirakan di Medan terdapat lebih dari 14 juta orang menderita diabetes, tetapi
baru 50% yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30% yang
datang berobat teratur (Waspada Online, 2009).
4. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI 2006 dalam dilihat dalam tabel
2.1 dibawah ini :
a. DM tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)
Diabetes jenis ini terjadi akibat kerusakan sel pakreas. Dahulu, DM tipe 1
disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentanketosis
(karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum usia
25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus
juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Sekresi insulin mengalami defisiensi
(jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali). Dengan demikian, tanpa
pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan melalui pemberian insulin
bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan mudah terjerumus ke dalam
situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011).
Gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat
progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma.
Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil
tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140 mg/dL
(Arisman, 2011).
b. DM tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
DM jenis ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan diabetes

resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25% diabetes, pada
kenyataannya, harus diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak memerlukan
insulin sepanjang usia). DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang mewakili
kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi (35%
orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup tradisional menjadi
modern (Arisman, 2011). DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an
tahun), atau lebih tua, dan cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan
penderita memiliki berat badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis
ini dikelompokkan menjadi dua : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes.
Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan
bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun atau
di atas 40 tahun (Arisman, 2011).
Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang bahkan
belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala
berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat. Namun,
ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau infeksi.
Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin bekerja tidak
efektif (Arisman, 2011). Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak
ada kontraindikasi) olahraga, atau dengan pemberian obat hipoglisemik (Arisman,
2011).

Perbedaan DM tipe 1 dan 2 dapat digambarkan didalam tabel 2.2 di bawah ini:

c. DM tipe lain
Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain.

Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel ,
seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom hormonal yang
mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali,
feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi insulin
(fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid); (d)
kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin; dan (e)
sindrom genetic (Arisman, 2011).
d. Diabetes Mellitus kehamilan (DMK)
Diabetes mellitus kehamilan didefenisikan sebagai setiap intoleransi glukosa
yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat
intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap selepas
melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan trimester kedua dan
ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika hamil (sebelumnya tidak
diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap DM, kemudian hamil,
tidak termasuk ke dalam kategori ini (Arisman, 2011).
5. Patofisiologi
Keadaan normal kadar glukosa darah berkisar antara 70-110 mg/dl, setelah
makan kadar glukosa darah dapat meningkat 120-140 mg/dl dan akan menjadi normal
dengan cepat. Kelebihan glukosa dalam darah disimpan sebagai glikogen dalam hati
dan sel-sel otot (glicogenesis) yang diatur oleh hormon insulin yang bersifat anabolik.
Kadar glukosa darah normal dipertahankan selama keadaan puasa karena glukosa
dilepaskan dari cadangan-cadangan tubuh (glycogenolisisi) oleh hormon glucagon
yang bersifat katabolik (Arisman, 2011)
Mekanisme regulasi kadar glukosa darah, hormon insulin merupakan satusatunya
hormon yang menurunkan glukosa darah (PERKENI, 2006).
Insulin adalah hormon protein dibuat dari dua rantai peptida (rantai A dan rantai
B) dihubungkan pada dua lokasi melalui jembatan disulfida. Dalam bentuk ini lah

insulin dilepaskan ke dalam darah dan beraksi pada sel target. Insulin disintesa di
dalam sel di reticulum endoplasmik, sebagai rantai peptida lebih besar yang disebut
proinsulin (Mardiati, 2000).
Pada diabetes melitus defisiensi atau resistensi hormon insulin menyebabkan
kadar gula darah menjadi tinggi karena menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan
otot dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati, akibatnya otot
tidak mendapatkan energi dari glukosa dan membuat alternatif dengan membakar
lemak dan protein (Mardiati, 2000). Dampak lebih jauh terjadi komplikasikomplikasi yang secara biokimia menyebabkan kerusakan jaringan atau komplikasi
tersebut akibat terdapatnya : (1) Glikosilasi, kadar gula yang tinggi memudahkan
ikatan glukosa pada berbagai protein yang dapat ireversibel yang sering mengganggu
fungsi protein; (2) Jalur poliol (peningkatan aktifitas aldose reductase), jaringan
mengandung aldose reductase (saraf, ginjal, lensa mata) dapat menyebabkan
metabolisme kadar gula yang tinggi menjadi sorbitol dan fructose. Produk jalur poliol
ini berakumulasi dalam jaringan yang terkena menyebabkan bengkak osmotik dan
kerusakan sel (Salzler, Crawford dan Kumar, 2007).
6. Diagnosis dan Pemeriksaan Fisik
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain (PERKENI,
2006) :
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dijelaskan sebabnya.
b. b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.
Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler sesuai kondisi

dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai


pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (Gustaviani,
2006; PERKENI, 2006).

