Вы находитесь на странице: 1из 44

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN
KOMODITI PERKEBUNAN HILIR
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL
PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER

COKLAT

Nama

: Nur Fadilah Anggraeni

NIM

: 141710101005

Kelas/ Kelompok

: THP B/ 1

Tanggal praktikum

: 2016

Tanggal laporan

: 15 April 2016

Asisten

: Anis Shabrina Hanifa


Riri Nur Lutfian Sari
Aji Dwi Waskito
Mochammad Ichsan

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia saat ini menjadi salah satu negara penghasil biji kakao terbesar di
dunia setelah Pantai Gading dan Brasil. Produksi saat ini mencapai 400 ribu ton
dan diperkirakan akan terus meningkat secara nyata karena program peremajaan
tanaman yang teratur dan perluasan kebun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1999
dalam Mulato dkk, 2004)
Kakao merupakan salah satu hasil perkebunan yang dapat memberikan
konstribusi untuk peningkatan devisa Indonesia selain itu kakao memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Produksi kakao semakin meningkat dan kita ketahui
pemanfaatan kakao sangat banyak, mulai dari biji sampai lemaknya dapat
dimanfaatkan menjadi produk.Sebagai salah satu penghasil kakao, Indonesia
harus dapat meningkatkan mutu biji kakao menjadi sebuah produk agar dapat
bersaing dengan Negara Negara penghasil kakao lainnya.
Cokelat adalah sebutan untuk hasil olahan makanan atau minuman dari biji
kakao. Cokelat umumnya diberikan sebagai hadiah atau bingkisan di hari raya.
Dengan bentuk, corak, dan rasa yang unik, cokelat sering digunakan sebagai
ungkapan terima kasih, simpati, atau perhatian. Bahkan sebagai pernyataan cinta.
Cokelat juga telah menjadi salah satu rasa yang paling populer di dunia, selain
sebagai cokelat batangan yang paling umum dikonsumsi, cokelat juga menjadi
bahan minuman hangat dan dingin.
Biji kakao baik yang difermentasi maupun tidak difermentasi dan
dikeringkan kemudian disangrai dan selanjutnya digiling untuk menghasilkan
pasta cokelat dan pasta cokelat dipres untuk membuat lemak dan bungkil kakao.
Kemudian bugkil kakao digiling dan diayak sehingga dihasilkan bubuk kakao.
Proses penyangraian biji kakao yang difermentasi maupun yang tidak
difermentasi diduga mempengaruhi mutu dan citarasa coklat (Mulato,et al., 2002).
Oleh karena itu dilakukannya praktikum ini untuk mengetahui proses-proses
pengolahan coklat yang akan mempengaruhi produk akhir yang dihasilkan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum sebagai berikut:
1. Memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian.
2. Mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji
3. Mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan dibanding dengan pasta
komersial
4. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan dan
mengetahui sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kakao (Theobroma cacao)
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L) atau lebih dikenal dengan nama
cokelat berasal dari hutan di Amerika Serikat. Jenis tanaman kakao ada berbagai
macam tetapi yang banyak dikembangkan sebagai tanaman perkebunan ada tiga,
yaitu: criollo, forastero, dan trinitario :
1.
Criollo menghasilkan biji cokelat yang bermutu tinggi dan dikenal sebagai
edel cocoa atau cokelat mulia. Kulit buah berwarna merah atau hijau,
berbintil-bintil kasar dan lunak. Bijinya berbentuk bulat dan berukuran besar,
kulit bijinya (kotiledon) berwarna putih waktu masih basah, biasanya
2.

digunakan sebagai bahan pembuatan cokelat bermutu tinggi.


Forastero menghasilkan cokelat yang bermutu sedang, dikenal dengan bulk
cocoa atau ordinary cocoa. Kulit buah berwarna hijau dan tebal. Bijinya tipis

3.

atau gepeng dan kulit bijinya (kotiledon) berwarna ungu waktu masih basah.
Trinitario merupakan campuran atau hibrida dari jenis criollo dan forastero

sehingga cokelat jenis ini sangat heterogen baik warna kulit, bentuk biji, maupun
mutunya.
Biji kakao merupakan salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai
peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar/meningkatkan
devisa negara serta penghasilan petani kakao. Produksi biji kakao di Indonesia
secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan
beragam, antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering, ukuran biji tidak
seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan tidak
konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao Indonesia yang relatif
rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan harga produk sama dari
negara produsen lain (Haryadidan Supriyanto, 2001).
2.2 coklat
Cokelat adalah sebutan untuk hasil olahan makanan atau minuman
dari biji kakao. Cokelat atau sering dikenal sebagai kokoa dihasilkan dari
tumbuhan kakao atau dikenal dengan nama latin Theobroma cacao. Kata
theobroma berarti makanan para dewa. Cokelat atau kokoa diambil dari bagian

biji pohon kakao. Negara penghasil kakao terbesar di dunia saat ini adalah Pantai
Gading. Sedangkan Indonesia juga menempati urutan 3 besar negara penghasil
kakao.
Cokelat mengandung alkaloid alkaloid seperti teobromin, fenetilamina,
dan anandamida, yang memiliki efek fisiologis untuk tubuh. Kandungankandungan ini banyak dihubungkan dengan tingkat serotonin dalam otak
(Siswoputranto 2000)
1.

Coklat dibedakan menjadi 2 yaitu:


Drak coklat
Drak coklat merupakan coklat gelap yang bahan dasarnya adalah (nib

kakao, lesitin , lemak coklat, dan gula) tanpa tambahan bahan lainnya seperti susu
atau pewarna manakan.dark chocolate secara efektif membantu menurunkan
risiko hipertensi dan juga kematian akibat dari penyakit kardiovaskular. Dark
chocolate mengandung banyak nutrisi yaitu flavonoid dan antioksidan.
menjelaskan bahwa senyawa-senyawa aktif pada dark chocolate menunjukkan
perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular yaitu dengan bekerja sebagai
antioksidan, anti peradangan, meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL),
menurunkan risiko hipertensi, dan memperbaiki fungsi pembuluh darah. dark
chocolate mengandung flavanol yang dapat menghambat aksi dari angiotensin
untuk mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh dan efektif mengatur tekanan
darah.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fernando (2009) bahwa ada pengaruh
mengonsumsi dark chocolate terhadap tekanan darah normal pada wanita dewasa.
Dengan mengkonsumsi 50 gram dark chocolate selama 7 hari berturut-turut
dengan waktu yang sama dapat menurunkan tekanan darah normal pada wanita
dewasa.
2. White coklat
White coklat adalah coklat putih yang mengandung bahan seperti cocoa
butter, gula, padatan susu, vanili, dan lesitin, serta mempunyai daya simpan 6-`0
bulan jika disimpan ditempat yang sejuk dan kering. Umumnya coklat putih
berwarna seperti warna gading.
Pada coklat susu (milk chocolate), efek antioksidan dari flavonoid akan
sangat berkurang akibat coklat dicampur dengan susu dan pada coklat putih
(white

chocolate) efek antioksidan tersebut tidak diperoleh karena coklat putih tidak
mengandung cocoa yang kaya akan flavonoid.
2.3 Fungsi Bahan
2.3.1 vanili
Fungsi vanili sebagai campuran untuk bahan pangan adalah sebagai
penguat aroma Vanilin merupakan komponen aroma utama yang terdapat dalam
buah vanili yakni sebesar 85% dari total senyawa volatil. Komponen lainnya
adalah p-hidroksi benzaldehid (sampai 9%) dan p-hidroksi benzil metil eter (1%).
Disamping itu, khusus untuk vanili Tahiti memiliki flavor berbeda akibat adanya
komponen tambahan yakni piperonal Selain prekursor dan enzim pembentuk
flavor, buah vanili mengandung komponen zat gizi lengkap yang meliputi protein,
lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral ( De Guzman dan Siemonsma 1999 )
2.3.2 lesitin
Lesitin merupakan sebutan untuk emulsifier utama dari alam dari agen
permukaan yang aktif. Sejak dikenalkan secara komersil sekitar lima puluh tahun,
lesitin telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam industri pangan
khususnya pada industri coklat. Lesitin terbentuk secara alami dalam makhluk
hidup, hewani dan nabati dengan kandungan tertinggi pada kuning telur (8-10)%
basis basah dan mentega mengandung 0,5-1,2% (Minifie, 1999).
Lesitin dapat bersumber dari telur maupun kedele. Lesitin mempunyai
struktur seperti lemak tetapi mengandung asam fosfat, gugus polar dan gugus non
polar. Gugus polar yang terdapat pada ester, fosfatnya bersifat hidrofilik
(cenderung larut air), sedang gugus non polar yang terdapat pada ester asam
lemaknya bersifat lifofilik (cenderung larut dalam lemak). Beberapa zat
pengemulsi diantaranya gom arab, tragakan, gelatin, pektin, lecithin, stearil
alkohol, bentonit, dan zat pembasah atau surfaktan. Berdasarkan strukturnya zat
pengemulsi bersifat amfifilik karena memiliki molekul molekul yang terdiri dari
bagian hidrofobik (oleofilik) dan hidrofilik (oleofobik) (Swarbrick, 1995)
Lesitin berfungsi sebagai emulsifier. Emulsifier memberikan kemampuan
untuk mempertahankan tekstur dari pelelehan hal tersebut sebagai akibat adanya
disperse lemak bahan dengan struktur sel udara yang menghasilkan karakter

