Вы находитесь на странице: 1из 16

1

WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA AMAR MARUF NAHI


MUNKAR; STUDI HISTORIKEL WILAYATUL HISBAH DALAM ISLAM
Oleh: Hasbullah, S.Sos.I., MA
NIDN: 2101077601
DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA

ABSTRAK
Hisbah merupakan suatu tindakan secara sukarela mengajak manusia untuk bebuat maruf
dan menjahui mukar. Kebiasaannya tindakan ini muncul dari sosok pribadi yang memiliki
tanggungjawab moral terhadap kebaikan umat Islam lainnya. Tugas ini telah mulai muncul
sejak di zaman Nabi SAW. Biarpun di zaman Nabi SAW tugas hisbah ini masih sangat
terbatas sekali; hanya pada pengawasan pasar terhadap pedagang-pedagang yang melakukan
kecurangan dalam perdangannya. Tugas hisbah ini terus mengalami kemajuannya pada masamasa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan setelah Nabi
SAW, hisbah ini mencapai kemajuan yang sangat pesat. Pada periode ini hisbah sudah
mencakup di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Di samping itu juga, pada periode
kekhalifahan inilah hisbah ini sudah menjadi lembaga resmi negara yang bergerak di bidang
amar maruf nahi mukar. Pada periode selanjutnya; yaitu periode tabiin tugas hisbah ini
semakin menjadi pusat perhatian oleh setiap pemimpin-pemimpin negara Islam. Namun
demikian, mekipun tugas hisbah di awal-awal Islam menjadi perioritas utama bagi setiap
kepala negara Islam, tetapi pada akhirya tugas yang mulia ini semakin tidak begitu populer
seperti di masa-masa kejayaan Islam. Disebabkan oleh kejayaan dan kemakmuran yang
dicapai oleh umat Islam sehingga membuat mereka terlena dengan kehidupan keduniawian,
pada gilirannya tugas amar maruf nahi munkar tidak lagi menjadi tugas utama umat Islam.
A. Pendahulan
Persoalan Wilayatul Hisbah adalah merupakan masalah lama dalam dunia Islam. Namun,
masalah Wilayatul Hisbah merupakan hal yang baru di Aceh. Pertama, dikatakan lama karena
aktivitas hisbah atau pengawasan dari pihak pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan
masyarakat yang tidak sesuai dengan Syariat Islam sudah mulai diterapkan semenjak masa
kepemimpinannya Nabi Muhammad saw ketika mendirikan kota Madinah, walaupun hisbah
pada masa itu hanya pada pengawasan pasal.
1

Ketika itu, kasus-kasus hisbah langsung diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, meskipun
pelaksanaan eksekusi hukumannya kadang-kadang didelegasikan oleh para sahabat.1
Rasulullah saw bersabda:2



: ,
, :
(
(
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw memeriksa satu tumpukan beras, lalu
Rasulullah saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukan beras tersebut, maka Rasulullah
saw menemukan beras itu pada bagian bawah dalam keadaan basah, lalu Rasulullah saw
menanyakan pada pemiliknya, kenapa engkau lakukan ini wahai pulan, maka ia menjawab
beras ini telah tertimpa hujan, kemudian Rasulullah saw menanyakan lagi, kenapa tidak
engkau taruhkan yang basah itu di bagian atas saja supaya terlihat oleh manusia? Siapa saja

yang melakukan kecurangan dalam perdangannya, maka ia bukan dari golonganku. (HR.
Muslim ra).
Mengingat orientasi pelaksanaan hisbah pada masa itu hanya terpusatkan kepada pengawasan
pasar, penertiban harga barang, sehingga istilah hisbah pada waktu itu lebih dikenal dengan
panggilan Shhib al-sq (pengawas pasar) atau al-mil fi al-sq (petugas pengawasan di
pasar).3
Al-Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, dengan misi untuk menjalankan amar maruf nahi
munkar, mengajak, memerintahkan manusia untuk mengerjakan
1Hasnul

Arifin Melayu, Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam dalam Soraya Devy, dkk, Politik dan
Pencerahan Peradaban, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 53.
2Ibnu Hajar al Asqalany, Bulughu al maram min adillati al ahkam, (Jakarta: Dr al- Kutub al- islmiyyat, tt,
ttp), h. 150.
3Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998), h. 349.

perbuatan yang baik dan melarang manusia dari berbuat jahat atau munkar. Tugas ini
merupakan tanggung jawab pemerintah yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam hal ini
pemerintah, untuk terlaksananya misi ini serta terbebas atas tanggung jawabnya, maka harus
mengangkat dan memilih pejabat yang bertugas dalam bidang ini orang-orang yang
mempunyai suatu komitmen penuh untuk membumikan Syariat Islam dalam setiap sendisendi kehidupan masyarakat. Pejabat-pejabat hisbah ini bukan dari unsur-unsur manusia yang
mudah ternodai dengan politik suap-menyuap, dan tidak ada pilih kasih dalam menjalankan
tugasnya, semua masyarakat dipandang sama di mata hukum. Kehadiran pejabat hisbah
dalam masyarakat adalah untuk memberi bantuan kepada orang-orang yang merasa telah
terzalimi atau tertindas dari pihak-pihak lain.4
Kedua, pengawasan dari pihak pemerintah atau penguasa seperti demikian dikatakan baru
untuk Provinsi Aceh, karena munculnya lembaga Wilayatul Hisbah adalah sebuah
konsekuensi dari keinginan penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh, serta lembaga
Wilayatul Hisbah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemberlakuan Syariat Islam
di Aceh.5
Wilayatul Hisbah berfungsi sebagai badan yang diberikan hak dan kewenangannya oleh
Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengontrol dan mengawasi pelaksanaan Syariat Islam di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Dalam hal ini Wilayatul Hisbah memiliki
kewenangan untuk menegur/menasehati setiap pelanggar terhadap qanun-qanun Syariat
Islam. Di samping itu, Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan pula untuk menyerahkan
perkara pelanggaran qanun Syariat Islam tersebut kepada aparat penyidik apabila upaya
peneguran/nasehat yang dilakukan tidak bermanfaat.6 Dari satu sisi kehadiran Wilayatul
Hisbah
4A.

Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 61.
5Muhibbuththabary, Wilayat al-Hisbah di Aceh , h. 80-81.
6Dinas Syariat Islam Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun,
Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam,

sudah sangat tepat, namun di sisi lain masih memunculkan berbagai persoalan. Persoalan itu
meliputi masalah konsepsional dan teori hukum yang dianut dan masalah aplikasinya, 7 yaitu
sampai sekarang belum ada sebuah rencana kongkrit yang telah diambil pemerintah Provinsi
Aceh mengenai badan Wilayatul Hisbah ini.8
Secara teoritis kehadiran institusi Wilayatul Hisbah sudah sangat tepat dalam rangka
menegakkan amar maruf nahi munkar, namun secara praktis, kenyataan-kenyataan riil di
lapangan menunjukkan bahwa institusi Wilayatul Hisbah belum mampu meminimalisir
terhadap bermacam-macam praktek pelanggaran qanun-qanun Syariat Islam.9

Kalangan ulama juga menilai pengawas Syariat Islam dalam hal ini Wilayatul Hisbah belum
berfungsi secara maksimal. Dengan kata lain penerapan Syariat Islam masih terkesan
lamban. Hal ini dapat diketahui dari hasil Rumusan Muzakarah Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) se Aceh di Banda Aceh. Dalam hal ini MPU Aceh menyatakan di bidang
akhlak bangsa telah terjadi kemerosotan yang ditandai dengan korupsi, pergaulan bebas, zina,
perampokan, dan perjudian. Kondisi ini terjadi akibat menurunnya keteladanan pemimpin
masyarakat, lemahnya penegakan hukum, tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial seperti
lembaga adat, lembaga Wilayatul Hisbah. Peran orang tua dalam rumah tangga juga
membawa akibat makin cepatnya kemerosotan akhlak bangsa.10
Edisi ke Tujuh, (Banda Aceh: LITBANG dan Program Dinas Syariat Islam Aceh, 2009), h. 497-498.
7Muhibbuththabary, Wilayat Al-Hisbah , h. 4.
8Al Yasa Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam, Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat
Islam, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2009), hlm, 80-81.
9Juhari, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Menegakkan Dakwah Struktural di Kota Banda Aceh dalam Muslim
Zainuddin, dkk, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Era Reformasi di Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press,
2004), h. 120-121.
10Dokumentasi: Kantor Majelis Ulama Kota Banda Aceh (MPU).

