Вы находитесь на странице: 1из 136

UNIVERSITAS INDONESIA

OPTIMASI CHEMICAL CONDITIONING UNTUK


MENINGKATKAN EFISIENSI DEWATERING LUMPUR
BIOLOGIS IPAL PT. ROHM AND HAAS INDONESIA

SKRIPSI

RIANTI RAHARDJA
0906516096

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
DEPOK
JUNI 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

CHEMICAL CONDITIONING OPTIMIZATION TO ENHANCE


THE DEWATERING EFFICIENCY OF WASTE ACTIVATED
SLUDGE WWTP PT. ROHM AND HAAS INDONESIA

FINAL REPORT

RIANTI RAHARDJA
0906516096

FACULTY OF ENGINEERING
ENVIRONMENTAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
DEPOK
JUNE 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

OPTIMASI CHEMICAL CONDITIONING UNTUK


MENINGKATKAN EFISIENSI DEWATERING LUMPUR
BIOLOGIS IPAL PT. ROHM AND HAAS INDONESIA

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata
satu Teknik Lingkungan

RIANTI RAHARDJA
0906516096

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
DEPOK
JUNI 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

CHEMICAL CONDITIONING OPTIMIZATION TO ENHANCE


THE DEWATERING EFFICIENCY OF WASTE ACTIVATED
SLUDGE WWTP PT. ROHM AND HAAS INDONESIA

FINAL REPORT
Proposed as one of the requirement to obtain the Environmental Engineering
Bachelors Degree

RIANTI RAHARDJA
0906516096

FACULTY OF ENGINEERING
ENVIRONMENTAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
DEPOK
JUNE 2013

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Rianti Rahardja

NPM

: 0906516096

Tanda Tangan

Tanggal

STATEMENT OF AUTHENTICITY

I declare that this final report of one of my own research,


and all of the references either quoted or cited here
have been mentioned properly.

Name

: Rianti Rahardja

Student ID

: 0906516096

Signature

Date

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh

Nama

: Rianti Rahardja

NPM

: 0906516096

Program Studi

: Teknik Lingkungan

Judul Skripsi

: Optimasi Chemical Conditioning untuk


Meningkatkan Efisiensi Dewatering Lumpur
Biologis IPAL PT. Rohm and Haas Indonesia

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik DEA

Pembimbing 2 : Dr. Cindy R. Priadi ST., M.Sc

Penguji 1

: Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono S.E., M.Eng (

Penguji2

: Dr. Nyoman Suwartha ST., MT., MAgr

Ditetapkan di

: Depok

Tanggal

STATEMENT OF LEGITIMATION

The final report submitted by :


Name

: Rianti Rahardja

Student ID

: 0906516096

Study Program

: Environmental Engineering

Thesis Title

: Chemical Conditioning Optimization to


Enhance the Dewatering Efficiency of Waste
Activated Sludge WWTP PT. Rohm and Haas
Indonesia

Has been succesfully defended before the Council Examiners and was
accepted as part of the requirements necessary to obtain a Bachelor of
Engineering degree in Environmental Engineering Program, Faculty of
Engineering, Universitas Indonesia.

BOARD OF EXAMINERS

Advisor 1

: Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik DEA

Advisor2

: Dr. Cindy R. Priadi ST., M.Sc

Examiner 1

: Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono S.E., M.Eng (

Examiner2

: Dr. Nyoman Suwartha ST., MT., MAgr

Defined in

: Depok

Date

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas
kasih karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Program
Studi Teknik Lingkungan pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penulis
menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak,
sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Kedua orang tua penulis yang penulis hormati, atas doa, dukungan moriil dan
materiil yang telah diberikan kepada penulis mulai dari awal hingga akhir
penelitian serta penyusunan laporan skripsi ini;
2. Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik DEA dan Dr. Cindy R. Priadi ST., M.Sc.,
selaku dosen pembimbing yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk memberikan bimbingan, dukungan, dan pengarahan selama
pengerjaan skripsi;
3. Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono S.E., M.Eng dan Dr. Nyoman Suwartha ST.,
MT., Magr., selaku dosen penguji sidang seminar dan skripsi yang telah
memberikan kritik dan saran dalam pengerjaan skripsi;
4. PT. Rohm and Haas Indonesia, terutama Bapak Riswan Sipayung dan Bapak
Yoyo Priyono, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data
yang diperlukan dan memberikan izin untuk melakukan penelitian di PT. Rohm
and Haas Indonesia;
5. Bapak Didin, Bapak Faisal, dan seluruh staff Laboratorium Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Serang, yang telah memberikan izin dan bantuan dalam proses
pengecekan sampel lumpur di Laboratorium BLH Serang;
6. Mba Sri Diah Handayani dan Mba Licka Kamadewi, selaku laboran
laboratorium lingkungan yang telah membantu penulis dalam mempelajari
metode sampling laboratorium dan penelitian pendahuluan sampel lumpur.
7. David Iskandar dan Rinaldi Rahardja, yang telah banyak memberikan
dukungan tenaga, moriil,semangat, dan doa yang sangat berarti bagi kelancaran
pengerjaan skripsi hingga selesai;
8. Sahabat-sahabat Departemen Teknik Sipil 2009 yang selalu memberikan
keceriaan dan semangat selama proses penyusunan skripsi ini;

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah
membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pembuatan skripsi ini.
10.

Akhir kata biarlah Tuhan Yang Maha Esa berkenan

membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu saya selama proses
penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan ke depannya.
11.
12.
13. Depok, Juni 2013
14. Penulis
15.

16. PREFACE

Praise the Almighty God, for the grace of God, the author can finish this
thesis. This thesis is done as one of the requirements to achieve a Bachelor of
Environmental Engineering Program at the Faculty of Engineering, Universitas
Indonesia. The author recognizes that it is very difficult for the author to finish
this thesis without the guidance, assistance, and support from various parties.
Therefore, the author would like to thank the following this parties :
1. Both parents of author, for the prayers, morale and material support that has
been given to the author from the beginning to the end of the study and
preparation of this thesis;
2. Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik DEA and Dr. Cindy R. Priadi ST., M.Sc., as
the supervisor who is willing to take the time, energy, and thought to provide
guidance and support during the thesis;
3. Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono S.E., and Dr. Eng. Nyoman Suwartha ST., MT.,
MAgr., as the examiner of the thesis that has provided criticism and
suggestions in the thesis;
4. PT. Rohm and Haas Indonesia, especially Mr. Riswan Sipayung and Mr. Yoyo
Priyono, who have helped in the effort to obtain the necessary data and giving
permission to conduct research at PT. Rohm and Haas Indonesia;
5. Mr. Didin, Mr. Faisal, and the entire staff of the Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Serang, who has given permission and assistance in the process of
checking the sludge samples in BLH Laboratory Serang;
6. Ms. Sri Diah Handy and Ms. Licka Kamadewi, as the Environmental
Laboratory Assistant who helped me in learning the methods of laboratory
sampling and preliminary research of sludge samples.
7. David Iskandar and Rinaldi Rahardja, who has provided personnel support,
spirit, and prayers mean so much to the continuity of thesis working till it has
been finished;
8. The friends of the Department of Civil Engineering 2009 that always give joy
and enthusiasm during the preparation of this thesis;

9. All parties that cant be mentioned one by one, who helped me directly or
indirectly in the process of making this thesis.
10.

In conclusion, let God Almighty is pleased to repay the

kindness of all those who have helped me during the preparation of this
thesis. Hopefully this paper can be useful for the future development of
science.
11.
12.
13. Depok, June 2013
14. Author
15.

16. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama

: Rianti Rahardja

NPM

: 0906516096

Program Studi : Teknik Lingkungan


Departemen

: Teknik Sipil

Fakultas

: Teknik

Jenis Karya

: Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Optimasi Chemical Conditioning untuk Meningkatkan Efisiensi Dewatering
Lumpur Biologis IPAL PT. Rohm and Haas Indonesia
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini sayabuat dengan sebenarnya.
Dibuat di

: Depok

Pada tanggal :
Yang menyatakan

(Rianti Rahardja)

STATEMENT OF AGREEMENT OF FINAL REPORT PUBLICATION


FOR ACADEMIC PURPOSES
As an civitas academica of Universitas Indonesia, I, the undersigned :
Name

: Rianti Rahardja

Student ID

: 0906516096

Study Program : Teknik Lingkungan


Departement

: Teknik Sipil

Faculty

: Teknik

Type of Work

: Final Report

for the sake of science development, hereby agree to provide Universitas


Indonesia Non-exclusive Royalty Free Right for my scientific work entitled :
Chemical Conditioning Optimization to Enhance the Dewatering Efficiency
of Waste Activated Sludge WWTP PT. Rohm and Haas Indonesia
together with the entire documents (if necessary). With the Non-exclusive Royalty
Free Right, Universitas Indonesia has rights to store, convert, manage in the form
of database, keep and publish mu final report as long as list my name as the author
and copyright owner.
I certified the above statement is true.
Signed at : Depok
Date this :
The Declarer

(Rianti Rahardja)

ABSTRAK

Nama
: Rianti Rahardja
Program Studi : Teknik Lingkungan
Judul Skripsi : Optimasi Chemical Conditioning untuk Meningkatkan Efisiensi
Dewatering Lumpur Biologis IPAL PT. Rohm and Haas
Indonesia
Proses lumpur aktif dalam suatu Instalasi Pengolahan Air limbah (IPAL) dapat
menghasilkan lumpur biologis (WAS) dengan kadar air berkisar 90-99%.
Pengolahan lumpur hingga pembuangannya dapat menghabiskan 60% dari total
biaya operasional IPAL tersebut. Diperlukan proses dewatering untuk mengurangi
kandungan kadar air lumpur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
chemical conditioning lumpur dengan tawas, FeCl3, kapur, dan polielektrolit
kation yang diujicobakan dengan dosis yang berbeda-beda; dengan
memperhatikan kadar air, pH, suhu, volatile solid (VS), dan total solid (TS).
Tawas dengan dosis 18 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33%
menjadi 77,79%. FeCl3 dengan dosis 12 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS
dari 97,33% menjadi 69,60%. Kapur dengan dosis 6,5 gr/L dapat menurunkan
kadar air WAS dari 97,33% menjadi 73,23%. Polielektrolit kation dengan dosis 9
gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33% menjadi 57,30%. Hasil
optimasi chemical conditioning berdasarkan hasil analisis variabel persentase
kadar air, pH, dan kuantitas timbulan lumpur. Conditioner yang paling optimal
pada penelitian di PT. Rohm and Haas Indonesia (RHI) adalah tawas; dengan
dosis optimum sebesar 10 gr/L. Biaya operasional tahunan total pada dosis
tersebut sebesar Rp7.434.136,-, turun dari biaya operasional total tahunan sebelum
adanya chemical conditioning lumpur yang berkisar Rp32.640.000,-. Peningkatan
efisiensi dewatering lumpur melalui chemical conditioning yang dioptimalkan
adalah sebesar 11,74%. Penelitian chemical conditioning lebih lanjut disarankan
untuk menambah parameter capillary suction time (CST) atau specific resistance
of filtration (SRF) lumpur juga agar dapat mengestimasi dewaterability lumpur
dengan lebih baik.
Kata kunci :
chemical conditioning, conditioner, FeCl3, kadar air, kapur, lumpur biologis, pH,
polielektrolit kation, tawas, volatile solid

ABSTRACT

Name
: Rianti Rahardja
Study Program : Teknik Lingkungan
Title
: Chemical Conditioning Optimization to Enhance the Dewatering
Efficiency of Waste Activated Sludge WWTP PT. Rohm and
Haas Indonesia
Activated sludge process in a wastewater treatment plant (WWTP) can produce
biological sludge (WAS) with a water content ranging from 90-99%. Treating
sludge spend up to 60% of the total operational cost of the WWTP. It is necessary
to use dewatering process which useful to the water content of sludge. The
method used in this study are chemical conditioning using alum, FeCl3, lime, and
cationic polyelectrolyte to be tested with different doses; with the parameters of
water content, pH, temperature, volatile solids (VS), and total solids (TS). Alum
dose of 18 g/L able to reduce the WAS water content from 97.33% to 77.79%.
FeCl3 dose of 12 g/L can reduce the WAS water content from 97.33% to 69.60%.
Lime dose of 6.5 g/L can reduce the WAS water content from 97.33% to 73.23%.
Cationic polyelectrolyte dose of 9 g/L can reduce the WAS water content from
97.33% to 57.30%. Chemical conditioning optimization results are taken from the
analysis of some variables : percentage of water content, pH, and the quantity of
sludge generation. Conditioner agent concluded as the most optimal conditioner
for use in PT. Rohm and Haas Indonesia is the alum with optimum dose of 10 g/L
and the total annual operating expenses of Rp7,434,136,-, down from an annual
total operating expenses before any chemical sludge conditioning that range from
Rp32,640,000,-. The efficiency increasing of the sludge dewatering process
through chemical conditioning which has been optimized is 11.74%. Chemical
conditioning further research is recommended to add a parameter capillary suction
time (CST) or the specific resistance of filtration (SRF) in order to estimate the
WAS dewaterability better.
Key words :
chemical conditioning, conditioner, FeCl3, water content, lime, waste activated
sludge, pH, cationic polyelectrolyte, alum, volatile solid

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................v


STATEMENT OF AUTHENTICITY.....................................................................vi
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................vii
STATEMENT OF LEGITIMATION....................................................................viii
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH...............................................ix
PREFACE...............................................................................................................xi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.............................................................xiii
STATEMENT OF AGREEMENT OF FINAL REPORT PUBLICATION FOR
ACADEMIC PURPOSES....................................................................................xiv
ABSTRAK.............................................................................................................xv
ABSTRACT..........................................................................................................xvi
DAFTAR ISI........................................................................................................xvii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xx
DAFTAR TABEL.................................................................................................xxi
DAFTAR GRAFIK..............................................................................................xxii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................3
1.5 Batasan Penelitian......................................................................................4
1.6 Sistematika Penulisan................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................6
2.1 Instalasi Pengolahan Air Limbah...............................................................6
2.1.1 Preliminary Treatment...................................................................6
2.1.2 Primary Treatment (Pengolahan Primer).......................................7
2.1.3 Secondary Treatment (Pengolahan Sekunder)...............................8
2.2 Lumpur.......................................................................................................9
2.2.1 Sumber Lumpur IPAL..................................................................10

2.2.2 Karakteristik Lumpur IPAL.........................................................10


2.3 Lumpur Biologis (Waste Activated Sludge/WAS)...................................13
2.3.1 Karakteristik Lumpur Biologis....................................................13
2.2.3 Kadar Air Lumpur Biologis.........................................................15
2.4 Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment).................................................16
2.4.1 Thickening (Pemekatan Lumpur).................................................17
2.4.2 Stabilisasi.....................................................................................18
2.4.3 Conditioning.................................................................................19
2.4.4 Dewatering...................................................................................19
2.4.5 Pembuangan (Disposal)...............................................................19
2.5 Pengolahan Limbah PT. RHI...................................................................21
2.6 Proses Penurunan Kadar Air dalam Lumpur (Dewatering).....................24
2.7 Chemical Conditioning Lumpur..............................................................26
2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Chemical Conditioning....................29
2.8.1 Agen Pengkondisi (Conditioner).................................................30
2.8.2 Dosis Bahan Kimia(Conditioner)................................................31
2.9 Hasil Penelitian Terdahulu.......................................................................32
BAB 3 METODE PENELITIAN..........................................................................48
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian..............................................................48
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian...................................................................49
3.3 Variabel Penelitian...................................................................................49
3.4 Tahapan Penelitian...................................................................................49
3.4.1 Pengambilan Sampel....................................................................49
3.4.2 Pengujian Pendahuluan................................................................50
3.4.3 Proses Chemical Conditioning Lumpur Biologis........................50
3.4.4 Proses Pengujian Efisiensi Dewatering Sampel...........................51
3.5 Pengolahan dan Analisa Data..................................................................52
3.6 Diagram Alir Penelitian...........................................................................53
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................56
4.1 Proses Chemical Conditioning.................................................................56
4.2 Hasil Percobaan Chemical Conditioning.................................................61

4.2.1 Analisis Pengaruh Conditioner terhadap Kadar Air dan Solid


Lumpur.........................................................................................63
4.2.2 Analisis Pengaruh Kadar Organik terhadap Kadar Air Lumpur. .67
4.2.3 Analisis Perhitungan Optimasi.....................................................69
4.3 Desain Unit Chemical Conditioning Skala Industri PT. RHI..................76
BAB 5 PENUTUP.................................................................................................79
5.1 Kesimpulan..............................................................................................79
5.2 Saran........................................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................81
LAMPIRAN...........................................................................................................86

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.Struktur Extracellular Polymeric Substances (EPS) terlarut (kanan)


dan EPS terikat, Loosely Bound (LB), Tightly Bound (TB) (kiri)...15
Gambar 2.2. Kurva Pengeringan Lumpur..............................................................16
Gambar 2.3. Proses Pengolahan Lumpur...............................................................17
Gambar 2.4. Alur Kegiatan Pengolahan Limbah PT. RHI.....................................21
Gambar 2.5. Denah IPAL PT. RHI (Cilegon Plant)...............................................22
Gambar 2.6. Dua Tote Bekas yang Digunakan (kiri) dan Filter dari Bahan Jeans
(kanan)..............................................................................................24
Gambar 3.1. Kerangka Penelitian..........................................................................48
Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian.....................................................................53
Gambar 4.1. Pengambilan Sampel Lumpur Biologis PT. RHI dari Bak Pengendap
Sekunder (Secondary Clarifier)........................................................56
Gambar 4.2. Percobaan dan Pengecekan Karakteristik Awal Lumpur..................58
Gambar 4.3. Percobaan TS (kiri) dan Hasil Pengecekan TS Lumpur (kanan)......59
Gambar 4.4. Tampak Samping (kiri) dan Tampak Atas (kanan) Bak Chemical
Conditioning.....................................................................................78
Gambar 4.5. Diagram Alir dari Pengolahan Biologis Limbah hingga Proses
Chemical Conditioning Lumpur Biologis........................................78

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sumber Padatan dari WWTP Konvensional.......................................10


Tabel 2.2. Karakteristik Solid dan Lumpur WWTP.............................................11
Tabel 2.3. Komposisi Kimia Lumpur...................................................................12
Tabel 2.4. Dosis Bahan Kimia untuk Beberapa Lumpur.....................................19
(Conditioner dalam Persentase Padatan Lumpur Kering)..................19
Tabel 2.5. Proses Konversi Pembuangan Lumpur...............................................20
Tabel 2.6. Parameter yang Mempengaruhi Proses Dewatering Lumpur.............25
Tabel 2.7. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Metode Conditioning..............26
Tabel 2.8. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Agen Conditioning.................31
Tabel 2.9. Perbandingan Karakteristik Lumpur yang Dikondisikan....................33
Tabel 2.10. Konsentrasi Lumpur dengan Variasi Metode Conditioning................35
Tabel 2.11. Matriks Penelitian Terdahulu..............................................................36
Tabel 3.1

Jadwal Penelitian.................................................................................49

Tabel 3.2

Matriks Penelitian...............................................................................54

Tabel 4.1

Karakteristik Lumpur Baku Awal.......................................................57

Tabel 4.2

Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Tawas..........................61

Tabel 4.3

Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan FeCl3...........................62

Tabel 4.4

Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan CaO.............................62

Tabel 4.5

Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Polielektrolit Kation....63

Tabel 4.6

Skenario 1 - Biaya Total Chemical Conditioning dengan Acuan Kadar


Air 85%...............................................................................................72

Tabel 4.7

Skenario 2 - Biaya Total Chemical Conditioning dengan Acuan


Optimasi Kadar Air dan Timbulan Lumpur Biologis..........................75

DAFTAR GRAFIK

Grafik 2.1. Pengaruh Dosis Tawas terhadap CST dan SRF Lumpur.....................33
Grafik 2.2. Pengaruh Dosis Kapur terhadap CST dan SRF Lumpur.....................34
Grafik 2.3. Pengaruh Dosis Polielektrolit terhadap CST Lumpur.........................34
Grafik 4.1. Pengaruh Conditioner Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur 64
Grafik 4.2. Pengaruh Conditioner FeCl3 terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur..64
Grafik 4.3. Pengaruh Conditioner CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur...65
Grafik 4.4. Pengaruh Conditioner Polielektrolit Kation terhadap Kadar Air dan
Solid Lumpur......................................................................................66
Grafik 4.5. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur ..68
Tren Linear..........................................................................................68
Grafik 4.6. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur ..68
Tren Logaritmik..................................................................................68
Grafik 4.7. Pengaruh Kadar Conditioner terhadap pH Lumpur............................70

