Вы находитесь на странице: 1из 36

BAB I

DATA MEDIS
A. Identitas Pasien
Nama
: Bp.S
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 83 tahun
Alamat
: Sokowolu Tajuk Getasan Semarang
Pekerjaan
: Tukang becak
No. RM
: 16-17-324xxx
B. Anamnesis
Keluhan utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sesak nafas sejak dan
batuk berdahak sejak 1 Minggu SMRS, memberat 1 HSMR. Sesak nafas ini
dirasakan kambuh-kambuhan sejak 4 tahun terakhir. Sesak nafas dirasakan
saat batuk dan dahak tidak bisa keluar dan akan berkurang ketika istirahat,
memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan.
Pasien mengaku dahak berwarna putih, dan batuk akan bertambah parah
ketika malam hari. Saat muncul gejala, dada dirasakan nyeri, terutama sebelah
kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian,
pada malam hari ketika batuk terus dan bekerja terlalu berat. Malam hari
pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur
bantal ditinggikan membuat pasien agak lega. Saat sesak nafas muncul bunyi
mengi. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum dibawa ke rumah sakit.

BAB dan BAK lancar normal.


Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya
Riwayat jantung (+)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama pada keluarga disangkal
Riwayat Pengobatan

Sebelumnya pasien sering berobat ke dokter umum, dan keluhan mereda

dalam beberapa hari, tetapi selalu kambuh lagi


Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang tukang becak sebatangkara, tidak diakui oleh
keluarganya. Pasien dulunya adalah seorang perokok aktif. Pasien mengatakan
bahwa dahulu mengkonsumi rokok perharinya sebanyak 2 bungkus. Tetapi

pasien sudah berhenti merokok sejak 3 tahun terakhir.


Tinjauan Sistem
Kepala leher
: Pusing cenut-cenut
THT
: tidak ada keluhan
Respirasi
: sesak
Gastrointestinal
: mual
Kardiovaskular
: tidak ada keluhan
Perkemihan
: tidak ada keluhan
Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan
Kulit dan Ekstremitas : edema di kedua kaki
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
: CM, tampak sesak napas
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 72x/menit
Suhu
: 36,2oC
Pernafasan
: 20x/menit
Kepala dan leher
: CA -/-, SI -/Pembesaran limfonodi (-)
Tak tampak deviasi trakea
Tampak adanya penggunaan otot bantu napas
Peningkatan JVP (+) : R+3
Terdapat tanda Pursed - lips breathing
Thorax
: Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas terdapat kelainan
bentuk Barrel Chest (+)
Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus mengalami
sedikit

penurunan. Peranjakan paru mengecil


Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
Perkusi : hipersonor
Paru : SDV +/+, Wheezing (+/+), Ronki basah kasar (+/+)
Cor : S1/S2 Reguler, bising (-)
Batas kiri jantung :
Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra (pinggang
jantung)
Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra (tempat
iktus)
Batas Kanan Jantung

Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra


Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
Abdomen

: Auskultasi : BU (+) N
Perkusi
: timpani di 13 titik,
Palpasi
: nyeri tekan (-)
Ekstremitas
: Akral hangat, edema ektremitas bawah (+/+), CRT < 2 detik
D. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EKG (8/02/2016)

Pemeriksaan Darah Lengkap (10/02/2016)


Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Lekosit

Hasil

Nilai Rujukan

5,03

4,5-11

Eritrosit

3,83

5-5,5

Hemoglobin

11,9

14-18

Hematocrit

36

40-54

MCH

31,1

28-31

MCHC

33,1

20-35

Trombosit

158

150-450

MCV

94

85-100

Golongan Darah ABO

KIMIA
Glukosa darah sewaktu

100

80-144

Ureum

28

10-50

Creatinin

0,6

1,0-1,30

SGOT

32

<37

SGPT

17

<42

Natrium

144

135-155

Kalium

3,8

3,6-5,5

Chlorida

107

95-108

Kalsium

7,6

8,4-10,5

Magnesium

1,9

1,70-2,5

ELEKTROLIT

IMUNO/SEROLOGI
HBsAg

Negative

E. Assesment
Decompensatio Cordis
PPOK
Hipokalsemia
F. Planning
Infus RL + aminophylline drip 2 amp
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
Injeksi Dexamethasone 3x2mg
Injeksi Furosemide 1x1
Injeksi Ranitidin 2x1
Po. Ambroxol 3x1
Po. ISDN 3x1
Po. Digoxin 1x1
Po. Clopidogrel 1x75 mg
Po. CaCO3 3x500
Po. KSR 1x1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Decompensatio Cordis
1. Anatomi dan fisiologi jantung
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga

dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Ukuran jantung
kurang lebih sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram.
Jantung memiliki tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan selaput
pembungkus disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari jantung terdiri
dari otot-otot jantung disebut miokardium dan lapisan terluar yang terdiri jaringan endotel
disebut endokardium.
Jantung mempunyai empat katup untuk memastikan darah mengalir satu arah.
Empat katup jantung terdiri dari katup atrioventrikuler (AV) kanan dan kiri. Katup AV
kanan disebut juga katup trikuspid karena terdiri dari tiga buah katup dan katup AV kiri
terdiri dari dua buah katup disebut juga katup bikuspid atau katup mitral. Dua katup
lainnya, katup aorta dan katup pulmonalis, keduanya dikenal dengan katup semilunaris
karena terdiri dari tiga daun katup yang masingmasing mirip separuh bulan. Tepi-tepi daun
katup AV diikat oleh tali fibrosa yang disebut korda tendinae. Tali-tali ini melekat ke otot
papilaris 3. Letak katup trikuspid letaknya setinggi ICS IV parasternal kiri, katup bikuspid/
mitral letaknya setinggi ICS V medioklavikularis kiri, katup aorta letaknya setinggi ICS II
parasternal kanan dan katup pulmonal letaknya ICS II parasternal kiri.

Gambar 1.Sistem Peredarah Darah Manusia


Jantung teridiri empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan
1122

ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan berdinding tipis, sedangkan
ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan mempunyai dinding lebih tebal
karena harus memompa darah ke seluruh tubuh. Diantara atrium kanan dan atrium kiri
terdapat pemisah yaitu septum interatrial sedangkan pemisah ventrikel kanan dan kiri
adalah septum interventrikuler.
Atrium kanan menerima darah yang rendah oksigen dari vena vaca superior dan
vena cava inferior. Superior vena cava membawa darah dari kepala, leher, dada, dan bahu.
Sedangkan inferior vena cava membawa darah sisa dari tubuh dan kaki. Adapun atrium
kiri menerima darah dari vena pulmonalis yang kaya oksigen.
Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari

atrium

kanan

dan

memompakannya ke paru-paru melalui arteri pulmonalis untuk mengalami oksigenasi.


Sedangkan ventrikel kiri memompakan darah yang diterima dari atrium kiri menuju aorta.
Perdarahan otot jantung berasal dari 2 pembuluh koroner utama yang keluar dari
sinus valsava aorta. Pembuluh koroner pertama adalah ateri koroner kiri atau Left Main
Coronary Artery (LMCA) yang berjalan di belakang arteri pulmonal sepanjang 1-2 cm
untuk kemudian bercabang menjadi Left Circumflex Artery (LCX) yang berjalan pada
sulkus artrio-ventrikuler mengelilingi permukaan posterior jantung dan arteri desenden
anterior kiri atau Left Anterior Descendent Artery (LAD) yang berjalan pada sulkus

interventrikuler sampai ke apeks. Pembuluh darah ini juga bercabang-cabang mendarahi


daerah diantara kedua sulkus tersebut.

Gambar 2. Arteri Koroner Jantung


Pembuluh koroner kedua, disebut sebagai arteri koroner kanan, mendarahi nodus
sino-atrial dan nodus atrio-entrikuler melalui kedua percabangannya yaitu, arteri atrium
anterior kanan dan arteri koroner desenden posterior. Fungsi pembuluh vena jantung
diperankan oleh vena koroner yang selau berjalan berdampingan dengan arteri koroner,
yang kemudian akan bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius.
Otot jantung menggunakan energi kimia untuk berkontraksi. Energi terutama
berasal dari metabolism asam lemak dalam jumlah yang lebih kecil dari metabolisme zat
gizi terutama laktat dan glukosa. Proses metabolism jantung adalah aerobic yang
membutuhkan oksigen. Adapun fungsi umum otot jantung yaitu:
1. Sifat ritmisitas/otomatis: secara potensial berkontraksi tanpa adanya rangsangan dari
2.

luar.
Mengikuti hukum gagal atau tuntas: impuls dilepas mencapai ambang rangsang otot

jantung maka seluruh jantung akan berkontraksi maksimal.