Idealnya ketika masyarakat Provinsi Aceh memiliki wewenang untuk menerapkan Syariat
Islam dengan disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, sebagai payung hukum untuk memberlakukan
Syariat Islam11 di Aceh, bagi pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas
dalam penerapan Syariat Islam di Aceh terutama sekali lembaga Wilayatul Hisbah, tidak
mendapat kendala apapun dalam mengimplementasikan butir-butir dari undang-undang
tersebut. Tetapi kenyataannya, Syariat Islam yang usianya sudah mencapai sembilan tahun
semenjak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Provinsi Aceh ini pada tanggal 1
Muharram 1423 Hijriyah atau bertepatan dengan Tanggal 14 Maret 2002, sampai saat ini
belum nampak wujudnya secara sempurna dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan itulah penulis tertarik untuk meneliti suatu
masalah tentang amar maruf dan nahi munkar ditinjau dari aspek hak dan kewenangan yang
dilimpahkan kepada Wilayatul Hisbah di Provinsi Aceh.
B. Sejarah Wilayatul Hisbah Dalam Islam
11Syariat

Islam secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Secara terminologi Syariat Islam dipahami
sebagai aturan Tuhan yang bersifat sakral yang termuat dalam al-Qurn dan al-Hadts. Syariat mengandung
seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan
hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya. Fazlurrahman memahami syariat dalam arti jalan
kehidupan yang baik, berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dalam makna yang kongkrit.
Lihat Syahrizal Abbas, Syariat Islam di Aceh, Ancangan Metologis dan Penerapannya, (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi Aceh, 2009), h. 9.
Selain dari pengertian syariat yang telah dijelaskan di atas, ada tiga pengertian lainnya yang terdapat dalam
literatur hukum Islam. Pertama, syariat dalam artian sesuatu yang telah abadi tidak berubah sepanjang masa.
Kedua, syariat dengan maksud sumber hukum Islam baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun sumber
hukum yang berubah. Ketiga, syariat dengan makna hukum-hukum yang digali dari al-Qurn dan al-Sunnah
yaitu hasil interprestasi manusia dari nass. Lihat Hasan Basri Elbi, Metode Dakwah Islam, Kontribusi Terhadap
Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi NAD, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006), h. 66.

Sebelum dijelaskan tentang sejarah Wilayatul Hisbah dalam Islam, maka perlu digambarkan
sedikit tentang sistem pemerintahan di fase-fase awal Islam, karena tugas hisbah ini
merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan Islam. Sistem
pemerintahan yang terjadi fase-fase awal Islam terbagi ke dalam beberapa periode, di
antaranya sebagai berikut:
1. Periode Rasulullah saw
Sejarawan pada umumnya menyatakan bahwa Rasulullah saw mendirikan pemerintahan
ditandai dengan penerbitan piagam Madinah. Piagam Madinah ini menurut para pakar Islam

merupakan konstitusi modern tertua sepanjang sejarah.12 Dari Komunitas keagamaan di


Madinah inilah kemudian lahir sebuah negara Islam yang lebih besar.13 Lahirnya Piagam
Madinah yang diperkirakan kurang dari dua tahun setelah Nabi tinggal di Madinah menurut
Philip K. Hitti seperti dikutip oleh Muh. Zuhri, membuktikan bahwa Nabi selain telah
berhasil mengadakan konsolidasi dan negosiasi dengan berbagai suku dan kelompokkelompok di Madinah, Ia juga sebagai pemimpin tunggal yang mengatur kehidupan sosial
politik mereka. Sejalan dengan itu Pickthal seperti dikutip Muh. Zuhri menyatakan; Nabi
Muhammad saw selain menjalankan fungsinya sebagai nabi, ia juga seorang pemimpin, serta
telah menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the
constitution of the state).14
Dari masyarakat inilah Nabi Muhammad saw menciptakan suatu kekuatan sosial-politik
dalam sebuah Negara Madinah. Hal yang pertama dilakukan oleh Nabi saw di Madinah
dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah membuat Piagam Madinah tersebut.
Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan12Muh.

Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, (Yogyakarta: LESFI, 2004), h. 69.
K. Hitti, History Of The Arabbs; From The Earliest Times To The Present, trj R. Cecep Lukman & Dedi
Slamet Riyandi, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 151.
14Muh. Zuhri, Potret Keteladanan , h. 43.
13Philip

peraturan dan hubungan antara komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk.15
Pada masa ini, sistem administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad saw
sangat sederhana; tidak ada pemilihan atau pembagian kekuasaan sebagaimana yang
tergambar dalam lembaga yudikatif, eksekutif, legislatif, dewan pertimbangan, dan lembaga
pemeriksa keuangan negara seperti yang terjadi di masa sekarang ini. Nabi Muhammad saw
adalah penguasa tunggal, di zaman Nabi Muhammad saw kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif berada satu atap yaitu di bawah kekuasaan Nabi Muhammad saw secara mutlak. Di
masa itu pula belum pernah ada pembicaraan tentang batas masa jabatan kepemimpinannya
seseorang. Nabi Muhammad saw juga tidak pernah mengangkat menteri untuk kabinet
kekuasaannya.16
Dalam kaitannya dengan masalah Wilayatul Hisbah, pada masa Nabi Muhammad saw pernah
diangkat petugas yang secara khusus menjadi pengawas bagi pasar Makkah untuk mencegah
kecurangan-kecurangan yang dilakukan.17 Di antara para sahabat yang pernah mendapatkan
perintah tugas hisbah ini adalah seperti Said al-As ibn Umayyah untuk mengawasi kegiatan
perniagaan di kota Makkah setelah yawm al-futh (hari penaklukan Makkah), Usman ibn
al-As untuk wilayah Thaif dan Umar bin Khattab diberi kewenangan untuk memantau dan
mengawasi perniagaan di Madinah. Ali bin Abi Thalib ditugaskan menghancurkan seluruh
berhala serta bangunan kuburan di Madinah. Rasulullah saw juga pernah melantik seorang
perempuan yang bernama Samra binti Nahik al-Asadiyah untuk menjalankan aktivitasnya
tentang hisbah ini.18
15Muhammad

Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
h, 33.
16Muh. Zuhri, Potret Keteladanan , h. 61.
17Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syariat Dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), h. 57.
18Imam Muslim, Sahih Muslim, Bab al-Iaman, (Riyad: Dar al-Salam, 1998). h. 52.