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses lumpur aktif (activated sludge) merupakan metode yang paling


sering digunakan untuk pengolahan biologis air limbah, baik domestik maupun
industri. Dalam proses ini, polutan organik dan anorganik ditransformasi menjadi
end-product yang dapat diterima, dan air olahannya dapat dibuang ke badan air
dalam lingkungan. Sejumlah kelebihan lumpur aktif (mengandung kurang lebih
99% air) dihasilkan dalam proses ini. Pengolahan dan pembuangan (disposal) dari
lumpur ini termasuk mahal dan merupakan 60% dari total biaya operasi
Wastewater Treatment Plant (WWTP) (Canales et al., 1994; Low and
Chase.,1999; Wei et al., 2003).
Permasalahan yang sedang banyak dibahas terkait lumpur WWTP saat ini
adalah volumenya yang besar sehingga dapat menghasilkan biaya pembuangan
(disposal) yang besar pula. Sejumlah lumpur dengan volume yang besar tersebut
dihasilkan dari operasi pengolahan air limbah karena kadar air di dalam lumpur
yang juga tinggi. Untuk mengurangi pengeluaran biaya pembuangan (disposal),
WWTP menggunakan berbagai macam proses untuk membantu mengurangi
volume lumpur dengan mengurangi kadar air dalam lumpur (Dynam AC
Corporation, 1999). Sisa lumpur aktif (waste activated sludge) yang berasal dari
pengolahan biologis merupakan hasil samping yang berasal dari proses biologis
activated sludge. Waste activated sludge (WAS) ini biasanya masih memiliki
kadar air sampai 99,2% (Metcalf and Eddy, 2003). Oleh karena itu, proses
dewatering dapat dipertimbangkan sebagai metode yang efektif untuk mengurangi
volume lumpur (Scholz et al., 2005).
Proses dewatering WAS bukan merupakan proses yang mudah. Pada
kenyataannya, dewatering lumpur adalah salah satu proses yang paling mahal dan
sedikit dimengerti dalam suatu pengolahan air limbah. (Liu et al., 2003; Feng et
al., 2009). Kurangnya pengetahuan mengenai dewatering lumpur sebagian besar

disebabkan oleh sifat lumpur yang ada (Liu et al., 2003). Bagian padatan (solid)
dari lumpur biologis disusun oleh sel-sel mikroba dan Extra-cellular Polymeric

Substances (EPS) yang berhubungan satu sama lain antar selnya (Comte et al.,
2007). Kadar EPS yang merepresentasikan kadar organik dalam lumpur biologis
dapat menghambat proses dewatering, karena EPS mengikat sel-sel melalui
interaksi kompleks untuk membentuk struktur jaring-jaring yang luas dengan
sedikit air, yang melindungi sel-sel dari proses dewatering (Wingender et., 1999).
Kadar organik tersebut dapat diukur dengan kadar Volatile Suspended Solid(VSS)
dalam lumpur. Kadar volatile solid (VS) dalam lumpur biologis biasanya sekitar
70-80%. Semakin tinggi nilai VS, maka ekstraksi air dari lumpur akan menjadi
semakin sukar (Hosnani et al., 2010).
Untuk membantu mengurangi kadar air dalam lumpur IPAL, maka
dibutuhkan suatu proses dimana padatan lumpur ditambahkan dengan bahan kimia
atau cara lain untuk mengkondisikan lumpur sebelum masuk dalam proses
dewatering. Kemampuan dewaterability lumpur bergantung pada jenis lumpur,
metode conditioning dan dewatering lumpur. Proses conditioning yang efisien
dapat meningkatkan karakteristik dewatering lumpur dan mendorong pemisahan
flok dari fase liquid untuk mencapai kadar solid yang lebih tinggi (Pan et al.,
2003).
Ketika mempertimbangkan biaya seperti peralatan modal, conditioning
agent (bahan kimia), transportasi dan penanganan conditioning agent, dalam
banyak kasus, terbukti bahwa chemical conditioning menjadi yang paling
ekonomis dan sejauh ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam
pengolahan lumpur. PT. Rohm and Haas Indonesia (PT. RHI) yang memproduksi
emulsi akrilik juga memiliki lumpur biologis dalam jumlah yang cukup besar.
Oleh karena itu, bagaimana pengaruh optimasi chemical conditioning tersebut
terhadap peningkatan efisiensi dewatering lumpur biologis IPAL PT. RHI perlu
diteliti lebih lanjut.

1.2 Perumusan Masalah

Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh conditioner berdasarkan jenis


dan dosisnya terhadap efisiensi proses dewatering lumpur masih sedikit
dilakukan. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan terkait di atas, maka
disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Universitas Indonesia

1.

Bagaimana pengaruh jenis dan dosis conditioner agent dalam proses

2.

peningkatan efisiensi dewatering lumpur IPAL PT. RHI?


Bagaimana proses optimasi dosis dan biaya dari chemical conditioning

3.

dalam mereduksi kadar air lumpur ?


Berapa besaran peningkatan efisiensi

pengeringan

lumpur

dari

penggunaan chemical conditioning yang dioptimalkan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Mengetahui pengaruh jenis dan dosis conditioner agent dalam proses
peningkatan efisiensi dewatering lumpur IPAL PT. RHI.
2. Melakukan optimasi dosis dan biaya dari chemical conditioning dalam
mereduksi kadar air lumpur.
3. Menghitung besaran peningkatan efisiensi pengeringan lumpur dari
penggunaan chemical conditioning yang dioptimalkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang dapat


diperoleh, yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan saran bagi kalangan industri untuk meningkatkan efisiensi
dewatering lumpur biologis yang dihasilkan IPAL industri tersebut, dengan
pemilihan jenis dan dosis bahan kimia yang tepat dalam proses chemical
conditioning. Kalangan industri juga dapat menggunakan hasil penelitian ini
sebagai referensi untuk mengetahui, meninjau, atau bahkan membahas lebih
dalam lagi mengenai efisiensi dewatering lumpur biologis yang dihasilkan.
2. Menjadi landasan untuk acuan bagi kalangan akademisi dan pembaca
lainnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai penelitian tentang
hubungan antara conditioning dengan dewatering lumpur biologis IPAL
selanjutnya, di mana parameter lainnyayang dapat mempengaruhi proses
dewatering lumpur biologis dapat teridentifikasi lebih lanjut seiring dengan
berkembangnya teknologi.

Universitas Indonesia

3. Bagi pemerintah, masyarakat, dan lingkungan, penelitian ini dapat


bermanfaat sebagai salah satu usaha dalam mengurangi kuantitas lumpur
dengan mengurangi kadar airnya sehingga dapat menjadi lebih efisien dalam
pemanfaatan lumpur lanjutannya.

1.5 Batasan Penelitian

Batasan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :


1. Lumpur yang akan digunakan sebagai bahan penelitian adalah lumpur
biologis hasil pengolahan IPAL industri PT. RHI.
2. Parameter yang akan diteliti dan diidentifikasi dari lumpur adalah
efisiensi pengurangan kadar air lumpur. Parameter lain yang perlu
diamati, yang diperkirakan mempengaruhi karakteristik dewatering
lumpur seperti pH, temperatur, volatile solid (VS) dan total solid (TS)
(Karr, 1978).
3. Variabel bebas penelitian berupa jenis bahan kimia sebagai conditioner
agent dan dosisnya yang dibatasi hanya pada beberapa jenis conditioner
agent yang paling umum digunakan dan ingin dibandingkan dalam
optimalisasi chemical conditioning, yaitu ferric chloride (FeCl3), tawas
(Al2(SO4)3), kapur (lime), dan cationic polyelectrolyte (polimer kation).

1.6 Sistematika Penulisan

Secara garis besar, sistematika penulisan tugas akhir ini adalah


sebagai berikut:
BAB 1
PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika
penulisan.

Universitas Indonesia

BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi teori-teori yang mendasari penelitian ini berupa teori
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan topik.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Berisi langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian, mulai dari
kerangka penelitian, hingga penjelasan untuk tiap tahapan penelitian yang
berawal dari pengumpulan data, pengolahan dan analisis mengenai
optimalisasi conditioning yang dilakukan terhadap lumpur biologis IPAL
PT. Rohm and Haas Indonesia (RHI).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil penelitian lapangan berupa data kadar air, pH, suhu, total
solid, dan volatile solid lumpur biologis IPAL PT. Rohm and Haas
Indonesia (RHI). Selain itu, dalam bab ini juga berisi analisis hubungan
antara kadar VS dengan persentase kadar air yang terdapat dalam lumpur,
serta menganalisis optimasi chemical conditioning.
BAB 5
PENUTUP
Berisi kesimpulan hasil penelirian dan beberapa rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya mengenai chemical conditioning.

Universitas Indonesia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Instalasi Pengolahan Air Limbah

Menurut Metcalf & Eddy (2003), bila dilihat dari tingkatan perlakuan
pengolahan maka sistem perlakuan limbah diklasifikasikan menjadi beberapa
tingkat. Tahap tersebut dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengkategorikan
dan melaksanakan pengolahan sesuai dengan beban dan kandungan suatu limbah
cair. Tingkatan pengolahan antara lain adalah preliminary treatment, primary
treatment, secondary treatment, dan tertiary treatment.
2.1.1

Preliminary Treatment
Pada preliminary treatment pengolahan yang dilakukan adalah pengolahan

fisik dengan tujuan untuk menghilangkan padatan anorganik yang terdapat dalam
limbah cair domestik sehingga tidak mengganggu proses pengolahan selanjutnya.
Pengolahan pendahuluan sangat penting sebagai dasar penentu keberhasilan
proses pengolahan selanjutnya. Pengolahan pada tahapan ini biasanya terdiri dari
screening, grit removal, bak ekualisasi, pompa, dan flow measurement.
Penyaringan (screening) merupakan tahap awal pada proses pengolahan air
limbah. Proses ini bertujuan untuk memisahkan potongan-potongan kayu, plastik,
dan benda-benda besar lainnya. Grit chamber dibuat untuk menghilangkan kerikil,
pasir, dan partikel-partikel lain yang dapat mengendap di dalam saluran dan pipapipa serta untuk melindungi pompa-pompa dan peralatan lain dari penyumbatan,
abrasi, dan overloading. Ekualisasi bertujuan untuk mengurangi variasi laju alir
dan konsentrasi limbah cair, agar mencegah pembebanan tiba-tiba (shock load),
dan dapat mengurangi beban dan biaya fasilitas pengolahan yang selanjutnya
(Metcalf, 2003).Terhadap beberapa jenis limbah cair perlu diberikan pengolahan
awal untuk menghilangkan zat pencemar yang tak terbiodegradasi atau beracun,
agar tidak mengganggu proses-proses selanjutnya. Sebagai contoh limbah cair
yang akan ditangani secara biologis harus memenuhi kriteria tertentu yaitu: pH

Universitas Indonesia

antara 6-9; total padatan tersuspensi < 125 mg/L; minyak dan lemak < 15 mg/L;
sulfida < 50 mg/L, dan logam-logam berat umumnya < 1 mg/L (Gunawan, 2006).
2.1.2
2.1.3

Primary Treatment (Pengolahan Primer)


Pengolahan primer merupakan tahap pengolahan awal yang bertujuan

untuk mengurangi material fisik seperti suspended solid dan bahan organik dari
air limbah. Mekanisme penyisihan padatan di dalam pengolahan primer dilakukan
melalui proses fisika yang dapat berupa pengendapan (sedimentation) atau
pengapungan (flotation).
2.1.1.1 Sedimentasi Primer
Tujuan dari pengolahan dengan sedimentasi primer ini adalah untuk
menghilangkan padatan yang dapat mengendap (settleable solids) dan padatan
yang dapat terapung (floatable solids). Tangki pengendapan didesain sedemikian
rupa agar air limbah memiliki kecepatan aliran yang cukup rendah sehingga
memungkinkan padatan untuk mengendap. Bak pengendap primer yang didesain
dan dioperasikan secara efisien dapat menyisihkan 50 hingga 70 persen
suspended solids dan 25 hingga 40 persen BOD (Biochemical Oxygen Demand)
dari dalam air limbah (Metcalf, 2003).
2.1.1.2 Flotasi
Pada proses flotasi, gelembung udara diinjeksikan ke dalam tangki untuk
mengapungkan padatan sehingga mudah disisihkan. Dengan adanya gaya dorong
dari gelembung tersebut, padatan yang berat jenisnya lebih tinggi dari air akan
terdorong ke permukaan. Demikian pula halnya dengan padatan yang berat
jenisnya lebih rendah daripada air. Hal ini merupakan keunggulan teknik flotasi
dibanding pengendapan karena dengan flotasi, partikel yang ringan dapat
disisihkan dalam waktu yang bersamaan (Metcalf, 2003).
2.1.1.3 Koagulasi dan Flokulasi
Untuk meningkatkan kemampuan pengendapan, ada kalanya dilakukan
proses penambahan bahan kimia sebelum air limbah memasuki tangki
Universitas Indonesia

pengendapan. Penambahan bahan kimia ini akan menghasilkan flok yang


memiliki berat jenis lebih besar sehingga padatan lebih mudah diendapkan. Proses
tersebut dinamakan proses koagulasi dan flokulasi.
Menurut Metcalf (2003), koagulasi adalah proses destabilisasi partikel
koloid sehingga pertumbuhan partikel akibat adanya tumbukan antar partikel,
yang terjadi melalui pengadukan cepat serta ditambahkan bahan kimia berupa
koagulan sebagai destabilisatornya. Flokulasi adalah pengadukan secara lambat
untuk

menggabungkan

partikel-partikel

koloid

yang

telah

mengalami

destabilisasi, sehingga terbentuk flok yang dapat dengan mudah terendapkan.


2.1.4

Secondary Treatment (Pengolahan Sekunder)


Pengolahan limbah secara biologis adalah pengolahan air limbah dengan

memanfaatkan mikroorganisme atau bakteri untuk mendegradasi polutan organik.


Dalam sistem pengolahan limbah cair, pengolahan biologis dikategorikan sebagai
pengolahan tahap kedua (secondary treatment), melanjutkan sistem pengolahan
secara fisik sebagai pengolahan tahap pertama (primary treatment). Bagi
pengolahan air limbah industri, tujuan dari pengolahan biologis adalah untuk
mengurangi konsentrasi komponen organik dan anorganik limbah (Metcalf, 2003).
Berdasarkan kebutuhan oksigennya, jenis pengolahan biologis terdiri dari
3 macam yaitu proses aerobik, proses anoxic, dan proses anaerobik. Berdasarkan
pola pertumbuhan mikroba, pengolahan biologis terdiri atas 2 jenis, yaitu (1)
sistem dengan pola pertumbuhan tersuspensi (suspended growth) dan (2) sistem
dengan pola pertumbuhan terlekat (attached growth). Proses aerobik yang
merupakan suspended microorganism growth adalah proses pengolahan berikut
activated sludge (CSTR), extended aeration, oxydation ditch, sequencing batch
reactor, dan aerated lagoon. Sementara contoh proses aerobik yang merupakan
attached microorganism growth adalah tricling filter dan Rotating Biological
Contactor (RBC).
Sistem pengolahan biologis yang paling banyak digunakan oleh industri
adalah sistem lumpur aktif konvensional. Sistem ini merupakan proses untuk
pengolahan air limbah menggunakan udara dan flok biologis yang terdiri dari
bakteri. Dalam prosesnya, mikroorganisme dicampur secara merata dengan
Universitas Indonesia

organik sehingga dapat tumbuh dan menstabilkan organik. Mikroorganisme


tumbuh

dan

dicampur

dengan

pengadukan

udara,

organisme

individu

menggumpal bersama menjadi bentuk massa aktif flok mikroba yang disebut
activated sludge atau lumpur aktif. Kombinasi massa air limbah dan biologis
umumnya dikenal sebagai mixed liquor. Dalam semua sistem lumpur aktif,
setelah air limbah telah menerima perawatan yang mencukupi, kelebihan mixed
liquor (WAS) dibuang ke bak pengendap sekunder dan supernatan dilimpaskan
untuk menjalani perawatan lebih lanjut sebelum dibuang. Proses dekomposisi
materi biodegradable secara aerob memiliki waktu detensi hidrolis sebesar 4-36
jam. Waktu ini memungkinkan untuk terjadinya kontak antara mikroorganisme
dengan air limbah sehingga akan tercipta proses dekomposisi. Removal efficiency
dari unit ini adalah 80-85% untuk BOD5 dan COD, 80-90% untuk TSS, 10-25 %
untuk fosfat, 60-85% untuk nitrogen organik, dan 8-15% untuk nitrogen dalam
bentuk amoniak.

2.2Lumpur

Berdasarkan perspektif pengolahan berbasis lumpur, maka ada 3 jenis


bentuk limbah, yaitu sebagai berikut (US EPA, 1999) :

Liquid (air limbah) : kadar TS (Total Solid) antara 0% - 1%

Sludge (lumpur) : kadar TS (Total Solid) antara 1% - 50%

Solid (padatan) : kadar TS (Total Solid) antara 50% - 100%

Dari kadar solid di atas, maka lumpur didefinisikan sebagai zat sisa
(residu), berupa material semi-solid yang berasal dari proses pengolahan limbah.
Menurut Manahan (1994), ada 2 jenis lumpur yang dihasilkan dalam pengolahan
air limbah. Yang pertama adalah lumpur organik yang berasal dari lumpur aktif
(activated sludge), trickling filter, RBC, atau pengolahan biologis lainnya. Yang
kedua adalah lumpur anorganik yang beraal dari penambahan bahan kimia dan
pengolahan secara kimiawi. Lumpur dapat menimbulkan gangguan lingkungan
yang lebih berbahaya dari air limbah mengingat bahwa:

Lumpur mengandung pencemar yang lebih terkonsentrasi

Universitas Indonesia

10

Lumpur tetap memiliki kandungan air yang tinggi

Lumpur dapat mengandung jenis pencemar baru yang tidak terkandung


sebelumnya di dalam air limbah akibat dari penambahan bahan kimia
dan dari peruraian senyawa yang terkandung dalam lumpur.

