Вы находитесь на странице: 1из 11

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT HUKUM

ISLAM, UNDANG-UNDANG PERKAWINAN, DAN KITAB UNDANG-UNDANG


HUKUM PERDATA
BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Anak merupakan anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi oleh keluarga,
masyarakat, negara karena didalam diri anak melekat hak anak yang merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang termuat didalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang hak-hak anak. UU
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak,
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh karena itu, apabila
dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka diadakan pengangkatan anak
atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat secara etimologi, terminologi, serta menurut
para pakar hukum.

Pengertian Adopsi
Dari Segi Etimologi

A.

Dasti segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau
Adoption (Bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak.

B.

Dalam bahasa Arab disebut Tabanni yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan
Mengambil anak angkat sedang menurut kamus Munjid diartikan menjadikannya sebagai
anak (Muderis Zaeni. SH 1985:4).

C.

Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak
untuk sebagai anak kandungnya sendiri.

Dari Segi Terminologi


Dari segi Terminologi (Muderis Zaeni. SH 1985:5) Adopsi diartikan:

a.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu anak orang lain yang
diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.

b.

Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan (Muderis Zaeni. SH 1985:5):


Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atas
untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian
itu ialah bahwa anak yang diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah
dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus
memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.

Pendapat Berbagai Pakar Hukum Tentang Adopsi

a.

Hilman Hadi Kusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan


Anak angkat adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.

b.

Sedangkan Surojo Wignjodipuro, SH dalam bukunya Pengantar dan Asas-asas Hukum


Adat memberikan batasan sebagai berikut:

Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang
dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandungnya sendiri.
c.

Dr. J.A Nota seorang ahli hukum belanda yang khusus mempelajari adopsi adalah suatu
lembaga hukum yang dapat memindahkan sesorang kedalam ikatan keluarga lain (baru)
sedemikian rupa sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan hukum
yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya (Djaja S.
Meliala, SH 1982:3)
Kesimpulan :
Adopsi/pengangkatan anak yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan
antara anak angkat sebagaian aksen diri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri.

Tujuan pengangkatan anak


Tujuan pengangkatan anak termuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonsia No. 54 Tahun
2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak Pasal 2 yaitu pengangkatan anak bertujuan untuk
kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan
anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Terkait dengan tujuan mengangkat anak membawa akibat hukum bagi pengangkatan anak yang
diuraikan dalam S.1927 No.129, yakni:
1.Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).

2.Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat (pasal
12 ayat 1).
3.Anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat.
4.Karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan
karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandung).
B.

Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum
Indonesia?
2.Bagaimanakah syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007?

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem Hukum Indonesia


1. Hukum Adat
Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya
pengangkatan

anak,Sebagaimana

hukum

adat

pada

umumnya

di

Nusantara

jarang

terdokumentasi secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai
contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat anak
disebut mupu anak (Banten Utara & Cirebon), mulung atau ngukut anak (suku Sunda
umumnya) dan mungut anak (Jakarta). Orang tua angkat umumnya bertanggung jawab
terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua kandung lepas tanggung jawabnya setelah
pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang
menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang
dihadiri para kerabat dari kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan
hanya di dua tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan
Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah
suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan
didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang

mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu
juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat
kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan
keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya
suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa
benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.
Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada
kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga
yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang
dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian menduduki seluruh
kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan
sanak saudaranya semula.
-Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau
pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika
mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.

2. Hukum Islam
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain
untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih
sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.

Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang
luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang
lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau
untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Hanya saja, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat
Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.
Jadi, Adopsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak menjadikan anak yang
diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua angkat seperti hubungan yang terdapat dalam
hubungan darah.
3. Hukum Perdata Barat
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan
yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak
diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada
Pasal 280 sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak diluar
kawin.
Lembaga pengakuan anak diluar kawin, tidak sama dengan lembaga pengangkatan anak.
Dilihat dari segi orang yang berkepentingan, pengakuan anak diluar kawin hanya dapat
dilakukan oleh orang laki-laki saja khususnya ayah biologis dari anak yang akan diakui.
Sedangkan dalam lembaga pengangkatan anak tidak terbatas pada ayah biologisnya, tetapi orang
perempuan atau lelaki lain yang sama sekali tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat
melakukan permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan hukum.

Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak menunjukkan angka yang


meningkat, naka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya
mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi Hukum
Perdata Barat (BW).
4. Anak menurut UU perkawinan No.1 Tahun 1974.
Pengertian Anak Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. UU No.1 1974 tidak
mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal
tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syaratperkawinan bagi orang
yang

belum

mencapai

umur

21

tahun

mendapati

izin

kedua

orang

tua.

Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagui pria adalah 19
(sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.
Menurut Prof.H Hilman Hadikusuma.SH, menarik batas antara belum dewasa dan sudah dewasa
sebenarnya tidak perlu dipermaslahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang
belum dewasa namun ia telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa
telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum kawin.
Dalam pasal 47 ayat (1) dikatan bahwa anak yang belumn mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernak kawin, tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.nDari pasal-pasal tersebut di atas maka
dapatlah disimpulkan bahwa anak dalam UU No1 tahun 1974 adalah mereka yang belum dewasa
dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun
untuk laki-laki.

B. Syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007


Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak dilakukan dalam
satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan

bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peratura perundang-undangan mencakup


pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak.
Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:
1 Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
2 Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,sepanjang ada
alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapanbelas) tahun,
sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
3 Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;

g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan
diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Bab III
Kesimpulan
Adopsi/pengangkatan anak yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarg
asendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul
hubungan antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua
sendiri. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP Nomor 54 Tahun
2007).Pengangkatan anak menurut adat yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua
yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua
kandung anak angkat. Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut pendapat
orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW
hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin.

Вам также может понравиться