Dari uraian di atas dapat dipahami tugas-tugas hisbah sudah di mulai sejak kepemimpinan
Rasulullah saw di Madinah. Hal ini dapat diketahui dengan adanya penugasan-penugasan
beberapa orang sahabat Nabi Muhammad saw untuk mengawasi kecurangan-kecurangan
yang terjadi di dalam perniagaan ke beberapa daerah-daerah tertentu.
2. Periode Khulafah al-Rasyidin

Pada periode ini yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi adalah Abu Bakar. Sistem
kepemerintahan Abu Bakar tidak jauh perbedaannya dengan sistem pemerintahan di masa
Nabi Muhammad saw.19 Dalam masa enam bulan pertama pemerintahannya Abu Bakar
melakukan perjalanan bolak-balik dari tempat ia tinggal (al-Sunh) yang sederhana dengan
isterinya, Habibah ke kota Madinah. Abu Bakar walaupun sebagai pejabat tinggi negara tetapi
tidak menerima gaji sedikit pun dari negara. Semua urusan negara ia kerjakan di Serambi
Masjid Nabi saw dengan tanpa mengharap apa pun dari negara karena negara saat itu dalam
kondisi kosong dari pemasukan.20 Dengan demikian dapat dipahami sistem pemerintahan
pada masa Abu Bakar tidak jauh bedanya dengan sistem pemerintah di masa Nabi
Muhammad saw. Dengan kata lain, Abu Bakar di samping sebagai kepala pemerintahan ia
juga sebagai kepala urusan keagamaan.
Sistem ketatanegaraan seperti di atas mulai mempunyai banyak perubahan ketika Umar bin
Khattab menjabat sebagai khalifah. Walaupun pada awal-awal kekhalifahan Umar bin
Khattab masih juga mengikuti sistem kepemimpinan yang telah diterapkan oleh Khalifah Abu
Bakar. Namun, ketika Umar bin Khattab merasakan kondisi politik negara telah stabil,
jumlah masyarakatnya pun bertambah meningkat, maka pada saat itulah Umar bin Khattab
mulai merintis
19M.

Hasbi Amiruddin, Republik Umar bin Khattab, (Yogyakarta: Total Media, 2010), h. 50.
K. Hitti, History Of The , h. 218.

20Philip

kebijakan-kebijakan baru dalam pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan Umar ini yang


kemudiannya dikenal dengan sistem kenegaraan yang cenderung bersifat republik.21
Di antara kebijakan-kebijakan Umar adalah membuat pemisahan kekuasaannya kepada tiga
institusi; yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga-ketiga lembaga yang punya
kekuasaan ini dalam teori politik modern diistilahkan dengan Trias politica, yaitu kekuasan
eksekutif; kekuasaan menjalankan undang-undang; kekuasaan legislatif; kekuasaan untuk
membuat undang-undang; yang terakhir kekuasaan yudikatif; kekuasaan untuk mengadili atas
pelanggaran undang-undang.22 Salah satu bukti kongkrit keseriusan Umar bin Khattab dalam
memunculkan lembaga peradilan Umar telah mengangkat Abu al- Darda sebagai qazdi
(hakim) untuk kota Madinah, Syuraih sebagai hakim Kufah, dan Abu Musa al-Asyari hakim
Basrah. Sedangkan untuk Mesir, setelah negeri ini dibebaskan untuk kaum muslimin, Umar
mengangkat sebagai qazdi-nya Qais bin al-As al-Sahmi. Tugas dari qazdi ini adalah
memutuskan segala perkara yang diajukan masyarakat kepadanya. Para hakim ini diberikan
kebebesan seluas-luasnya untuk memutuskan semua perkara menurut pertimbangan
pemikirannya masing-masing asalkan tidak keluar dari batas-batas Kitabullah dan Sunnah
RasulNya.23
Hal yang serupa pernah disebutkan oleh al-Imam Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharraj,
seperti dikutip oleh Yusuf al-Qardhawy; Umar bin Khattab ra pernah mengangkat Ammar
bin Yasir sebagai imam salat dan sekaligus komandan perang, kemudian mengangkat
Abdullah bin Masud menjadi hakim dan mengurus Baitul-mal, dan mengangkat Utsman bin
Hunaif menangani pembagian tanah. Pada periode pemerintahan di bawah Umar bin Khattab
para
21M.

Hasbi Amiruddin, Republik Umar , h. 50.


Hasbi Amiruddin, Republik Umar , h. 49.
23Muhammad Husain Haekal, Al-Faruq Umar, trj Ali Audah, Umar bin Khattab, (Bogor: Pustaka Lintera
Antar Nusa, 2000), h. 667-668.
22M.

pegawai telah diberi gaji termasuk ketiga-ketiga pegawai pemerintahan ini diberikan gaji atau
honorium harian dalam bentuk seekor kambing yang diambil dari Baitul-mal dengan
pembagian sama rata ketiga-ketiganya.24

Di antara kebijakan Umar yang sangat penting dalam sejarah perjalanan fiqih politik ialah
kebijakan terhadap orang-orang Nasrani Bani Taglib, suatu kabilah yang jumlahnya sangat
banyak dan sangat kuat di kalangan Bangsa Arab waktu itu, dan mereka menolak untuk
membayar jizyah,25 tetapi mau membayar zakat. Sedangkan menurut Umar mereka wajib
membayar jizyah, kemudian Umar mengajak mereka untuk bermusyawarah, lalu terjadilah
kesepakatan bersama antara Umar dengan Bani Taglib, bahwa mereka harus membayar
zakat dengan nilai dua kali lipat.26
Dalam kebijaksanaan administrasi pemerintahan daerah, Umar menerapkan sistem
desentralisasi yakni memberikan otonomi seluas-luasnya bagi
24Yusuf

al-Qardhawy, al-Siyasat al-Syariyyah trj Kathur Suhardi, Pedoman Bernegara Menurut Perspektif
Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 110.
25Jizyah adalah pungutan harta yang dikeluarkan atas setiap kepala. Kata jizyah itu diambil dari kata aljaza;balasan, yaitu dapat bermakna balasan atas kekafiran mereka dengan mewajibkan jizyah itu bagi mereka
sebagai penghinaan atas kekafiran mereka. Atau, sebagai balasan atas keamanan yang kita berikan kepada
mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari mereka secara senang hati. Lihat Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat
, h. 110.
Dasarnya adalah firman Allah swt,


.
Artinya,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka
tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS, al-Taubah, 29). Lihat Imam alMawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1996), h.
251.
26Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat , h. 136-137.

10

pemerintahan daerah untuk mengatur, mengelola daerahnya masing-masing tanpa interpensi


pemerintah daerah, menetapkan dasar-dasar sistem pengelolaan negara atau mengatur
manajemen kenegaraan, sangat memperhatikan kemaslahatan rakyat dan melindungi segala
haknya. Umar juga menanamkan semangat demokrasi, baik dikalangan rakyat maupun para
pejabat negara. Dari kebijaksanaan politik yang dirintis Umar ini dapat dikatakan bahwa
masa pemerintahan Umar adalah suatu masa di puncak kejayaan negara Madinah.27
Pada masa kekhalifahan Umar banyak melakukan perubahan-perubahan struktur
pemerintahan, di antaranya adalah mendirikan lembaga-lembaga pemerintahan yang
mengurus kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut dinamakan dengan diwandiwan (departemen-departemen), salah satu diwan yang dibentuk oleh Umar adalah Diwan
al-Hisbah. Untuk menjalan tugas ini, Umar mengangkat Saib Ibn Yazid dan Abdullah Ibn
Utbah sebagai muhtasib di Madinah. Dalam menjalankan tugasnya, shib al-suq (muhtasib)
diperbantukan oleh Diwan al-Ahdath (Departemen Kepolisian) yang tugas utamanya adalah
menjaga stabilitas keamanan. Ini menunjukkan bahwa terbentuknya lembaga al-hisbah secara
sistematis adalah di masa kekhalifahan Umar.28 Karena perhatiannya yang besar terhadap
masalah hisbah, Umar ra lebih terkenal dalam hal ini dibandingkan dengan khalifah lain,
sehingga sebagian orang mengira bahwa beliau orang yang pertama yang membahas tentang
hisbah ini.29 Memang benar tersistematika lembaga hisbah ini di masa kekhalifahan Umar.
Akan tetapi, badan ini baru terkenal di masa al-Mahdi (158-169 H).30
27Sirajuddin,

Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 43.
Wilayat al-Hisbah , h. 58-59.
29Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, al-Fiqh al-Iqtishadi li Amar al-Mukminin Umar Ibn al-Khatthab, trj Asmuni
Solihan Zamakhsyari, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, (Jakarta: Khalifa, 2006), h. 587-588.
30Topo Santoso, Membumikan , h. 57.
28Muhibbuththabary,

11

Masa kekhalifahan Umar bin Khattab selain banyak melakukan inovasi-inovasi diinternal
pemerintahannya, Ia juga banyak mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat eksternal,
berupa penaklukan untuk menjalankan Syariat Islam. Pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab banyak daerah-daerah yang dapat ditaklukkan oleh umat Islam, misalnya: (1)
penaklukan Suriah (637 M). (2) penaklukan Palestina (637 M), kedua kota tersebut masih
dalam kekuasaan kekaisaran Bizantium pada ketika itu, Kemudian serangan demi serangan
terus dilanjutkan sehingga dalam peperangan Yarmuk pasukan Arab dapat menguasai
Bizantium secara total. (3) penaklukan Damaskus (637 M), kota Damaskus ini juga dalam
tahun yang sama mengalami keruntuhan. (4) penaklukan Turki (637 M). (5) penaklukan Irak
(637 M). Walaupun Irak telah mulai ditaklukkan sebelum Umar bin Khattab, namun puncak
kemenangan umat Islam diraih dalam masa pemerintahan Umar bin Khattab yaitu dalam
petempuran Qadisiya yang bertepatan dengan tahun 637 M. (6) penaklukan Iskandariah (639
M), Iskandariah ini menyerah di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab dua tahun setelah
penaklukan Damaskus. (7) penaklukan Mesir (642 M). Pasukan Arab kian hari semakin
bertambah solid dan tangguh, sehingga bertepatan dengan tahun 639 M, pasukan ini telah
memasuki Mesir yang pada saat itu masih di bawah kekuasaan Bizantium juga. Dengan
kegigihan pasukan-pasukan Arab ini sehingga tiga tahun kemudian Mesir (642 M) sudah
berada dalam kekuasaan umat Islam.31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terdapat dua keunggulan kebijakan politik
kekhalifahan Umar bin Khattab. Pertama, keunggulan kebijakan politik dalam negeri.
Keunggulan di bidang ini dapat diketahui dengan terbentuknya badan pengawasan atau badan
hisbah (badan pengontrol) terhadap masyarakat dengan sistematis atau terorganisir. Kedua,
keunggulan politik luar negeri, dapat diketahui dengan banyaknya daerah-daerah yang dapat
ditaklukkan oleh pasukan Islam di masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
31M.

Hasbi Amiruddin, Republik Umar , h. 29-30.

12

Sistem kepemimpinan Umar ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Utsman bin Affan.
Dalam hal hisbah Utsman juga melimpahkan tugas ini kepada orang lain. Khusus di bidang
pengawsan pasar Utsman mengangkat al-Harits Ibn al-Ash sebagai muhtasibnya. Demikian
juga pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, wewenang hisbah ini dilimpahkan kepada
pegawai-pegawainya untuk pengawasan dalam traksaksi jual-beli di pasar-pasar Kota
Madinah Ali bin Abi Thalib melantik Awrad Ibn Saad sebagai pengawasnya.32
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam periode Khulafah al-Rasyidin paling
banyak perubahan-perubahan atau kebijakan pemerintahan tentang hisbah adalah pada masa
khilafah Umar bin Khattab. Karena dalam struktur kepemerintahan Umar bin Khattab telah
terjadi pemisahan antara kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
3. Periode Dinasti Umaiyah dan Dinasti Bani Abbasiyah
Pada periode Dinasti Umaiyah tugas hisbah ini semakin mendapat perhatian di hati khalifah,
sehingga ketika Dinasti Bani Umaiyah ini dipimpin oleh Khalifah Walid Ibn Abdul Malik
sering ia sendiri yang melakukan inspeksi ke pasar-pasar untuk memeriksa harga-harga
barang. Tugas inspeksi pada masa Dinasti Umaiyah ini terus dikembangkan dan ditingkatkan
sehingga ketika Dinasti Umaiyah dipimpin oleh Hisyam Ibn Abdul Malik sistem pengawasan
pasar ini semakin terorganisir dan terstruktur dengan rapi. Artinya tugas pengawasan pasar di
masa ini dilimpahkan kepada pihak lain, disamping dilaksanakan oleh khalifah itu sendiri.
Dalam hal ini Hisyam Ibn Abdul Malik mengangkat Daud Ibn Ali Ibn Abdullah sebagai
pejabat pengawasan pasar di Iraq. Sejak masa inilah, istilah shahib al-suq atau amil fi al-suq
berganti nama dengan al-hisbah (pengawasan) dan muhtasib artinya petugas atau pengawas.33
32Muhammad
33Muhammad

Husain Haiekal, al-Faraq , h. 668.


Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakrta: Rabbani Press, 2000), h. 221-222.

13

Pengawasan dari pihak pemerintahan seperti ini terus dipertahankan hingga kemasa kejayaan
Bani Abbasiyah; Khalifah Abu Jafar al-Mansur untuk menjaga kelanggengan tugas hisbah
ini melantik Abu Zakaria Yahya Ibn Adullah Sulaiman al-Ahwal menjadi petugas hisbah kota
Kufah.34
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tugas hisbah atau pengawasan dari pihak
pemerintah terhadap anggota masyarakat yang melakukan kecurangan-kecurangan sudah
mulai terlihat di masa Nabi Muhammad saw, namun pengawasan pada masa itu hanya
terfokus pada pengawasan pasar. Tugas pengawasan ini terus dilanjutkan dan dikembangkan
oleh pemimpin-pemimpin setelah Nabi Muhammad saw.
C. Dalil-Dalil Amar Maruf Nahi Munkar
Pelaksanaan amar maruf dan nahi munkar memiliki landasan yang sangat kuat baik dalam
Al-Qur`an maupun dalam al- Sunnah.
Allah swt berfirman: 35



Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah
orang-orang yang beruntung. (QS. 3: 104).
Kata-kata min dari lafad minkum dalam ayat di atas mempunyai dua makna, Pertama min li
tajrid; artinya min yang tidak mempunyai makna apa-apa (kosong dari mana). Berdasarkan
makna min seperti demikian, maka jadilah makna ayat di atas adalah: supaya kamu semua
menjadi suatu umat yang menyeru kepada kebaikan. Adapun makna min yang kedua li tabid;
artinya sebagian, maka ayat di atas mempunyai maknanya adalah: hendak adalah sebagian
kamu satu
34Muhammad
35Al-Ghazali,

Ikbal, Fiqh Siysah , h. 60.


Ihya Ulum , h. 265.