2.2.1

Sumber Lumpur IPAL


Sumber solid dalam pengolahan limbah sangat bervariasi berdasarkan jenis

pabrik dan metode operasinya (Metcalf, 2003). Jenis solid atau padatan yang ada
di dalam suatu sistem pengolahan air limbah adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Sumber Padatan dari WWTP Konvensional
Unit Operasi
Jenis Padatan
Keterangan
dan Proses
Padatan kasar dihilangkan dengan alat
Screening
padatan kasar
mekanis dan bar screen
grit (pasir),
Fasilitas penghilang scum seringkali
Grit Removal
scum (buih)
ditiadakan pada fasilitas grit removal
Pra-aerasi

grit (pasir),
scum (buih)

Di beberapa IPAL, fasilitas penghilang scum


tidak disediakan pada tank pra-aerasi

Sedimentasi
Primer

solid primer,
scum (buih)

Pengolahan
Biologis

solid
tersuspensi

Sedimentasi
Sekunder

biosolid,
scum (buih)

Kuantitas solid dan scum bergantung pada


keadaan sistem pengumpul
Solid tersuspensi diproduksi dari konversi
biologis BOD. Beberapa bentuk thickening
mungkin dibutuhkan untuk
mengkonsentrasikan aliran lumpur dari sistem
pengolahan biologis
Fasilitas penghilang scum dari bak pengendap
sekunder adalah persyaratan dari US EPA

Fasilitas
Pemroses
Solid

solid,
kompos, abu

Karakteristik produk akhir bergantung pada


karakteristik solid yang diolah, dan unit
proses dan operasi yang digunakan

Sumber : Metcalf (2003)

2.2.2

Karakteristik Lumpur IPAL


Menurut Metcalf dan Eddy (1991), untuk mengolah dan membuang

lumpur yang dihasilkan dari WWTP (Wastewater Treatment Plant) dengan cara
yang efektif, sangat penting untuk mengetahui karakteristik padatan (solid) dan
lumpur yang akan diproses. Karakteristik tersebut bervariasi bergantung pada asal

Universitas Indonesia

11

padatan dan lumpur, waktu penuaan lumpur, dan jenis pengolahan lumpur
sebelumnya. Menurut Metcalf (2003), karakteristik solid dan lumpur yang
dihasilkan selama pengolahan dalam WWTP adalah sebagai berikut :

Universitas Indonesia

12

Tabel 2.2. Karakteristik Solid dan Lumpur WWTP


Solid atau Lumpur
Deskripsi Karakteristik Lumpur
Semua jenis bahan organik dan anorganik yang dapat
Screening
dihilangkan dengan bar rack
Biasanya terdiri dari solid anorganik yang lebih berat yang
dapat mengendap dengan kecepatan yang relatif tinggi

Grit

Scum/lemak

Lumpur Primer

Lumpur dari
Presipitasi Kimia

Lumpur Aktif (WAS)

Lumpur Trickling
Filter

Digested biosolid
secara aerobik
Digested biosolid
secara anaerobik

Material mengapung yang diambil dari permukaan bak


pengendap primer, bak pengendap sekunder, grit chamber, dan
bak kontak klorinasi, jika ada peralatan penangkap scum-nya
Lumpur dari bak pengendap primer biasanya berwarna abuabu dan berlendir, pada umumnya memiliki bau yang
menyengat
Lumpur dari presipitasi kimia dengan garam logam biasanya
berwarna gelap, walaupun mungkin permukaannya ada yang
berwarna merah jika mengandung besi. Lime sludge (lumpur
kapur) berwarna abu kecoklatan. Baunya juga agak
menyengat, namun tidak sebanding dengan bau lumpur
primer. Lumpur kimia agak berlendir, namun hidrasi dari
garam besi atau garam aluminium membuatnya seperti agaragar
Lumpur aktif biasanya berupa flokulan kecoklatan. Jika
warnanya gelap, berarti lumpur dalam keadaan septic (bakteri
mati). Jika warnanya terang, artinya lumpur masih dalam
proses aerasi dengan kecenderungan solid mengendap
perlahan. Lumpur dalam kondisi yang baik cenderung
memiliki bau seperti tanah biasa, dan dalam kondisi septic
berbau busuk
Lumpur humus dari trickling filter berupa flokulan coklat dan
relatif tidak mengganggu ketika lumpur masih segar, pada
umumnya terdekomposisi paling lambat di antara semua
lumpur baku lainnya.
Berupa flokulan kecoklatan atau coklat tua, dan tidak memiliki
bau yang menyengat. Lumpur yang diolah dengan baik dalam
aerobic digester dapat dikeringkan dengan mudah pada drying
beds
Berwarna coklat tua atau hitam dan mengandung banyak gas.
Lumpur primer yang diolah menghasilkan 2 kali lebih banyak
gas metana dibandingkan dengan WAS yang diolah

Kompos

Biasanya berwarna coklat tua hingga hitam, dan tidak berbau


menyengat

Sumber : Metcalf (2003)

Universitas Indonesia

13

Data mengenai komposisi kimia dari lumpur baku, termasuk nutrien,


penting dipertimbangkan pula dalam menentukan pembuangan akhir lumpur dan
zat cair dari lumpur selama proses tersebut. Pengukuran pH, alkalinitas, dan kadar
asam organik berperan penting dalam proses pengontrolan dalam proses
anaerobic digestion. Kadar logam berat, pestisida, dan hidrokarbon harus
ditentukan saat metode insinerasi dan aplikasi lahan akan diterapkan sebagai
pembuangan lumpur. Kadar energi (kalor) lumpur penting jika proses reduksi
kalor (thermal) seperti insinerasi akan digunakan. Berikut ini adalah komposisi
kimia dari beberapa jenis lumpur menurut Metcalf (2003) :
Tabel 2.3. Komposisi Kimia Lumpur
Lumpur Primer

Parameter

Range
5-9
60-80

Tipikal
6
65

Range
2-5
30-60

Tipikal
4
40

0,8-1,2
59-88

6-30
7-35
20-30
1,5-4
0,8-2,8

25
2,5
1,6

5-20
15-20
1,6-3,0
1,5-4,0

18
18
3,0
2,5

5-12
32-41
2,4-5
2,8-11

0-1
8-15
2,0-4,0
15-20
5,0-8,0

0,4
10
2,5
6,0

0-3,0
8-15
3,0-8,0
10-20
6,5-7,5

1,0
10
4,0
7,0

0,5-0,7
6,5-8,0

500-1500

600

2500-2500

3000

580-1100

200-2000

500

100-600

200

1100-1700

23.000-29.000

25.000

9000-14.000

12.000

19.000-23.000

Total dry solids (TS), %


Volatile solid (% of TS)
Minyak dan lemak,
% of TS
Ether terlarut
Ether ekstrak
Potein (% of TS)
Nitrogen (N, % of TS)
Phosporus (P2O5, % of TS)
Potash (K2O, % of TS)
Selulosa (% of TS)
Besi (sulfida)
Silika (SiO2, % of TS)
pH
Alkalinitas
(mg/L as CaCO3)
Asam organik
(mg/L as HAc)
Kadar energi (kJ TS/kg)

Waste
Activated
Sludge

Digested Activated
Sludge

Sumber : Metcalf (2003)

Universitas Indonesia

14

2.3Lumpur Biologis (Waste Activated Sludge/WAS)

Lumpur aktif (AS) adalah campuran dari partikel, mikroorganisme, koloid,


polimer organik, dan kation di mana komposisi nya bergantung pada sumber
sampel dan waktu pengambilan sampel (Nguyen, 2008).
2.3.1

Karakteristik Lumpur Biologis


Karakteristik lumpur biologis yang perlu ditinjau di dalam proses

conditioning adalah sebagai berikut :

pH
Konsentrasi ion hidrogen merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kecepatan reaksi biokimia (Sawyer, 2003).

Temperatur
Dalam pengolahan lumpur aktif, temperatur mempengaruhi (1) laju degradasi
senyawa, (2) laju pemindahan oksigen, dan (3) kelarutan oksigen.

Total Suspended Solid (TSS)

Volatile Suspended Solid (VSS)


Bagian zat organik dalam lumpur yang dihasilkan dari WWTP, pada

umumnya diukur sebagai VSS (Volatile Suspended Solid), yang sebagian besar
disusun oleh tiga bagian partikulat, yaitu biomassa aktif (X H heterotrophic dan XA
autotrophic), bagian non-biodegradable influent (XU) dan residu yang diproduksi
oleh respirasi endogen (XE). Proporsi komponen VSS sebagian besar bergantung
pada solid retention time (SRT) sistem dan kadar XU dari influent (Ramdani,
2010). Matrix VSS sebagian besar disusun oleh extracellular polymeric
substances (EPS) yang berasal dari berbagai macam proses mikroba
(mikroskopik), terutama pertumbuhan biomassa, lisis, dan penggunaan substrat
(Laspidou dan Rittmann, 2002; Liu and Fang, 2003; Raszka et al., 2006).
Extracellular Polymeric Subtances (EPS) merupakan campuran berat
molekul tinggi yang kompleks dari polimer yang dihasilkan oleh mikroorganisme,
diproduksi dari hasil lisis sel dan zat organik yang teradsorbsi dari air limbah. EPS
merupakan komponen utama dari kumpulan (agregat) mikroba untuk menjaga

Universitas Indonesia

15

agar agregat mikroba tersebut tetap berada dalam bentuk (matrix) tiga dimensi
(Sheng, 2010).
Dalam sistem pengolahan air limbah secara biologis, pada umumnya
mikroorganisme hadir dalam bentuk agregat mikroba, seperti flok lumpur,
biofilm, dan butiran (granula). EPS (campuran polimer dalam berat molekul yang
tinggi), memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada karakteristik fisik-kimia
dari agregat mikroba, termasuk pada struktur, muatan permukaan, flokulasi, sifat
pengendapan, sifat pengeringan (dewatering), dan kemampuan adsorbsi. EPS
mengikat sel-sel melalui interaksi kompleks untuk membentuk struktur jaringjaring yang luas dengan sedikit air, yang melindungi sel-sel dari proses
dewatering (Wingender et., 1999) dan bahaya zat beracun (Sutherland, 2001).
Bagian dari EPS dapat berperan sebagai karbon atau sumber energi pada kondisi
kekurangan nutrien (Sutherland, 2001; Zhang dan Bishop, 2003). Bagian tersebut
juga mempercepat pembentukan agregat mikroba melalui ikatan sel yang kuat
(Liu e al., 2004).
EPS ada di luar sel-sel dan di dalam agregat mikroba. Wingender et al.
(1999) menggunakan singkatan EPS sebagai istilah yang lebih umum dan
komprehensif untuk merepresentasikan jenis-jenis makromolekul yang berbedabeda, seperti polisakarida, protein, asam nukleat, lemak (lipid), dan komponen
polimer lainnya yang ada dalam interior berbagai macam agregat mikroba.
Nielsen dan Jahn (1999) mengusulkan bahwa semua polimer di luar dinding sel,
yang tidak sampai ke membran luar atau lapisan protein-murein, adalah termasuk
EPS. Beberapa zat organik dari air limbah juga dapat teradsorbsi ke dalam matrix
EPS (Nielsen dan Jahn, 1999; Liu dan Fang, 2003). Bentuk EPS yang ada di luar
sel-sel dapat dibagi menjadi EPS terikat dan EPS terlarut (makromolekul terlarut,
koloid, dan lendir). EPS terikat terdiri dari selubung, polimer kapsuler, gel kental,
polimer terikat renggang (Loosely Bound/LB), dan zat organik yang terikat
(Tightly Bound/TB)(Nielsen dan Jahn 1999; Laspidou dan Rittmann, 2002).
Karbohidrat dan protein biasanya merupakan komponen utama dalam EPS.
Substansi humic juga merupakan komponen penting EPS dari lumpur biologis,
yang dapat mencapai 20% dari jumlah keseluruhan (Frolund et al., 1995).

Universitas Indonesia

16

Gambar 2.1.Struktur Extracellular Polymeric Substances (EPS) terlarut (kanan)


dan EPS terikat, Loosely Bound (LB), Tightly Bound (TB) (kiri)
Sumber : Nielsen dan Jahn, 1999

2.2.3

Kadar Air Lumpur Biologis


Berdasarkan pengelompokan Vesilind (1990), air di dalam lumpur (sludge)

dapat dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut :

Air bebas (bulk/free water) air yang tidak berhubungan dengan partikel
solid/padatan termasuk void water tidak berhubungan dengan gaya
kapilaritas.

Air celah (interstitial water) air yang terperangkap di dalam celah dan
ruang kosong antara flok dan mikroba.

Air pemukaan (surface/vicinal water) air yang ada dipermukaan partikel


melalui proses adsorpsi dan adhesi, misalnya dengan ikatan hidrogen.

Air hidrasi/terikat (bound water) air yang secara kimiawi terikat dengan
struktur partikel yang dapat dihilangkan hanya dengan pemanasan termal
(thermal drying).
Di dalam literatur, air dalam lumpur juga dapat dibagi menjadi 2 kategori

besar, yaitu bulk water dan bound water. Dalam kasus ini, bound water adalah air
yang belum dihilangkan dengan peralatan mekanik (Gordon, 2011).

Universitas Indonesia

17

Gambar 2.2. Kurva Pengeringan Lumpur


Sumber : Chun, 2004

Dari grafik di atas, terlihat bahwa proses pengeringan lumpur dibagi


menjadi periode laju konstan (A-B), periode laju menurun primer (B-C), dan
periode laju menurun sekunder (C-D). Kadar air yang dihilangkan selama proses
periode laju konstan, periode laju menurun primer, dan periode laju menurun
sekunder adalah air bebas (free water), air celah (interstitial water), dan air
permukaan (surface water). Kadar air sisa yang berada dalam tahap keseimbangan
(equilibrium) adalah air terikat (bound water). Chun (2004) mengatakan bahwa
membedakan titik kadar air kritis antara periode laju konstan dan periode laju
menurun adalah suatu hal yang sukar. Oleh karena itu, untuk menambah efisiensi
pengeringan lumpur, panjang periode laju konstan harus dipertahankan dan dijaga
dengan penambahan luas permukaan spesifik, yaitu dengan cara mengubah bentuk
cake lumpur menjadi bentuk partikel (Chun, 2004).

2.4Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)

Universitas Indonesia

18

Proses pengolahan lumpur bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam


lumpur dan menghilangkan bahan-bahan organik yang masih terkandung dalam
lumpur. Reynolds dan Richards (1996) menjelaskan bahwa proses pengolahan
lumpur yang tersedia untuk mengolah lumpur dapat di kategorikan ke dalam 5
proses, yaitu seperti pada gambar berikut :

Thickening : Stabilisasi :
Conditioning :
- Gravity
- Oksidasi
- Chemical
Lumpur masuk
- Flotation - Stabilisasi dengan lumpur
- Elustristion
- Configuration
- Pengeraman Aerobik - Pemanasan
- Pengeraman Anaerobik

Dewatering :
- Vacuum Filter
- Filter Press
- Belt Press
- Centrifugation
- Drying Bed

Disposal :
- Land Application
- Composting
- Recalcination
- Landfilling

Gambar 2.3. Proses Pengolahan Lumpur


Sumber : Reynolds (1996)

Bagian penanganan lumpur bertugas untuk menangani lumpur endapan


yang dihasilkan oleh bagian penanganan limbah cair. Tujuannya agar kadar air
lumpur dapat dikurangi sampai serendah-rendahnya. Tujuan lainnya adalah untuk
menstabilkan organik terurai yang masih terkandung dalam lumpur. Sebelum
kering dan stabil, lumpur tidak boleh dibuang ke lingkungan karena masih dapat
menimbulkan dampak merugikan.
Walaupun terdapat beberapa tahapan pengolahan lumpur, bukan berarti
setiap tahap memerlukan satu unit pengolah lumpur tertentu. Ada satu unit
pengolah lumpur yang memiliki kemampuan beberapa tahapan pengolahan.
Beberapa

unit

pengolahan

lumpur

juga

mensyaratkan

adanya

proses

pengkondisian lumpur (conditioning) agar proses pengolahannya optimal.


Mikkelsen (2002) mendefinisikan penanganan lumpur yang optimal sebagai
proses yang mencapai (1) jumlah lumpur yang sedikit untuk pembuangan
(disposal), dengan massa padatan yang rendah dan kadar padatan kering yang
tinggi dari cake lumpur yang telah dikeringkan, (2) laju dewatering yang tinggi,
dan (3) dosis conditioner yang rendah (untuk chemical conditioning).

Universitas Indonesia

19

2.4.1

Thickening (Pemekatan Lumpur)


Menurut Qasim (1985), proses thickening lumpur digunakan untuk

mengkonsentrasikan padatan dalam lumpur dan mengurangi volume lumpur.


Lumpur yang telah dipekatkan membutuhkan kapasitas tank yang lebih sedikit
dan dosis bahan kimia yang lebih sedikit untuk stabilisasi, serta membutuhkan
peralatan pemompaan dan pemipaan yang lebih sedikit dalam hal transportasi
lumpur. Pada umumnya metode pemekatan lumpur yang biasanya digunakan pada
WWTP skala medium maupun skala besar adalah sebagai berikut :

Gravity thickening
Suatu gravity thickener didesain berdasarkan prinsip beban permukaan hidrolik
dan solid loading. Prinsip desain gravity thickener serupa dengan bak
sedimentasi. Lumpur yang tebal dengan Sludge Volume Index (SVI)
membutuhkan laju pembebanan yang lebih rendah. Penggunaan bahan kimia
seperti lime atau polielektrolit juga memungkinkan laju pembebanan yang
tinggi. Waktu detensi minimum dan volume lumpur dibagi menjadi jumlah
lumpur

yang

dihilangkan

per

hari

(yang

merepresentasikan

waktu

pengumpulan lumpur di dalam selimut lumpur) biasanya kurang dari 2 hari.

Dissolved air flotation


Thickening flotasi menyebabkan padatan lumpur naik ke permukaan di mana
padatan tersebut dikumpulkan. Mekanisme tersebut dilakukan menggunakan
proses flotasi udara terlarut. Proses ini cocok untuk pengolahan lumpur aktif
yang memperoleh kadar padatan sekitar 4% atau lebih.

Sentrifugasi

2.4.2

Stabilisasi
Qasim (1985) mengatakan bahwa tujuan utama dari stabilisasi lumpur

adalah untuk mengurangi jumlah patogen dalam lumpur, menghilangkan bau


menyengat yang mengganggu, dan mengontrol potensi terjadinya pembusukan
oleh material organik. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan cara biologis,
fisik, dan kimiawi. Pemilihan metode stabilisasi bergantung pada metode
pembuangan (disposal) lumpur. Jika lumpur akan dikeringkan atau diinsinerasi,
maka prosedur stabilisasi tidak perlu dilakukan, namun jika lumpur akan
Universitas Indonesia

20

digunakan sebagai aplikasi pada lahan maka stabilisasi diperlukan untuk


mengontrol bau dan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan dengan metode
anaerobic digestion dan aerobic digestion yang paling sering digunakan.
2.4.3

Conditioning
Conditioning merupakan proses pengolahan lumpur secara kimia atau fisik

untuk meningkatkan penghilangan air dari lumpur. Proses conditioning

pada

umumnya dapat dilakukan dengan metode kimiawi (chemical conditioning) atau


dengan metode fisik (biasanya heat conditioning). Bahan kimia dapat digunakan
untuk meningkatkan dewaterability lumpur dengan bertindak sebagai koagulan.
Berikut ini adalah contoh rentang dosis bahan kimia untuk beberapa jenis lumpur :
Tabel 2.4. Dosis Bahan Kimia untuk Beberapa Lumpur
(Conditioner dalam Persentase Padatan Lumpur Kering)
Digested
Padatan Baku
Sludge(g/kg dry
Deskripsi
(g/kg dry sludge)
sludge)
FeCl3
CaO
FeCl3
CaO
Primer
1-2
6-8
1,5-3,5
6-10
Primer dan Trickling Filter
2-3
6-8
1,5-3,5
6-10
Primer dan WAS
1,5-2,5
7-9
1,5-4
6-12
WAS (90-99%)
4-6
Sumber : Guyer (2011)

2.4.4

Dewatering
Proses dewatering berguna untuk mengurangi kadar air dalam lumpur

sehingga lumpur menjadi lebih mudah dibuang (disposal). Tujuannya adalah


untuk mencapai kadar air 60-80%, bergantung pada metode pembuangannya
(disposal).
2.4.5

Pembuangan (Disposal)
Semua proses pengolahan lumpur yang telah dibahas di atas memiliki

tujuan yang sama, yaitu untuk proses pembuangan sampah (disposal) utama yang
baik. Praktek pembuangan lumpur yang diakui adalah (1) proses konversi, seperti

Universitas Indonesia

21

insinerasi, oksidasi basah, pirolisis, komposting, dan (2) land disposal (aplikasi
lahan dan landfilling).
Tabel 2.5. Proses Konversi Pembuangan Lumpur
Pembuangan
Rekomendasi
Persyaratan Proses
Proses Konversi
dari residu
Pre-treatment
Tambahan
lainnya
Thickeningda
n dewatering

Insinerasi

Ya

Landfilling abu (ash)


Pemisahan abu,
pengolahan cairan yang
dikembalikan (returned
liquid), landfilling abu
Pemanfaatan produk
samping (gas, cair,
karbon), pembuangan
residu
Perolehan kembali lime,
landfilling abu

Oksidasi basah

Thickening

Tidak

Pyrolysis

Thickening

Tidak

Recalcining

Thickeningda
n dewatering

Tidak

Komposting
dengan heat
drying

Thickeningda
n dewatering

Tidak

Pemanfaatan atau
penjualan kompos

Komposting
dengan mikroba

Thickening,
digestion, dan
dewatering

Tidak

Pemanfaatan atau
penjualan kompos

Sumber : Qasim (1985)

Universitas Indonesia

22

2.5Pengolahan Limbah PT. RHI

PT. Rohm and Haas Indonesia yang berada di kota Cilegon merupakan
pabrik yang memproduksi emulsi akrilik (acrylic) dengan proses batch. Bahan
baku yang digunakan dalam proses produksi ini adalah buthyl acrylate, ethyl
acrylate, methyl acrylate, glacial acrylate acid, glacial methacrilyc acid, dan
stryrene. Beberapa peralatan utama untuk memproduksi emulsi akrilik adalah
MET (Monomer Emulsion Tank), reaktor, drain tank, storage tank, dan drumming
machine (mesin pengepakan). Secara umum, kegiatan pengolahan air limbah
sejauh ini yang ada di dalam PT. RHI dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut :

Sampel diambil dan ditest pada lab yang sudah terakreditasi (PT Unil
Outlet: WWTP
Titik penaatan
Outlet Out Plant
Outlet
Limbah
cair WWTP
Outlet out plant
Limbah yang dihasilkan
Boiler sampling emisi
Scrubber sampling emisi
Limbah gas

Boiler
Scrubber

Diserahkan pada perusahaan yang memiliki izin sebagai pengumpul, pengola


Limbah padat

Disimpan di TPS B3

Gambar 2.4. Alur Kegiatan Pengolahan Limbah PT. RHI


Sumber : PT. RHI, 2012

Universitas Indonesia

23

Denah IPAL secara keseluruhan dari PT. RHI (Cilegon Plant) adalah
sebagai berikut :

MET

ST

DT

RX

DM

LAB WW Pit
2

Filter Cleaning

White Water Pit


FP

UF

aning drum ex chemicals, boiler, CW


monomer tank
1 system,
1
pH pit

Neutralizer (H+/OH-)

Lagoon

AB 1

*
*
*
*

AB 2

Recycle

LAB

Cake

TCS

PPLI

WW 30-35% solid
Sale or PPLI

blower air
Bacteria/AS
Urea (N source)
Posphate (P source)

SP

Outlet to Public Sewer

Sludge TSS/drum

PPLI

Keterangan :

TCS = Temporary Cake Storage


MET = Monomer Emulsion Tank
DI = De-ionized
RX = Reactor
CW = Cooling Water
DT = Drain Tank
AB = Aeration Basin
ST = Storage Tank
SP = Settling Pond
DM = Drumming Machine
TSS = Temporary Sludge Storage
UF = Ultra Filtration (tidak digunakan lagi)1 = Clean wastewater
FP = Filter Press
2 = White water

Gambar 2.5. Denah IPAL PT. RHI (Cilegon Plant)


Sumber : PT. RHI, 2012

Limbah cair IPAL PT. RHI memiliki suhu sekitar 26-30oC, dan pH yang
cukup netral sekitar 7-7,5 (sumber : Laporan Hasil Pengujian PT.Unilab Perdana,
2005). Secara umum, jenis limbah cair dari gambar 2.5 digolongkan ke dalam 2
jenis, yaitu :
a. Limbah cair bersih (clean wastewater)
Limbah cair bersih adalah limbah cair yang berwarna bening dan sangat
sedikit mengandung solid tersuspensi. Limbah ini berasal dari pembersihan
tangki MET, pembersihan drum-drum bekas bahan kimia, regenerasi demin
unit, blowdown boiler, dan cooling water serta tumpahan dari area monomer
Universitas Indonesia

24

(jika ada). Limbah ini mengandung COD yang tinggi yang berasal dari sisasisa bahan kimia, terutama bahan kimia organik. Limbah-limbah cair ini
seluruhnya diarahkan menuju pH pit untuk mendapatkan perlakuan netralisasi
dan proses pengolahan limbah selanjutnya.
b. Limbah cair putih (white water)
White water adalah limbah cair yang berwarna putih. Warna putih berasal dari
sisa-sisa emulsi yang terbawa pada saat pencucian reaktor, drain tank,
storage tank, drumming machine, dan proses analisa laboratorium. Biasanya
limbah ini mengandung 2-5% padatan polymer acrylate. Keseluruhan limbah
ini, diarahkan menuju white water pit untuk ditampung dan dilakukan
pengolahan selanjutnya.
Belum ada data mengenai efisiensi setiap unit Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) yang ada di PT. RHI. Untuk pengolahan limbah cair secara
biologis, PT. RHI menggunakan sistem lumpur aktif konvensional (Activated
Sludge) yang disemai di 2 bak aerator. Asupan oksigen dan nutrisi dijaga tetap
stabil agar bakteri tumbuh dan tetap sehat. Disamping itu, terdapat proses sirkulasi
dari bak pengendap sekunder ke bak aerasi 1 dan pengaliran sebagian lumpur aktif
untuk menyeimbangkan jumlah lumpur di bak aerasi 1 dan bak aerasi 2. Sisa
lumpur (WAS / Waste Activated Sludge) kemudian dilakukan filtrasi untuk
dihilangkan airnya. Air tersebut di pompa kembali ke bak aerasi 1, sedangkan
lumpur keringnya ditampung di drum dan di buang ke PPLI.
Lumpur (WAS) yang berasal dari pengolahan biologis IPAL PT. RHI
memiliki frekuensi timbulan lumpur sebanyak 5 drum (kapasitas masing-masing
drum 160 kg) per minggu. Lumpur tersebut masih mengandung kadar air yang
tinggi. Proses yang digunakan untuk mengeringkan lumpur ini masih
menggunakan metode pengeringan konvensional, menggunakan peralatan yang
murah, diambil dari tote bekas yang dimodifikasi dengan penambahan support
dari besi 10 mm. Bahan penyaring (filter) menggunakan bahan jeans yang murah
dan dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama. Lumpur dalam bentuk slurry
akan mengalir ke dalam tote dan padatan lumpurakan tertinggal di atas filter dan
dikeringkan oleh matahari. Sejauh ini, PT. RHI belum pernah melakukan
Universitas Indonesia

25

pengamatan dan pengujian terhadap kadar air dari lumpur (WAS), baik sebelum
maupun sesudah pengeringan. Untuk pengolahan lumpur (WAS) ini belum
menggunakan proses conditioning.

Gambar 2.6. Dua Tote Bekas yang Digunakan (kiri) dan


Filter dari Bahan Jeans (kanan)
Sumber : PT. RHI, 2012

2.6Proses Penurunan Kadar Air dalam Lumpur (Dewatering)

Menurut Gordon (2011), efisiensi dewatering lumpur dipengaruhi oleh


jenis

lumpur,

conditioning

lumpur,

peralatan

dewatering,

dan

kondisi

pengoperasian. Pada umumnya partikel lumpur bermuatan negatif. Biosludge


(lumpur biologis) yang disebut juga WAS (Waste activated Sludge), yang
mengandung sejumlah besar air, biomassa, dan zat polimerik ekstraseluler (EPS),
sukar untuk dikeringkan (dewatered) sebagai lumpur super padat. EPS dan
bentuk air dalam lumpur mempengaruhi struktur lumpur. Menambah fluktuasi
kationik dapat mengubah bentuk air dalam lumpur dan menambah kecepatan
proses dewatering. Pelepasan air berguna untuk keperluan berikut :
a. Biaya pengangkutan lumpur dan biosolid ke tempat pembuangan akan
menjadi lebih rendah karena volume sudah terkurangi dengan metode
pelepasan air.
b. Kemudahan dalam mengatasi lumpur dibandingkan dengan cairan
lumpur.
c. Apabila dilanjutkan dengan insinerasi maka akan meningkatkan nilai
kalor dengan menghilangkan kelebihan kadar airnya.
d. Pelepasan air dibutuhkan sebelum komposting untuk mengurangi
keperluan bahan tambahan.
Universitas Indonesia

26

e. Dalam beberapa kasus dapat menjadikan biosolid tidak berbau dan


tidak busuk.
f. Bila dilakukan sebelum landfill akan dapat mengurangi produksi lindi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik dewatering lumpur
di literatur, yaitu : kadar selulosa, pH dan muatan partikel, kadar organik, kadar
bound water, viskositas filtrat, alkalinitas, konsentrasi solid, kadar nitrogen, kadar
minyak, proses conditioning, jenis lumpur, koefisien compressibility, kekuatan
mekanik partikel, porositas, pengadukan (mixing), degradasi biologis, dan ukuran
partikel (Philip, 1978). Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan
hubungan antara beberapa parameter dengan pengaruhnya terhadap proses
dewatering :

No

2
3
4
5
6

Tabel 2.6. Parameter yang Mempengaruhi Proses Dewatering Lumpur


Parameter
Hubungannya dengan Proses Dewatering
pH tertentu menentukan muatan partikel, seperti polimer yang
membawa muatan negatif pada pH relatif netral (Nguyen, 2008);
pH
pH rendah dapat menyebabkan EPS terlepas dari permukaan
partikel lumpur dan dapat mempengaruhi pengurangan kadar air
(Pham, 2011)
Semakin banyak kadar organik dalam lumpur, maka lumpur
Kadar Organik
semakin sukar dikeringkan (Xuan Yin et al., 2004)
Semakin banyak bound water, maka lumpur semakin sulit
Kadar bound water
dikeringkan (Xuan Yin, 2004)
Proses conditioning yang baik dapat meningkatkan proses
Proses conditioning
dewatering (Jill, 2003)
Jenis lumpur biologis (WAS) lebih sulit untuk di-dewatering
Jenis lumpur
(Hosnani dkk., 2010)
Pengadukan
Proporsi komponen VSS sebagian besar bergantung pada lama
(mixing)
pengadukan atau solid retention time (SRT) (Ramdani, 2010)
Sumber : Hasil Pengolahan (2012)

Universitas Indonesia

27

2.7Chemical Conditioning Lumpur

Proses pengkondisian lumpur (conditioning) adalah proses di mana lumpur


diolah dengan bahan kimia atau peralatan lainnya dalam rangka menyiapkan
lumpur sebelum masuk proses pengeringan lumpur (dewatering), untuk
meningkatkan karakteristik dewateringnya sehingga lebih mudah untuk
dikeringkan (Metcalf & Eddy, 1991). Menurut Metcalf, lumpur (sludge) dapat
dikondisikan untuk meningkatkan karakteristik dewatering lumpur. Dua metode
yang paling umum digunakan dalam proses conditioning ini adalah dengan
pengolahan kimiawi (chemical conditioning) dan panas (heat). Banyak metode
yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan pengurangan kadar air lumpur,
seperti

menambahkan

ion

kation,

polielektrolit

kationik,

metode

pembekuan/pencairan, digestion dengan pre-treatment ultrasound, dan banyak


mekanisme bioflokulasi lumpur sudah dikembangkan. Dalam proses chemical
conditioning, terjadi proses interaksi antara muatan negatif partikel lumpur
dengan muatan positif dari conditioner, sehingga terjadi suatu proses netralisasi
sehingga kemampuan lumpur untuk dikeringkan dapat ditingkatkan (Mihai,
2008). Sementara pengolahan dengan heat conditioning mengkondisikan lumpur
dengan memanaskan lumpur dengan temperatur dan waktu tertentu sehingga
dapat menghasilkan lumpur yang lebih mudah dikeringkan (Jeffrey, 1972).
Beberapa studi menunjukkan bahwa kation dapat mempengaruhi pengendapan
lumpur dan proses dewatering lumpur.
Tabel 2.7. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Metode Conditioning
No
Metode
Kelebihan
Kekurangan
Butuh penyesuaian pH terlebih dahulu
Cukup murah untuk
karena memakai bahan kimia yang
Chemical
1
dilakukan (Metcalf dan
bekerja optimal pada rentang pH
conditioning
Eddy, 1991)
tertentu (Dwi Sianita dan Ika Setya
Nurchayati, 2006)
Cukup mudah dilakukan
Membutuhkan alat freezing, karena
2 Pembekuan/pencairan
(Ottavio Franceschini,
bergantung pada cuaca (Ottavio
2010)
Franceschini, 2010)

Universitas Indonesia

28

Tabel 2.7 (lanjutan)

Pre-treatment
ultrasound

Thermal conditioning

Menambah fluktuasi
kationik dapat mengubah
bentuk air dalam lumpur
dan menambah kecepatan
proses dewatering (Xuan
Yin et al., 2004)
Memiliki kemampuan
lebih untuk
menghilangkan air terikat
(bound water) dalam
lumpur (Reynolds, 1982)

Memiliki pengaruh yang kecil terhadap


kadar air akhir (Xuan Yin et al., 2004)

Membutuhkan perangkat / peralatan


yang relatif mahal
(http://water.me.vccs.edu)

Sumber : Hasil Pengolahan (2012)

Penggunaan bahan kimia untuk pengondisian lumpur termasuk cara yang


ekonomis dalam meningkatkan proses dewatering, karena dapat meningkatkan
hasil dan fleksibilitas yang lebih besar. Chemical conditioning dapat mengurangi
kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%, bergantung pada sifat padatan
yang akan diolah. Chemical conditioning terlihat hasilnya dalam proses koagulasi
padatan (solid) dan pelepasan air yang diabsorbsi. Conditioning digunakan pada
sistem dewatering mekanik seperti vacuum filtration, sentrifugasi, belt filter press,
dan pressure filter press. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah feri klorida
(FeCl3), kalsium karbonat/kapur (CaCO3), alum (Al2(SO4)3), dan polimer organik.
Selain kation, polielektrolit juga merupakan material yang cukup efisien dalam
flokulasi, yang dapat membentuk jaringan dan menyerap solid di atasnya sehingga
membuat lumpur terflokulasi (Xuan Yin et al., 2004).
Penambahan bahan kimia dalam chemical conditioning lumpur dapat
menambah jumlah padatan kering. Polimer tidak menambah jumlah padatan
kering secara signifikan, sedangkan garam besi (iron salt) dan kapur dapat
menambah padatan kering hingga 20-30%. Bahan kimia paling mudah
diaplikasikan dan diukur dalam bentuk liquid/cairan. Tank pelarut dibutuhkan jika
bahan kimia didapat dalam bentuk bubuk padat. Pada kebanyakan IPAL, tank ini
harus memiliki ukuran yang cukup besar untuk dapat menampung setidaknya
kebutuhan suplai bahan kimia untuk 1 hari dan harus diperlengkapi rangkap.
Tanki harus difabrikasi atau dilapisi dengan material/bahan tahan korosi. Polivinil

Universitas Indonesia

29

klorida, polietilen, dan karet (rubber) adalah material yang cocok untuk tank dan
pemipaan larutan asam. Pompa meteran juga harus dari bahan yang tahan korosi.
Pengkondisian secara kimiawi merupakan proses untuk mempersiapkan
lumpur untuk pengolahan lanjutan yang lebih baik dan ekonomis dalam sistem
pelepasan air (dewatering). Menurut Manahan (1994), pengkondisian lumpur
ditujukan untuk mengkonsentrasikan dan menstabilkan lumpur dan menjadikan
lumpur mudah untuk dilepaskan airnya. Pengkondisian secara kimiawi (chemical
conditioning) dapat menurunkan 90-99% kandungan air menjadi 65-85%,
tergantung pada sifat solid yang akan diolah (Metcalf & Eddy,2003). Di sini akan
dihasilkan koagulasi dari solid dan melepaskan air yang terabsorbsi. Penambahan
ini akan dapat meningkatkan padatan kering. Penambahan kapur meningkatkan
padatan kering sampai 20-30% (Yatnanta, 2009).
Dengan adanya tambahan bahan kimia dalam chemical conditioning, maka
dapat meningkatkan dewaterability lumpur biologis dengan mendegradasi EPS.
Degradasi EPS dapat mengurangi karakteristik retensi air dalam melepaskan air
terikat (bound water) dalam EPS. Degradasi EPS juga dapat mengurangi stabilitas
sel namun menambah ukuran flok lumpur, yang menghasilkan peningkatan
kemampuan filtrasi lumpur (Pham, 2011). Agen conditioning yang memiliki
muatan positif, lebih mudah ketika berikatan dengan muatan negatif yang dimiliki
oleh EPS (mayoritas zat organik), di mana di dalamnya terjadi netralisasi muatan
atau bridging antar partikel (Sheng, 2010). Contohnya seperti FeCl3, ketika
dibubuhkan sebagai conditioner, maka FeCl3 akan terurai dan menghasilkan ion
positif Fe3+ yang akan berikatan dengan partikel negatif lumpur, terjadi netralisasi
muatan atau bridging antar partikel, lalu membentuk flok lumpur yang lebih
besar, sehingga air terikat (bound water) menjadi lebih mudah dilepaskan dari
lumpur, dan dengan demikian telah meningkatkan dewaterability lumpur (Haas,
2000). Reaksi yang terbentuk saat FeCl 3 dibubuhkan sebagai conditioner adalah
sebagai berikut :
FeCl3 + 3 H20 Fe (OH)3 + 3H+ + 3 ClConditioning dengan polielektrolit dapat menyerap air terikat (bound
water) dalam lumpur, menetralisir muatan negatif partikel dan mengakumulasi
partikel halus dalam lumpur dengan membuat jembatan antar partikel, dan
Universitas Indonesia

30

akhirnya menghasilkan formasi cake lumpur yang mampu melepaskan air


(Arvand, 2010).

2.8Faktor-faktor yang Mempengaruhi Chemical Conditioning

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis dan dosis agen sludgeconditioning adalah karakteristik lumpur, dan jenis peralatan dewatering yang
digunakan dan mixing yang dipakai. Karakteristik lumpur termasuk di dalamnya
adalah sumber lumpur, konsentrasi solid, umur lumpur, pH, dan alkalinitas.
Sumber lumpur seperti lumpur primer, lumpur aktif, dan digested sludge adalah
indikator yang baik untuk rentang dosis conditioner yang dibutuhkan. Konsentrasi
solid akan mempengaruhi dosis dan dispersi agen conditioning. pH dan alkalinitas
akan dapat mempengaruhi

kinerja agen conditioning, dalam conditioner

anorganik tertentu. Ketika kapur (lime) digunakan untuk menjaga pH tetap tinggi
bagi dewatering, permasalahan seputar lime dan bau tak sedap ammoniak yang
kuat dapat terjadi. Feri klorida, alum, kapur, dan polielektrolit memiliki rentang
pH masing-masing di mana masing-masing conditioner akan bekerja secara
optimal. pH optimal untuk feri klorida adalah sekitar 4-8,3 (Suksarojet et al.,
2005), alum 4-7 (Golob et al., 2005), kapur 7-12 (Hosseini, 2005), dan
polielektrolit 2,8-6 (Bratby et al., 2006). Untuk pH limbah biologis PT. RHI yang
tergolong cukup netral, maka tidak diperlukan lagi suatu penyesuaian pH dalam
percobaan chemical conditioning, karena rentang pH masing-masing conditioner
masih memenuhi untuk pH yang relatif netral.
Metode dewatering juga mempengaruhi pemilihan bahan kimia untuk
conditioning karena adanya perbedaan peralatan mixing yang bermacam-macam
dan karakteristik metode tertentu dari dewatering. Contohnya, polimer biasanya
digunakan pada proses dewatering jenis centrifuge dan belt press, namun jarang
digunakan untuk vacuum filtration dan pressure filtration. Percobaan skala
laboratorium dapat dilakukan untuk menentukan jenis agen chemical-conditioning
yang dibutuhkan, khususnya bagi lumpur yang sulit untuk dikeringkan
(dewatered).