tekstur yang keras dan kering (Ketaren, 1986). Lesitin ini digunakan untuk
menurunkan viskositas dan dapat mengikat atau menyimpan lemak pada cokelat
sehingga tidak menimbulkan bunga pada cokelat (Minifie, 1999).
2.3.3 Lemak Kakao
Lemak kakao merupakan campuran dari beberapa jenis trigliserida.
Trigliserida terdiri dari gliserol dan tiga asam lemak bebas.Salah satu diantaranya
lemak tidak jenuh. Komposisi asam lemak bervariasi, tergantung pada kondisi
pertumbuhan. Hal ini menyebabkan perbedaan karakteristik fisiknya, terutama
berpengaruh pada sifat tekstur makanan cokelat dan proses pembuatannya. Lemak
kakao dari biji yang mengandung asam lemak bebas (ffa) tinggi juga cenderung
lebih lunak dari pada lemak dari biji kakao yang masih utuh. Lemak kakao adalah
lemak alami yang diperoleh dari nib kakao (kotiledon) hasil proses pemisahan
dengan proses pengepresan hidraulik atau expeller. Pengepresan bertujuan untuk
memisahkan lemak atau minyak dari pecahan nib kakao. Banyaknya lemak yang
dapat terekstrak tergantung dari lamanya pengepresan dan tekanan yang
digunakan. Lemak kakao memiliki sifat khas yakni bersifat plastis, dan memiliki
kandungan lemak padat yang relative tinggi (Wahyudi, 2008).
Lemak kakao mengandung asam oleat, palmitat dan stearat. Lemak kakao
yang digunakan dalam pembuatan coklat harus memiliki ciri-ciri yakni akan
mencair pada suhu 320C 350C, mempunyai tekstur yang keras dan sedikit rapuh,
serta warnanya tidak buram dan tetap cerah jika dicampur pada bahan lain serta
memadat pada suhu kamar. Retensi waktu untuk penyimpanan juga harus
disesuaikan dengan kondisi cokelat, karena jika tidak maka dapat menyebabkan
cokelat akan melekat pada cetakan, menghasilkan warna yang buram serta
menimbulkan blooming di permukaan cokelat. Dimana fungsi dari lemak kakao
pada pembuatan coklat yakni untuk memadatkan (Ketaren, 1986).

2.3.4 Pasta Kakao


Pasta kakao berfungsi sebagai bahan utama dalam pembuatan
coklat. Pasta cokelat dikenal sebagai chocolate paste atau chocolate massa yang

merupakan hasil setengah jadi. Produk pasta cokelat ini biasa dipasarkan dalam
skala besar, baik dari pabrikan ke pabrikan makanan cokelat atau dalam skala
rumah tangga, yakni oleh pengecer pengecer yang akan digunakan sebagai
bahan baku pembuatan kue rumah tangga (Wahyudi dkk, 2008).
2.3.5 Susu Full Cream
Jenis susu bubuk yang banyak dikenal di masyarakat antara lain susu
bubuk full cream. Susu bubuk full cream merupakan susu yang paling mudah
dalam hal penyimpanan dan mudah bercampur ke dalam air hangat (suam-suam
kuku). Kandungan susu bubuk full cream merupakan sumber protein yang baik
bagi badan kita. Susu bubuk full cream dapat diaplikasikan dalam minuman kopi
atau teh sebagai ganti krimer. Adapun aplikasi yang lain dapat dicampur untuk
pembuatan coklat, selai roti, kue kering, permen, ice cream dan segala jenis
makanan yang membutuhkan rasa krim. Susu full cream dalam pembuatan cokelat
digunakan untuk memberikan aroma serta meningkatkan nilai gizi dari produk
cokelat yang dihasilkan (Tokocsc, 2007).
2.3.6 Soda Kue
Natrium bikarbonat atau soda kue adalah senyawa kimia dengan rumus
NaHCO3. Dalam penyebutannya kerap disingkat menjadi bicnat. Senyawa ini
termasuk kelompok garam dan telah digunakan sejak lama. Senyawa ini disebut
juga baking soda (soda kue), Sodium bikarbonat, natrium hidrogen karbonat, dan
lainlain. Senyawa ini merupakan kristal yang sering terdapat dalam bentuk serbuk.
Natrium bikarbonat larut dalam air. Senyawa ini digunakan dalam roti atau kue
karena bereaksi dengan bahan lain membentuk gas karbon dioksida, yang
menyebabkan roti "mengembang" (Hayatinufus. A.L. Tobing, 2010)
Fungsi soda kue yaitu merupakan komponen

pembuat

baking powder. Bikarbonat soda sendiri sifatnya basa. Soda kue akan
mengeluarkan gelembung udara jika bertemu dengan cairan dan bahan yang
sifatnya asam. Jadi untuk resep-resep yang adonannya bersifat asam, biasanya
memakai soda kue untuk bahan pengembangnya. Sifat bahan ini mengeluarkan
gas

(CO2)

sehingga

kue

akan

mengembang.

Untuk

membuat

cake,

penggunaannya biasanya bersamaan dengan baking powder. Bikarbonat Soda

menghasilkan tekstur yang berpori besar dan tidak beremah, tetapi jika dipakai
tanpa baking powder , rasanya sedikit pahit. Rasa pahit ini akan hilang jika soda
kue bercampur dengan bahan yang sifatnya asam itu. Untuk kue kering, soda kue
memberikan efek tekstur kering, garing, dan renyah. Untuk membuat cake,
menggunakan baking powder saja sebenarnya sudah cukup. Soda kue dan Baking
powder ini tidak bisa saling menggantikan (Hayatinufus. A.L. Tobing, 2010)
2.3.7 Fine Sugar
Salah satu bahan tambahan dalam pembutan cokelat adalah gula sukrosa.
Sukrosa merupakan senyawa disakarida. Sukrosa adalah oligosakarida yang
mempunyai peran penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada
tebu, bit, siwalan dan kelapa kopyor. Oligosakarida adalah polimer dengan derajat
polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang
terdiri dari dua molekul disebut disakarida dan bila tiga molekul disebut triosa.
Sukrosa (sakarosa atau gula tebu) terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa.
jumlah kaori dari sukrosa adalah 3,87 kal per gram. Untuk industri-industri
makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam
jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada
pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan,
sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula
invert. Inversi sukrosa terjadi dalam suasana asam. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan
laktosa mempunyai gugusOH bebas(Winarno, 2004).
2.4 Proses Pembuatan Coklat (Chocolate)
Coklat (chocolate) dibuat dengan menggunakan pasta coklat, yang
ditambahkan dengan sukrosa, lemak coklat, dengan atau tanpa susu dan bahanbahan lain (flavoring agent, kacang-kacangan, pasta kopi, dan sebagainya).
Bahan-bahan ini dicampur dalam sebuah mixer atau paster, sehingga dihasilkan
pasta coklat yang kental yang selanjutnya mengalami proses pelembutan
(refining) dengan mesin tipe roll sampai diperoleh massa coklat dengan tekstur
yang halus (ukuran partikel kurang dari 20 m).