14

kelompok atau satu barisan yang kuat, berani, dan solid yang menyeru kepada kebaikan,
memerintahkan yang maruf dan mencegah dari yang munkar.36
Adapun menurut peneliti, makna min dalam ayat di atas lebih cenderung kepada makna yang
kedua (tabid), dikarenakan makna min yang kedua ini makna dasar bagi kata-kata min.
Allah swt berfirman: 37



Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah swt. (QS. 3: 110).
Ungkapan Al-Qur`an di atas menunjukkan bahwa umat Islam tidak dilahirkan ke alam ini
untuk dirinya sendiri, melainkan ia dilahirkan untuk umat manusia lainnya; untuk menunjuki
manusia setelah ia mendapat petunjuk Allah swt; memberi manfaat kepada manusia;
memperbaiki manusia setelah ia baik dengan iman dan amal salih dan mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada cahaya.38 Oleh karena itu, umat terbaik dalam konteks pembahasan ini
adalah setiap umat Islam yang mempunyai kepedulian terhadap kebaikan manusia lainnya.
Adapun Sunnah-Sunnah yang menyatakan tentang amar maruf nahi munkar juga amat
banyak, di antaranya hadis-hadis yang terdapat dalam al- Kutub
36Yusuf

al-Qardhawy, Madkhal Limarifati al-Islam, Muqawwimatuhu, Khasaisuhu, Ahdafhuhu, Mashadiruhu,


trj Setiawan Budi Utomo, Pengantar Kajian Islam, Studi Analistik Komprehensif Tentang Pilar-Pilar Subtansi,
Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000), h. 341.
37Ibn Taimiyyah, al-Amr wa Nahy an al- Munkar, trj Abu Ihsan Al-Atsari, Amar Maruf Nahi Munkar, (Solo:
At-Tibyan, 2002), h. 15.

38Yusuf

Al-Qardhawi, Madkhal Limarifati al-Islam , h. 340.

15

al- Sittah seperti dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Zabdiyyi, pertama;39




Artinya: Mereka (para sahabat) bertanya; Apa sajakah hak jalan itu wahai Rasulullah? Nabi
menjawab; menahan pandangan, meniadakan gangguan, menjawab salam, menyerukan yang
maruf dan mencegah yang munkar. (HR. Abu Said al- Khudri ra.
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa setiap umat Islam memiliki tanggung jawab
untuk mengajak umat Islam lainnya untuk mengerjakan perbuatan maruf, dan mempunyai
wewenang untuk mencegah munkar bila ia mengetahuinya.
Kedua;40

Artinya: Maka manusia-manusia jahat berada dalam keringanan burung (kelicikan) dan
impian binatang buas (kerakusan), mereka tidak mengenal yang maruf dan tidak
mengingkari yang munkar.
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang menyia-nyiakan tugas amar
maruf dan nahi munkar adalah termasuk orang-orang yang berada dalam kerugian.
Ketiga;41

39Muhammad

bin Muhammad al- Zabdiyyi, Ittihf al-Sdat al-Muttaqn, juz delapan, (Beirut: Dr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), h. 11.
40Sayyid Muham bin Muhammad al- Zabdiyyi, Ittihf al-Sdat , h. 11
.
41Sayyid Muham bin Muhammad al- Zabdiyyi, Ittihf al-Sdat , h. 15.

16

Artinya: Bukan dari golongan kami mereka yang tidak menyayangi anak-anak kami dan tidak
menghargai orang tua kami, serta tidak menyerukan kemarufan dan tidak pula mencegah
kemungkaran. (HR. Abdullah Ibnu Abbs) ra.
Dari hadis di atas dapat dipahami, agama Islam merupakan agama yang sangat peduli
terhadap orang lain. Oleh karena demikian, umat Islam mempunyai tanggung jawab untuk
memperbaiki saudaranya dari kesalahan yang mereka lakukan, juga mempunyai tanggung
jawab terhadap kemungkaran yang mereka kerjakan. Umat Islam mempunyai wewenang
untuk menegur, menasehati, dan memerintahkan sesuatu perbuatan yang baik, juga memiliki
kewenangan untuk malarang perbuatan munkar yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.
Allah swt menjadikan amar maruf dan nahi munkar sebagai pembeda antara orang-orang
beriman dan munafiq. Ini menunjukkan bahwa melakukan amar maruf nahi munkar
merupakan salah satu ciri-ciri khusus orang-orang yang beriman. Inti dari amar maruf nahi
munkar itu adalah mengajak orang lain untuk memeluk agama Islam.42 Justeru karena misi
inilah Allah mengutuskan para nabi. Jika aktivitas amar maruf nahi munkar tidak ada orang
yang memperdulikannya, maka syiar kenabian akan hilang, agama pun akan hilang,
kemaksiatan di mana-mana, kesesatan membudaya, kebodohan akan merajalela, negeri akan
rusak, yang akhirnya masyarakat pun akan rusak secara keseluruhannya. 43
Amar maruf nahi munkar selain dari salah satu bentuk misi kenabian, konsep amar maruf
nahi munkar ini juga sebagai salah satu tonggak penting ajaran Islam. Sehingga oleh
kelompok Mutazilah memasukkan konsep ini dalam salah satu pokok-pokok yang lima (al-

Usul al-Khamsah). Sedangkan kelompok Syiah menggolongkannya sebagai bagian dari


rukun Islam. Bagi mereka amar maruf nahi munkar merupakan salah satu pembahasan
pokok dalam kitab-kitab fiqihnya. Adapun Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah walaupun tidak
menjadikan
42Muhammad

Ahmad ar-Rasyid, al-Muntalaq, trj Abu Said al- Falahi, Titik Tolak: Landasan Gerak Para
Aktivis Dakwah, (Jakarta: Robbani Press, 2005), h. 104-105.
43Al-Ghazali, Ihy Ulm , h. 265.

17

salah satu bahan pokok dalam kitab-kitab fiqihnya, namun kitab-kitab hadits mereka
mempunyai pembahasan khusus tentang masalah ini.44
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, salah satu dari cabang iman adalah
melaksanakan amar maruf dan nahi munkar. Dapat dikatakan umat Islam yang mengabaikan
tugas amar maruf dan nahi munkar adalah orang-orang yang belum sempurna keimanannya.
Selain itu, akan terjadi kerusakan di dalam dunia Islam jika tugas amar maruf dan nahi
munkar telah ditinggalkan oleh seluruh umat Islam itu sendiri. Islam sangat memusuhi
kepada penganut-penganutnya yang tidak mementingkan kebaikan-kebaikan atau
kepentingan orang lain. Islam sangat membeci orang-orang yang hanya memikirkan
kepentingan atau kebaikan pribadinya sendiri.
Dengan demikian, Wilayatul Hisbah dalam konteks pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan amar maruf yaitu menerapkan qanun Syariat
Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam. Selain itu, Wilayatul Hisbah mempunyai
kewenangan dalam aspek pada nahi munkar yaitu untuk mencegah terjadinya pelanggaranpelanggaran qanun Syariat Islam di bidang khamar (minuman keras), maisir (perjudian), dan
khalwat (mesum).
D. Hukum dan Syarat-Syarat Amar Maruf Nahi Munkar
Amar maruf nahi munkar merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap umat
Islam. Kewajiban disini maksudnya, setiap umat Islam mempunyai tanggung jawab moral
dan memiliki nilai amanah yang akan diminta pertanggungjawaban kelak terhadap apa yang
diperintahkan Allah, yaitu
44Muhammad

Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta, Paramadina: 1996), h.

170-171.

