Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Bedah Abdomen
1.1
abdomen yang dapat dilakukan dengan pembedahan terbuka (Higgins, Naumann, &
Hall dalam Hartono 2007). Pembedahan abdomen meliputi pembedahan pada
berbagai organ abdomen yaitu kandung empedu, duodenum, usus halus dan usus
besar, dinding abdomen untuk memperbaiki hernia umbilikalis, femoralis dan
inguinalis, appendiks, dan pankreas (Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
1.2
(2002) adalah karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) trauma abdomen
(tumpul atau tajam); 2) Peritonitis; 3) Perdarahan saluran pencernaan; 4) sumbatan
pada usus halus dan usus besar; 5) masa pada abdomen; 6) perforasi usus; 7)
pancreatitis; 8) cholelithiasis.
1.3
pembedahan
abdomen
diantaranya
adalah
laparotomi,
2.2
nyeri akut (Chaturvedi & Chaturvedi, 2007). Kejadian nyeri akut biasanya tiba-tiba
dan dihubungkan dengan luka spesifik. Nyeri akut mengindikasikan terjadinya
kerusakan jaringan atau injuri. Nyeri akut biasanya berkurang bersamaan dengan
penyembuhan (Smeltzer & Bare, 2003). Namun demikian, nyeri akut secara serius
mengancam proses penyembuhan pasien dan harus menjadi prioritas perawatan
(Potter & Perry, 2005).
Lama nyeri akut bisa berjam-jam, hari, atau minggu (Rao, 2006). Lama nyeri
akut pasca bedah pada jenis pembedahan abdomen bawah dialami selama 2 sampai 3
hari, sedangkan pembedahan abdomen atas individu akan mengalami nyeri
diperkirakan 3 sampai 4 hari dengan intensitas ringan sampai hebat. Semua prosedur
laparatomi menyebabkan nyeri sedang sampai hebat selama beberapa hari sampai
beberapa minggu (Medical, 2007).
2.3
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu menjelaskan tiga
komponen fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil
nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf memasuki
medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya
sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri
dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga
tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali
stimulus mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri
dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta
asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dalam Potter
& Perry, 2005).
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap
nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu:
tranduksi/transduction,
transmisi/transmission,
modulasi/modulation,
dan
persepsi/perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999 dalam Ardinata,
2007). Keempat proses tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a.
Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi ke bentuk
yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor,1999). Proses transduksi dimulai ketika
nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.
Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap
stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.
b.
Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf
aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang
berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di
spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral
spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.
c.
Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan impuls
nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls
nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk
memodulasi efektor.
d.
Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi
ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja (McGuire
& Sheildler, 1993), akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory
(mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional, dan
behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan
pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri
tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.
Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut
sebagai sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang
pertama sekali merasakan nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang
nosiseptor untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine,
bradikinin, asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2002). Zat-zat kimia ini
mensensitisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls nyeri ke otak. Ada dua jenis
ujung syaraf bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah
serabut halus, bermielin, dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa
sensasi tusukan tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi
dan intensitas nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh
mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta bertanggung jawab terhadap
nyeri tumpul, menyebar, dan persisten (Taylor, 2009).
nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap orang akan merasakan nyeri
yang berbeda. Individu yang mempunyai kadar endorfin yang banyak akan
merasakan nyeri yang lebih ringan daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin
yang sedikit (Smeltzer & Bare, 2002).
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah visceral. Oleh karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul
juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub
kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan (Smeltzer & Bare, 2002).
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1) Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6- 30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan;
Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di
daerah yang terluka (Taylor & Le Mone, 2005).
Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta, tetapi
beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat aktifasi serabut C. Impuls
nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer dan dihantarkan langsung ke substansia
gelatinosa pada akar dorsal sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat
serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander & Hill,
1987).
Teori gate control dari (Melzack & Wall, 1965) dalam Smeltzer (2002),
menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori
menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta- A dan C
melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui
mekanisme pertahanan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang
lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok
punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi
mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan
serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan
sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek
yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan
opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan
menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling dan pemberian
placebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin (Potter & Perry, 2005).