3. Tidak dapat berkontraksi tetanik.
4. Kekuatan kontraksi dipengaruhi panjang awal otot.
2. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh
sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan
struktur atau fungsi jantung (Price, 2006).
3. Epidemiologi

Kejadian gagal jantung di Eropa berkisar antara 0,4% - 2% dan meningkat pada
usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan
jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki, 50% dari pasien gagal jantung
akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung
berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama (Price, 2006).
4. Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel
kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan
menderita penyakit gagal jantung kongestif. Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien
penyakit jantung koroner menderita gagal jantung kongestif). Bahkan dua per tiga
pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit
Jantung Koroner
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung . Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui
mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri
menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang
nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan
oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Cardiomiopathy
terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan
salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated
cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel

kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan
ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis cardiomiopathy yang
bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas
pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan
hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow).
Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan
diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari
jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan
adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi
saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat
menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan
penyakit resktriktif lainnya
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan
gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan
preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung
memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi
ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung
kongestif
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu
adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi 31% dari pasien gagal
jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal
jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi.
Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah
prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
f. Alkohol dan Obat-obatan

Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial


fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang
menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif
yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat
yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi
seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita
belum ada fakta yang konsisten.
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi
Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk kejadian
hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,
hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan
cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.
Tabel 1. Manifestasi Gagal Jantung

Klasifi kasi berdasarkan abnormalitas struktural jantung (ACC/AHA) atau


berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA) tertera pada tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2. Klasifikasi Gagal Jantung

Beberapa istilah dalam gagal jantung:


1. Gagal jantung sistolik dan diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih, tidak dapat dibedakan
berdasarkan pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG; hanya dapat dibedakan
dengan eko-Doppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung turun dan menyebabkan kelemahan, fatigue, kemampuan
aktivitas fi sik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah
gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel; didefi nisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan
Doppler-ekokardiografi .
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup dan perikard. High Output HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular

sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fi stula A-V, beri-beri dan


penyakit Paget.
3. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang turun tibatiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh
gagal jantung kronis adalah pada kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular
yang terjadi perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah
masih terpelihara dengan baik
4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea.
Gagal jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer / sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali dan distensi vena jugularisNew York Heart Association (NYHA)
membuat klasifikasi fungional dalam 4 kelas:
Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
Kelas II: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas
sehari-hari tanpa keluhan
Kelas III: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan
Kelas IV: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan
harus tirah baring. (Sudoyo, 2007). Diagnosis gagal jantung (Criteria
Framingham)
Kriteria Mayor:
1. Dispnea nocturnal paroksimal atau ortopnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronkhi basah tidak nyaring
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut

6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Edema pergelangan kaki


Betuk malam hari
Dyspneu deefort
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
Takikardi (>120x menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2

kriteria minor

6. Patofisiologi
Kelainan intrinsic pada kontraktilitas miokard yang khas pada gagal jantung
akibatnya penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel
yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup,
dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung
ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat, yaitu:
1. meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik
2.
meningkatnya beban awal akibat

aktivasi

sistem

renin

mencerminkan

usaha

untuk

angiotensin,adostero
3. hiperatrofi ventrikel
Ketiga

respon

kompensantorik

ini

mempertahankan curah jantung. Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah
jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung maka kompensasi menjadi semakin kurang efektif. Menurunnya urah sekunup
pada

gagal

jantung

akan

mengakibatkan

membangkitan

respon

simpatik

kompensintorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangsang pengeluaran