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosa DM adalah (PERKENI, 2006) :


a. Didahului dengan adanya keluhan-keluhan khas yang dirasakan dan dilanjutkan
dengan pemeriksaan glukosa darah.
b. b. Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil : pemeriksaan glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis), pemeriksaan glukosa
darah puasa 126 mg/dl (patokan diagnosis DM).

Untuk kelompok tanpa keluhan DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosa DM.
Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu
200 mg/dl pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah setelah pembebanan 200 mg/dl (PERKENI, 2006).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan cara pengelolaan yang
baik. Tujuan

penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2006) adalah

meningkatkan kualitas hidup penderita Diabetes.


Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus,
yang meliputi : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan pengelolaan
farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan

secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan


dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI,
2006).
a.

Edukasi
Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan


partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus
mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan

perubahan

perilaku,

dibutuhkan

edukasi

yang

komprehensif

pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan


berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.
Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian,
perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2006).
b. Terapi Gizi Medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut (PERKENI, 2006):
Karbohidrat : 45 65% total asupan energi
Protein : 10 20% total asupan energi
Lemak : 20 25 % kebutuhan kalori
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah
kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal
(30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian

ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang
diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya
kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk
mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006).
c.

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti :

jalan kaki,

bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan


dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan (PERKENI, 2006).

d. Pengelolaan Farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat
Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2007) :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
1.

Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh

sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2.

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara

oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.


B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan.
D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Mekanisme kerja OHO, efek samping

utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 2.6
(Soegondo, 2007).

8. Penilaian Hasil Terapi


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah (PERKENI, 2006).
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah :
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan
Kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi,yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini

tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.


Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang
umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan
baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.
Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan
dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu
sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi.
Waktu yang dianjurkan, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai
ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia
nokturnal yang kadang tanpa gejala, atau ketika mengalami gejala seperti
hypoglicemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 2.7.

9. Komplikasi Diabetes Melitus


Komplikasi akut pada diabetes mellitus antara lain (Boedisantoso R, 2007):
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan
glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrinergic
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah
akibat obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan
glibenklamida. Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan
yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan lainlain.
b. Ketoasidosis Diabetik
ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari
suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosi dan
ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian pada pasien DM.
c. Hiperglikemia Non Ketotik
Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi
berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis dengan atau tanpa
adanya ketosis.

Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus yang
dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan sel dan
juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada endotel
pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal ginjal,
semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel yang
akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah, saraf dan
struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam
dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami
kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama menuju
kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan beberapa komplikasi
antara lain (Waspadji, 2006) :
a. Retinopati
Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi
penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan
mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya
ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk
neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang
menyebabkan kebutaan.
b. Nefropati
Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular dan
disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan terjadinya
penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi
dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya
glomerulosklerosis.

Gejala-gejala

yang

akan

timbul

dimulai

dengan

mikroalbuminuria dna kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis


selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir
dengan gagal ginjal.
c. Neuropati

Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya
sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih
terasa sakit dimalam hari.
d. Penyakit jantung koroner
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar
zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis
(penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali
lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan
penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner.
e. Penyakit pembuluh darah kapiler
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki
diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit
pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah di kaki.
10. Pengaturan Kadar Gula
Yang berperan penting dalam fisiologi pengaturan kadar glukosa darah adalah
hepar, pankreas, adenohipofise dan kelenjar adrenal. Pengaruh lain berasal dari :
kelenjar tiroid, kerja fisik, serta faktor imunologi dan herediter.
a. Hepar
Setelah absorbsi makanan oleh usus, glukosa dialirkan kehepar melalui vena
porta. Sebagian dari glukosa tersebut disimpan sebagai glikogen. Pada saat itu kadar
glukosa dalam vena porta lebih tinggi daripada vena hepatik. Setelah absorbsi selesai,
glikogen dalam hepar dipecah lagi menjadi glukosa. Pada saat ini kadar glukosa
dalam vena hepatik lebih tinggi daripada dalam vena porta. Jadi jelaslah bahwa hepar
dalam hal ini berperan sebagai glukostat. Dalam keadaan biasa, persediaan glikogen
dalam hepar cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam.
b. Pankreas
Sekresi insulin kedalam darah diatur oleh berbagai faktor yaitu :