18

tersebarnya ajaran Islam dan berkembangnya perbuatan maruf serta hilangnya segala bentuk
kemungkaran di tengah kehidupan manusia.45
1. Hukum amar maruf nahi munkar
Amar maruf nahi munkar diwajibkan bukan hanya kepada kaum laki-laki saja, tetapi kaum
perempuan pun tanpa terkecuali; mereka juga akan mendapat celaan, ancaman orang-orang
yang menyepelekan tugas amar maruf nahi munkar ini. Namun syarat melaksanakan amar
maruf nahi munkar bagi aktivis muslimah adalah mereka yang mampu melaksanakannya.
Adapun kemapuan ini mencakup:
a) Mereka paham dan mengerti terhadap apa saja yang mereka perintahkan dan yang mereka
larang, walaupun kepada mereka tidak dituntut memahami syariat secara keseluruhan.
b) Mereka secara pasti sanggup melaksanakan amar maruf nahi munkar. Artinya, mereka
mampu memberi penerangan dan penerangannya dapat mempengaruhi orang lain, serta di
dukung oleh kondisi, dan situasi terhadap aktivitas mereka.
c) Mereka melaksanakan amar maruf nahi munkar bagi kalangan mereka sendiri. Karena
terkesan kurang baik keberadaan kaum perempuan sendirian dalam majelis laki-laki untuk
menyuruh dan melarang mereka. Kecuali dalam keadaan darurat yang membolehkannya.
d) Dalam melaksanakan amar maruf nahi munkar tersebut tanpa tujuan apa-apa selain
mengharap ridha Allah swt. Artinya, mereka harus melapangkan dadanya ketika menghadapi

bermacam-macam tantangan dan cobaan daripada perjuangan mereka dalam menegakkan


kebenaran.
e) Mereka agar mengetahui bahwa jika dalam melaksankan amar maruf nahi munkar
mendapat ancaman atau gangguan, maka dalam hal ini sebahagian besar ulama berpendapat;
bagi mereka diperbolehkan untuk tidak melanjutkan tugasnya melaksanakan amar maruf
nahi munkar.
45Alwahidi

Ilyas, Manajemen Dakwah, Kajian Menurut Perspektif Al-Qurn, (Banda Aceh: Pustaka Pelajar,
2001), h. 89-90.

19

Bagi mereka dalam kondisi seperti ini cukup hanya mencegah munkar dalam hatinya saja,
dan mereka ini tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang melalaikan tugas amar
maruf nahi munkar, sebab mereka selalu mencita-citakan kapan saja situasi dalam keadaan
normal, artinya mendukung untuk tugas yang mulia ini, mereka tetap akan melanjutkannya. 46
Sebahagian syarat-syarat yang harus dipahami dan tidak boleh dilanggar oleh orang-orang
yang mengingkari suatu perbuatan munkar adalah:
a) Seseorang tidak boleh mengingkari sesuatu perbuatan munkar yang oleh para ulama belum
sepakat perbuatan itu dinamakan munkar. Maka seseorang tidak boleh dengan gegabah
melakukan amar maruf nahi munkar sebelum ia mempelajari benar hal itu perbuatan
munkar.
b) Meyakini orang yang melakukan perbuatan munkar tersebut tidak akan semakin
bertambah suka atas kejahatannya yang ia lakukkan.
c) Tidak akan menimbulkan fitnah yang lebih besar dengan sebab peritah dan larangan
tersebut.
d) Tidak akan menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar dari kemungkaran yang telah
terjadi.
e) Seseorang yang melakukan amar maruf nahi munkar; menemukan kemungkaran itu bukan
dengan mencari-carikannya.47
2. Syarat-syarat amar maruf nahi munkar.
Sesungguhnya syarat pelaksanaan amar maruf nahi munkar mempunyai empat syarat;
pertama muhtasib (orang yang menjalankan tugas amar maruf nahi munkar); kedua
muhtasab alayh (orang yang menjadi sasaran amar maruf nahi
46Ali

Abdul Halim Mahmud, al-Marat al-Muslimah wa Fiqh al-Dakwah Ilallah, trj Ulis Tofa, dan
Hidayatullah, Fiqih Dakwah Muslimah, Buku Pintar Aktivis Muslimah, (Jakarta: Robbani Press, 2003), h. 274.
47Sayyid Muhammad, al-Wahdat al-Islamiyyah, trj Ali Yahya, Persatuan Islam, (Jakarta: Lentera Baristama,
1997), h. 51-52.

20

munkar); ketiga muhtasab fih (objek amar maruf nahi munkar); ke empat nafs al-Ihtisab
(kegiatan amar maruf nahi munkar).48
a) Muhtasib
Muhtasib adalah orang yang melakukan amar maruf nahi munkar, untuk menjadikan
seseorang muhtasib disyaratkan padanya orang mukallaf, muslim, dan sanggup melaksanakan
amar maruf nahi munkar.49
b) Muhtasab alayhi
Muhtasab alayhi yaitu sasaran tujuan amar maruf nahi munkar, yang menjadi syarat
utamanya adalah dia seorang manusia, dan tidak disyaratkan mukallaf.50
c) Muhtasab fih
Muhtasab fih atau objek hisbah adalah perbuatan munkar yang sedang terjadi; diketahuinya
tanpa melalui pengintaian, dan perbuatan tersebut jelas munkar tanpa memerlukan ijtihad
untuk menjelaskan sisi kemungkarannya. 51
d) Nafs al-Ihtisab

Maksud dengan nafs al-ihtisab adalah kegiatan amar maruf nahi munkar itu sendiri.52 Ihtisab
ini mempunyai tingkatan dan adab-adabnya tersediri. Tingkatan ihtisab ini yang pertama
sekali taarruf artinya mencari tahu kemungkaran, walaupun taarruf ini dilarang, namun
dibolehkan taarruf kepada orang yang adil untuk memberikan informasi tempat-tempat
terjadi kemungkaran. Kedua mengingatkan, karena terkadang orang yang mengerjakan
munkar itu
48Al-Ghazali,

Mukhtasar Ihya Ulum al-Din, trj Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya Ulm al-Dn, (Bandung:
Mizan, 1998), h. 176.
49Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya , hal. 270.
50Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya, h. 283.
51Muhammad bin Muhammad al-Zabidyyi, Ittihaf al-Sadat , h. 69.
52Muhammad bin Muhammad al-Zabidyyi, Ittihaf al-Sadat , h. 85.

21

dalam keadaan lupa. Ketiga melarangnya dengan cara menasehati, dan menimbul rasa takut
kepada kemarahan Allah. Keempat memaki dengan kata-kata yang kasar, namun dalam hal
ini dibolehkan tetapi apabila tidak ada cara lain kecuali dengan cara tersebut, dan tidak boleh
mengucapkan kata-kata dusta. Kelima, merubah kemungkaran itu dengan tangannya, seperti
memecahkan alat-alat permainan, menumpahkan arak, dan lain-lain. Tingkat ini di benarkan
apabila tidak ada jalan lain untuk memaksakan pelaku munkar tersebut, dan jangan
melampaui batas kewajaran.53
3. Amar maruf nahi munkar oleh pemerintah atau penguasa
Pemerintah merupakan lembaga yang memiliki wewenang penuh untuk melaksanakan amar
maruf nahi munkar dengan tangannya, artinya dengan kekuasaannya. Ia sebagai aparatur
penegak hukum; penentu kebijakan, dan berhak menindak dan memaksakan masyarakatnya
untuk tegaknya amar maruf nahi munkar di lingkungannya.
E. Metode Amar Maruf Nahi Munkar
Kemungkaran harus dilenyapkan di atas bumi ini, namun dalam mengaplikasikannya tidak
boleh dengan sikap-sikap arogan atau secara sekaligus, tetapi sesuai dengan ketentuanketentuan ajaran Islam. Ada tiga cara menolak kemungkaran. Hadis Rasulullah saw:54



Artinya: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaknyalah ia mengubah
dengan tangannya. Jika ia tidak mampu hendaklah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu
juga hendaklah dengan hatinya, dan demikian itu adalah selemah-selemah iman. (HR.
Muslim).
53Al-Ghazali,

Ihya Ulum , h. 284-286.


Al-Targhib wa al-Tarhib, (Makkah: Dr al-Baz, 1986), h. 223.