Massa coklat hasil dari refining berbentuk bubuk dan kering pada suhu
ruang dengan flavor yang asam. Untuk memperbaiki konsistensi tekstur dan
flavornya, maka massa coklat kadang-kadang diperam selama 24 jam pada suhu
hangat (45 50oC) sebelum masuk ketahapan proses penghalusan (conching).
Proses pemeraman ini dikenal dengan sistem dutch, kadang dilakukan untuk
membuat coklat bubuk.
Proses penghalusan (conching) adalah proses pencampuran untuk
menghasilkan coklat dengan flavor yang baik dan tekstur yang halus. Biasanya
dilakukan dua tahap, proses dilakukan pada suhu 80oC selama 24 96 jam.
Adonan coklat dihaluskan terus-menerus dan lesitin ditambahkan pada akhir
conching untuk mengurangi kekentalan coklat. Pada tahapan ini, air dan senyawa
pengganggu flavor menguap, lemak kakao akan menyelimuti partikel coklat, gula
dan susu secara sempurna sehingga memberikan sensasi tekstur yang halus.
Lemak coklat memiliki beberapa bentuk polimorfik dan proses
pendinginan yang dilakukan akan sangat mempengaruhi bentuk kristalnya. Jika
pemadatan (kristalisasi) coklat cair dilakukan dengan proses pendinginan yang
tidak terkontrol, akan dihasilkan coklat padat dengan tekstur yang bergranula dan
spot-spot warna kelabu dipermukaan.
Tempering merupakan tahapan proses berikutnya, yang dilakukan untuk
memperoleh coklat yang stabil, karena akan menghasilkan kristal-kristal lemak
berukuran kecil dengan titik leleh yang tinggi. Adonan lemak cair didinginkan
dari 50oC menjadi 18oC dalam waktu 10 menit dengan pengadukan konstan.
Adonan lalu didiamkan di suhu dingin selama sekitar 10 menit untuk membentuk
lemak coklat dengan kristal tipe yang bersifat stabil. Suhu selanjutnya
dinaikkan menjadi 29 31oC, dalam waktu 5 menit. Proses ini bisa bervariasi,
tergantung komposisi bahan yang digunakan.
Sebelum pencetakan, suhu coklat cair dijaga pada 30 32oC untuk dibawa
ke wadah-wadah pencetakan. Selanjutnya, dilakukan pendinginan lambat untuk
memadatkan coklat dan coklat dikeluarkan dari cetakan setelah suhu mencapai
10oC. proses pendinginan terkontrol akan menghasilkan coklat padat dengan

kristal lemak yang halus dan struktur yang stabil terhadap panas, terlihat dari sifat
lelehnya yang baik dan permukaan yang mengkilap.
2.4.1 Penyangraian
Penyangraian (roasting) merupakan pengolahan pendahuluan untuk semua
hasil olahan akhir kakao. Tujuan penyangraian adalah mengembangkan cita rasa
dan aroma khas cokelat, menurunkan kadar air, mematikan mikroba,
menggelembungkan kulit biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat
nib lebih renyah sehingga memudahkan penghancuran dan penghalusan (Wahyudi
dkk, 2008).
Sebelum penyangraian, biji kakao memiliki rasa sepat, pahit, asam dan
tanpa ada citarasa khas cokelat. Biji kakao yang telah disangrai memiliki aroma
cokelat khas yang inten dengan rasa sepat, pahit dan asam yang rendah. Kualitas
citarasa cokelat sangat ditentukan oleh kondisi penyangraian, khususnya pada
waktu dan suhu penyangraian. Senyawa pembentuk aroma khas cokelat, seperti
pirazin, karbonil, dan ester meningkat secara nyata selama penyangraian dari 35
menit sampai 65 menit pada suhu 140 C (Misnawi, 2005).
Selama proses penyangraian, air akan menguap dari biji, kulit yang
menempel di permukaan inti biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan beberapa
senyawa menguap, antara lain asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester
Panas dalam proses penyangraian perlu diberikan dalam intensitas dan
waktu yang cukup untuk perkembangan cita rasa (flavor) kakao, namun panas
yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan atau kerusakan cita
rasa (Agus, 2008).
Suhu penyangraian merupakan faktor utama penyebab terjadinya
pewarnaan cokelat dalam biji kakao yang disangrai. Pembentukan pigmen warna
cokelat yang dinamis pada saat penyangraian bergantung pada tingkat suhu
penyangraian. Penyangraian pada umumnya dilakukan menggunakan kombinasi
waktu panjang dengan suhu rendah dan waktu pendek dengan suhu tinggi.
Konsentrasi pigmen warna cokelat dalam biji kakao yang disangrai mencapai

puncaknya pada suhu 135 C dan akan menurun secara bertahap bila suhu proses
pemanasan berlanjut mengalami kenaikan/peningkatan (Agus, 2008).
Suhu yang digunakan dalam penyangraian biji kakao sekitar 120 C
sampai 140 C selama 15 120 menit. Proses penyangraian akan selesai apabila
warna bagian dalam keeping biji berubah menjadi coklat tua dan rasa pahitnya
berkurang. Kadar air setelah melakukan penyangraian berkisar 2.5% (Muchtadi
dan Sugiyono, 1992).
Mutu produk kakao hasil sangrai ditentukan oleh mutu biji dan kondisi
penyangraiannya. Oleh karena itu, penyangraian merupakan yang harus benar
benar diperhatikan untuk menghasilkan produk kakao yang bermutu baik. Biji
kakao bervariasi ukurannya tergantung pada negara asal tempat tumbuh tanaman
kakao, kondisi iklim, musim ketika buah dipetik, dan sejumlah faktor lainnya.
Ketika kondisi penyangraian telah diatur untuk menentukan ukuran rata rata biji
kakao ternyata biji kakao yang lebih kecil ukurannya mengalami over roasted dan
akibatnya komponen flavor yang terbentuk adalah komponen flavor tidak
diinginkan. Sedangkan biji kakao yang lebih besar ternyata kurang cukup
tersangrai pada bagian tengahnya akibatnya tidak semua komponen pemicu flavor
telah terkonversi dan akibatnya flavor cokelat akan berkurang (Minifie, 1999).
2.4.2 Pengupasan Kulit Biji Kakao
Komponen biji kakao yang berguna untuk bahan pangan adalah daging biji
(nib), sedangkan kulit biji merupakan limbah yang saat ini banyak dimanfaatkan
sebagai campuran pakan ternak, sebab adanya shell atau kulit yang terikat dalam
produk kakao akan memberikan flavor inferior. Oleh karena itu kulit biji perlu
dikupas sehingga terpisah antara kulit dengan daging biji kakao (Mulato, 2005).
2.4.3 Penggilingan nib (pemasta kasar)
Tahap proses berikutnya adalah penggilingan nib menjadi pasta kakao
sebagai produk primer kakao pertama. Oleh karena setengah dari berat nib adalah
lemak, pengaruh dari kegiatan penggilingan bersama sama dengan panas yang
ditimbulkan adalah nib padat menjadi pasta cair. Proses ini menyebabkan titik cair
lemak kakao turun di bawah titik cair sesungguhnya (Wahyudi dkk, 2008).

Pengoperasian mesin penggiling bervariasi menurut keadaan nib dan


produk yang dimaksudkan. Sebagai contoh, suhu penggilingan untuk nib sumber
aroma dipertahankan agar tetap rendah sehingga cita rasa yang mudah menguap
tidak hilang. Oleh karena itu, idealnya peralatan modern untuk penggilingan harus
dilengkapi dengan pendingin air (Wahyudi dkk, 2008).
2.4.4 Penghalusan
Penghalusan (refining) sangat diperlukan untuk menghasilkan tekstur
produk cokelat yang bermutu tinggi. Melalui penghalusan yang baik, fraksi
fraksi padat dalam cokelat akan menyebar rata dalam fraksi cair (lemak) dan
potensi aroma, serta cita rasa dan warna khas cokelat tertampakkan (Misnawi dkk,
2008).
2.4.5 Pasta Kakao
Pasta cokelat atau cocoa mass dibuat dari biji kakao kering melalui
beberapa tahapan proses untuk mengubah biji yang kakao yang semula padat
menjadi semi cair atau cair. Setiap ton pasta cokelat membutuhkan 1,20 - 1,25 ton
biji kakao kering. Pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan
bubuk cokelat yang merupakan bahan baku utama berbagai produk makanan atau
minuman cokelat.
Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib
yang semula berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan sampai ukuran
tertentu (<20m ) dan menjadi bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau
penghalusan nib kakao umumnya dilakukan dengan cara penghancuran untuk
merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan kehalusan butiran 40 m dengan
menggunakan mesin silinder (Mulato, 2005).
Lebih dari setengah berat nib adalah lemak, efek dari penghalusan
(pemastaan), bersama dengan panas yang terbentuk dari proses penghalusan,
menyebabkan nib yang padat menjadi cair, dan akan memadat jika temperature
turun dibawah titik lelehnya. Derajat kehalusan ukuran partikel sangat penting.
Liquor yang digunakan untuk pembuatan lemak kakao dan bubuk, jika terlalu
halus akan sulit untuk dipress. Namun, jika terlalu kasar pengeperesan tidak akan

sempurnah dikarenakan sejumlah lemak masih terjebak dalam struktur sel.


(Mulato,2005)
Pasta cokelat dikenal sebagai chocolate paste atau chocolate mass yang
merupakan hasil setengah jadi. Produk pasta cokelat ini biasa dipasarkan dalam
skala besar, baik dari pabrikan ke pabrikan makanan cokelat atau dalam skala
rumah tangga, yakni oleh pengecer pengecer yang akan digunakan sebagai
bahan baku pembuatan kue rumah tangga (Wahyudi dkk, 2008).
Tahap proses pengolahan kakao menjadi produk sekunder (pasta) secara
umum dapat dibagi menjadi empat, yaitu

pembersihan, penyangraian,

penghalusan, dan pengempasan (Mulato, 2002).