Universitas Indonesia

31

Pada umumnya, telah diamati bahwa jenis lumpur memiliki dampak yang
besar terhadap kuantitas bahan kimia yang dibutuhkan. Lumpur yang sulit
dikeringkan membutuhkan dosis bahan kimia yang lebih besar, biasanya tidak
menghasilkan sampai lumpur kering (dry cake), dan memiliki kualitas filtrat yang
lebih buruk. Jenis lumpur berdasarkan perkiraan kebutuhan bahan kimia
conditioning dari yang paling sedikit ke yang paling banyak adalah sebagai
berikut :
1. Lumpur primer (baku/raw)
2. Lumpur primer dan trickling filter yang dicampur (baku/raw)
3. Lumpurprimer dan lumpur aktif yang dicampur (baku/raw)
4. Lumpur primer hasil anaerobic digester
5. Lumpurprimer dan lumpur aktif yang dicampurhasil anaerobic digester
6. Lumpur aktif baku/raw
7. Lumpur aerobik digester
2.8.1

Agen Pengkondisi (Conditioner)


Banyak bahan kimia yang dapat digunakan dalam chemical conditioning,

seperti alum (tawas), feri klorida, feri sulfat, lime, dan polimer (Buyukkamaci,
2004). Untuk metode stabilisasi lumpur, dapat dilakukan dengan cara stabilisasi
alkalin, di mana dapat pula dipakai sebagai pengkondisian (conditioning) sebelum
proses pelepasan air (dewatering). Cara stabilisasi atau pengkondisian alkalin
umumnya menggunakan bahan kimia misalnya kapur (kapur terhidrasi,Ca(OH)2),
atau polimer. Bahan lain yang dapat digunakan adalah kalsium oksida (CaO), abu
terbang, debu tempat pengeringan semen dan kapur karbit (Metcalf & Eddy,
2003). Bahan-bahan tersebut di atas disebut juga sebagai bahan pengkondisi fisik
lumpur.
Destabilisasi dalam proses conditioning dengan feri klorida (FeCl3) dapat
disebabkan oleh adanya yang menjembatani antara partikel negatif lumpur dengan
ion besi hidroksida yang positif, atau karena terperangkapnya flok dalam
presipitat feri hidroksida (Mustin, 2001). Menurut Mustin, penambahan lime
(CaO) pada lumpur dapat membantu filterability lumpur yang baik dan ekonomis.
Polimer kation alam seperti chitosan juga dapat digunakan sebagai agen
Universitas Indonesia

32

conditioning. Perbedaan antara conditioner logam dengan polimer kation adalah


pada reaksi hidrolisnya dengan air. Garam logam mengalami hidrolisis ketika
dimasukkan ke dalam air, sedangkan polimer tidak mengalami hidrolisis.
(Kawamura, 1991). Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing conditioner :
Tabel 2.8. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Agen Conditioning
No
Metode
Kelebihan
Kekurangan
Bersifat korosif dan dapat
Biasanya digunakan sebagai
menghasilkan kadar total
1 FeCl3
conditioner pada lumpur aktif
solid lumpur tambahan
(http://water.me.vccs.edu)
(Lee, 2000)
Bersifat korosif dan dapat
Tawas/Alum
Mempunyai harga yang
menghasilkan kadar total
2
(Al2(SO4)3)
murah (Faris, 2012)
solid lumpur tambahan
(Lee, 2000)
Biasanya digunakan sebagai
Bisa memiliki fungsi untuk
conditioner pada lumpur
3 Lime/Kapur
disinfeksi bagi lumpur
primer
(http://water.me.vccs.edu)
(http://water.me.vccs.edu)
Membutuhkan tempat
penyimpanan yang relatif
Cenderung lebih mahal
Polyelectrolit
4
kecil dan memiliki efektivitas dibandingkan conditioner
e
yang tinggi
yang lain (Lee, 2000)
(http://water.me.vccs.edu)
Sumber : Hasil Pengolahan (2012)

2.8.2

Dosis Bahan Kimia(Conditioner)


Dosis bahan kimia yang dibutuhkan untuk mengondisikan lumpur dapat

ditentukan di laboratorium. Percobaan yang digunakan untuk memilih dosis bahan


kimia dapat dilakukan dengan cara Bucher Funnel Test untuk menentukan specific
resistance lumpur, metode CST (Capillary Suction Time), dan jar tes standar.
Bucher Funnel Test adalah metode pemeriksaan karakteristik dewatering
menggunakan agen conditioning yang berbeda-beda, untuk mendapatkan nilai
specific resistance to filtration (SRF). Tes CST menggunakan CST apparatus
bergantung pada gravitasi dan daya hisap potongan kertas filter yang tebal untuk
mengeluarkan air dari sampel kecil lumpur yang telah dikondisikan (conditioned
sludge). Tes SRF dan CST dapat mengestimasi nilai dewaterability lumpur
dengan cukup empiris, namun tes SRF jauh lebih mahal dan memakan waktu yang
Universitas Indonesia

33

lebih lama dibandingkan tes CST (Sawalha, 2010). Jar test standar terdiri dari
pencampuran sejumlah volume standar pengukuran sampel lumpur dengan
konsentrasi conditioner yang berbeda-beda, diikuti dengan proses pengadukan
cepat, flokulasi, dan pengendapan menggunakan jar test apparatus. Metode jar
test lebih mudah dilakukan daripada metode CST, karena peralatan tes CST masih
sukar ditemukan di Indonesia.
Dosis polimer akan bervariasi jumlahnya bergantung pada berat molekul,
kekuatan ionik, dan tingkat aktivitas polimer yang digunakan. Mencampurkan
lumpur dengan koagulan sangat penting dalam proses conditioning yang tepat.
Pengadukan harus dijaga agar flok tidak pecah setelah terbentuk, dan waktu
detensi harus dibuat seminimum mungkin agar lumpur dapat mencapai alat
dewatering secepat mungkin setelah proses conditioning. Kebutuhan pengadukan
bervariasi, bergantung pada metode dewatering yang digunakan. Tank mixing dan
tank flokulasi secara terpisah biasanya disediakan di depan vacuum filter atau
pressure filter; tank flokulasi yang terpisah bisa juga disediakan untuk belt filter
press, atau conditioner dimasukkan langsung ke sludge feed line (jalur input
lumpur) dari unit belt filter press; dan mixer in-line biasanya digunakan dengan
centrifuge. Umumnya didesain terdapat 2 lokasi untuk penambahan bahan kimia
conditioning.
2.9Hasil Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelitian terdahulu, terdapat kesimpulan mengenai kadar air


rata-rata pada WAS yang belum diolah dengan conditioning biasanya adalah
96,81-99,24%, pH dengan rentang 6,2-6,9, dan kadar VSS sebesar kurang lebih
50-75% (Zhang, 2010; Yuan et al., 2011).
Dari hasil percobaan yang dilakukan oleh Xuan Yin (2004) didapatkan
bahwa lumpur yang telah dikondisikan dengan bahan kimia seperti garam besi dan
polimer, memiliki tingkat dewaterability yang lebih tinggi, yang diperlihatkan
dengan nilai CST dan kadar air terikat (bound water) yang semakin kecil.

Universitas Indonesia

34

Tabel 2.9. Perbandingan Karakteristik Lumpur yang Dikondisikan


AS - 2 iron
AS - 3
AS - 3
dosed
untreated
polymer dosed
CST (s)
40
276
125
SS used fo CST
38,67
37,66
40,32
(g/l)
Bound water
(ml/g)
5,4
6,6
5,7
pH
6,3
6,6
6,1
Sumber : Xuan Yin et al.(2004)

Untuk hasil chemical conditioning menggunakan tawas (alum), kapur


(lime), dan polielektrolit berikut ini adalah contoh grafik pengaruh dosis bahan
kimia tersebut terhadap nilai CST dan SRF lumpurnya.

Grafik 2.1. Pengaruh Dosis Tawas terhadap CST dan SRF Lumpur
Sumber : Buyukkamaci (2004)

Universitas Indonesia

35

Grafik 2.2. Pengaruh Dosis Kapur terhadap CST dan SRF Lumpur
Sumber : Buyukkamaci (2004)

Grafik 2.3. Pengaruh Dosis Polielektrolit terhadap CST Lumpur


Sumber : Lee(2000)

Universitas Indonesia

36

Berikut ini adalah konsentrasi lumpur dari WWTP yang telah mengalami
pengkondisian dengan metode yang berbeda-beda :
Tabel 2.10. Konsentrasi Lumpur dengan Variasi Metode Conditioning
Metode Conditioning
Batch Settlement
Continous Thickening
Tanpa dosis
polymer
Dengan dosis
polymer
Centrifuging
Filter Pressing

Kadar saat masuk


(% solid)
0,03-0,2

Kadar saat keluar


(% solid)
1-3

0,03-0,2

2-3

0,03-0,2

5-10

1-5
1-10

12-17
20-25

Sumber : Bolto(2007)

Universitas Indonesia

Tabel 2.11. Matriks Penelitian Terdahulu


No.

Nama Penulis

Gordon C.C.
Yang, Min-Cong
Chen, Chun-Fu
Yeh (2011)

Hema Patel &


Suneel Pandey
(2009)

Judul

Ringkasan

Berdasarkan pengelompokan Vesilind, air di dalam lumpur


(sludge) dapat dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu sebagai
berikut : (1) Air bebas (bulk water) air yang tidak berhubungan
Dewatering of a
dengan partikel solid/padatan termasuk void water tidak
Biological
berhubungan dengan gaya kapilaritas.
Industrial Sludge
(2) Air celah (interstitial water) air yang terperangkap di dalam
by
celah dan ruang kosong antara flok dan mikroba.
Electrokinetics(3) Vicinal water air yang ada dipermukaan partikel melalui
assisted Filter
proses adsorpsi dan adhesi, misalnya dengan ikatan hidrogen.
Press
(4) Air hidrasi air yang secara kimiawi terikat dengan struktur
partikel yang dapat dihilangkan hanya dengan pemanasan termal
(thermal drying).
Exploring the
Penelitian ini dilakukan untuk menggali potensi penggunaan
Reuse Potential of
kembali (reuse) lumpur kimia yang dihasilkan dari rangkaian
Chemical Sludge pengolahan limbah tekstil gabungan. Oleh karena itu, pendekatan
from Textile
yang digunakan adalah studi treatability lumpur kimia yang
Wastewater
dilakukan dengan menggunakan pengolahan solidifikasi atau
Treatment Plants
stabilisasi untuk menguji kemungkinan reuse-nya sebagai
in India-A
material konstruksi. Lumpur dikarakterisasi melalui parameter
Hazardous Waste
fisik-kimia dan logam beratnya. Dari hasil tes TCLP, ditemukan
bahwa kadar logam berat masih di bawah standar regulasi
USEPA. Semen yang akan digunakan untuk membentuk block
standar, akan digabung dengan lumpur kimia dimana komposisi
lumpurnya sekitar 30-70% dalam adukan semen. Dari segi
kepentingan struktur, hasilnya memenuhi kriteria standar BIS

Catatan

Pada umumnya, efisiensi


dewatering lumpur
dipengaruhi oleh jenis
lumpur, conditioning lumpur,
peralatan dewatering, dan
kondisi pengoperasian.

Metode penyimpanan lumpur


lumpur yang diambil
dikumpulkan ke dalam 'wide
mouth polypropylene jar' lalu
disimpan dalam lemari
pendingin dengan suhu 4oC

Tabel 2.11 (lanjutan)


untuk brick yaitu memenuhi kekuatan 25 N/mm2. Penggunaan
lumpur ini pasti dapat digali lebih lagi untuk aplikasi struktural
dan non-struktural lainnya, bergantung pada persyaratan
kekuatan yang diminta.

Xuan Yin,
Pingfang Han,
Xiaoping Lu,
Yanru Wang
(2004)

Philip R. Karr
(1978)

A review on the
dewaterability of
bio-sludge and
ultrasound
pretreatment

Biosludge (lumpur biologis), yang mengandung sejumlah besar


air, biomassa, dan zat polimerik ekstraseluler (EPS), sukar untuk
dikeringkan (dewatered) sebagai lumpur super padat. Kadar air
biosludge pada umumnya sekitar 80-90% berat setelah proses
dewatering. EPS dan bentuk air dalam lumpur mempengaruhi
struktur lumpur. Menambah fluktuasi kationik dapat mengubah
bentuk air dalam lumpur dan menambah kecepatan proses
dewatering, namun memiliki pengaruh yang kecil terhadap kadar
air akhir. Menurut penelitian Bien, kombinasi ultrasound atau
metode lainnya dapat menggumpulkan atau menyatukan lumpur,
meningkatkan aktivitas biomassa, dan mengurangi sekitar 10%
kadar air dalam lumpur.

Chen et al. (2001)


mempertimbangkan bahwa
adanya EPS dapat
menyebabkan kesulitan
dalam dewatering lumpur
aktif, karena EPS
memperbanyak ikatan
interstitial air (interstitial
water/air celah) yang
terkandung dalam lumpur
aktif, dan menurunkan
kemampuan settle karena
ukurannya yang besar.

Influence of
Particle Size on
Sludge
Dewaterability

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik


dewatering lumpur di literatur, yaitu : kadar selulosa, pH dan
muatan partikel, kadar organik, kadar bound water, viskositas
filtrat, alkalinitas, konsentrasi solid, kadar nitrogen, kadar
minyak, proses conditioning, jenis lumpur, koefisien
compressibility, kekuatan mekanik partikel, porositas,
pengadukan (mixing), degradasi biologis, dan ukuran partikel.

Faktor-faktor yang
mempengaruhi karakteristik
dewatering lumpur

Tabel 2.11 (lanjutan)

Dynam AC
Corporation
(1999)

Correlation
Between Liquid,
Sludge, and Solid
Waste Form S,
and Surface
Impoundment,
Land Application,
And Landfill
Disposal Options

Jika lumpur yang akan dibuang ke landfill harus melewati paint


filter test terlebih dahulu, maka batas atas konsentrasi untuk
lumpur (sludge) adalah 30%. Dengan demikian, 3 jenis limbah
berdasarkan kadar TS nya adalah sebagai berikut :
- Liquid (air limbah) : kadar TS (Total Solid) antara 0% - 1%
- Sludge (lumpur) : kadar TS (Total Solid) antara 1% - 30%
- Solid (padatan) : kadar TS (Total Solid) antara 30% - 100%

Beberapa observasi akan


membantu mengidentifikasi
korelasi tambahan, antara
kadar TS (Total Solid) dengan
tujuan pembuangan
(disposal). TS dari liquid
sludge yang diaplikasikan ke
lahan bervariasi antara 1%
dan 10%. TS dari lumpur
olahan yang diaplikasikan
untuk lahan bervariasi antara
15% dan 30%. Syarat
konsentrasi TS minimum
yang dibutuhkan untuk
pembuangan landfill adalah
25%. Syarat konsentrasi TS
minimum yang dibutuhkan
untuk insinerasi adalah 30%.
Data di atas juga menjelaskan
bahwa lumpur dengan
konsentrasi TS lebih besar
dari 25% atau 30% yang
dapat dibuang ke landfill atau
insinerasi, yang menyatakan
bahwa pilihan disposal pada
umumnya diasosiasikan
dengan bentuk limbah padat.

Tabel 2.11 (lanjutan)

Correlation
Jill Ruhsing
Between
Pan , Chihpin
Dewatering Index
Huang, Minyih
and Dewatering
Cherng , KungPerformance of
Cheh Li , Cheng- Three Mechanical
Fang Lin (2003)
Dewatering
Devices

E. Hosnani, M.
Nosrati, S.A.
Shojasadati
(2010)

Role of
Extracellular
Polymeric
Substances in
Dewaterability of
Untreated,
Sonicated, and
Digested Waste
Activated Sludge

Conditioning lumpur yang efisien dapat meningkatkan


karakteristik dewatering lumpur dan mendorong pemisahan flok
dari fase liquidnya untuk mencapai kadar solid yang lebih tinggi.
Dalam studi ini, lumpur dikondisikan dengan jenis polimer, yaitu
polimer alam dan sintetis. Hubungan antara indeks conditioning
lumpur dan dewaterability bergantung pada jenis lumpur dan
peralatan untuk conditioning dan dewatering lumpur. Sampel
lumpur aktif dikondisikan dengan konsentrasi Polymer-PC-325
dan chitosan yang berbeda-beda

Proses dewatering WAS (waste activated sludge) merupakan


proses yang kompleks karena pengaruh dari faktor yang berbedabeda. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa EPS (extracellular
polymeric substances) adalah unsur utama dari WAS. Hasil dari
percobaan sebelumnya dalam menentukan peranan EPS terhadap
dewaterability WAS sangat terbatas, berbeda, dan terkadang
kontroversial.

Conditioning lumpur yang


efisien dapat meningkatkan
karakteristik dewatering
lumpur dan mendorong
pemisahan flok dari fase
liquidnya untuk mencapai
kadar solid yang lebih tinggi.

Sampel yang digunakan


dalam studi ini adalah lumpur
air bersih dan lumpur aktif
biologis. Lumpur air bersih
didapatkan dari WTP HsinChu di mana koagulasinya
menggunakan PAC, dan
lumpur aktif biologis berasal
dari WWTP Neili Bread.
Karakteristik lumpur baku
dianalisis terlebih dahulu,
yaitu untuk kadar pH awal,
TS, VS, VS/TS, dan Zeta
Potential. Analisis awal ini
dilakukan di laboratorium

Tabel 2.11 (lanjutan)


dalam kurun waktu 2 jam
sampling untuk menghindari
proses penuaan akibat
penyimpanan sampel terlalu
lama, di mana seluruh
percobaan selesai dalam
waktu 2 hari.

Metcalf & Eddy


(1991)

Wastewater
Engineering
(Treatment,
Disposal, Reuse)
Third Edition

Penggunaan bahan kimia untuk pengondisian lumpur untuk


proses dewatering termasuk cara yang ekonomis, karena dapat
meningkatkan hasil dan fleksibilitas yang lebih besar. Chemical
conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99%
menjadi 65-85%, bergantung pada sifat padatan yang akan
diolah. Chemical conditioning terlihat hasilnya dalam proses
koagulasi padatan (solid) dan pelepasan air yang diabsorbsi.
Conditioning digunakan pada sistem dewatering mekanik seperti
vacuum filtration, sentrifugasi, belt filter press, dan pressure
filter press. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah feri
klorida (FeCl3), kalsium karbonat/kapur (CaCO3), alum
(Al2(SO4)3), dan polimer organik.

Conditioning

Tabel 2.11 (lanjutan)

Abdellah
Ramdani, Peter
Dold, Stephane
Deleris, Daniel
Lamarre, Yves
Comeau (2010)

Biodegradation of
the endogenous
residue of
activated sludge

10

M. Mihai, G.
Dabija, C.
Costache (2008)

Complex
Formation
Between Cationic
Polyelectrolytes

Bagian zat organik dalam lumpur yang dihasilkan dari WWTP,


pada umumnya diukur sebagai VSS (Volatile Suspended Solid),
yang sebagian besar disusun oleh tiga bagian partikulat, yaitu
biomassa aktif (XH heterotrophic dan XA autotrophic), bagian
non-biodegradable influent (XU) dan residu yang diproduksi
oleh respirasi endogen (XE). Proporsi komponen VSS sebagian
besar bergantung pada solid retention time (SRT) sistem dan
kadar XU dari influent (Ramdani, 2010). Matrix VSS sebagian
besar disusun oleh extracellular polymeric substances (EPS)
yang berasal dari berbagai macam proses mikroba
(mikroskopik), terutama pertumbuhan biomassa, lisis, dan
penggunaan substrat (Laspidou dan Rittmann, 2002; Liu and
Fang, 2003; Raszka et al., 2006).
Polielektrolit digunakan di beberapa aplikasi teknis seperti dalam
WWTP. Polielektrolit dapat mengubah karakteristik permukaan
koloid, sifat reologi larutan, wettability, dan lainnya. Secara
khusus, polielektolit kationik digunakan dalam pengolahan air
karena kemampuannya untuk berinteraksi dengan permukaan
bermuatan negatif. Hubungan antara polielektrolit dengan
surfaktan yang bermuatan sebaliknya dapat dimengerti melalui
interaksi hidrofobik dan elektrostatik (Vautrin, 2006). Pada
konsentrasi rendah, surfaktan terikat secara individual dengan
polielektrolit melalui interaksi elektrostatis. Kationik Praestol
644 adalah jenis copolymer komersial dari polyacrylamide
dengan asam akrilik.

EPS dapat diukur dari VSS

Polielektrolit

Tabel 2.11 (lanjutan)

11

12

Yatnanta Padma
Devia (2009)

Pengaruh
Penambahan
Kapur dan Abu
Terbang Dalam
Laju Pelepasan
Air dari Lumpur
Biologis (IPAL
SIER)

Pengkondisian secara kimiawi merupakan proses untuk


mempersiapkan lumpur untuk pengolahan lanjutan yang lebih
baik dan ekonomis dalam sistem pelepasan air. Menurut
Manahan (1994), pengkondisian lumpur ditujukan untuk
mengkonsentrasikan dan menstabilkan lumpur dan menjadikan
lumpur mudah untuk dilepaskan airnya. Pengkondisian secara
kimiawi (chemical conditioning) dapat menurunkan 90-99%
kandungan air menjadi 65-85%, tergantung pada sifat solid yang
akan diolah (Metcalf & Eddy, 2003). Di sini akan dihasilkan
koagulasi dari solid dan melepaskan air yang terabsorb.
Penambahan ini akan dapat meningkatkan padatan kering.
Penambahan kapur meningkatkan padatan kering sampai 2030%.
Proses berikutnya adalah pelepasan air. Tujuan pelepasan air
adalah untuk mengubah lumpur dari bahan yang liquid menjadi
solid yang lembab yang berisi tidak lebih dari 85% air (Manahan,
1994).

Pengkondisian dan Pelepasan


Air dari lumpur

Guo-Ping Sheng,
Han-Qing Yu,
Xiao-Yan Li
(2010)

Extracellular
Polymeric
Substances (EPS)
of Microbial
Aggregates in
Biological
Wastewater
Treatment
Systems : A
Review

Extracellular Polymeric Subtances (EPS) merupakan campuran


berat molekul tinggi yang kompleks dari polimer yang dihasilkan
oleh mikroorganisme, diproduksi dari hasil lisis sel dan zat
organik yang teradsorbsi dari air limbah. EPS merupakan
komponen utama dari kumpulan (agregat) mikroba untuk
menjaga agar agregat mikroba tersebut tetap berada dalam
bentuk (matrix) tiga dimensi.