54Al-Mundhir,

22

Mencegah munkar dengan tangan maksudnya dengan kekuatan hanya dipundakkan atas
orang-orang yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk melarang atau menyuruh sesuatu,
dan mempunyai kewenangan untuk menindak bila tidak mengindahkan perintah atau
larangannya. Cara kedua mencegah munkar dengan lisan; cara ini dikhususkan kepada
ulama-ulama syariat; orang yang mengetahui; memiliki pendapat yang kuat, dan kokoh
pendiriannya serta merasa aman atas dirinya, hartanya, dan keluarganya ketika melaksanakan
tugas mulia ini. Mencegah munkar dengan hati adalah kepada orang-orang yang tidak
berkemampuan seperti itu. Mereka harus menanamkan rasa benci dalam hatinya terhadap
kemungkaran yang ia ketahui ataupun ia lihat, meskipun cara ini termasuk dalam selemahlemah iman.55 Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa metode amar maruf dan nahi munkar,
sebagai berikut:
a) Menjelaskan kebaikan dan kemungkaran. Tahap ini tidak perlu minta izin kepada
imam/pemimpin dan wakilnya.

b) Nasehat dengan tutur kata yang lembut. Tahap ini juga tidak butuh minta izin kepada imam
atau wakilnya.
c) Bersikap tegas. Artinya, berani menyalahkan orang yang berbuat kemungkaran dan
menganggap mereka sebagai orang yang sedikit takutnya kepada Allah atau termasuk orang
fsiq. Hal ini juga tidak dibutuhkan izin kepada imam atau wakilnya, karena ini adalah
perkataan yang benar, dan kebenaran berhak untuk diutarakan. Perihal boleh bersikap tegas
kepada pelaku kemungkaran dengan tanpa harus minta izin dulu kepada imam atau wakilnya
ini, Imam al-Ghazali beralasan; kebiasaan generasi salaf dalam melaksanakan amar maruf
nahi munkar kepada pemimpin mereka sendiri, membuktikan kesepakatan mereka perihal
tidak butuhnya meminta izin kepada imamnya, bahkan bagi setiap penyeru kebaikan. Jika
pemimpin rela menerima usaha perbaikan, itu lebih baik; namun jika mereka menolak
55Sayyid

Muhammad, Al-Wahdat , h. 51.

23

perbaikan, maka penolakan tersebut adalah kemungkinan itu tersendiri yang harus diingkari.
d) Mencegah dengan kekuatan. Artinya, mencegah pelaku kemungkaran dari imam atau
wakilnya, seperti orang yang mengambil baju curian dari tangan perampas dan
mengembalikan kepada pemiliknya.
e) Memukul pelaku kemungkaran sehingga dapat mencegah dirinya dalam melakukan
tindakan kemungkaran. Hal ini kadang biasa menyulut peperangan dari kedua belah pihak,
dan karena itu wajib minta izin dahulu kepada imam atau wakilnya, sehingga tidak
terjerumus ke dalam fitnah permusuhan di antara manusia.56
Dalam menentukan batasan kemungkaran sebagian ulama syariat berkata; kemungkaran
yang harus dicegah adalah setiap kemungkaran yang jelas-jelas itu kemungkaran tanpa perlu
diteliti kembali, juga kemungkaran yang sedang terjadi sekarang ini bukan kemungkarankemungkaran di masa yang lalu. Ungkapan tersebut kalau kita pahami dengan cermat,
mengandung empat syarat sehingga perilaku munkar bisa dikatakan kemungkaran:
a) Kemungkarannya disebutkan atau dijelaskan oleh syariat;
b) Terjadi pada waktu sekarang. Artinya, tidak boleh mengingkari kemungkaran yang telah
lewat, atau kemungkinan belum terjadi;
c) Kemungkaran tersebut diketahui dengan jelas oleh orang yang mengingkari, tanpa harus
diselidiki. Oleh karena demikian kemungkaran di dalam rumahnya yang tertutup misalnya,
maka tidak boleh diselidiki;
d) Kemungkaran itu jelas dan gamblang tanpa harus ijtihad dulu. Jika masih ada peluang
ijtihad para ulama, maka tidak boleh mengingkarinya. 57
56Al-Ghazali,
57Ali

Ihya al-Ulum , h. 273.


Abdul Halim Mahmud, al-Marat al-Muslimah , h. 278-279.

24

E. Wilayatul Hisbah Sebagai Lembaga Penegak Hukum


Al Yasa Abu Bakar menjelaskan, ada tiga otoritas aparat penegak hukum, yaitu:
Pertama, Wilayat al-qada
Wilayat al-qada adalah lembaga resmi pemerintahan yang mempunyai wewenang untuk
menyelesaikan perselisihan antar sesama rakyat, untuk sekarang ini dinamakan pengadilan
atau lembaga arbitrase (usaha perantara dalam meleraikan perkara.58
Kedua, Wilayat al-Mazalim
Wilayat al-Mazalim merupakan satu lembaga atau badan yang memiliki wewenang
menyelesaikan masalah-masalah perselisihan ketatausahaan negara serta perselisihan antara
pemerintah dengan rakyat dalam hal penyelewangan kekuasaan atau jabatan yang dilakukan
oleh pihak pemerintah, atau perdakwaan antara kelompok bangsawan dengan rakyat biasa.
Pada masa kekhalifahan kewenangan ini berlaku dengan dua cara, pertama, kewenangan ini
dipegang langsung oleh khalifah sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara. Kedua,
diserahkan wewenang ini kepada gubernur, kepala suku dsb.59

Ketiga, Wilayat al-Hisbah


Sedangkan Wilayat al-Hisbah adalah lembaga atau badan yang berwewenang
memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan yang sudah berlaku dan
menyadarkan anggota masyarakat tersebut agar mematuhi aturan-aturan tersebut supaya tidak
dikenakan sangsi atau denda peraturan-peraturan itu.60
58Al

Yasa Abu Bakar, Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan Khusus di Aceh, (Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2009), h. 22-23.
59 Al Yasa Abu Bakar, Wilayatul Hisbah , h. 22.
60Al Yasa Abu Bakar, Wilayatul Hisbah , h. 22.

25

Adapun tugas-tugas lembaga Wilayat al-Hisbah ini sangat banyak, di antaranya seperti yang
telah dipraktekkan oleh lembaga ini di masa yang lalu adalah mengawasi, memeriksa, dan
mengingatkan kepada pedagang-pedagang dalam penggunaan alat-alat ukur atau alat
timbang-menimbang.
Untuk ini mereka berhak menegur, mencegah dan melarang orang-orang yang berbuat
menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini, supaya mereka terhindar dari hukuman atau
ganjaran. Selain bertugas menjalankan peraturan-peraturan yang telah ada ketentuanketentuannya dalam hukum, lembaga ini juga bertugas harus mengawasi, mengingatkan, dan
menegur sejumlah masyarakat agar berperilaku baik, berakhlak mulia, dan menghindari dari
perbuatan tercela atau perbuatan haram. Namun demikian lembaga ini tidak memiliki
kewenangan untuk memberikan hukuman kepada anggota masyaraktnya bila ada yang
terbukti melanggar dari norma-norma yang telah ada.
Hisbah merupakan sebuah institusi keagamaan di dalam pemerintahan Islam yang menuntut
manusia untuk bertanggung jawab dalam amar maruf nahi munkar. Tujuan dari institusi ini
hanya untuk mengawasi masyarakat dari kesesatan, melindungi dan menjaga dari ha-hal yang
dapat merusakkan aqidah atau keimanan masyarakat, dan menjamin kesejahteraan kehidupan
masyarakat. Dengan kata lain, Institusi hisbah ini tugasnya sebagai lembaga pengawas
jalannya roda kehidupan baik masyarakat maupun pemerintahan dengan berpijak pada
semboyan amar maruf nahi munkar.61
Sistem pengawasan yang dijalankan lembaga ini pada dasarnya mencakup empat bentuk, hal
seperti itu disebutkan Auni bin Abdullah yang dikutip oleh Hasnul Arifin Melayu. Pertama,
pengawasan pribadi yaitu seseorang dituntut untuk selalu mengontrol dan mengawasi diri
sendiri dalam upaya menjalankan perintah Allah dan menjauhkan segala larangannya, serta
menciptakan rasa cinta dan setia serta rasa tanggung jawab terhadap agamanya. Kedua,
pengawasan Ilahi yaitu pengawasan Tuhan; dimana segala sesuatu yang diperbuat oleh
makhluknya
61Husnul

Arifin, Eksistensi Wilayat al-Hisbah Dalam Islam , h. 41.