Selama proses penyangraian, air akan menguap dan biji yang menempel
dipermukaan inti biji terlepas, inti biji menjadi coklat, dan beberapa senyawa
menguap anatara asam, aldehid, furan, pirazin, alcohol dan ester (Mulato, 2002).
Pecahan pecahan inti biji hasil penyangraian didinginkan dan dilumatkan
(dihaluskan). Proses pelumatan dilakukan dua atau tiga tingkat, diawali dengan
pelumatan awal menggunakan mesin pelumat tipe silinder atau pemasta kasar,
kemudian diikuti dengan pelumatan lanjut dengan silinder berputar mpai
diperoleh pasta cokelat dengan kehalusan tertentu. Selama proses pelumatan, suhu
pasta dikontrol sedemikian rupa sehingga proses sangrai lanjut fasa cair tidak
berlangsung. Setelah proses pelumatan selesai, pasta yang terbentuk disimpan
dalam wadah yang higienis

2.5 SNI Pasta Kakao


Menurut SNI 3749:2009 yang berjudul Kakao massa menyebutkan
standar syarat-syarat pasta kakao (kakao massa) sebagai berikut:
No

Kriteria Uji

Satuan

Persyaratan

1.3

Warna

Coklat

Kadar lemak (b/b)

min. 48

Kadar air (b/b)

maks. 2 99,0

Kehalusan (lolos ayakan mesh 200) (b/b)

min. 99,0

Kadar abu dari bahan kering tanpa lemak


(b/b)

maks. 14

Kulit (shell) dihitung dari alkali free nibs


(b/b)

maks. 1,75

Cemaran logam

7.1

Timbal (Pb)

mg/kg

maks. 2,0

7.2

Cadmium (Cd)

mg/kg

maks. 1,0

7.3

Timah (Sn)

mg/kg

maks. 40

Cemaran arsen (as)

mg/kg

maks. 1,0

Cemaran mikroba

9.1

Angka lempeng total

koloni/g

maks. 5 x 10 3

9.2

Baketeri bentuk coli

APM/g

<3

9.3

Escherrichia coli

per g

negatif

9.4

Salmonella

per 25 g

negatif

9.5

Kapang

koloni/g

maks. 50

9.6

Khamir

koloni/g

maks. 50

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1

Alat Dan Bahan

3.1.2 Alat
1. Roaster
2. Pisau
3. Timbangan
4. Gelas Arloji
5. Mesin winnowing
6. Alat pemasta
7. Thickness meter
8. Cetakan
9. Termometer
10. Kamera
11. Pinset
12. Oven
13. Tempat sampel
14. Ballmill refiner
15. Mesin conching
16. Wadah stainles steel
17. Pengaduk
3.1.3 Bahan
1. Biji kakao 100 gram
2. Biji kakao sangria
3. Pasta kakao komersil
4. Lemak kakao
5. Susu full cream
6. Lesitin
7. Fine sugar
8. Vanili
9. Soda kue
3.2

Skema Kerja

3.2.1 Penyangraian
Biji Kakao

Penimbangan 100 gram


Penyangraian dengan suhu 110-115oC selama 10 menit
Pengeluaran dari mesin penyangraian (roaster)
Pendinginan
Penimbangan
Pengamatan warna, aroma, tekstur.

Gambar 1. Diagram alir proses penyangraian biji kakao


Proses penyangraian dilakukan dengan menggunakan alat penyangrai
(roaster). Menyiapkan biji kakao fermentasi yang telah disortasi terlebih dahulu.
Langkah selanjutnya adalah menyalakan roaster hingga 110-115 oC selama
15menit, Tujuan penyangraian adalah mengembangkan cita rasa dan aroma khas
cokelat, menurunkan kadar air, mematikan mikroba, menggelembungkan kulit biji
hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat nib lebih renyah sehingga
memudahkan penghancuran dan penghalusan, lalu memasukkan biji kakao.
Ketika biji kakao dimasukkan ke dalam roaster, maka secara otomatis suhu dalam
roaster akan menurun karena panas yang ada di dalam diserap oleh biji kakao
tersebut. Pada saat suhu roaster sudah kembali normal, mulai menghitung
waktunya selama 15, lalu pengeluaran kakao tersebut dari roaster. Setelah kakao
dikeluarkan dari roaster dan dilakukan pendinginan biji kakao sangari yang
bertujuan untuk menurunkan panas yang s berlebihan. Langkah selanjutnya yaitu
dilakukan penimbangan biji kakao sangarai yang brtujuan untuk mengetahui
perubahan berat biji kakao setelah dilakukan penyangraian. Kemudian dilakukan
pengamatan meliputi warna, aroma dan tekstur biji kakao sangrai utuh dan dibelah

untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah penyangraian. Kemudian


dilakukan pembandingan antara biji kakao yang dilakukan penyangraian dan biji
kakao yang tidak dilakukan penyangraian .
3.2.2

Pemisahan kulit biji


Biji Kakao
Sangrai
Penimbangan 100 gram
Pemasukan kedalam mesin winowing

Nib

Kulit

Penimbangan

Penimbangan

Penimbangan 50 gram
Pemisahan kulit terikut
Penimbangan kulit
Gambar 2. Diagram alir proses pemisahan kulit biji kakao
Proses pemisahan nib dari kulitnya dilakukan dengan menggunakan mesin
yaitu dengan menggunakan mesin winowing untuk memisahkan kulitnya sehingga
terpisah dengan nib, Biji kakao yang telah dilakukan penyangraian pada acara
pertama

di lakukan penimbangan terlebih dahulu yang bertujuan untuk

mengetahui berat biji kakao sangrai. Kemudian dilakukan pemasukan biji kakao
sangrai kedalam mesin winnowing yang berguna untuk memisahkan kulit biji
kakao. Setelah dilakukan pemasukan biji kakao sangrai kedalam mesin
winnowing, maka akan memisahkan kulit dan nib, dalam proses winowing akan
menghasilkan nib. Nib yang telah diperoleh dilakukan penimbangan terlebih

dahulu beserta kulitnya. Penibangan ini bertujuan untuk mengetahui berat nib
yang diperoleh. Nib yang diperoleh diambil sebanyak 50 gram, sedangkan untuk
kulitnya setelah dilakukan penimbangan yaitu hasil penimbangan yang dilakukan
dapat dilakukan perhitungan fisiensi kulit yang terikut. Pemisahan dikatakan baik
bila kulit yang terikut maksimal 1.75%.
3.2.3

Pemastaaan
Nib
Penimbangan 100 gram
Pemasukan dalam mesin pemasta
Pemastaan
Pasta
Pengukuran Partikel
Pembandingan ukuran partikel

Gambar 3. Diagram alir proses pemastaan


Acara praktikum berikutnya adalah penggilingan nib menjadi pasta kakao
sebagai produk primer kakao pertama. langkah pertama yang perlu dilakukan
yaitu penimbangan nib sebanyak 50 gram. Kemudian nib yang telah dilakaukn
penimbangan dimasukan kedalan alat pemasta. Pemastaan ini bertujuan untuk
mengancurkan

atau memperkecil

ukuran. Pemastaan

merupakan

proses

penghancuran agar dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman.
Proses ini sangat menentukan kehalusan partikel coklat dalam makanan. Proses ini
menyebabkan titik cair lemak kakao turun di bawah titik cair sesungguhnya
Setelah dilakukan pemastaan, kemudian penimbangan yang bertujuan untuk
mengetahui perubahan berat nib setelah dilakukan pemastaan, selain itu dilakukan
pengukuran partikel juga dengan menggunakan alat thickness meter. Pengukuran

tersebut dilakukan untuk mengetahui ukuran partikel nib yang telah dihasilkan,
selanjutnya langkah terakhir dilakuak perbandingan dengn ukuran pasta kakao
komersial.