Hubungan Antara EPS


dengan Zat Organik

Tabel 2.11 (lanjutan)

13

14

S. DENEUXMUSTIN, B. S.
LARTIGES, G.
VILLEMIN, F.
THOMAS, J.
YVON, J. L.
BERSILLON
and D.
SNIDARO
(2001)

Tan Phong
Nguyen, Nidal
Hilal, Nicholas
P. Hankins, John
T. Novak (2008)

Ferric Chloride
and Lime
Conditioning of
Activated Sludge
an Electron
Microscopic

Pengkondisian dengan ferric chloride (FeCl3) dan kapur (lime)


pada lumpur biasanya diinterpretasikan dalam hal peningkatan
agregasi dari komponen lumpur. Proses conditioning lumpur
wastewater yang tepat dengan feri klorida (FeCl3) dan kapur atau
polielektrolit sintetis adalah prasyarat bagi dewatering sistem
mekanis. Jumlah konsumsi bahan kimia (agen conditioning)
bergantung pada karakteristik lumpur yang bervariasi seperti
distribusi ukuran flok (Robert dan Olsson, 1975; Karr dan
Keinath, 1978), kekuatan flok (Eriksson dan Hardin, 1984),
muatan partikel (Novak et al., 1977), dan jumlah biopolimer
terlarut (McGregor dan Finn, 1969; Novak dan Haugan, 1980;
Eriksson, 1987).

Conditioning dengan FeCl3


dan kapur (lime)

Determination of
the effect of
cations and
cationic
polyelectrolytes
on the
characteristics
and final
properties of
synthetic and
Activated Sludge

Polielektrolit kationik yang diperoleh dari Clarifloc dan


Stockhausen digunakan untuk conditioning lumpur yang sudah
dipadatkan dari reaktor. Polimer 1% berat dalam larutan stok air
dibuat untuk konsentrasi desain akhir, dengan melarutkna
polimer terkonsentrasi dengan air suling. Selama proses
conditioning dan dewatering, polimer ditambahkan pada sampel
100 mL dan diaduk selama 30 s dalam beaker gelas. Kecepatan
pengadukan adalah 250 rpm (200 s-1).

Perkiraan proses conditioning


Polielektrolit Kationik

Tabel 2.11 (lanjutan)

15

M. Citeau, O.
Larue, E.
Vorobiev (2011)

Inuence of salt,
pH and
polyelectrolyte on
the pressure
electrodewatering of
sewage sludge

Larutan polielektrolit kationik dalam bentuk bubuk (powder)


dipersiapkan dengan dilarutkan dalam air dengan kadar dispersi
10g/L, 3g/L, dan 5g/L. Larutan polielektrolit ditambahkan pada
200 mL lumpur. Kuantitas larutan polielektrolit ditetapkan sesuai
dosis polielektrolit yang diinginkan dalam gram polielektrolit
aktif per kg lumpur kering (dry sludge) (g/kg DS). Pencampuran
diaduk pada kecepatan 200 rpm selama 20 detik dan 120 rpm
selama 40 detik untuk membentuk pertumbuhan flok
menggunakan Jar Test 11197 (Bioblock Scientific).

Konsentrasi larutan
polielektrolit kationik
dipersiapkan dengan
dilarutkan dalam air dengan
kadar dispersi 10g/L, 3g/L,
dan 5g/L.

16

Nurdan
Buyukkamaci
(2004)

Biological sludge
conditioning by
Fentons reagent

Bahan kimia organik dan anorganik termasuk alum, feri klorida,


kapur, dan polimer dapat digunakan dalam conditioning. Reagen
Fenton (Fe2+/H2O2) juga dapat digunakna sebagai conditioner
kimia

Jenis-jenis bahan kimia yang


dapat digunakan sebagai agen
conditioning

17

Hai-ping Yuan,
Xiao-bo Cheng,
Shan-ping Chen,
Nan-wen Zhu,
Zhen-ying Zhou
(2011)

New sludge
pretreatment
method to
improve
dewaterability of
waste activated
sludge

Metode conditioning dengan elektrolisis adalah metode baru


yang mempengaruhi ikatan zat organik dengan molekul air,
namun metode ini belum diuji secara jelas. Optimasi kondisi
conditioning, pemilihan elektroda, dan metode mekanisme
elektrolisis dalam proses conditiong masih belum teruji dengan
jelas sampai sekarang

Metode conditioning lain,


seperti electrolysis
conditioning masih belum
teruji secara jelas hingga saat
ini

Tabel 2.11 (lanjutan)

18

Tan Phong
Nguyen, Nidal
Hilal, Nicholas
P. Hankins, John
T. Novak (2008)

Characterization
of synthetic and
activated sludge
and conditioning
with cationic
polyelectrolytes

Lumpur aktif (AS) adalah campuran dari partikel,


mikroorganisme, koloid, polimer organik, dan kation di mana
komposisi nya bergantung pada sumber sampel dan waktu
pengambilan sampel. Dalam beberapa tahun terakhir,
polielektrolit sintetis memainkan peranan penting sebagai agen
conditioning dalam proses dewatering lumpur. Konsentrasi
optimum dari conditionerpolielektrolit, konsentrasi Ca2+ yang
lebih tinggi dalam lumpur berkontribusi secara signifikan dalam
meningkatkan kemampuan dewatering (pengeringan) lumpur,
dan menurunkan konsentrasi conditioner yang optimum.

19

Brian Bolto,
John Gregory
(2007)

Organic
polyelectrolytes
in water treatment

Polimer ionik biasanya disebut polielektrolit. Ada beberapa


polimer yang memiliki karakteristik kationik atau dimodifikasi
menjadi polielektrolit kationik, seperti chitosan, yaitu zat kitin
yang terdeasetilisasi sebagian sebagai kopolimer tidak teratur
dari N-acetyl--D-glucosamine dan -D-glucosamine

Berat molekul biopolimer


yang tinggi yang ada dalam
larutan supernatant
menentukan resistansi filtrasi
dan dosis optimal bagi
polielektrolit kationik.

Review mengenai jenis dan


kerakteritik Polimer

Tabel 2.11 (lanjutan)

20

Zhiqiang Zhang,
Siqing Xia, Jiao
Zhang (2010)

Enhanced
dewatering of
waste sludge with
microbial
occulant TJ-F1
as a novel
conditioner

pH dari sistem percobaan mempengaruhi dewaterability lumpur


(WAS) dan nilai yang paling optimal didapatkan pada pH sekitar
7,5. Di sekitar pH netral, partikel lumpur tersuspensi menjadi
lebih mudah teragregasi dan porporsi free water dalam lumpur
dapat bertambah, yang berarti lebih mudah untuk dikeringkan.
Banyak elemen, seperti ukuran partikel, EPS (Extracellular
Polymeric Substances), garam kationik dan conditioning
mempengaruhi kemampuan dewatering lumpur. Pada umumnya
beberapa kation (khususnya yang bivalen) membantu proses
dewatering dengan menjembatani area-area bermuatan negatif
dari EPS, di mana dapat mendorong kemampuan pelepasan air
(dewaterability)

Kation membantu proses


dewatering dengan
menjembatani area-area
bermuatan negatif dari EPS,
di mana dapat mendorong
kemampuan pelepasan air
(dewaterability)

21

Nurdan
Buyukkamaci,
Emrah
Kucukselek
(2007)

Improvement of
dewatering
capacity of a
petrochemical
sludge

Conditioner konvensional, seperti alum (tawas), lime (kapur),


dan polielektrolit kationik, serta lainnya diuji dalam proses
conditioning lumpur petrokimia. Polielektrolit kationik
memberikan hasil yang terbaik, yaitu dapat menurunkan nilai
SRF dan CST sebanyak 95%.

Untuk proses conditioning


lumpur petrokimia,
conditioner yang paling baik
adalah polielektrolit kationik

22

Tae-In Ohm,
Jong-Seong
Chae, Jeong-Eun
Kim, Hee-kyum
Kim, SeungHyun Moon
(2009)

A study on the
dewatering of
industrial waste
sludge by frydrying technology

Air yang terkandung di dalam lumpur ada 4 macam, yaitu air


bebas (free water), air permukaan, air interstitial, dan air terikat
(bound water). Free water dan air permukaan dapat dievaporasi
dengan mudah pada suhu 1005oC, namun proses untuk
menguapkan air interstitial dan air terikat membutuhkan suhu
melebihi 400oC

Untuk proses percobaan di


laboratorium dalam
mengecek kadar air, acuan
yang digunakan untuk
temperatur yang diatur adalah
sebesar 450oC

Tabel 2.11 (lanjutan)

23

Chih Chao Wu,


Chihpin Huang,
dan D. J. Lee
(1997)

Bound Water
Content and
Water Binding
Strength on
Sludge Flocs

Kadar air terikat (bound water) dalam lumpur dapat dikurangi


dengan menggunakan proses conditioning dan dewatering. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar bound water berkurang
seiring dengan pertambahan kadar solid pada seluruh sampel.
Karena itu, semakin tinggi padatan yang diproduksi, maka kadar
bound water semakin rendah. Pelepasan air interstitial dari flok
lumpur menyebabkan berkurangnya bound water. Ketika kadar
solid tinggi, 'daya usir' ditimbulkan oleh aksi pemadatan flok
lumpur menambah kekuatan ikat, sehingga dapat memaksa air
interstitial keluar dari lumpur

24

Lene Haugaard
Mikkelsen,
Kristian Keiding
(2002)

Physico-chemical
characteristics of
full scale sewage
sludges with
implications to
dewatering

Penanganan lumpur yang optimal didefinisikan sebagai proses


yang mencapai : (1) Jumlah lumpur yang sedikit untuk
pembuangan (disposal), dengan massa padatan yang rendah dan
kadar padatan kering yang tinggi dari cake lumpur yang telah
dikeringkan, (2) Laju dewatering yang tinggi, dan (3) Dosis
conditioner yang rendah

Syarat penanganan lumpur


(chemical conditioning) yang
optimal

Chu, C. and Lee,


D. (1999)

Moisture
Distribution in
Sludge: Effects of
Polymer
Conditioning

Pada kadar air tertentu, kekuatan ikat air-padatan berkurang


dengan bertambahnya dosis polimer, setelah mencapai titik
netralisasi muatan, maka penambahan dosis akan menyebabkan
keadaan overdosis

Dosis conditioner yang diuji


agar menghasilkan hasil yang
optimal dan tidak overdosis

25

Kadar solid mempengaruhi


kadar bound water

Sumber : Hasil Pengolahan (2012)

Rangkuman :
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, maka jenis conditioner yang digunakan dalam chemical conditioning adalah tawas, FeCl3, kapur, dan
polielektrolit kationik seperti dalam jurnal Nurdan Buyukkamaci (2007) dan S. Deneux (2001), dengan dosis dan metode yang mengacu pada
jurnal Mustin (2001) dan M. Citeau (2011), untuk mencapai kadar air lumpur 60-85% (Xuan Yin et al., 2004).

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pengolahan lumpur biologis melalui proses pengkondisian lumpur dengan bahan
kimia (chemical conditioning). Penelitian dilakukan pada skala laboratorium dengan menggunakan metode jar test dalam mensimulasikan
proses pengkondisian lumpur, menggunakan agen conditioner dengan variasi jenis dan dosisnya untuk mencari jenis dan dosis conditioner
yang paling optimal untuk meningkatkan efisiensi dewatering lumpur biologis.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data
primer berasal dari pengujian parameter dewatering yaitu kadar air lumpur, serta parameter pendukung penelitian berupa parameter pH,
temperatur, total solid (TS), dan volatile solid (VS). Sedangkan data sekunder didapatkan dari hasil survey, jurnal, data literatur, dan buku.
Adapun kerangka pemikiran penelitian dalam penelitian ini digambarkan dengan diagram alir sebagai berikut :
Rumusan Masalah
Tinjauan Pustaka
Penentuan Variabel
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Lumpur (WAS)
Proses Chemical Conditioning Skala Laboratorium
Pengujian Kadar Air & Analisa
Kesimpulan

Gambar 3.1. Kerangka Penelitian


Sumber : Hasil Olahan (2012)

3.2Waktu dan Lokasi Penelitian

Sampel lumpur biologis yang digunakan dalam penelitian diambil dari bak pengendap sekunder pada IPAL PT. Rohm and Haas
Indonesia, Cilegon, Banten. Tempat penelitian dan pengecekan parameter dilaksanakan di laboratorium PT. Rohm and Haas Indonesia.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2013 hingga Mei 2013. Secara keseluruhan, penelitian dilaksanakan pada waktu sebagai
berikut :
Tabel 3.1. Jadwal Penelitian

Sumber : Hasil Olahan (2012)

3.3Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis dan dosis agen conditioning, yang berupa ferric chloride (FeCl3), tawas
(Al2(SO4)3), kapur (CaO), dan polyelectrolyte (polimer organik). Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah persentase
pengurangan kadar air lumpur. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah pH, temperatur, TS, dan VS lumpur.
3.4Tahapan Penelitian

3.4.1

Pengambilan Sampel
Sampellumpur biologis pada penelitian ini diambil dari hasil pengolahan biologis (berupa bak aerasi) yang telah diendapkan dalam

bak pengendap sekunder. Sampel tersebut diambil melalui bagian bawah bak pengendap sekunder dengan sebuah selang yang dapat dibuka
dan ditutup, di mana terdapat lumpur biologis yang telah dikumpulkan selama beberapa hari.
3.4.2

Pengujian Pendahuluan
Sebelum melakukan penelitian pada skala laboratorium, dilakukan pengukuran data primer terlebih dahulu terhadap sampel

lumpur baku, agar diketahui karakteristik lumpur tersebut sebelum dilakukan penelitian pengkondisian lumpur skala laboratorium. Data
primer yang diukur di awal tersebut adalah data temperatur, pH, TS,dan VS yang kemungkinan besar akan mempengaruhi efisiensi
dewatering yang akan diukur selama penelitian nantinya. Analisis awal ini dilakukan di laboratorium dalam kurun waktu 2 jam setelah
pengambilan sampel untuk menghindari proses penuaan akibat penyimpanan sampel terlalu lama (Hosnani, 2010). Kadar air lumpur baku
juga diuji di awal penelitian ini, agar dapat menjadi acuan bagi penilaian pengurangan kadar air dari hasil penelitian nantinya (selama
proses optimalisasi chemical conditioning), dan dapat diperkirakan seberapa banyak dry sludge dari lumpur baku.

Sampel lumpur baku sebanyak 1 liter diaduk secara manual atau dengan pengaduk selama 1 menit sehingga menjadi homogen,
kemudian diteliti kondisi awal lumpur, yakni pH, temperatur, TS, dan VS. pH diukur dengan pH-meter, berdasarkan SNI 06-6989.11-2004
tentang Cara uji derajat keasaman (pH)dengan menggunakan alat pH-meter. Temperatur lumpur baku diukur dengan menggunakan
termometer. Analisa TS dan VS dilakukan berdasarkan prinsip gravimetri yang mengacu pada Standard Method (APHA, 2000). Metode
yang digunakan untuk menghitung kadar air lumpur juga mengacu pada Standard Method (APHA, 2000). Masing-masing parameter diuji
secara duplo agar didapatkan data penelitian yang lebih representatif.
3.4.3

Proses Chemical Conditioning Lumpur Biologis


Lumpur baku homogen yang dibutuhkan untuk percobaan chemical conditioning dimasukkan dalam gelas beaker 1000 mL dan

diberi agen conditioning dengan dosis yang bervariasi. Kisaran variasi dosis ini dapat mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, dan
juga berdasarkan hasil penelitian pendahuluan terhadap lumpur baku sebelumnya.
Proses pengkondisian lumpur secara kimiawi ini dilakukan dengan metode jar test. Untuk setiap sampel yang masing-masing
sebanyak 500 mL dibubuhkan agen conditoning berdasarkan jenis dan dosisnya, alat jar-stirring dijalankan dengan kecepatan tinggi 200
rpm selama 20 detik dan dilanjutkan dengan kecepatan rendah 120 rpm selama 40 detik (Citeau et al., 2011). Pengaturan kecepatan ini
bertujuan agar bahan pengkondisi kimia tersebut dapat terlarut dengan baik.
Konsentrasi larutan yang dibuat untuk masing-masing agen pengkondisi (conditioner) bervariasi sesuai dengan penelitian
sebelumnya, yaitu dengan dosis FeCl3, tawas (alum), dan kapur (CaO) sebesar 6 g/L, 8 g/L, dan 10 g/L (Mustin et al., 2001). Sementara
konsentrasi larutan polielektrolit kationik adalah sebesar 3 g/L, 5g/L, dan 10 g/L (Citeau et al., 2011). Dosis larutan agen pengkondisi yang
dibubuhkan pada setiap sampel diatur sesuai kadar conditioner yang diinginkan dalam gram per kg dry sludge. Untuk FeCl3, tawas (alum),
dan kapur (CaO) kadarnya adalah 6-10 g/kgdry sludge (Mustin et al., 2001), sementara untuk polielektrolit kationik kadar yang dibubuhkan

adalah 3-8 g/kg dry sludge (Saveyn et al., 2008). Setelah melakukan jar-stirring, sampel masing-masing akan diukur temperatur dengan
termometer, pH dengan pH-meter, TS dan VS dengan prinsip gravimetri yang mengacu pada Standard Method (APHA, 2000).
3.4.4

Proses Pengujian Efisiensi Dewatering Sampel


Untuk menguji pengaruh pengkondisian (conditioning) lumpur terhadap efisiensi dewatering lumpur tersebut, dilakukan pengujian

dan pengukuran terhadap persentase pengurangan kadar air lumpur. Metode yang digunakan untuk menghitung pengurangan kadar air
lumpur juga mengacu pada Standard Method (APHA, 2000). Sampel yang telah dikondisikan diambil dengan massa yang sama untuk
setiap sampel, masing-masing ditaruh di cawan petri, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Kadar air didapatkan
melalui perhitungan sebagai berikut:
Kadar air ( )=

BC
x 100
B A

dengan
A : berat cawan (mg)
B : berat cawan + sampel awal (mg)
C : berat awan + sampel setelah dioven 1 jam (mg)
Setiap pengujian untuk menghitung pengurangan kadar air lumpur dilakukan secara duplo, agar didapatkan hasil yang lebih
representatif.

3.5Pengolahan dan Analisa Data

Setiap pengujian kadar air lumpur dari hasil pengkondisian lumpur, dibandingkan dengan hasil pengujian kadar air lumpur baku
awal sebelum pengkondisian, di mana hasil yang diharapkan setelah pengkondisian lumpur adalah persentase pengurangan kadar air
lumpur bertambah. Kenaikan persentase pengurangan kadar air lumpur setelah pengkondisian merepresentasikan peningkatan efisiensi
dewatering lumpur tersebut. Perhitungan efisiensi pengurangan kadar air lumpur adalah sebagai berikut :
S S
E= 1 2 x 100
S1
Di mana :
E = Efisiensi pengurangan kadar air lumpur (%)
S1 = Kadar air lumpur sebelum treatment conditioning (%)
S2 =Kadar air lumpur setelah treatment conditioning (%)
Setelah didapatkan nilai kadar air masing-masing lumpur, maka dibuat skenario-skenario yang berfungsi untuk mengoptimalkan
chemical conditioning di mana akan dibandingkan semua variabel yang dipertimbangkan dalam optimasi tersebut, yaitu persentase kadar
air lumpur serta biaya-biaya yang akan dikeluarkan untuk penyediaan conditioner agent (bahan kimia), penyesuaian pH, dan pembuangan
akhir timbulan lumpur.