kotekolamin dari saraf adenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan
kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah urah jantung. Juga terjadi
vasokontriksi areteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi voleme
darah dengan mengvrangi aliran darah ke organ yang rendah metabolismenya, seperti
kulit dan ginjal, agar perfusi jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai
serangkaian peristiwa, yaitu diantaranya:
1. penurunan darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glumerolus
2. pelepasan renin dari apparatus juksta glomerulus
3. intraksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I
4. konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
5. perangsangan sekresi aldosterone dari kalenjar adrenal, dan
6. retensi natrium dan ir pada tubulus distal dan duktus pengumpul
Respon kompensantorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium atau bertambah tebal dinding. Hipertrofi meningkatakan jumlah
sarkomer dalam sel sel miokardium, tergantung dari jenis beban hemodinamika yang
mengakibatkan gagal jantung, sarkomer dapat bertambah seara parallel atau serial.
Respon miokardium terhadap beban volume seperti pada regurgitasi aorta, ditandai
dengan dilatasi dan hipertrofi gagal jantung kanan, Karena ketidakmampuan jantung
kanan mengakibatkan penimbunan darah dalam atrium kanan, vena kava dan sirkulasi
besar. Penimbunan darah di vena hepatica menyebabkan hepatomegaly dan
menyebabkan asites. Pada ginjal akan menimbulkan penimbunan air dan natrium
sehingga terjadi edema. Penimbunan seara sistemik selaim menimbulkan edema juga
meningkatkan tekanan vena jugularis dan pelebaran vena vena lainnya.
Pada gagal jantung kiri darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri mengalami
hambatan, sehingga atrium kiri dilatasi dan hipertrofi.Aliran darah dari paru d ke

atrium kiri terbendung, akibatnya tekanan dalam vena pulmonalis, kapiler paru dan
arteri plmonalis meninggi. Bendungan juga terjadi juga di paru yang akan
mengakibatakan edema paru, sesak waktu bekerja (dyspnea dffort) ata waktu istirahat
(ortopnea)
Gagal jantung kanan dan kiri terjadi sebagai akibat kelanjutan dari gagal
jantung kanan dan kiri. Setelah terjadi hipertnsi pulmonal terjadi penimbunan darah
dalam ventrikel kanan , selanjutnya terjadi gagal jantung kanan. Setiap hambatan pada
arah aliran (forward flow) sirkulasi akan menimbulkan bendungan pada arah yang
berlawanan dengan aliran (backward congestion) hambatan pengaliran (forward
failure) akan menimbulkan gejala backward failure dalam system sirkulasi aliran
darah. Mekanisme kompensasi jantung pada kegagalan jantung adalah upaya tubuh
untuk mempertahankan peredaran darah dalam memenuhi kebutuhan metabolism
jaringan.

Kompensasi

yang

terjadi

pada

gagal

jantungsirkulasi

akan

menimbulkanbendungan pada arah yang berlawanan dengan aliran (backward


congestion ) hambatan pengaliran (forward failure) akan menimbulkan gejala
backward failure dalam system sirkulasi aliran darah. Mekanisme kompensasi jantung
pada kegagalan jantung adalah paya tubuh untuk mempertahankan peredaran darah
dalam memenuhi kebutuhan metabolisme.Mekanisme kompensasi yang terjadi pada
gagal jantvng ialah dilatasi ventrikel, dilatasi hipertrofi ventrikel, kenaikan rangsang
simpatis berpa takikardia dan vasiokontriksi perifer. Peninggian kadar katekolamin
plasma.retensi garam dan iran badan dan peningkatan ekstrasi oksigen oleh
jaringan .bila bagian jantung kanan dan kiri bersama sam gagl akibat aliran darah dan
adanya bendungan , maka akna tamak tanda dan gejala gagal jantung pada sirkulasi
sistemik dan sirkulasi paru. Keadaan ini disebut gagal jantung kongestiv.

Penegakan diagnosis pada CHF dapat dilakukan dengan pemeriksaan EKG 12


sadapan. Kepentingan utama EKG adalah untuk menilai irama jantung, menentukan
keberadaan hipertrofi ventrikel kiri atau riwayat infark miokard (ada atau tidak
adanya Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan kemungkinan disfungsi
diastolik ventrikel kiri.
Pemeriksaan foto toraks memberikan informasi ukuran dan bentuk jantung
serta keadaan vaskularisasi paru, yang memungkinkan penilaian kongesti. Foto toraks
juga dapat mengidentifi kasi penyebab nonkardiak sepeerti kelainan paru atau toraks.
Modalitas diagnostik lain yang dapat digunakan antara lain angiografi koroner,
MRI,dan CT-scan.
7. Penatalaksanaan
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala. Gejala
dikurangi dengan cara menurunkan preload (aliran darah balik ke jantung),
afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan memperbaiki
kontraktilitas miokardium. Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian
golongan obat diuretik, ACE-inhibitor, penyekat beta, digitalis, vasodilator,
agen inotropik positif, penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat
antiaritmia.
ACE inhibitor - Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II. Efek terhadap gagal jantung mungkin multifaktorial, tetapi
mekanisme penting ialah inhibisi parsial jalur renin-angiotensin-aldosteron
dan mengurangi aktivitas simpatetik menghasilkan vasodilatasi, natriuresis
dan penurunan tekanan darah. ACE inhibitor berguna mengurangi sesak nafas
dan mengurangi frekuensi eksaserbasi akut gagal jantung. Obat ini sebaiknya
dimulai dengan dosis kecil pada orang tua dan dinaikkan bertahap sesuai