3.2.4 Pembuatan Coklat


Pasta Kakao, Lemak kakao, Susu Full krim, Fine
Sugar

Pemanasan diatas
kompor

Larutan coklat cair

Pemasukan dalam ball mil refiner dengan suhu 60oC 8


jam
Pemindahan ke mesin conching

Perlakuan conching selama 4 jam suhu 60-70oC


Penambahan lesitin, vanili, soda kue 0,5 jam sebelum akhir conching
Tempering

Pendinginan dengan
pengadukan sampai 28oC

Pendinginan tanpa
pengadukan sampai 28 oC

Pendinginan dengan
pengadukan sampai 28 oC
dinaikkan 33oC

Pencetakan
Penyimpanan selama 1 minggu
Pengamatan tekstur, kenampakan, dan kecepatan meleleh
dimulut

Berdasrkan praktikum pembuatan coklat hal pertama yang harus dilakukan


adalah pemanasan empat bahan utama, Bahan-bahan dalam pengolahan coklat

antara lain pasta kakao sebagai bahan utama pembuatan dark chocolate, lemak
kakao berfungsi sebagai bahan utama dalam pembuatancoklat dan menentukan
tekstur akhir coklat yang dihasilkann susu full cream berfungsi sebagai penambah
citarasa dan flovor coklat fine sugar berungsi untuk memperbaiki tekstur gula
yang digunakan adalah gula yang bermutu tinggi kering dan bebas gula invert.
lesitin berfungsi untuk mengurangi kekentalan sehingga lemak kakao bisa lebih
meresap vanili berfungsi sebagai penambah aroma dari coklat yang dihasilkan
soda kuesebanyak berfungsi untuk memperbaiki tekstur yang dihasilkan.
Tujuan pemanasan ini adalah untuk melelehkan lemak kakao dan sebagai
proses pencampuran bahan. Setelah didapatkan larutan coklat cair, maka larutan
tersebut dilakukan pemasukkan kedalam ball mill refiner dengan suhu 60oC
selama 8 jam. Pada proses ini bertujuan sebagai proses refining agar tektur coklat
baik karena selama proses ini padatan dalam coklat akan menyebar keseluruh
bagian sehingga larutan tercampur (homogen) sempurna. Pada proses ini
diharapkan ukuran partikel coklat <20m. Selanjutnya, larutan coklat di lakukan
pemindahan pada mesin conching. Pada proses ini bertujuan untuk penghalusan
larutan dan meningkatkan tekstur, aroma, dan rasa. Proses conching dilakukan
dengan suhu 60-70oC selama 4 jam. Setengah jam sebelum proses conching
berakhir dilakukan peanmbahan lesitin, vanili, dan soda kue. Kemudian dilakukan
tempering yang berguna untuk meningkatkan titik leleh, tekstur, dan kenampakan
coklat. Tempering menggunaka tiga perlakuan agar dapat diketahui perlakuan
tempering yang memiliki dampak paling baik pada coklat. Perlakuan pertama
dilakukan pendinginan dengan cara pengadukan hingga suhu menurun menjadi
28oC sedangkan, yang kedua dilakukan pendiaman (tanpa pengadukan) hingga
suhu menurun 28oC dan yang ketiga dilakukan penngadukan hingga suhu
menurun menjadi 28oC namu suhu dinaikkan kembali menjadi 33oC. setelah itu
dilakukan pencetakkan kedalam cetakan blok. Setelah itu, dilakukan penyimpanan
selama satu minggu untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama
penyimpanan. Terkahir dilakukan pengamatan tekstur, kenampakan dan kecepatan
meleleh dimulut.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil

4.1.1 Penyangraian
Tabel 4.1 Berat Kakao Hasil Penyangraian
Berat

Pengulangan

awal Berat

(gr)
100,01
100,81
100,16

1
2
3

Akhir

(gr)
95,96
96,98
98,1

Tabel 4.2 Warna, Aroma dan Tekstur Kakao


Biji

Pembeda

Aroma

Tajam
Rapuh
Coklat Kemerahan
Sangat Rapuh

Tekstur
Warna
Tekstur

Dibelah

Tidak

Sangrai
Lebih gelap
Kurang gelap
Aromanya lebih Tidak Terlalu

Warna
Utuh

Kakao

Kakao Sangrai

Tajam
Cukup Rapuh
Coklat gelap
Cukup Rapuh

4.1.2 Pemisahan Kulit


Tabel 4.3 Berat Kulit Dan Nib
Berat Akhir (g)
Kulit biji
Nib
34,02
95,93
33,74
98,79

Berat Awal (g)


145
146

Tabel 4.4 Berat Kulit yang Terikut dan Efisiensi


Berat awal (g)
50
50

Kulit Biji yang Terikut


0,51
0,48

Efisiensi (%)
1,02
0,96

4.1.3 Pemastaan
Tabel 4.5 Ukuran Partikel
Pemisahan ke-

Berat pasta (gram)

Ukuran
()

partikel Ukuran
partikel
pasta

komersial
()
1
2

92,02
95,86
4.1.4

88
68,5

11

Ukuran Partikel
Tabel 4.6 waktu ball mill dan ukuran partikel

Waktu Ball Mill (jam)

Ukuranpartikel (m)

23

17

13

4.1.5 Parameter Tekstur Coklat


Tabel 4.7 Tekstur Coklat
No. Nama Panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Nur Yanti
Citra Wahyu
Lailatul N
Nofal Ilhami
Nurul Ummah
Fiska Fibi
Hasna Amalia
Dwi Tari W
Rina Dias
Hujjah
Esthi
Sri Dewi
Dwi Putri W
Rahmawati Indah
Novila Tri Hardini
Maisaroh

179
2
8
3
4
3
3
6
5
7
5
7
8
3
3
6
5

247
5
2
9
6
7
7
7
8
4
7
6
9
6
2
3
4

Parameter Tekstur
513 681 191 715
7
3
6
1
7
6
5
3
1
4
5
2
1
6
7
5
4
2
1
5
4
1
5
1
4
9
3
8
6
2
3
1
6
8
5
1
6
2
3
1
8
2
4
1
4
1
7
1
5
7
8
2
4
2
8
9
5
2
1
8
3
7
1
9

916
4
4
6
9
8
6
5
2
3
2
3
3
5
5
9
8

427
8
1
7
8
9
8
9
4
8
4
5
6
4
6
7
6

831
9
9
8
3
2
9
2
7
9
9
9
5
7
1
4
7

17 Dewi Ruhael
18 Oriza Krisnata W
19 Angga Setiawan
20 M. Dwi Nur Cahyo
21 Hernindo
Rata rata

7
4
3
4
1
4,61

4
1
4
5
4
5,24

1
9
6
2
2
4,52

3
8
2
9
9
4,2

3
8
5
6
3
4,62

9
6
7
8
8
4,57

5
5
1
1
7
4,8

2
7
8
3
6
6

8
2
9
7
5
6,24

427
7
7
6
4
4
4
9
6
5
6
5
6
4
4
3
1
2
2
5
3
3
4,62

831
4
5
4
6
1
7
1
4
3
5
8
5
6
6
6
7
8
5
3
6
5
5,01

4.1.6 Parameter Kenampakan Coklat


Tabel 4.8 Kenampakan Coklat
No. Nama Panelis

179
1
1
Nur Yanti
8
2
Citra Wahyu
7
3
Lailatul N
5
4
Nofal Ilhami
7
5
Nurul Ummah
8
6
Fiska Fibi
6
7
Hasna Amalia
5
8
Dwi Tari W
4
9
Rina Dias
4
10 Hujjah
3
11 Esthi
8
12 Sri Dewi
3
13 Dwi Putri W
3
14 Rahmawati Indah
15 Novila Tri Hardini 5
5
16 Maisaroh
6
17 Dewi Ruhael
6
18 Oriza Krisnata W
2
19 Angga Setiawan
20 M. Dwi Nur Cahyo 1
1
21 Hernindo
Rata rata
4,71

247
6
3
5
7
3
3
2
2
7
3
4
9
5
5
4
4
4
3
1
4
7
4,38

Parameter Kenampakan
513 681 191 715 916
3
2
5
9
8
2
1
4
9
6
3
1
2
9
8
3
1
2
8
9
5
2
6
9
8
2
1
5
9
6
3
4
8
5
7
3
1
7
9
8
6
1
8
9
2
2
1
7
9
8
2
1
6
9
7
4
2
7
1
3
2
1
7
8
6
2
1
7
8
6
1
2
9
7
8
3
8
2
9
6
1
7
3
9
5
7
1
4
9
8
7
4
6
8
9
5
2
9
7
8
2
6
8
9
4
3,19 2,4 5,62 8,1 6,76

4.1.7 Kecepatan Leleh Coklat


Tabel 4.8 Kecepatan Leleh Coklat
No

Nama Panelis

.
1
Nur Yanti
2
Citra Wahyu
3
Lailatul N
4
Nofal Ilhami
5
Nurul Ummah
6
Fiska Fibi
7
Hasna Amalia
8
Dwi Tari W
9
Rina Dias
10 Hujjah
11 Esthi
12 Sri Dewi
13 Dwi Putri W
14 Rahmawati Indah
15 Novila Tri Hardini
16 Maisaroh
17 Dewi Ruhael
18 Oriza Krisnata W
19 Angga Setiawan
20 M. Dwi Nur Cahyo
21 Hernindo
Rata rata
Keterangan kode :

Parameter Kecepatan Leleh (Sekon)