3.6Diagram Alir Penelitian

Sampel Lumpur WAS PT. RHI


Pengujian Pendahuluan (pH, suhu, TS, VS, kadar air lumpur)
Percobaan Chemical Conditioning (metode jar test)

6 g, 8 g, 10 g3CaO/liter
g, 5 g, 10 g Polyelectrolite/liter
6 g, 8 g, 10 g FeCl3/liter
6 g, 8 g, 10 g tawas/liter

Menghitung % pengurangan
Menghitungkadar
% pengurangan
Menghitung
air lumpur kadar
% pengurangan
Menghitung
air lumpur kadar
% pengurangan
air lumpur kadar air lumpur

Menentukan dosisMenentukan
optimumFeCl3
dosis optimumtawas
MenentukanMenentukan
dosis optimumCaO
dosis optimumPolyelectrolite

Analisa Efisiensi Pengurangan % Kadar Air Lumpur


Menyimpulkan jenis agen pengkondisi yang paling optimum

Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian


Sumber : Hasil Olahan (2012)

57

Tabel 3.2 Matriks Penelitian


Proses

Satuan

Periode
Pengamata
n

Temperatur

Januari
2013

pH

Januari
2013

Variabel

Penelitian
Pendahuluan

Air dan air limbah - Bagian 11 : Cara uji derajat


keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH
meter

Januari
2013

"Standard Methods for the Examination of Water


and Waste Water" 20th Edition (1998) - 2540 D :
Total Suspended Solids Dried at 103105C

mg/L

Januari
2013

"Standard Methods for the Examination of Water


and Waste Water" 20th Edition (1998) - 2540 G :
Total, Fixed, and Volatile Solids in Solid and
Semisolid Samples

Temperatur

Februari April 2013

pH

Februari -

VSS

Keterangan

SNI 06-6989.23-2005
Air dan air limbah Bagian 23 : Cara uji suhu
dengan termometer
SNI 06-6989.11-2004

mg/L

TSS

Percobaan
Chemical
Conditionin
g

Standar Pengujian

SNI 06-6989.23-2005
Air dan air limbah Bagian 23 : Cara uji suhu
dengan termometer
SNI 06-6989.11-2004

Universitas Indonesia

Pengukuran temperatur, pH, TS,


dan VS dilakukan pada sampel
lumpur sebelum percobaan
chemical conditioning

Pengukuran temperatur, pH, TS,


dan VS dilakukan untuk setiap
sampel yang telah mendapatkan
dosis optimal dari masing-masing

58

TSS

VSS

mg/L

mg/L

April 2013

Air dan air limbah - Bagian 11 : Cara uji derajat


keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH
meter

Februari April 2013

"Standard Methods for the Examination of Water


and Waste Water" 20th Edition (1998) - 2540 D :
Total Suspended Solids Dried at 103105C

Februari April 2013

"Standard Methods for the Examination of Water


and Waste Water" 20th Edition (1998) - 2540 G :
Total, Fixed, and Volatile Solids in Solid and
Semisolid Samples

SNI 01-2891-1992
Kadar Air

Februari April 2013


Cara Uji Kadar Air Metode Oven

Sumber : Hasil Olahan (2012)

Universitas Indonesia

agen conditioning

Pengukuran kadar air dilakukan


pada semua sampel yang
diujicobakan dalam proses
chemical conditioning di
laboratorium

59

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Chemical Conditioning

Pengambilan sampel lumpur biologis dilakukan di wilayah IPAL PT. RHI, tepatnya diambil di bak pengendap sekunder
(secondary clarifier). Proses pengkondisian lumpur secara kimiawi (chemical conditioning) ini dilakukan sesuai dengan perencanaan awal,
yaitu dengan metode jar test, di mana masing-masing sampel sebanyak 500 mL dibubuhkan agen conditoning berdasarkan jenis dan
dosisnya, diaduk dengan alat jar-stirring berkecepatan tinggi 200 rpm (selama 20 detik) dan dilanjutkan dengan kecepatan rendah 120 rpm
(selama 40 detik).

Gambar 4.1. Pengambilan Sampel Lumpur Biologis PT. RHI dari Bak Pengendap Sekunder (Secondary Clarifier)
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2013)

Universitas Indonesia

60

Untuk lumpur baku yang belum mengalami perlakuan pengkondisian apapun, yang telah diaduk dalam jar tes pula memiliki
karakteristik awal seperti yang tertera pada tabel 4.1. Lumpur ini secara fisik berwarna hitam keabuan dan agak encer. Kadar bahan organik
di dalam lumpur biologis baku ini adalah 51,5% berdasarkan karakteristik data awal lumpur baku. Menurut Zhang (2010) dan Yuan et al.
(2011), kadar air rata-rata pada lumpur biologis atau waste activated sludge (WAS) yang belum diolah dengan conditioning biasanya adalah
96,81-99,24%, pH dengan rentang 6,2-6,9, dan kadar VSS sebesar kurang lebih 50-75%. Berdasarkan literatur tersebut, maka lumpur
biologis PT. RHI telah memiliki karakteristik yang sesuai dengan literatur yang ada terkait chemical conditioning, sehingga hasil
penelitiannya nanti pun dapat dibandingkan juga dengan literatur yang sudah ada.
Tabel 4.1. Karakteristik Lumpur Baku Awal
Karakteristik Lumpur Baku
Nilai
Satuan
Suhu
pH
Total solid
Volatile solid
Kadar air

27,8
6,5-7,5
24.140
12.433
97,33

C
mg/L
mg/L
%

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)

Menurut Metcalf (2003), WAS biasanya memiliki pH sekitar 6,5 hingga 8. Setelah beberapa kali melakukan pengukuran pH, maka
pH pada WAS yang diuji pada PT. RHI ditentukan sebesar 7,22. Pada pH ini, masih memungkinkan bagi setiap conditioner yang ada
(tawas, feri klorida, kapur, dan polielektrolit kation) untuk bekerja dengan cukup optimal. Menurut Zhiqiang Zhang (2010), di sekitar pH
netral, partikel lumpur tersuspensi menjadi lebih mudah teragregasi dan porporsi free water dalam lumpur dapat bertambah, yang berarti

Universitas Indonesia

61

lebih mudah untuk dikeringkan. Kadar organik yang terkandung di dalam WAS menurut Metcalf (2003) juga bervariasi dari 59-88%. Kadar
organik lumpur biologis (WAS) PT. RHI sebesar 51,5%, berada dibawah rentang tersebut. Hal tersebut mungkin disebabkan karena
lamanya penyimpanan WAS dalam bak pengendap sekunder IPAL yang cukup lama (lebih dari seminggu), sehingga memungkinkan
terjadinya degradasi material organik atau reaksi-reaksi di antara zat organik lumpur itu sendiri sehingga kadar organiknya sudah berkurang
pada saat diuji di laboratorium oleh penulis. Namun, kandungan organik ini masih dalam dianalisis dan masih dapat dijadikan sebagai
karakteristik awal lumpur biologis PT. RHI.

Gambar 4.2. Percobaan dan Pengecekan Karakteristik Awal Lumpur


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2013)

Universitas Indonesia

62

Pada saat pemeriksaan kadar solid lumpur, metode yang digunakan pada awal penelitian menggunakan acuan dari Standard
Methods for the Examination of Water and Waste Water edisi ke-20 (1998), untuk menghitung kadar Total Suspended Solid (TSS) dari
lumpur sebagai penanda adanya penambahan timbulan lumpur akibat adanya penggunaan bahan kimia tambahan. Pada percobaan di
minggu pertama, setelah menguji TSS lumpur melalui pengenceran 100 kali, didapatkan bahwa hasil percobaan tersebut tidak cukup
signifikan untuk merepresentasikan besarnya timbulan lumpur yang bertambah setelah adanya penambahan bahan kimia
(conditioner).Berdasarkan hasil penelitian Buyukkamaci (2004), besarnya total solid (TS) lumpur biologis baku sebesar 20.010 mg/L.
Kadar solid dalam jurnal yang dibuat oleh Xuan Yin et al., menunjukan hasil pengukuran total solid lumpur sekitar 38.670 mg/L hingga
40.320 mg/L. Hasil kadar TSS yang didapatkan dari pengecekan oleh penulis di laboratorium bernilai di atas kisaran normal jumlah solid
pada lumpur biologis IPAL (hasil TSS percobaan lebih dari 1 juta mg/L). Hal tersebut disebabkan oleh karena tingkat pengenceran yang
terlalu besar sehingga pengukuran kadar TSS lumpur menjadi tidak akurat. Oleh karena itu, agar lebih representatif dan untuk
penyederhanaan metode analisis, maka metode yang digunakan untuk mengukur kadar solid lumpur adalah menggunakan metode untuk
menghitung total solid (TS), tidak hanya TSS. Walau pun kadar TS merepresentasikan tidak hanya kadar TSS, namun juga kadar total
dissolved solid (TDS), nilai TDS dapat diabaikan.Seperti data yang berasal dari jurnal sebelumnya, kadar TS lumpur biologis baku adalah
sekitar 6.050 mg/L (Hosnani, 2010), dan kadar TSS lumpur biologis baku sekitar 6.381 mg/L (Yuan et al, 2011). Hal ini membuktikan
bahwa kadar TSS jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar solid terlarut total (total dissolved solid/TDS) dalam lumpur, dan kadar TDS
tersebut dapat diabaikan dalam percobaan. Setelah dianalisis lebih lanjut oleh penulis, adanya tambahan timbulan lumpur akan lebih
representatif diukur dengan melihat perkembangan fraksi beratnya, yang dapat diukur dengan total solid (TS) tanpa adanya pengenceran.
Dengan demikian, maka fraksi berat lumpur yang merepresentasikan timbulan lumpur akan terlihat lebih jelas dan signifikan. Pengujian
total solid (TS) lumpur dilakukan dengan memanaskan sampel lumpur sebanyak 20 ml tanpa pengenceran di dalam oven pada suhu 105 oC

Universitas Indonesia

63

selama 1 jam. Pada suhu tersebut selama 1 jam diasumsikan seluruh air yang terkandung dalam lumpur telah hilang menguap, sehingga
fraksi berat lumpur dapat teridentifikasi dan terkuantifikasi.

Gambar 4.3. Percobaan TS (kiri) dan Hasil Pengecekan TS Lumpur (kanan)


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2013)

Sama seperti pengecekan TS lumpur, hal penyetaraan metode tersebut juga berlaku pada pengecekan VS lumpur, yang
merepresentasikan kadar organik dalam lumpur. Pada awalnya pemeriksaan kadar organik yang terdapat dalam lumpur dilakukan dengan
metode pengukuran volatile suspended solid (VSS) yang mengacu pada Standard Method (APHA, 2000), namun setelah dianalisis lebih
lanjut pula, ternyata akan lebih representatif jika parameter yang diukur adalah volatile solid (VS) saja, sehingga sampel lumpur tidak perlu
diencerkan lagi, lalu dilakukan pemanasan sampel lumpur lagi pada suhu tinggi (550C) selama 20 menit. Pemanasan pada suhu 550C
dilakukan karena suhu tersebut merupakan suhu minimum karbon dihasilkan dari proses pirolisis karbohidrat dan materi organik lain serta
suhu, dimana proses dekomposisi garam inorganik terjadi pada titik minimum. Sehingga pada suhu tersebut, seluruh kandungan material

Universitas Indonesia

64

organik lumpur akan hilang. Dengan demikian, fraksi zat padat terlarut baik yang volatile mau pun yang tidak, diabaikan dalam percobaan
ini, dan pengukuran disesuaikan menjadi pengukuran TS dan VS.
Percobaan chemical conditioning nya sendiri dimulai dengan membubuhkan conditioner ke dalam lumpur berdasarkan variasi
yang didapatkan dari literatur. Variasi dosis tersebut disetarakan dengan literatur di awal karena kondisi karakteristik lumpur PT. RHI
menyerupai karakteristik lumpur biologis yang ada dalam literatur (Mustin et al, 2001). Konsentrasi larutan yang dibuat untuk masingmasing agen pengkondisi (conditioner) bervariasi sesuai dengan penelitian sebelumnya. Percobaan chemical conditioning lumpur ini
dilakukan secara iterasi, berulang-ulang dengan mengubah-ubah dosis masing-masing conditioner hingga didapatkan data penurunan kadar
air lumpur yang signifikan, serta hingga tercapai titik di mana kondisi lumpur mencapai titik jenuhnya akibat penambahan bahan kimia
berupa conditioner tersebut. Untuk masing-masing conditioner, variasi dosis yang diujicobakan berbeda satu sama lainnya karena pengaruh
conditioner tersebut terhadap penurunan kadar air lumpur juga berbeda-beda.
Detail iterasi dosis masing-masing bahan kimia sebagai agen pengkondisi (conditioner agent) tersebut adalah sebagai berikut. Di
minggu pertama percobaan penelitian, penulis membuat variasi dosis conditioner sesuai dengan penelitian sebelumnya berdasarkan
penelitian Mustin et al. (2001), yaitu dosis FeCl 3, tawas (alum), dan kapur (CaO) sebesar 6 g/L, 8 g/L, dan 10 g/L. Sementara konsentrasi
larutan polielektrolit kationik adalah sebesar 3 g/L, 5g/L, dan 10 g/L (Citeau et al., 2011). Namun, kadar air lumpur dari hasil percobaan
chemical conditioning di minggu pertama ini masih belum turun sesuai dengan yang diharapkan, hanya mencapai 80 sampai 96%, dan
belum didapati titik jenuh masing-masing conditioner (titik di mana kadar maksimum conditioner dapat dibubuhkan). Oleh karena itu, pada
minggu selanjutnya, dosis masing-masing conditioner ditambahkan seperti tawas menjadi 12 gr/L hingga 18 gr/L pada minggu ke-2, dan
terus menambah dosis percobaan tawas hingga 34 mg/L pada minggu ke-3 untuk mendapatkan titik jenuh dosis pembubuhan tawas dalam
proses chemical conditioning ini. Demikian pula dengan jenis conditioner FeCl3, kapur, dan polielektrolit kation. Dosis FeCl3 yang juga

Universitas Indonesia

65

ditambahkan dari 12 gr/L hingga 18 gr/L pada minggu ke-2. Oleh karena pada rentang dosis tersebut, FeCl 3 telah ditemukan titik jenuhnya,
maka untuk minggu selanjutnya tidak dilakukan penambahan dosis lagi.Untuk conditioner kapur, pada minggu pertama, kadar air lumpur
hasil percobaan menunjukkan bahwa titik jenuh untuk dosis kapur berada pada rentang 6 gr/L hingga 8 gr/L, sehingga pada minggu
selanjutnya dosis kapur diubah menjadi 6,5 gr/L, 7 gr/L, dan 7,5 gr/L agar dapat lebih terlihat titik jenuhnya. Begitu pula dengan perubahan
dosis polielektrolit kation, yang diubah dosisnya dengan mempersempit rentang dosis dari 3-10 gr/L menjadi 6 gr/L, 7 gr/L, 8 gr/L, dan 9
gr/L.

4.2 Hasil Percobaan Chemical Conditioning

Dari proses chemical conditioning yang dilakukan dalam skala laboratorium, maka didapatkan variasi data lumpur untuk masingmasing conditioner seperti yang tertera pada tabel 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Untuk percobaan chemical conditioning dengan tawas, didapatkan
bahwa dengan variasi dosis tawas dari 6 gr/L hingga 34 gr/L dapat menurunkan kadar air baku yang awalnya sebesar 97,33% menjadi
77,79%.
Tabel 4.2. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Tawas
No.

Sampel
(Kadar Conditioner)

1
2
3
4
5

Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)


Lumpur + Tawas (6 gr/L)
Lumpur + Tawas (8 gr/L)
Lumpur + Tawas (10 gr/L)
Lumpur + Tawas (12 gr/L)

TS
(mg/L)

VS
(mg/L)

Kadar Air
(%)

7,22 24.140
4,38 59.098
4,12 53.482
4,02 75.688
4,00 132.600

12.433
30.615
39.230
51.038
92.148

97,33
92,00
89,71
83,43
83,05

pH

Universitas Indonesia

66

6
7
8

Lumpur + Tawas (14 gr/L)


Lumpur + Tawas (16 gr/L)
Lumpur + Tawas (18 gr/L)

3,97 143.820
3,92 164.913
3,89 169.513

Lumpur + Tawas (22 gr/L)

3,90 176.485

10

Lumpur + Tawas (26 gr/L)

3,85 178.975

11

Lumpur + Tawas (34 gr/L)

3,76 180.025

79.098
83.530
57.652
122.22
8
161.59
0
109.61
8

85,12
81,76
77,79
86,36
91,45
92,51

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)

Begitu pula dengan hasil percobaan chemical conditioning dengan conditioner lainnya. Variasi dosis feri klorida (FeCl3) dari 6 gr/L
hingga 18 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 69,60%. Variasi dosis kapur (CaO)
dari 6 gr/L hingga 10 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 73,23%. Lalu variasi
dosis polielektrolit kationik dari 3 gr/L hingga 12 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33%
menjadi 57,30%. Menurut Xuan Yin et al. (2004), chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%,
sehingga dari keempat jenis conditioner tersebut, semuanya dapat digunakan sebagai conditioner lumpur yang cukup efektif, hanya saja
harus digunakan secara optimal dalam hal menentukan dosisnya, agar mencapai sasaran penurunan kadar air yang dibutuhkan dan tetap
dapat bersifat ekonomis bagi perusahaan.
Tabel 4.3. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan FeCl3
No.

Sampel
(Kadar Conditioner)

pH

TS
(mg/L)

VS
(mg/L)

Universitas Indonesia

Kadar Air
(%)

67

1
2

Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)


Lumpur + FeCl3 (6 gr/L)

7,22
3,53

24.140
32.895

12.433
25.480

97,33
95,91

Lumpur + FeCl3 (8 gr/L)

2,94

51.573

44.595

94,27

Lumpur + FeCl3 (10 gr/L)

2,53

Lumpur + FeCl3 (12 gr/L)

2,49

Lumpur + FeCl3 (14 gr/L)

2,42

Lumpur + FeCl3 (16 gr/L)

2,36

62.035
182.03
3
221.67
5
225.13
5

90,57

Lumpur + FeCl3 (18 gr/L)

2,24

79.905
243.09
0
246.40
5
251.29
0
271.57
5

114.945

87,25

69,60
80,66
85,46

Sumber : Hasil PengujianLaboratorium(2013)

Tabel 4.4. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan CaO


No.

Sampel
(Kadar Conditioner)

1
2

Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)


Lumpur + Kapur (6 gr/L)

Lumpur + Kapur (6,5 gr/L)

4
5

Lumpur + Kapur (7 gr/L)


Lumpur + Kapur (7,5 gr/L)

pH

TS
(mg/L)

VS
(mg/L)

Kadar Air
(%)

7,22
12,11
12,2
9
12,3
2
12,3

24.140
86.835
213.87
0
106.95
5
121.96

12.433
48.927

97,33
90,99

200.590

73,23

57.632
33.470

87,38
91,18

Universitas Indonesia

68

Lumpur + Kapur (8 gr/L)

Lumpur + Kapur (10 gr/L)

1
12,2
7
12,4
0

0
69.910

19.452

93,06

37.150

20.847

96,05

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)

Tabel 4.5. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Polielektrolit Kation


No.

Sampel
(Kadar Conditioner)

pH

TS
(mg/L)

VS
(mg/L)

Kadar Air
(%)

Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)

7,22

24.140

97,33

Lumpur + Poli.Kation (3 gr/L)

7,31 206.040

Lumpur + Poli.Kation (5 gr/L)

7,23 218.370

Lumpur + Poli.Kation (6 gr/L)

7,03 248.660

Lumpur + Poli.Kation (7 gr/L)

7,13 323.750

Lumpur + Poli.Kation (8 gr/L)

7,18 351.873

Lumpur + Poli.Kation (9 gr/L)

7,28 422.860

Lumpur + Poli.Kation (10 gr/L)

7,24 441.960

Lumpur + Poli.Kation (12 gr/L)

7,21 464.420

12.433
100.00
0
105.00
0
232.85
1
209.90
1
328.19
6
400.00
0
441.70
8
443.85
0

Universitas Indonesia

76,74
74,60
60,73
59,38
58,70
57,30
58,74
75,21

69

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)

4.2.1

Analisis Pengaruh Conditioner terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur


Dari grafik 4.1 mengenai pengaruh conditioner tawas terhadap kadar air dan solid lumpur, terlihat bahwa daerah kerja conditioner

tawas adalah pada kadar air lumpur sekitar 77,79% sampai 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 77,79% dicapai oleh tawas pada dosis
sebesar 18 gr/L. Jika dosis tawas yang dibubuhkan lebih besar dari konsentrasi tersebut, maka kadar air lumpur akan bertambah lagi. Pada
konsentrasi 18 gr/L tawas itulah titik jenuh bagi conditioner tawas. Buyukkamaci (2004) menyebut hal tersebut terjadi karena muatan
positif dari conditoner tawas sudah berikatan semuanya dengan muatan negatif yang mayoritas ada pada kandungan lumpur, pada dosis 18
gr/L tersebut. Jika diteruskan penambahan dosisnya, maka yang terjadi bukanlah pengikatan ion yang menyebabkan agregasi lumpur,
namun yang terjadi adalah bertambahnya fraksi berat lumpur yang disebabkan oleh bertambahnya berat lumpur akibat penambahan bahan
kimia yang tidak berikatan.
Grafik yang dihasilkan (grafik 4.1) merupakan grafik polinomial tingkat 2 di mana terdapat 1 lembah, yaitu nilai kadar air minimum
yang dapat dicapai dari hasil pembubuhan tawas dalam proses conditioning-nya. Dari grafik 4.1 terlihat bahwa penambahan dosis kimia
(conditioner) berbanding lurus dengan jumlah solid (berat) lumpur. Pada dosis tawas antara 8 gr/L hingga 14 gr/L terdapat lembah pula
pada grafik 4.1 yang menandakan adanya potensi titik jenuh juga. Namun, hal ini dianalisis sebagai kesalahan yang disebabkan oleh adanya
perbedaan hari dalam melakukan percobaan dengan dosis yang berbeda tersebut, sehingga memungkinkan hasil yang kurang akurat.