dengan fungsi ginjal. Pada umumnya pemberian dosis pada orang tua ialah
setengah dosis pasien muda.Efek samping obat ini ialah batuk kering yang
dimediasi bradikinin; terkait dosis dan dapat responsif dengan penurunan
dosis. Dapat juga terjadi hipotensi berat pada pasien yang mengalami
penurunan volume cairan akibat diuretik terutama pada geriatri yang kontrol
baroreseptornya sudah mengalami kerusakan. Kadar natrium darah harus
dipantau teratur saat memulai atau menaikkan dosis ACE inhibitor dan juga
jika memakai kombinasi dengan diuretik hemat kalium seperti spironolakton
karena dapat terjadi hiperkalemia. Obat golongan ini menjadi lini pertama
pengobatan gagal jantung dan menentukan prognosis. Hanya sedikit data
penggunaan ACE inhibitor pada pasien di atas 75 tahun akan tetapi berbagai
studi telah membuktikan ACE inhibitor mengurangi morbiditas dan mortalitas
pasien gagal jantung.
Diuretik - Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung
akut yang selalu disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema
perifer. Diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktivitas fi sik. Diuretik mengurangi retensi air dan
garam sehingga mengurangi volume cairan ekstraseluler, arus balik vena dan
preload. Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik kuat yaitu furosemid
dengan dosis awal 40 mg, ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup.
Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dipantau. Setelah euvolemia
tercapai dosis harus segera diturunkan sampai dosis minimal yang diperlukan
untuk mempertahankan euvolemia. Pada pasien geriatri, deplesi volume dan
hipotensi harus diperhatikan karena fungsi baroreseptor yang tidak baik lagi;
oleh karena itu diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung asimptomatik

maupun tidak ada overload cairan. Diuretik kuat tidak mengurangi mortalitas
gagal jantung, penggunaan diuretik harus dikombinasi dengan ACE inhibitor
Digoksin - Digoksin memiliki efek inotropik positif dengan menahan
Ca2+ intrasel sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat ini juga
memiliki efek mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat mengurangi
denyut jantung pada pasien fi brilasi atrium. Efek toksik digoksin jarang,
tetapi dapat terjadi pada pasien geriatri dengan penurunan fungsi ginjal dan
status gizi kurang. Digoksin tidak menurunkan mortalitas sehingga tidak lagi
dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi dapat memperbaiki gejala dan
mengurangi rawat inap akibat memburuknya gagal jantung. Pada pasien
geriatri, dosis digoksharus diturunkan dan harus dipantau kadarnya dalam
darah.
Penyekat beta - Pemberian penyekat beta pada gagal jantung sistolik
akan mengurangi kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel-sel
jantung dan efek antiaritmi lain, sehingga mengurangi risiko aritmia jantung
dan dengan demikian mengurangi risiko kematian mendadak. Obat ini juga
menghambat pelepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA
(renin-angiotensin-aldosteron) akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard,
apoptosis dan fibrosis miokard dan remodeling miokard, sehingga progresi
gagal jantung akan terhambat dan dengan demikian menghambat perburukan
II.

kondisi klinis.
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
1. Definisi
Penyakit paru kronik yang di tandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua

tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah


suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya
cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda
emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan
napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
2. Factor risiko PPOK
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
1. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-

3.
4.
5.
6.

rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Hipereaktiviti bronkus
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
3. Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia

sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
-

terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan

terbanyak pada paru bagian bawah


Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakusalveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

4. Penegakkan diagnosis
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinis

Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak


- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
A. Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)


- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP
-

( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75

%
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.


Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau

variabiliti harian pagidan sore, tidak lebih dari 20%


Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit


kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau

B.
C.
-

APE < 20% nilai awal dan< 200 ml


- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :

Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


A. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
B. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
C. Uji provokasi bronkus
- Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
D. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
E. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
F. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi

Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula

yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos


- Scan ventilasi perfusi : Mengetahui fungsi respirasi paru
G. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
H. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
I. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untukmengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
J. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
A. Diagnosis Banding
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
3. Pneumotoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung.

5. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK : Mengenal perjalanan penyakit dan
pengobatan, melaksanakan pengobatan yang maksimal, mencapai aktiviti optimal,
meningkatkan kualiti hidup.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat
ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi
atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat
peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK,

memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian


aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah pengetahuan dasar
tentang PPOK, obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya, cara pencegahan
perburukan penyakit, menghindari pencetus (berhenti merokok), penyesuaian aktiviti.
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan

Pengunaan obat obatan


- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
- Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya


Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna

Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

2. Obat-obatan
Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji

kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat

> 20% dan minimal 250 mg.


Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -

asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan

sebagai pemberian yang rutin


3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ organ lainnya.

BAB III
PEMBAHASAN
Tn. S datang dengan keluhan sesak, batuk berdahak dan kedua kaki bengkak
sejak 1 minggu SMRS. Keluhan sudah dirasakan oleh pasien sejak 3 tahun yang lalu hilang
timbul. Akan dibahas satu persatu mengenai keluhan utama pasien. Dyspnea (sesak nafas)
adalah suatu pengalaman subjektif tentang ketidaknyamanan bernafas yang menimbulkan
sensasi nyata secara kualitatif yang bervariasi dari segi intensitas. Pengalaman tersebut
berasal dari interaksi antara faktor fisiologis, psikologis, sosial, dan lingkungan yang
mungkin menginduksi respon fisiologis sekunder dan tingkah laku.

Adapun penyebab dari sesak napas dapat dibedakan menjadi penyebab yang
berasal dari paru maupun non paru. Adapun klasifikasinya dapat diihat pada tabel dibawah. :
Pulmoner

Non pulmoner

Akut
Infeksi pneumonia

Kronis
TBC Paru milier

Acute Lung Injury

PPOK

NEUROMUSCULAR
Stroke
CNS infection

Acute Respiratory Distress


Syndrome

Asma

METABOLIC
Thyroid crisis
Hyperurecemia

Pneumothorax

Efusi pleura

PSYCHIATRIC:
Psychoneurosis
Panic disorder

Benda asing
Embolisme

Bronkiektasis dengan infeksi


Cancer

CARDIOVASCULAR
Myocardial Infarction (MCI)

Pasien juga mengalami edema di kedua ekstremita bawah. Edema


didefinisikan sebagai pembengkakan yang dapat teraba akibat peningkatan volume cairan
interstisial. Adapun penyebab dari edema pada kaki itu sendiri dapat dilihat di tabel dibawah
ini.
Tabel 5. Penyebab Umum dari Edema pada Kaki

Untuk menginvestigasi lebih lanjut penyakit yang diderita pasien, dilakukan


pemeriksaan EKG dan darah rutin. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, kita dapat
menegakkan diagnosis penyakit pada Tn. S sebagai PPOK dan Gagal Jantung.
Pasien mengeluhkan batuk yang terus-menerus dirasakan sejak 3 tahun lalu,
kambuh-kambuhan. Batuk berdahak dengan sputum berwarna putih. Pada pasien ini
didiagnosi dengan PPOK berdasarkan kriteria atau indikator kunci yang disebutkan pada
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2011. Kunci indikator
ini bukanlah sebuah alat diagnostik, tetapi sebagai indikator yang dapat meningkatkan
kemungkinan diagnosis PPOK. Setiap pasien dengan sesak napas disertai batuk kronis atau
produksi sputum, dan adanya risiko terpajan oleh faktor risiko PPOK, patut dicurigai sebagai
PPOK. Adapun indikatornya tertera pada tabel dibawah ini.