Jumlah makanan yang masuk


Hormon saluran cerna
Hormon susunan saraf (baik susunan saraf otonom maupun susunan saraf pusat)
Berbagai zat dalam makanan dapat merangsang sekresi insulin. Pada manusia
glukosa merupakan stimulus terkuat, dimana pemberian oral lebih kuat merangsang
sekresi insulin daripada pemberian intra vena. Perangsangan sekresi insulin ini
dengan perantaraan hormon intestinal. Yang dimaksud hormon intestinal adalah
sekretin, gastrin, pankreozimin, dan glukagon intestinal.
Selain insulin, hormon pankreas yang juga penting ikut mengatur metabolisme
karbohidrat adalah glukagon. Glukagon menyebabkan glikogenolisis dengan jalan
merangsang adenilsiklase, suatu enzim yang penting untuk mengaktifkan enzim
fosforilase. Penurunan cadangan glikogen dalam hepar menyebabkan bertambahnya
deaminasi dan transaminasi asam amino, sehingga glukoneogenesis menjadi lebih
aktif.
c. Sistem adrenergik (Kelenjar adenohipofise dan kelenjar adrenal)
Kerja zat adrenergik/simpatik/simpatomimetik terhadap metabolisme adalah :
Meningkatkan glikogenolisis dihepar dan otot rangka
Meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
Hepar mempunyai Glukosa 6 Phosfatase, tetapi otot rangka tidak mempunyai,
sehingga hepar melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat.
Zat adrenergik juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin. Diketahui
bahwa sekresi insulin distimulasi oleh aktifitas reseptor (beta) adrenergik. Tetapi
dalam pengaruhnya, reseptor (alpha) adrenergik lebih dominan dan ini menghambat
aktifitas reseptor sehingga sekresi insulin dihambat.
Epinefrin juga menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh
jaringan perifer, akibatnya peningkatan kadar glukosa darah dan laktat darah, serta
penurunan glikogen dalam hepar dan otot rangka.
Epinefrin meningkatkan aktifitas enzim lipase trigliserida dalam jaringan lemak

sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas (free fatty
acid = FFA) dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah
menintgkat. Aktifitas enzim lipase trigliserida tersebut terjadi karena aktifitas reseptor
yang berakibat terbentuknya siklik AMP.
Pentingnya pengaturan glukosa darah adalah karena secara normal glukosa
merupakan satu-satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina,
epitel germinal gonad dalam jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan tersebut
secara optimal sesuai dengan energi yang dibutuhkannya. Oleh karena itu,
konsentrasi glukosa darah harus dipertahankan pada kadar normal. Konsentrasi
glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi karena empat
alasan berikut :
(1) glukosa dapat menimbulkan sejumlah besar tekanan osmotik dalam cairan
ekstrasel, dan bila konsentrasi glukosa meningkat sangat berlebihan, akan
dapat mengakibatkan timbulnya dehidrasi sel;
(2) tingginya konsentrasi glukosa darah menyebabkan keluarnya glukosa dalam
air seni;
(3) Hilangnya glukosa melalui urin juga menimbulkan diuresis osmotik oleh
ginjal, yang dapat mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit;
(4) peningkatan jangka panjang glukosa darah dapat menyebabkan kerusakan
pada banyak jaringan, terutama pembuluh darah. Kerusakan vaskular, akibat
diabetes melitus yang tidak terkontrol, akan berakibat pada peningkatan risiko
terkena serangan jantung, stroke, penyakit ginjal stadium akhir dan kebutaan
(Guyton, 2008).
11. Kebutuhan Zat Gizi Pada Penderita Diabetes Melitus
Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup dan
disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh. Pengetahuan porsi makanan
sedemikian rupa sehingga supan zat gizi tersebar sepanjang hari. Penurunan berat
badan ringan atau sedang (5 10 kg), sudah terbukti dapat meningkatkan kontrol

diabetes, walaupun berat badan idaman tidak dicapai (Hiswani, 2007).


Penurunan berat badan dapat diusahakan dicapai dengan baik dengan penurunan
asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi. Dianjurkan
pembatasan kalori sedang yaitu 250-500 Kkal lebih rendah dari asupan rata-rata
sehari (Hiswani). Kebutuhan zat gizi dapat diuraikan dibawah ini (Hiswani, 2007) :
1. Protein
Hanya sedikit data ilmiah untuk membuat rekomendasi yang kuat tentang asupan
protein orang dengan diabetes. ADA pada saat ini menganjurkan mengkonsumsi 10%
sampai 20% energi dari protein total. Menurut konsensus pengelolaan diabetes di
Indonesia kebutuhan protein untuk orang dengan diabetes adalah 10 15% energi.
Perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg perhari atau 10% dari kebutuhan
energi dengan timbulnya nefropati pada orang dewasa dan 65% hendaknya bernilai
biologi tinggi.
2. Total Lemak.
Asupan lemak dianjurkan < 10% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih 10%
energi dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan selebihnya yaitu 60 70% total
energi dari lemak tidak jenuh tunggak dan karbohidrat. Distribusi energi dari lemak
dan karbohidrat dapat berbeda-beda setiap individu berdasarkan pengkajia gizi dan
tujuan pengobatan. Anjuran persentase energi dari lemak tergantung dari hasil
pemeriksaan glukosa, lipid, dan berat badan yang diinginkan. Untuk individu yang
mempunyai kadar lipid normal dan dapat mempertahankan berat badan yang
memadai (dan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal pada anak dan remaja)
dapat dianjurkan tidak lebih dari 30% asupan energi dari lemak total dan < 10%
energi dari lemak jenuh. Dalam hal ini anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20
25% energi. Apabila peningkatan LDL merupakan masalah utama, dapat diikuti
anjuran diet dislipidemia tahap II yaitu < 7% energi total dari lemaj jenuh, tidak lebih
dari 30% energi dari lemak total dan kandungan kolesterol 200 mg/hari. Apabila