26

tidak luput dari pantauan Allah swt. Dengan demikian, akan muncul kesadaran dari diri
manusia untuk selalu taat terhadap perintah dan larangan Tuhannya. Ketiga, pengawasan
masyarakat yaitu diberikan kebebasan kepada seluruh anggota masyarakat untuk memantau
atau mengawasi pemimpin-pemimpin mereka agar dalam segala kegiatannya harus berpijak
kepada amar maruf nahi munkar. Keempat pengawasan pemerintah, pengawasan ini
merupakan tanggung jawab pemerintah untuk selalu mengontrol jalannya roda pemerintahan
harus bertumpu pada kesejahteraan rakyat dan kemaslahatan masyarakat banyak.62
F. Kesimpulan
Pada bab ini penulis akan mengambil beberapa kesimpulan berdasarkan uraian pada bab-bab
sebelumnya. Salah satu dari ajaran Islam adalah saling mengajak kepada jalan kebaikan dan
mencegah dari perbuatan munkar, dengan kata lain mereka saling memerintahkan kepada
yang maruf dan mencegah dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan
mengharamkan atas mereka yang tidak baik dan merusakkan.

Maksud Islam ini tidak akan tercapai bila tidak mempunyai kekuatan yang didukung oleh
semua pihak terlebih aparatur pemerintahan. Karena segala kebijakan atau program dan
kegiatan sangat tergantung erat di tangan pemerintah. Bila dalam hal apa pun pemeritah
mempunyai komitmen penuh maka sudah barang tentu akan mencapai hasil yang
memuaskan, sebaliknya bila pemerintah tidak memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap
amanah yang diembannya itu maka kegiatan yang sedang dicanangkan itu tidak akan
mencapai hasilnya secara maksimal atau sempurna.
Khusus dalam hal pelaksanaan tugas amar maruf dan nahi munkar, bila di kaji dalam
berbagai literatur-literatur Islam maka akan di temukan apa yang diistilahkan dengan hisbah
dengan pengertian pengawas atau petugas penertiban di dalam masyarakat. Istilah hisbah ini
sudah mulai muncul sejak di zaman Nabi
62Husnul

Arifin, Eksistensi Wilayat al-Hisbah Dalam Islam , h. 42.

27

saw, walaupun hisbah pada masa itu masih sangat terbatas pada penertiban pasar; mengawasi
pedagang-pedagang yang melakukan perbuatan keji dalam perdangannya sekaligus
menentukan harga mata barang. Tugas hisbah ini terus dibudidayakan hingga ke masa-masa
kepemimpinan setelah Nabi saw. Dari masa ke masa tugas hisbah ini semakin menjadi pusat
perhatian setiap kepala pemerintahan, sekaligus terjadi pengembangan dan perluasan tugastugas hisbah ini. Sehingga pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab kelembagaan hisbah
ini terformulasi dan tersistematisasi dengan sempurna.
Sebenarnya dengan izin penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh sangat berpeluang untuk
mengulangi kembali fungsi-fungsi hisbah ini seperti yang telah terjadi pada masa
kekhalifahan Umar bin Khattab, maksudnya penerapan Syariat Islam akan menggema di
seluruh Tanah Aceh. Akan tetapi cita-cita ini agaknya belum memenuhi harapan. Gema
Syariat Islam di Aceh semakin pudar dalam masyarakatnya. Pudarnya Syariat Islam di Aceh
bukan hanya disebabkan karena pengawal Syariat atau Wilayatul Hisbah ini lemah, tetapi
juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain. Salah satu di antaranya adalah pemerintah pusat
tidak ikhlas memberikan status istimewa untuk Aceh. Faktor lain adalah aparatur-aparatur
pemerintahan di Aceh sendiri pun belum serius untuk menjalankan Syariat Islam di Bumi
Serambi Makkah ini.
Tugas yang diberikan kepada pengawal Syariat Islam atau kepada Wilayatul Hisbah sangat
besar sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No 44 Tahun 1999 Tentang
penyelenggaraan keistimewaan yang meliputi beberapa bidang, di antaranya bidang agama,
budaya, pendidikan, dan peranan ulama. Sementara wewenang yang dimiliki oleh lembaga
atau organisasi Wilayatul Hisbah sangat kecil atau sangat lemah. Petugas Wilayatul Hisbah
hanya memiliki wewenang untuk mengawasi, menasehati, dan mengingatkan anggota
masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang harus diikuti, serta memberitahukan
masyarakat perbuatan-perbuatan yang semestinya tidak dikerjakan atau dihindari.
28

Ditambah lagi Wilayatul Hisbah ini selain jumlah personilnya sangat sedikit, dan anggota
Wilayatul Hisbah pula tidak dilengkapi dengan alat pengamanan diri. Di samping itu,
penggabungan Wilayatul Hisbah dengan Satpol PP pun menjadi kendala penerapan Syariat
Islam di Aceh.
Daftar Pustaka
A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Al Yasa Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam, Pendukung Qanun
Pelaksanaan Syariat Islam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2009.
Dinas Syariat Islam Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan
Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat

Islam, Edisi ke Tujuh, Banda Aceh: LITBANG dan Program Dinas Syariat Islam Aceh,
2009.
29

Hasan Basri Elbi, Metode Dakwah Islam, Kontribusi Terhadap Pelaksanaan Syariat Islam
di Provinsi NAD, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006.
Hasnul Arifin Melayu, Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam dalam Soraya Devy, dkk,
Politik dan Pencerahan Peradaban, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
Ibnu Hajar al Asqlany, Bulghu al marami min adillati al ahkami, Jakarta: Dr al- Kutub
al- islmiyyat, tt, ttp.
Imam Muslim, Sahih Muslim, Bab al-Imn, Riyad: Dar al-Salim, 1998.
Juhari, Peran Wilayatul Hisbah Dalam Menegakkan Dakwah Struktural di Kota Banda
Aceh dalam Muslim Zainuddin, dkk, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Era Reformasi
di Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
M. Hasbi Amiruddin. 2010. Republik Umar bin Khattab. Yogyakarta: Total Media.
Muh. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, Yogyakarta: LESFI,
2004.
Muhammad Husain Haekal, Al-Faruq Umar, trj Ali Audah, Umar bin Khattab, Bogor:
Pustaka Lintera Antar Nusa, 2000.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007.
Philip K. Hitti, History Of The Arabbs; From The Earliest Times To The Present, trj R. Cecep
Lukman & Dedi Slamet Riyandi, History Of The Arabs, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2008.
Syahrizal Abbas, Syariat Islam di Aceh, Ancangan Metologis dan Penerapannya, Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2009.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998), h. 349.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syariat Dalam Wacana dan
Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
30

Yusuf al-Qardhawy, al-Siysat al-Syariyyah trj Kathur Suhardi, Pedoman Bernegara


Menurut Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999.
al-Mawardi, al-Ahkm al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Mesir: Mustafa al-Babi alHalabi, 1996.
Sirajuddin, Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.

Вам также может понравиться