Bila disesuaikan dengan kondisi pasien ini, maka kunci indikator yang perlu dicermati
adalah :
1. Dyspneu : pada pasien terjadi secara persisten dan muncul bila melakukan
aktivitas berat sesuai dengan GOLD
2. Batuk kronis : pada pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sesuai dengan
GOLD
3. Produksi sputum kronik : pada pasien dikemukakan bahwa batuk selalu berdahak
4. Faktor risiko (pajanan rokok atau polusi) : pasien mengatakan bahwa ia adalah
perokok aktif. Pasien bekerja atau tinggal di dekat lingkungan yang berpolusi.
5. Riwayat keluarga : pasien menyangkal bahwa ada keluarga yang mengalami
keluhan serupa.
Berdasarkan anamnesis yang didapat dan disesuaikan dengan kunci indikator
GOLD, maka pasien kemungkinan terkena PPOK. Namun, sebagai klinisi juga perlu
mempertimbangkan beberapa diagnosis banding yang lain, diantaranya adalah :

Adapun pada pemeriksaan fisik yang menjurus ke PPOK adalah :


Inspeksi

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) terdapat pada pasien
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) terdapat pada

pasien
Penggunaan otot bantu napas terdapat pada pasien

Hipertropi otot bantu napas tidak terdapat pada pasien


Pelebaran sela iga terdapat pada pasien
Penampilan pink puffer atau blue bloater tidak terdapat pada pasien

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar terdapat pada pasien
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah tidak terdapat pada pasien

Auskultasi

Suara napas vesikuler normal, atau melemah pada pasien suara vesikuler normal
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

pada pasien terdapat mengi di kedua lapang paru


Ekspirasi memanjang terdapat pada pasien
Bunyi jantung terdengar jauh tidak terdapat pada pasien
Pasien juga di diagnose gagal jantung dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjng, kita dapat menegakkan diagnosis penyakit pada Tn. S sebagai Gagal
Jantung. Penjabarannya sesuai kriteria framingham tertera di tabel :
Kriteria Mayor
Paroxysmal nocturnal

Pada Pasien

Dyspnea/orthopnea dyspneu
Peningkatan tekanan vena jugular
Ronki
Kardiomegali pada pemeriksaan

radiologi toraks
Edema pulmoner akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena pusat
Hepatojugular refl ux
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5

hari sebagai respons terhadap terapi


Kriteria Minor

Pada Pasien

Edema pergelangan kaki bilateral


Batuk nokturnal
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleural
Penurunan kapasitas vital hingga

sepertiga dari maksimum (yang pernah


tercatat)
Takikardia (detak jantung >120 kali/

menit)
Pada Tn. S diagnosis gagal jantung telah tegak, karena syarat tegak diagnosis gagal
jantung adalah minimal 2 kriteria mayor terpenuhi, atau minimal 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor terpenuhi.
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga
jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Beberapa mekanisme yang mempengaruhi progresivitas gagal jantung, antara lain
mekanisme neurohomonal yang meliputi aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem reninangiotensin dan perubahan vaskuler perifer serta remodeling ventrikel kiri, yang semuanya
berperan mempertahankan homeostasis.
Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan miosit jantung, yakni berkurangnya
kontraktilitas otot jantung, berkurangnya miofi lamen miosit jantung, perubahan protein
sitoskeleton, serta desensitisasi sinyal -adrenergik. Selain itu, terjadi pula pelepasan
mediator-mediator radang seperti TNF- dan IL-1 saat terjadi kerusakan pada jantung, yang
berperan dalam perburukan gagal jantung. Hipertrofi miosit jantung karena peningkatan
tekanan sistolik dinding ventrikel menyebabkan penambahan sarkomer paralel dan
peningkatan ukuran miosit sehingga menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri (pressure
overload menyebabkan hipertrofi konsentrik). Pada volume overload, peningkatan tekanan