179 247
513 681 191 715 916 427
15
20
13
10 11
5
12
22
4
3
7
4
6
2
5
3
14
13
9
8
6
5
10
12
8
9,5
6
7
8
4
6
7
15
13
10
5
7
3
8
9
12
15
9
6
8
5
10
10
23
20
23
20 30
20
25
50
17
24
22
11 15
8
17
12
21
24
15
5
12
7
20
12
17
24
25
5
14
7
17
16
17
22
17
13 16
7
17
20
19
18
15
9
20
4
21
12
28
31
33
34 28
12
43
34
14
18
9
7
13
6
16
12
14
16
15
11 12
6
18
13
27
30
25
10 41
5
20
23
21
17
12
17 14
10
15
14
36
29
45
9
40
8
30
56
92
101
95
19 105 30
79
133
80
133
119 36 122 9
81
14
58
73
76
24 83
16
72
90
26,3 31,11 28,6 13 29,1 8,54 25,8 27,4

427 : suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 6 jam)


916 : suhu tempering 28C dengan pengadukan (refiner 6 jam)
715 : suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 6 jam)
191 : suhu tempering 28C dengan pengadukan (refiner 8 jam)
681 : suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 8 jam)
513 : suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 8 jam)

831
8
5
16
11
20
18
16
15
20
23
15
16
26
13
17
12
17
34
103
114
75
28,3

247 : suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 10 jam)


179 : suhu tempering 28C dengan pengadukan (refiner 10 jam)
831 : suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 10 jam)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penyangraian

Gambar 4.1 Grafik Berat Biji Kakao Sangrai


Berdasarkan data diagram diatas pada pengulangan pertama berat awal biji
kakao yaitu sebesar 100,01 gram setelah dilakukan penyangraian beratnya
mengalami perubahan yaitu menjadi 95,96 gram. Pengulangan kedua berat awal
biji kakao yaitu sebesar 100,81 gram setelah dilakukan penyangraian beratnya
mengalami perubahan yaitu menjadi 96,98 gram. Pengulangan ketiga berat awal
biji kakao yaitu sebesar 100,16 gram setelah dilakukan penyangraian beratnya
mengalami perubahan yaitu menjadi 98,1 gram. Berdasarkan hasil ketiga
pengulangan tersebut berat biji kakao setelah dilakukan penyangraian mengalami
perubahan penurunan berat hal ni disebabkan karena kadar air biji kakao telah
berkurang hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa Selama proses
penyangraian, air akan menguap dari biji, kulit yang menempel di permukaan inti
biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan beberapa senyawa menguap, antara lain
asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester. Terjadinya penguapan air pada

proses penyangraian disebabkan oleh suhu dan lama waktu penyangraian sehingga
berpengaruh terhadap berat biji kakao yang dihasilkan (Misnawi, 2005).
Perbedaan yang terjadi setelah dilakukan penyangraian dari segi warna
untuk biji utuh warna kakao sangrai lebih gelap dibandingkan dengan kakao tidak
disangrai , sedangkan untuk biji yang di belah warna biji kakao setelah dilakukan
penyangraian yaitu coklat kemerahan sedangkan tanpa dilakukan penyangraian
berwarna coklat gelap. Perubahan warna pada biji kakao yang disangrai
disebabkan oleh suhu menurut literatur Suhu penyangraian merupakan faktor
utama penyebab terjadinya pewarnaan cokelat dalam biji kakao yang disangrai.
Pembentukan pigmen warna cokelat yang dinamis pada saat penyangraian
bergantung pada tingkat suhu penyangraian. Penyangraian pada umumnya
dilakukan menggunakan kombinasi waktu panjang dengan suhu rendah dan waktu
pendek dengan suhu tinggi. Konsentrasi pigmen warna cokelat dalam biji kakao
yang disangrai mencapai puncaknya pada suhu 135 C dan akan menurun secara
penyangraian akan selesai apabila warna bagian dalam keeping biji bertahap bila
suhu proses pemanasan berlanjut mengalami kenaikan/peningkatan (Agus, 2008).
Suhu yang digunakan dalam penyangraian biji kakao sekitar 120 C sampai 140
C selama 15 120 menit. Proses berubah menjadi coklat tua dan rasa pahitnya
berkurang. Kadar air setelah melakukan penyangraian berkisar 2.5% (Muchtadi
dan Sugiyono, 1992).
Aroma biji kakao utuh setelah dilakukan penyangraian aroma lebih tajam
dari pada biji kakao yang tanpa di sangrai begitu juga dengan biji dibelah. Hal ini
sudah sesuai dengan literatur yang menyatakan Sebelum penyangraian, biji kakao
memiliki rasa sepat, pahit, asam dan tanpa ada citarasa khas cokelat. Biji kakao
yang telah disangrai memiliki aroma cokelat khas yang inten dengan rasa sepat,
pahit dan asam yang rendah. Kualitas citarasa cokelat sangat ditentukan oleh
kondisi penyangraian, khususnya pada waktu dan suhu penyangraian. Senyawa
pembentuk aroma khas cokelat, seperti pirazin, karbonil, dan ester meningkat
secara nyata selama penyangraian dari 35 menit sampai 65 menit pada suhu 140
C (Misnawi, 2005). Hal ini juga diperkuat pendapat dari Sebelum penyangraian,
biji kakao memiliki rasa sepat, pahit, asam dan tanpa ada citarasa khas cokelat.

Biji kakao yang telah disangrai memiliki aroma cokelat khas yang inten dengan
rasa sepat, pahit dan asam yang rendah. Kualitas citarasa cokelat sangat
ditentukan oleh kondisi penyangraian, khususnya pada waktu dan suhu
penyangraian. Senyawa pembentuk aroma khas cokelat, seperti pirazin, karbonil,
dan ester meningkat secara nyata selama penyangraian dari 35 menit sampai 65
menit pada suhu 140 C (Misnawi, 2005).
Tekstur biji kakao utuh setelah dilakukan penyangraian teksturnya rapuh
sedangkan biji kakao yang tanpa di sangrai memiliki tekstur yang cukup rapuh.
Begitu juga dengan biji dibelah tekstur biji yang disnagrai sangat rapuh sedangkan
tanpa penyangraian cukup rapuh. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang
menyatakan Penyangraian (roasting) merupakan pengolahan pendahuluan untuk
semua hasil olahan akhir kakao. Tujuan penyangraian adalah mengembangkan
cita rasa dan aroma khas cokelat, menurunkan kadar air, mematikan mikroba,
menggelembungkan kulit biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat
nib lebih renyah sehingga memudahkan penghancuran dan penghalusan (Wahyudi
dkk, 2008). Pada biji yang dibelah setelah penyangraian memiliki tekstur yang
sangat rapuh dibandingkan dengan bjii utuhsetelah penyangraian hal ini
disebabkan karena tingkat ketebalan dari biji berbeda. Sehingga pada biji yang
telah di belah lebih cepat menyerap panas sehingga semakin banyak panas yang
diserap oleh biji maka tekstur biji akan rapuh.
4.2.2 Pemisahan Kulit.
Berdasarkan data yang diperoleh berat awal biji kakao sebelum dilakukan
pemisahan kulit pada pengulangan pertama sebesar 145 gram. Setelah dilakukan
pemisahan kulit berat nibnya sebesar 95,93 gram sedangkan berat kulit bijinya
sebesar 34,02. Pengulangan ke dua berat biji kakao sebelum dilakukan pemisahan
kulit sebesar 146 gram. Setelah dilakukan pemisahan kulit berat nibnya sebesar
98,79 gram sedangkan berat kulit bijinya sebesar 33,74. Berdasarkan data tersebut
nib lebih banyak dibandingkan kulit biji hal ini sudah sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa proses winnowing menghasilkan rata-rata nib 78-80%, kulit
biiji 10-12% dengan sejumlah kecil lembaga, dan 4% partikel non kakao sebagai
pengotor (Belitz and Grosc, 1999).

Sedangkan menurut ( Mulato 2005 )

menyatakan bahwa Komponen biji kakao yang berguna untuk bahan pangan
adalah daging biji (nib), sedangkan kulit biji merupakan limbah yanng saat ini
banyak dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak

Gambar 4.2 Grafik Efisiensi Pemisahan Kulit


Berdasarkan grafik diatas efisiensi kulit yang terikut setelah proses
pemisahan kulit dilakukan pada pengulangan pertama yaitu sebesar 1,02 %
dimana kulit biji yang terikut sebesar 0,51 gram dengan berat awal biji kakao
sebesar 50 gram. Sedangkan untuk efisiensi kulit yang terikut setelah proses
pemisahan kulit dilakukan pada pengulangan kedua yaitu sebesar 0,96% dimana
kulit biji yang terikut sebesar 0,48 gram dengan berat awal biji kakao sebesar 50
gram. Dilihat dari efisiensi kulit yang terikut dapat dikatakan baik karena idak
melebihi 1,75 %. Proses winnowing memiliki titik kritis untuk dua alasan.
Pertama ialah kemurnian pada produk akhir. Membuat bubuk kakao bebas dari
kulit biji sangat sulit, teknik pemisahan tidaklah sempurna dan batas maksimum
kandungan kulit biji pada bubuk kakao adalah 1,75%. Beberapa industri mampu
menguranginya sampai 1,5%. Yang kedua ialah profitabilitas. Kandungan nib
setelah proses ini haruslah 83-84%, dan mengandung 1-1,75% kulit biji dan kadar
air setelah penyangraian sekitar 1,5-3% tergantung dari derajat penyangraian.
Kehilangan pada proses ini memiliki efek disproporsional pada harga jual kembali
biji (Dand, 1993).