peningkatan trigliserida dan VLDL merupakan masalah utama, pendekatan yang


mungkin menguntungkan selain menurunkan berat badan dan peningkatan aktivitas
adalah peningkatan sedang asupan lemak tidak jenuh tunggal 20% energi dengan <
10% masing energi masing-masing dari lemak. jenuh dan tidak jenuh ganda
sedangkan asupan karbohidrat lebih rendah. Perencanaan makan tinggi lemak tidak
jenuh tunggal dapat dilakukan antara lain dengan penggunaan nuts, alpukat dan
minyak zaitun. Namun demikian pada individu yang kegemukan peningkatan asupan
lemak dapat memperburuk kegemukannya. Pasien dengan kadar trigliserida > 1000
mg/dl mungkin perlu penurunan semua tipe lemak makanan untuk menurunkan kadar
lemak plasma dalam bentuk kilomikron.
3. Lemak Jenuh dan Kolesterol.
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolestrol adalah untuk
menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu < 10% asupan energi
sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan makanan kolesterol makanan
hendaknya dibatasi tidak lebih dari 300 mg perhari. Namun demikian rekomendasi ini
harus disesuaikan dengan latar belakang budaya dan etnik.
4. Karbohidrat dan Pemanis
Rekomendasi tahun 1994 lebih menfokuskan pada jumlah total karbohidrat dari
pada jenisnya. Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal, menilai kembali fruktosa
dan lebih konservatif untuk serat. Buah dan susu sudah terbukti mempunyai respon
glikemik menyerupai roti, nasi dan kentang. Walaupun berbagai tepung-tepungan
mempunyai respon glikemik yang berbeda, prioritas hendaknya lebih pada jumlah
total karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber karbohidrat. Anjuran konsumsi
karbohidrat untuk orang dengan diabetes di Indonesia adalah 60 70% energi.
5. Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa sebagai bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk kontrol glukosa darah pada individu dengan
diabetes tipe 1 dan 2. Sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa harus

diperhitungkan sebagai pengganti karbohidrat makanan lain dan tidak hanya dengan
menambahkannya pada perencanaan makan. Dalam melakukan substitusi ini
kandungan zat gizi dari makanan-makanan manis yang pekat dan kandungan zat gizi
makanan yang mengandung sukrosa harus dipertimbangkan, demikian juga adanya
zat gizi-zat gizi lain pada makanan tersebut seperti lemak yang sering dimakan
bersama sukrosa. Mengkonsumsi makanan yang bervariasi memberikan lebih banyak
zat gizi dari pada makanan dengan sukrosa sebagai satu-satunya zat gizi.
6. Pemanis
a. Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil dari pada sukrosa dan
kebanyakannya karbohidrat jenis tepung-tepungan. Dalam hal ini fruktosa dapat
memberikan keuntungan sebagai bahan pemanis pada diet diabetes. Namun demikian,
karena pengaruh penggunaan dalam jumlah besar (20% energi) yang potensial
merugikan pada kolesterol dan LDL, fruktosa tidak seluruhnya menguntungkan
sebagai bahan pemanis untuk orang dengan diabetes. Penderita dislipidemia
hendaknya menghindari mengkonsumsi fruktosa dalam jumlah besar, namun tidak
ada alasan untuk menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengnadung
fruktosa alami ataupun konsumsi sejumlah sedang makanan yang mengandung
pemanis fruktosa.
b. Sorbitol, mannitol dan xylitol adalah gula alkohol biasa (polyols) yang
menghasilkan respon glikemik lebih rendah dari pada sukrosa dan karbohidrat lain.
Penggunaan pemanis tersebut secra berlebihan dapat mempunyai pengaruh laxatif. c.
Sakarin, aspartam, acesulfame adalah pemanis tak bergizi yang dapat diterima
sebagai pemanis pada semua penderita DM.
7. Serat Rekomendasi
asupan serat untuk orang dengan diabetes sama dengan untuk orang yang tidak
diabetes. Dianjurkan mengkonsumsi 2035 g serat makanan dari berbagai sumber
bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25 g/hari dengan
mengutamakan serat larut.

8. Natrium
Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan penduduk biasa yaitu
tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi yang menderita hipertensi ringan sampai
sedang, dianjurkan 2400 mg natrium perhari.
HIPERTENSI

Вам также может понравиться