diastolik menyebabkan peningkatan panjang miosit dan penambahan jumlah sarkomer serial
(hipertrofi eksentrik). Pada gagal jantung terjadi mekanisme kompensasi Frank Starling.
Gagal jantung yang disebabkan oleh penurunan fungsi ventrikel kiri menyebabkan isi
sekuncup (stroke volume) menurun dibandingkan jantung normal. Penurunan isi sekuncup
menyebabkan pengosongan ventrikel menjadi tidak adekuat; akhirnya volume darah yang
terakumulasi di ventrikel selama fase diastolik menjadi lebih banyak dibandingkan keadaan
normal. Mekanisme Frank-Starling menyebabkan peningkatan peregangan miofiber sehingga
dapat menginduksi isi sekuncup pada kontraksi berikutnya, sehingga dapat membantu
pengosongan ventrikel kiri dan meningkatkan curah jantung (cardiac output). Kompensasi ini
memiliki keterbatasan. Pada kasus gagal jantung berat dengan depresi kontraktilitas, curah
jantung akan menurun, lalu terjadi peningkatan enddiastolic volume dan end-diastolic
pressure (yang akan ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmoner dan
kapiler) sehingga dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema.
Tn. S mendapat penatalaksanaan farmakologi berupa :
O2 3 lpm

Terapi oksigen

Pemberian terapi oksigen merupakan


hal

yang

sangat

penting

untuk

mempertahankan oksigenasi seluler dan


mencegah kerusakan sel baik di otot
Infus RL +

Nutrisi pengganti

maupun organ organ lainnya


Larutan nutrisi sebagai cairan pengganti
selama dehidrasi dan syok.

Golongan Xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai


pengobatan

pemeliharaan

jangka

Aminophiline 12 tpm

panjang, terutama pada derajat sedang

mikro

dan berat. Bentuk tablet biasa atau


puyer untuk mengatasi sesak ( pelega

napas ), bentuk suntikan bolus atau drip


Injeksi Dexamethasone

untuk mengatasi eksaserbasi akut.


Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut

Kortikosteroid

dalam

bentuk

oral

atau

injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi


yang
Injeksi

Ceftriaxone Antibiotik

terjadi,

dipilih

golongan

metilprednisolon atau prednison.


golongan Hanya diberikan bila terdapat infeksi.

2gr / 24 jam

chepalospoin generasi III

Injeksi Furosemide
Injeksi Ranitidine

Golongan Diuretik
Golongan B2 agonis

Untuk mengurangi beban jantung


Untuk mencegah terjadinya mual akibat
penggunaan CPG yang mempunyai

ISDN
Digoxin

Golongan nitrat

efek sampiing salah satunya mual


Menyebabkan
vasodilatasi
untuk

Digitalis

menurunkan preload
Digoksin memiliki

efek

inotropik

positif dengan menahan Ca2+ intrasel


sehingga kontraktilitas sel otot jantung
meningkat. Obat ini juga memiliki efek
mengurangi aktivasi saraf simpatis
sehingga dapat mengurangi
denyut jantung pada pasien fi brilasi
Clopidogrel 1x75 mg

Golongan antiplatelet

atrium.
Sebagai antitrombus untuk mencegah
terjadinya thrombus, karena dari EKG
pasien diytemukan AF yang sangat
memungkinkan
sumbatan

terjadinya

suatu

CaCO3 3x500 mg

Calcium carbonat

Antasida

yang

efektif

untuk

mengurangi rasa mual sebagai salah


KSR 1x1

Kalium

satu efek samping dari CPG


sebagai suplemen kalium

untuk

mencegah

akibat

hipokalemia

penggunaan diuretik

Diuretik - Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung yang selalu
disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema perifer. Diuretik dengan cepat
menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik.
Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstraseluler,
arus balik vena dan preload. Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik kuat yaitu
furosemid dengan dosis awal 40 mg, ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup.
Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dipantau.

DAFTAR PUSTAKA
Curran, T. (2011). Anatomy and Physiology of the Heart. Canterbury : District Health
Board , 1-22.
Ely, J. (2006). Approach to Leg Edema of Unclear Etiology. JABFM Vol. 19 No. 2 , 148-150.
Figueroa, M. (2006). Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology. RESPIRATORY
CARE VOL 51 NO 4 , 403-411.
Gopal, M. (2009). Clinical Diagnosis of Heart Failure. Hospital Physician , 9-15.
Hudoyo, A. (2014). Penatalaksanaan Asma & PPOK Pada Orang Dewasa. Dept Pulmonologi
& Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI , 1-9.
Indonesia, P. D. (2003). PPOK. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di
Indonesia , 1-32.
Rodriguez, R. (2011). GLOBAL STRATEGY FOR THE DIAGNOSIS OF COPD. Global
Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease , 1-32
Uly, E. (2014). Gagal Jantung pada Geriatri. CDK-212/ vol. 41 no. , 19-24.

Вам также может понравиться