4.2.3 Pemastaan

Gambar 4.3 Grafik Ukuran Partikel Coklat


Berdasarkan

hasil pengamatan diketahui berat pasta pada pemisahan

pertama sebesar 92,02 gram dengan ukuran partikel pasta yang diperoleh sebesar
88 m. Sedangkan pada pemisahan yang ke dua berat pasta sebesar 95,86 dengan
ukuran partikel yang di peroleh sebesar 68,5, sedangkan pasta kakao komersial
memiliki ukuran partikel sebesar 11 m.. Pasta yang dihasilkan dari praktikum
memiliki ukuran 88 m dan 68,5. Pasta hasil praktikum pada pemisahan pertama
dan ke dua tidak sesuai dengan literatur dimana menurut Untuk dapat digunakan
sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib yang semula berbentuk butiran
padat kasar harus dihancurkan sampai ukuran tertentu (<20m ) dan menjadi
bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau penghalusan nib kakao umumnya
dilakukan dengan cara penghancuran untuk merubah biji kakao padat menjadi
pasta dengan kehalusan butiran kurang dari 20 m dengan menggunakan mesin
silinder (Mulato, 2005). Hal ini juga di perkuat dengan pendapat dari (Buckett,
2000)

yang

menyatakan

bahwa

proses

pemastaan

merupakan

proses

penghancuran nib menjadi ukuran tertentu (<20 m) sehingga dapat dihancurkan


menjadi pasta cair kental. Sedangkan ukuran partikel pasta komersial sesuai
dengan literatur yang ada ya itu memiliki ukuran kurang dari 20 m ukuran

parikel komersialyaitu 11 m. Perbedaan kehalusan partikel ini sangat


dipengaruhi oleh efektivitas alat yang digunakan.
4.2.4 Ukuran Partikel

Gambar 4.4 Ukuran Partikel


Penghalusan (refining) sangat diperlukan untuk menghasilkan tekstur
produk cokelat yang bermutu tinggi. Melalui penghalusan yang baik, fraksi
fraksi padat dalam cokelat akan menyebar rata dalam fraksi cair (lemak) dan
potensi aroma, serta cita rasa dan warna khas cokelat tertampakkan (Misnawi dkk,
2008).
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa ukuran partikel pada ball
mil 4 jam diperoleh ukuran partikel sebesar 23 m, pada ball mil 6 jam diperoleh
ukuran partikel 17 m, sedangkan pada ball mil 8 jam diperoleh ukuran partikel
sebesar 13 m. Berdasarkan hasil tersebut sesuai dengan literatur yang
menyatakan Refining (penghalusan/penggilingan) dilakukan untuk mendapatkan
ukuran partikel yang lebih kecil dari bahan padat seperti gula, proses ini akan
membuat tekstur menjadi lebih lembut semakin lama proses pelembutan maka
semakin kecil ukuran partikel coklat yang di hasilkan (Beckett, 2003). Prinsip
kerja yaitu adanya perputaran ball stainless yang ada di dalam Ball Mill, pada saat
diputar antara pasta dan ball stainles akan saling bergesekan sehingga dapat
menghaluskan pasta. Jadi, semakin lama proses pelembutan maka ball stainless

yang saling bergesekan dengan pasta akan semakin sering sehingga membuat
ukuran partikelnya menjadi semakin kecil.
4.2.5 Parameter Tekstur

Gambar 4.5 Grafik Rata-Rata Parameter Tekstur


Parameter tekstur diuji oleh 21 panelis dengan pengujian rangking pada
sembilan sampel yang disediakan, dari 21 panelis yang telah menguji diperoleh
rata-rata untuk sampel 179 dengan perlakuan (suhu tempering 28C dengan
pengadukan (refiner 10 jam) sebesar 4,61. sampel 247 dengan perlakuan ( suhu
tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 10 jam)) sebesar 5,24. Sampel 513
dengan perlakuan (suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 8 jam))
sebesar 4,52. Sampel 681 dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan
suhu 33C (refiner 8 jam)) sebesar 4,2. Sampel 191 dengan perlakuan (suhu
tempering 28C dengan pengadukan (refiner 8 jam) sebesar 4,62. Sampel 715
dengan perlakuan suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 6 jam)
sebesar 4,57. Sampel 916 dengan perlakuan (suhu tempering 28C dengan

pengadukan (refiner 6 jam)) sebesar 4,8 . sampel 427 dengan perlakuan (suhu
tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 6 jam)) sebesar 6. Sampel 831 dengan
perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 10 jam))
sebesar 6,24. Berdasarkan data tersebut menurut panelis sampel kode 681 dengan
perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 8 jam))
menepati urutan rangking pertama yang berarti lebih disukai. Hal ini
dimungkinkan karena perlakuan tempering 28c dan penaikan suhu 33c dimana
menurut literatur menyatakan bahwa suhu 26-280C akan menyebabkan
pembentukan polimorf stabil dan tidak stabil menjadi kristal. Suhu dipertahankan
pada titik ini untuk meratakan pembentukan kristal secara menyeluruh pada
campuran pasta dan untuk pembentukan kristal secara lengkap, selanjutnya suhu
dinaikkan kembali menjadi 30-320C untuk melelehkan semua kristal yang tidak
stabil, dengan melelehkan semua kristal yang tidak stabil maka tekstur coklat
akan menjadi lebih lembut (Faridah, 2008). Perlakuan refiner yang diberikan
selama 8 jam juga mempengaruhi tekstur coklat yang dihasilkan menurut
(Beckett,

2003)

Refining

(penghalusan/penggilingan)

dilakukan

untuk

mendapatkan ukuran partikel yang lebih kecil dari bahan padat seperti gula,
proses ini akan membuat tekstur menjadi lebih lembut semakin lama proses
pelembutan maka semakin kecil ukuran partikel coklat yang di hasilkan. Refining
8 jam sudah termasuk lama dalam proses pemastaan sehingga sudah dihasilkan
tekstur coklat yang lembut.
Pada sembilan sampel yang diuji dengan perlakuan berbeda secara teori
perlakuan suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 10 jam)
seharusnya memiliki tekstur coklat yang paling baik akan tetap panelis lebih
memilih sampel 681 yang lebih baik. Uji organoleptik yang dalam penilaiannya
menggunakan panelis hasilnya tidak pasti benar karena setiap panelis memiliki
tingkat kepekaan yang berbeda dalam menilai maupun menganalisa sesuatu.
Tingkat kepekaan setiap panelis berbeda- beda tergantung dari segi kesehatan,
jenis kelamin (lelaki atau wanita), usia, merokok atau tidaknya panelis, erta
kondisi kejiwaan yang di alami panelis (Kartika, 2010).

4.2.5 Parameter Kenampakan

Gambar 4.6 Grafik Rata-Rata Parameter Kenampakan


Parameter kenampakan diuji oleh 21 panelis dengan pengujian rangking
pada sembilan sampel yang disediakan, dari 21 panelis yang telah menguji
diperoleh rata-rata untuk sampel 179 dengan perlakuan (suhu tempering 28C
dengan pengadukan (refiner 10 jam) sebesar 4,71. sampel 247 dengan perlakuan (
suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 10 jam)) sebesar 4,38. Sampel
513 dengan perlakuan (suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 8 jam))
sebesar 3,19. Sampel 681 dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan
suhu 33C (refiner 8 jam)) sebesar 2,4. Sampel 191 dengan perlakuan (suhu
tempering 28C dengan pengadukan (refiner 8 jam) sebesar 5,62. Sampel 715
dengan perlakuan suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 6 jam)
sebesar 8,1. Sampel 916 dengan perlakuan (suhu tempering 28C dengan
pengadukan (refiner 6 jam)) sebesar 6,76 . sampel 427 dengan perlakuan (suhu
tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 6 jam)) sebesar 4,62. Sampel 831
dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 10
jam)) sebesar 5,01. Berdasarkan data tersebut menurut panelis sampel kode 681
dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 8
jam)) menepati urutan rangking pertama yang berarti lebih diminati. Hal ini
dimungkinkan karena tidak terjadi blooming pada perlakuan tersebut. Blooming