Nyeri yang dirasakan individu akan menyebabkan berbagai respon, antara lain
respon psikologis, fisiologis dan respon tingkah laku. Respon psikologis sangat
berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi
klien. arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : bahaya atau merusak,
komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang
fatal, peningkatan ketidakmampuan, kehilangan mobilitas, menjadi tua, sembuh,
perlu untuk penyembuhan, hukuman untuk berdosa, tantangan, penghargaan terhadap
penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, bebas dari tanggung jawab
yang tidak dikehendaki. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi
tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya (
Long, 1996 ). Sedangkan respon fisiologis terhadap nyeri dapat menstimulasi saraf
simpatis dan parasimpatis. Respon fisiologis stimulasi simpatis antara lain: dilatasi
saluran bronkhial dan peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan frekuensi
denyut jantung, vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah, peningkatan nilai
dan
McCaffery
(1983)
dalam
Potter
&
Perry
(2006),
tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam
fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri itu bersifat
subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi
terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang
mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan
stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri
datang.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga
dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah
kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
2.4
tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar wajah yang sesuai dengan nyerinya.
Pilihan ini kemudian diberi skor angka. Skala wajah Wong-Baker menggunakan 6
kartun wajah yang menggambarkan wajah tersenyum, wajah sedih, sampai menangis.
Dan
pada
tiap
wajah
ditandai
dengan
skor
sampai
dengan
5.
3.
tinglat nyeri. (Black & Hawks, 2009). Dua ujung ekstrim juga digunakan dalam skala
ini sama seperti pada VAS. NRS lebih bermanfaat pada periode post operasi karena
selain angka 0-10, penilaian berdasarkan kategori juga dilakukan pada penelitian ini.
(Nilsons, 2008; Rospond, 2008)
Skala 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri, skala 1-3 dideskripsikan
sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih dapat ditahan). Lalu
skala 4-6 dideskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada nyeri, teras mengganggu
dengan usaha yang cukup kuat untuk menahannya. Skala 7-10 dideskripsikan sebagai
nyeri berat yaitu ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan sehingga
harus meringis, menjerit atau berteriak. (Mc.Caferry & Beebe, 1993).
Hal ini juga sependapat dengan pendapat dari (Serlin dkk, 1995 dalam
Harahap, 2007) yang menyatakan bahwa NRS digunakan untuk ukuran intensitas
nyeri (segera atau sekarang). Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan
tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan nyeri sangat berat, penilaian dari 1-4 disamakan
dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat.
Sama seperti VAS, NRS juga sangat mudah digunakan dan merupakan alat
ukur yang sudah valid (Brunelli, et.al., 2010). Penggunaan NRS direkomendasikan
untuk penilaian skala nyeri post operasi pada pasien berusia di atas 9 tahun
(McCaffrey & Bebbe, 1993). NRS dikembangkan dari VAS dapat digunakan dan
sangat efektif untuk pasien-psien pembedahan, post anestesi awal dan sekarang
digunakan secara rutin untuk pasien yang me galami nyeri di unit post operasi
(Rospond, 2008; Black & Hawsk, 2009; Brunelli, et.al,. 2010).
Pada penelitian ini menggunakan NRS sebagai skala pengukuran untuk
menilai nyeri pasien pasca bedah abdomen. Reliabilitas NRS telah dilakukan ujinya
oleh Brunelli, et.al. (2010), dengan membandingkan instrument NRS, VAS, dan VRS
untuk mengkaji nyeri pada 60 pasien. Hasil uji Cohens Kappa untuk instrumen NRS
adalah 0,86 (sangat baik). Instrumen pengukuran NRS adalah seperti gambar di
bawah ini:
0
Tidak
nyeri
2
Nyeri
i
Nyeri sedang
10
Nyeri berat
2.5
faktor
yang
mempengaruhi
intensitas
nyeri.