ini dicegah dengan adanya proses tempering 28c dan penaikan suhu 33c pada
perlakuan tersebut menurut (Ketaren, 1986) untuk mencegah terjadinya fat
blooming, dilakukan proses tempering dengan suhu 28c kemudian dengan
dinaikan kembali suhu 33c dan penambahan emulsifier. Proses tempering
dilakukan untuk memperoleh lemak yang stabil.Tempering sangat mempengaruhi
coklat karena jika tempering kurang baik maka dapat menyebabkan coklat
melekat pada cetakan, memiliki warna yang buram serta terbentuk blooming
dikarenakan bentuk kristal lemak pada coklat belum stabil. Sedangkan perlakuan
refaining selama 8 jam menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil sehingga
meminimalisir adanya kristal yang dikehendaki jadi dapat menghasilkan
kenampakan yang lebih baik. Perlakuan pengadukan seharusnya juga berpengaruh
terhadap kenampakn coklat hal ini sesuai literatur yang menyatakan pengadukan
pada proses tempering menimbulkan gaya geser pada pembentukan inti kristal
sehingga mempercepat transformasi kristal dari . Kristal menghasilkan
permukaan cokelat batang yang licin, mengkilap, mencegah blooming (Becket,
2000; Windhab et al., 2002), akan tetapi panelis tidak memilih perlakuan dengan
menggunakan pengadukan pada hasil uji rangking tersebut. Uji organoleptik yang
dalam penilaiannya menggunakan panelis hasilnya tidak pasti benar karena setiap
panelis memiliki tingkat kepekaan yang berbeda dalam menilai maupun
menganalisa sesuatu. Tingkat kepekaan setiap panelis berbeda- beda tergantung
dari segi kesehatan, jenis kelamin (lelaki atau wanita), usia, merokok atau
tidaknya panelis, erta kondisi kejiwaan yang di alami panelis (Kartika, 2010).

4.2.6 Parameter Kecepatan Leleh


Titik leleh cokelat berupa kisaran suhu tertentu saat cokelat mencair
seluruhnya. Titik leleh awal adalah suhu saat terjadi tetesan pertama lemak.
Sedangkan titik leleh akhir adalah suhu saat seluruh lemak telah meleleh
sempurna(Beckett,2008).

Gambar 4.7 Grafik Rata-Rata Parameter Kecepatan Leleh Coklat


Parameter kenampakan diuji oleh 21 panelis dengan pengujian rangking
pada sembilan sampel yang disediakan, dari 21 panelis yang telah menguji
diperoleh rata-rata untuk sampel 179 dengan perlakuan (suhu tempering 28C
dengan pengadukan (refiner 10 jam) sebesar 26,3. sampel 247 dengan perlakuan (
suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 10 jam)) sebesar 31,11. Sampel
513 dengan perlakuan (suhu tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 8 jam))
sebesar 13. Sampel 681 dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan
suhu 33C (refiner 8 jam)) sebesar 29,1. Sampel 191 dengan perlakuan (suhu
tempering 28C dengan pengadukan (refiner 8 jam) sebesar 8,54. Sampel 715
dengan perlakuan suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 6 jam)
sebesar 25,8. Sampel 916 dengan perlakuan (suhu tempering 28C dengan
pengadukan (refiner 6 jam)) sebesar 27,4 . sampel 427 dengan perlakuan (suhu
tempering 28C tanpa pengadukan (refiner 6 jam)) sebesar 28,3. Sampel 831
dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 10
jam)) sebesar 5,01. Berdasarkan data tersebut menurut panelis sampel kode 681

dengan perlakuan (suhu tempering 28C terus dinaikkan suhu 33C (refiner 8
jam)) menepati urutan rangking pertama yang berarti lebih cepat meleleh dimulut.
Tempering yang di lakukan pada perlakuan dapat mempengaruhi tingkat kelelehan
coklat menurut literatur Proses tempering merupakan proses untuk pengaturan
ikatan kristal pada lemak kakao. Setelah pemanasan lemak struktur ikatan masing
terlepas sesuai dengan jenis kristal lemak dan akan membentuk ikatan
polimorphis dan . Bentuk , adalah bentuk yang paling diinginkan oleh
industri kakao karena memiliki titik leleh 29,5-36oC dan paling stabil pada suhu
ruang (Talbot, 1999).
Kecepatan leleh yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh refinasi 8 jam yang
dilakukan pada perlakuan tersebut. Menurut

wahyudi (2008) dengan adanya

pemberian tekanan pada saat pelembutan akan memperbesar luas permukaan.


Dengan demikian semakin lama pelembutan, ukuran partikel yang dihasilkan
semakin halus dan lembek ,pelembutan berlebihan hingga ukuran partikel terbesar
akan menghasilkan tekstur lembek seperti lumpur. Semakin halus ukuran partikel
maka akan menghasilkan tingkat kecepatan leleh di mulut (mouthfell) semakin
cepat. Uji organoleptik yang dalam penilaiannya menggunakan panelis hasilnya
tidak pasti benar karena setiap panelis memiliki tingkat kepekaan yang berbeda
dalam menilai maupun menganalisa sesuatu. Tingkat kepekaan setiap panelis
berbeda- beda tergantung dari segi kesehatan, jenis kelamin (lelaki atau wanita),
usia, merokok atau tidaknya panelis, erta kondisi kejiwaan yang di alami panelis
(Kartika, 2010).

BAB 5. PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Biji kakao yang disangrai memiliki warna biji lebih gelap dari pada tanpa
penyangraian
2.

ketika dibelah warnanya coklat kemerahan, aroma yang

dihasilkan lebih tajam dan khas kakao serta memiliki rapuh.


Efisiensi pemisahan kulit biji kakao menggunakan mesin winnowing
sebesar 1,02% untuk pemisahan yang pertama. Pemisahan yang ke dua

3.

efisiensi sebesar 0,96


Ukuran partikel pasta kakao hasil praktikum lebih besar dibandingkan

4.

dengan ukuran partikel pasta komersial.


Semakin lama proses pelembutan (refining), semakin kecil ukuran

5.

partikelnya.
Uji organoleptik menunjukkan panelis lebih menyukai sampel 681 baik dari

5.2

segi tekstur, kenampakan dan kecepatan lelehnya.


Saran
Proses tempering pada pengolahan coklat menjadi titik kritis yang

menentukan mutu coklat sehingga di perlukan ketelitian dalam penentuan suhu


tempering serta perlu penggunaan waktu praktikum perlu diefisiensikan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Sudibyo, 2008. Pengaruh kondisi penyangraian. Jurnal Riset Industri Vol.2,
Jawa Timur.
Haryadi, 1991. Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Minyak dan Lenak Pangan. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Minifie, B. W, 1999. Chocolate, Cacao, and Consectionery. Avi Publishing
Company, Inc. West Port, Connecticut.
Misnawi, 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat.
Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 21 (3), Jember.
Muctadi,R.

Tien.,

dan

Sugiyono.,

1992.

Petunjuk

Laboratorium

Ilmu

Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mulato, Sri. 2002. Desain Teknologi Pengolahan Pasta, Lemak, dan Bubuk
Coklat untuk Kelompok Tani. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember
Siswoputranto, P.S., 2000. Perkembangan The, Kopi, Cokelat Internasional. PT.
Gramedia, Jakarta
Swarbrick, 1995.Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Andi offset, Yogyakarta.
Tokocsc, 2007. Food Additive Users Handbook. Van Nostrad Renihold, New
York.
Wahyudi, T., Pujiyanto, dan T. R. Panggabean, 2008. Panduan Lengkap Kakao,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Beckett, 2003. Sambung Samping Kakao. Jawa Tengah: Trubus Agriwidya.

Belitz and Grosc, 1999. Food Biochemistry and Food Processing, 2nd Edition.
New York.
Buckett, 2000 Sambung Samping Kakao. Jawa Tengah: Trubus Agriwidya
Dand, D. 1993. The Effect The Shear Rate, Temperature, Sugar, and Emulisifier,
on The Tempering of Cocoa Butter. Journal of Food Engineering. 77 (936942).
Faridah, A., Kasmita, S.P., Yulastri, A., Yusuf, L., 2008. Patiseri, jilid 3,
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta.
Kartika, B., Pudji, H. dan Wahyu, S. 2010. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.
Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan
Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Misnawi, dan J. Selamet. 2008. Cita Rasa, Tekstur, dan Warna Cokelat. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Misnawi. 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat.
Jember: Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 21 (3).
Tokocsc, 2007. Food Additive Users Handbook. New York: Van Nostrad
Renihold.

LAMPIRAN

A. Penyangraian

B. Pemisahan Kulit

C. Pembuatan Coklat

Вам также может понравиться