Perawat
Usia
Usia mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang
tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka
sering
tidak
dapat
mengkomunikasikan
apa
yang
dirasakannya
sehingga
dilakukan dalam upaya mencari cara untuk mengkaji nyeri yang dirasakan anak-anak
(Prasetyo, 2010)
Lansia berespon terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara berespon orang
yang berusia lebih muda (Smeltzer & Bare, 2002). Pada lansia yang mengalami nyeri
perlu dilakukan pengkajian, diagnosis dan penatalaksanaan secara agresif. Namun
individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami situasi-situasi yang
membuat mereka merasakan nyeri (Ebersol dan Hess, 1994).
2.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting terhadap respon nyeri
3.
Suku/Budaya
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana
mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang
dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila
tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan
sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1997).
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Ada perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di
berbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya
akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk
klien yang mengalami nyeri (Potter & Perry 2005).
Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda
(Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka
yang berhubungan dengan nyeri (Lovander & Forhoff, dalam Harahap tahun 2007).
Gureje, Korff, Simon, & Gater, 1996, menyatakan bahwa keyakinan dan nilai-nilai
budaya mempengaruhi cara individu menyatakan atau mengekspresikan nyeri. Selain
itu, latar belakang budaya dan sosial mempengaruhi pengalaman dan penanganan
nyeri (Brannon & Feist, 2007). Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada
bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau
seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak
mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Suddart,
2003).
Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya
jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan
budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka
terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Akibatnya individu yakin bahwa
persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Nilai-nilai
budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain.
Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri
yang berlebihan seperti meringis, dan menangis berlebihan (Brunner & Suddart,
2003).
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman suku dan
budaya. Setiap suku memiliki cara yang unik dalam persepsi tentang kesehatan dan
respon terhadap penyakit. Suku Batak adalah suku yang paling besar di Sumatera
Utara; selain Melayu Deli dan Nias. Suku Batak terdiri dari sub suku Batak yaitu
Batak Toba, Batak Karo, Batak Pak pak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing (Irma, 2007). Pengalaman nyeri pada pasien Batak sangat unik.
Pasien Batak jauh lebih ekspresif dibanding pasien suku Jawa, meskipun kedua suku
tersebut berasal dari Indonesia (Suza, 2007). Perilaku nyeri ini sering menimbulkan
kesulitan dalam pengkajian dan manajemen nyeri.
4.
Kecemasan
Kecemasan sebagai sebuah kondisi atau keadaan emosi tertentu yang tidak
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan mudah menerima nyeri
pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama mengalami nyeri yang
berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut akan muncul. Sebaliknya, apabila
individu mengalami nyeri dengan jenis sama dan berulang tetapi nyeri tersebut dapat
hilang akan lebih mudah bagi individu tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri dan
akibatnya pasien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan nyeri. Dan apabila pasien tidak pernah mengalami nyeri maka
persepsi pertama nyeri dapat menganggu koping terhadap nyeri (Potter & Perry,
2006).
Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri.
Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima
perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman
pertamanya (Taylor, 1997).
6.
Makna Nyeri
Individu akan mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat
dan kualitas nyeri akibat cedera karena hukuman dan tantangan. Makna nyeri oleh
seseorang akan berbeda jika pengalamannya tentang nyeri juga berbeda. Selain
pengalaman, makna nyeri juga dapat ditentukan dari cara seseorang beradaptasi
terhadap nyeri yang dialami. Misalnya, seseorang wanita yang sedang bersalin akan
mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri
akibat cedera pukulan pasangannya (Potter & Perry, 2005).
7.
Perhatian
Seseorang
yang
memfokuskan
perhatiannya
terhadap
nyeri
akan
mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat dilihat
perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat
memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya.
Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat
menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2005). Tingkat perhatian seseorang
terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri (Prasetyo, 2010)
8.
orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien.Individu yang
mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat
untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien
rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan
(Potter & Perry, 2005)