Universitas Indonesia

70

Pengaruh Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur


96.00

184,000
f(x)
==
0.05x^2
- 1.63x++12234.17x
97.74
f(x)
- 201.32x^2
+ 1782.77
164,000
RR
==
0.72
0.9
144,000

91.00

KadarKadar
Air Air
(%)

124,000
104,000
Solid
84,000

86.00
Polynomial (Kadar Air)

Solid
(mg/L)
Polynomial
(Solid)

64,000

81.00

44,000
76.00
-6.00

4.00

14.00

24.00

24,000
34.00

Dosis Conditioner (gr/L)

Grafik 4.1. Pengaruh Conditioner Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Universitas Indonesia

71

Pengaruh FeCl3 terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur


98.00

f(x)
f(x)==390.53x^2
0.06x^2 - 2.02x
+ 11598.72x
+ 100.58
+ 14336.11
RR==0.81
0.4
223,000

93.00
88.00

KadarKadar
Air Air
(%)

83.00

173,000
Polynomial (Kadar Air)

Solid
123,000

78.00

Solid
(mg/L)
Polynomial
(Solid)

73,000

73.00
68.00
0.00

23,000
5.00

10.00

15.00

Dosis Conditioner (gr/L)


Grafik 4.2. Pengaruh Conditioner FeCl3 terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Bergitu pula dengan conditioner lainnya. Dari grafik 4.2 mengenai pengaruh conditioner FeCl3 terhadap kadar air dan solid lumpur,
terlihat bahwa daerah kerja conditioner FeCl3 adalah pada kadar air lumpur sekitar 69,60% sampai 97,33%. Kadar air lumpur sebesar
69,60% dicapai oleh FeCl3 pada dosis sebesar 12 gr/L.

Universitas Indonesia

72

Pengaruh CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur


98
Kadar Air 93
88

Kadar Air (%) 83

f(x) = 0.52x^2 - 5.14x + 97.19


R = 0.44
174,000
Polynomial (Kadar
Air)

Solid

f(x) = - 4511.45x^2 + 45768.54x


+ 24137.85
124,000
Solid
R = 0.56

78
Polynomial (Solid)
73
0.0
2.0

(mg/L)

74,000

4.0

6.0

8.0

24,000
10.0

Dosis Conditioner (gr/L)

Grafik 4.3. Pengaruh Conditioner CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Dari grafik 4.3 mengenai pengaruh conditionerCaO terhadap kadar air dan solid lumpur, terlihat bahwa untuk dosis 6-10 gr/L CaO,
maka penurunan kadar air lumpur dapat berkisar dari 73,23% sampai dengan 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 73,23% dicapai oleh CaO
pada dosis sebesar 6,5 gr/L. Lalu dari grafik 4.4 mengenai pengaruh conditioner polielektrolit kationik terhadap kadar air dan solid lumpur,
terlihat bahwa daerah kerja conditioner polielektrolit kationik tersebut adalah pada kadar air lumpur sekitar 57,30% sampai 97,33%. Kadar
air lumpur sebesar 57,30% dicapai oleh polielektrolit kationik pada dosis sebesar 9 gr/L.Hal ini terjadi seperti yang telah disebutkan oleh

Universitas Indonesia

73

Zhang (2010), yaitu bahwa kation membantu proses dewatering dengan menjembatani area-area bermuatan negatif dari EPS, di mana dapat
mendorong kemampuan pelepasan air (dewaterability), dan kadar air lumpur dapat berkurang cukup banyak hingga berada di bawah 60%.

Pengaruh Polielektrolit Kation


terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
97
Kadar Air
87

f(x) =
= 0.62x^2
- 9.94x
+ 99.79 424,000
f(x)
- 768.67x^2
+ 46869.18x
+ 31156.33
Polynomial (Kadar Air)
R
R =
= 0.97
0.9
324,000

77

224,000

67
Polynomial (Solid)
57
0.0 2.0

124,000

Kadar Air (%)

4.0

6.0

Solid

Solid (mg/L)

24,000
8.0 10.0 12.0

Dosis Conditioner (gr/L)


Grafik 4.4. Pengaruh Conditioner Polielektrolit Kation terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Dari hasil percobaan yang terpapar pada grafik 4.1, 4.2, 4.3, dan 4.4, terlihat bahwa conditioner yang dapat menurunkan kadar air
lumpur paling rendah adalah conditioner yang berupa polielektrolit kationik, yang merupakan polimer organik. Polielektrolit kationik
memberikan hasil yang terbaik dalam penurunan kadar air lumpur tersebut karena polielektrolit dapat mengubah karakteristik permukaan

Universitas Indonesia

74

koloid dan sifat reologi larutan pada lumpur. Secara khusus, polielektolit kationik digunakan karena kemampuannya untuk berinteraksi
dengan permukaan bermuatan negatif dari lumpur lebih baik dibandingkan dengan bahan kimia (conditioner) garam anorganik (Mihai,
2008). Secara umum, grafik menunjukkan grafik yang serupa dengan grafik yang terdapat dalam jurnal yang dibuat oleh Buyukkamaci
(2004) dan Lee (2000) di mana grafik pengaruh besaran dosis bahan kimia terhadap nilai CST berbanding terbalik, di mana semakin
banyak dosis conditioner dibubuhkan, maka nilai CST semakin menurun sampai suatu titik jenuh tertentu. Menurunnya nilai CST ini
menunjukkan bahwa kemampuan lumpur untuk melepas air semakin bertambah, dan itulah sebabnya seiring bertambahnya dosis
conditioner maka besarnya kadar air lumpur juga menurun, sampai suatu titik jenuh tertentu.
4.2.2

Analisis Pengaruh Kadar Organik terhadap Kadar Air Lumpur


Jika hasil pemeriksaan kadar organik lumpur yang dihubungan dengan kadar air lumpur, maka untuk masing-masing conditioner

memiliki kecenderungan grafik yang sama. Keempat conditioner menunjukkan hasil yang serupa, yaitu semakin besar kadar organik dalam
suatu lumpur, maka kadar air yang terkandung dalam lumpur akan semakin sedikit. Menurut Wingender et al(1999), hal ini diakibatkan
oleh proses ekstraksi air dari lumpur akan menjadi semakin sukar ketika nilai volatile solid (VS) semakin tinggi. Extra-cellular Polymeric
Substances (EPS) yang ada dalam kandungan organik lumpur mengikat sel-sel melalui interaksi kompleks untuk membentuk struktur
jaring-jaring yang luas dengan sedikit air, sehingga melindungi sel-sel dari proses dewatering.
Kadar organik (VS) dalam lumpur yang telah dikondisikan dengan tawas adalah sekitar 34-90,2%. Kadar organik (VS) dalam
lumpur yang telah dikondisikan dengan FeCl 3 adalah sekitar 42,32-89,96%. Kadar organik (VS) dalam lumpur yang telah dikondisikan
dengan CaO adalah sekitar 27,44-93,79%. Kadar organik (VS) dalam lumpur yang telah dikondisikan dengan polielektrolit kationik adalah
sekitar 48,08-99,94%. Hasil tersebut agak berbeda dengan yang telah dikemukaan oleh Zhang (2010) mengenai kadar VSS yang biasanya

Universitas Indonesia

75

kurang lebih 50-75% dari total solid. Hal ini mungkin terjadi akibat kandungan organik yang ada pada lumpur telah mengalami berbagai
macam aktivitas atau degradasi akibat adanya beberapa perbedaan waktu percobaan, pengawetan sampel, dan perbedaan jenis conditioner.

Kadar VS vs Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur


860,000
Tawas

Linear (Tawas)

810,000
760,000

Air yang Terekstrak (mg/L)

f(x) = - 1.03x + 884155.98


f(x)==0.94
- 2.05x + 876041.39
R
R = 0.94
f(x) = - 1.14x + 829733.94
FeCl3
Linear (FeCl3)
f(x) = - 0.74x + 810909.33
R = 0.81
R = 0.75

710,000
660,000

CaO

Linear (CaO) 610,000

Poli.Kation

Linear (Poli.Kation)

560,000
92,000
12,000

252,000
172,000

332,000

Kadar VS (mg/L)
Grafik 4.5. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur
Tren Linear
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Universitas Indonesia

76

Kadar VS vs Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur


Tawas

Logarithmic (Tawas)
860,000 f(x) = -57550.18
-98092.62
1808695.38
-91945.65 ln(x) + 1435167.07
1743643.06
f(x)
=0.99
-88422.02 ln(x) + 1690177.67
0.98
0.9
R
=
810,000 R = 0.94
760,000

FeCl3

Air yang Terekstrak (mg/L)


CaO

Logarithmic (FeCl3)

710,000
660,000
610,000

Logarithmic (CaO)

560,000
Poli.Kation

92,000
252,000
12,000
Logarithmic
172,000
(Poli.Kation)332,000

Kadar VSS (mg/L)


Grafik 4.6. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur
Tren Logaritmik
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Universitas Indonesia

77

Kecenderungan data yang terlihat dari kedua grafik 4.5 dan 4.6 menunjukkan bahwa secara umum, grafik dengan tren logaritmik
lebih signifikan merepresentasikan pengaruh kadar volatile solid (VS) terhadap banyaknya air yang terekstrak dari lumpur biologis
dibandingkan dengan grafik tren linier. Hal ini dianalisis melalui kecenderungan data dari nilai R 2 pada grafik tren logaritmik yang
cenderung lebih besar daripada tren linear sehingga penyebaran data pada grafik tren logaritmik tersebut lebih akurat. Berdasarkan metode
analisis regresi linier sederhana, dapat dikatakan lebih akurat karena korelasi R 2 tersebut menyatakan bahwa regresi non linier (logaritmik)
memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan regresi linier. Dengan demikian, karena grafik dengan tren logaritmik lebih
representatif, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar kadar organik (VS) dalam lumpur, maka ikatan air secara kimiawi (bound water)
jauh lebih kuat daripada ikatan kimiawi dalam lumpur yang memiliki kadar organik (VS) lebih sedikit.

4.2.3

Analisis Perhitungan Optimasi


Biaya sebesar Rp 32.640.000,- harus dikeluarkan oleh PT.RHI setiap tahunnya untuk operasional pengolahan lumpur biologis

(detail perhitungan biaya ada pada lampiran 7). Biaya tersebut tersebut dapat dikurangi dengan adanya pengolahan awal ( preliminary
treatment) dari pihak PT. RHI untuk mengurangi timbulan lumpur tersebut, yaitu salah satu caranya adalah dengan melakukan chemical
conditioning dengan pembubuhan dosis yang optimal.
Menurut Zhai (2012), optimalisasi kinerja conditioning dapat evaluasi secara kuantitatif dengan input dari 2 respon, yaitu dari kadar
air lumpur yang sudah dikeringkan dan biaya bahan kimia dari conditioner yang digunakan. Dalam penelitian ini, proses penentuan dosis
yang optimal untuk masing-masing conditioner yang ada tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar penurunan kadar air lumpur yang
diperoleh, namun juga memperhatikan pengaruh dari jumlah timbulan lumpur beserta kadar solid lumpur yang bertambah seiring dengan

Universitas Indonesia

78

bertambahanya pemakaian conditioner. Selain itu, perlu juga untuk memperhatikan biaya yang mungkin dikeluarkan juga untuk melakukan
sedikit penyesuaian pH sebagai akibat adanya perubahan pH lumpur dari pencampurannya dengan conditioner.

Pengaruh Conditioner pada pH


Tawas

12.00

Linear (Tawas)

10.00

pH

FeCl3

8.00

Linear (FeCl3)

6.00

Kapur
Linear (Kapur)

4.00

Poli. Kation

2.00
0 2 4 6 8 1012141618

Linear (Poli. Kation)

Kadar Conditioner (gr/L)

Grafik 4.7. Pengaruh Kadar Conditioner terhadap pH Lumpur


Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Penggunaan conditioner dari bahan kimia anorganik seperti tawas dan feri klorida dapat menyebabkan turunnya pH lumpur di
bawah rentang pH baku mutu berdasarkan Kepmen lh nomor 51 tahun 1995 (6-9). Bahkan pembubuhan feri klorida sebanyak 18 gr/L dapat
menurunkan pH hingga 2,24. Hal ini membuktikan bahwa di dalam menganalisis optimasi chemical conditioning ini juga harus
memperhatikan biaya yang mungkin dikeluarkan untuk proses penyesuaian pH jika pH lumpur setelah dikondisikan berada di luar rentang

Universitas Indonesia

79

pH 6-9. Selain itu, oleh karena lumpur hasil olahan chemical conditioning ini akan diserahkan kepada pihak ketiga, di mana lumpur
tersebut akan dijadikan sebagai salah satu bahan baku (feedstock) unit waste-to-energy, sehingga harus memenuhi standar pH di atas 6,5
(Wahid, 2013).
Dari hasil grafik 4.7 dapat terlihat bahwa tawas dan feri klorida menyebabkan pH lumpur menjadi terlalu asam (di bawah pH 6),
dan kapur menyebabkan pH menjadi terlalu basa (di atas 9). Penambahan tawas yang mengurangi pH karena setiap 1 mg/L aluminium
sulfat bereaksi menghasilkan presipitat aluminium hidroksida, sehingga mengkonsumsi 0,5 mg/L alkalinitas (sebagai CaCO 3). Pengurangan
alkalinitas ini membutuhkan adanya pembubuhan lime (CaO) untuk menaikkan pH lumpur sampai mencapai pH lumpur yang ideal untuk
diaplikasikan. Demikian pula lumpur yang memiliki alkalinitas yang terlalu tinggi akibat adanya pembubuhan conditioner CaO juga harus
dinetralisir dengan asam, dalam percobaan ini digunakan alum sebagai penetralisir pH nya. Walau pun lumpur-lumpur ini nantinya akan
diserahkan ke pihak ketiga untuk diolah dalam sistem waste-to-energy, dan bukan untuk dibuang langsung ke lingkungan, tetap saja
penyesuaian pH ini harus dilakukan agar tidak membahayakan setiap unit waste-to-energy yang ada di PT. Holcim Geocycle Indonesia.
Oleh karena itu, perhitungan optimasi yang akan digunakan penulis untuk

menghitung jumlah biaya untuk setiap hasil

pengkondisian lumpur sebagai upaya optimalisasi chemical conditioning adalah sebagai berikut :
Biaya Total ( Rp )=f ( solid ) +f ( conditioner )+ biaya pH adjustment

(4.1)

Dari rumus di atas, terlihat bahwa untuk menganalisis seberapa besar biaya yang dihasilkan dari masing-masing penggunaan
conditioner maka yang harus ikut diperhatikan dalam perhitungan dan mempengaruhi perhitungan tersebut adalah jumlah timbulan lumpur
akhir yang terjadi, jumlah conditioner yang dibubuhkan, dan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyesuaian pH. Setelah dilakukan

Universitas Indonesia

80

percobaan di laboratorium, didapati bahwa untuk penyesuaian pH lumpur yang memiliki asiditas tinggi akibat pembubuhan conditioner
tawas dan feri klorida dibutuhkan penyetara pH berupa larutan kapur (CaO) sebanyak 60% dari dosis conditioner yang dibubuhkan.
Sementara untuk penyesuaian pH lumpur yang memiliki alkalinitas tinggi akibat pembubuhan conditioner CaO dibutuhkan penyetara pH
berupa larutan alum sebanyak 90% dari dosis conditioner yang dibubuhkan.
Dari perhitungan optimasi yang telah ditetapkan di atas, maka penulis membuat 2 macam skenario optimasi yang berguna untuk
menguji dan mencari skenario mana yang dapat menghasilkan proses chemical conditioning yang paling optimal. Keadaan optimal yang
dimaksud dalam skenario ini dapat digunakan sebagai decision support system (DSS), di mana PT. RHI dapat menentukan jenis dan dosis
conditioner mana yang akan dipakai dalam proses chemical conditioning yang akan digunakan nantinya, sesuai dengan keadaan lumpur
biologis dan keinginan perusahaan. Jika proses optimasi ingin dirancang menjadi sebuah decision support system (DSS), maka perlu pula
membandingkan total biaya chemical conditioning yang dihasilkan dari perbandingan dosis conditioner pada kondisi pencapaian kadar air
lumpur yang sama. Oleh karena setiap conditioner telah memiliki persamaan masing-masing yang merepresentasikan pengaruh dosis
terhadap kadar air dan timbulan lumpur, maka perusahaan dapat menentukan sendiri juga kadar air lumpur yang diinginkan sebagai output
unit chemical conditioning-nya. Misalnya, perusahaan menginginkan kadar air lumpur pada persentase tertentu seperti 75%, 80%, atau
85%.
Skenario pertama adalah membandingkan biaya total proses chemical conditioning antara keempat conditioner dengan mengambil
acuan kadar air lumpur akhir yang sama, yaitu sebesar 85%. Chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99%
menjadi 65-85%, bergantung pada sifat padatan yang akan diolah (Xuan Yin et al., 2004). Penentuan acuan hasil akhir kadar air lumpur
sebesar 85% adalah agar didapatkan kemungkinan hasil biaya total minimum yang dihasilkan dari keempat percobaan proses chemical
conditioning yang ada.

Universitas Indonesia

81

Tabel 4.6 Skenario 1 - Biaya Total Chemical Conditioning dengan Acuan Kadar Air 85%
Jenis
Conditione
r

Dosis
Conditione
r (gr/L)

Kada
r Air
(%)

Kadar
Solid
(mg/L)

Tawas

11,33

85

FeCl3

11,5

85

CaO

85

1,66

85

114.553
199.36
8
136.35
6
106.84
1

Poli.
Kation

Biaya
Conditioner
yg dipakai
(Rp/tahun)

Biaya
Buang
Lumpur
(Rp/tahun
)

Biaya pH
Adjustment
(Rp/tahun)

1.818.818

3.473.527

3.031.364

8.323.710

5.948.573

6.045.352

3.076.848

15.070.773

2.675.520

4.134.663

866.868

7.677.051

4.322.927

3.239.680

7.562.607

Biaya
Operasiona
l Tahunan
(Rp/tahun)

Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Tawas (Al2(SO4)3)
Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan tawas, dari grafik 4.1 mengenai pengaruh tawas terhadap kadar air dan
solid lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis tawas (gr/L) terhadap penurunan kadar air lumpur (%) berikut :
y=0,045 x 21,634 x +97,74
(4.2)
dengan persamaan pengaruh dosis tawas (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
y=201,3 x2 +12.234 x +1782

(4.3)

Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 77,79% didapatkan pada saat dosis tawas yang digunakan sebesar
18 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan dosis tawas tersebut,

Universitas Indonesia

82

maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp
12.845.566,- setiap tahun.

Feri klorida (FeCl3)


Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan FeCl3, dari grafik 4.2 mengenai pengaruh FeCl3 terhadap kadar air dan
solid lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis FeCl3 (gr/L) terhadap penurunan kadar air lumpur (%) berikut :
y=0,585 x 22,015 x+ 100,5
(4.4)
dengan persamaan pengaruh dosis FeCl3 (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
2
y=390,5 x +11.599 x+14.336
(4.5)
Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 69,60% didapatkan pada saat dosis FeCl 3 yang digunakan sebesar
12 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan dosis FeCl 3 tersebut,
maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp
16.788.942,- setiap tahun.

Kapur (CaO)
Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan CaO, dari grafik 4.3 mengenai pengaruh CaO terhadap kadar air dan solid
lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis CaO (gr/L) terhadap penurunan kadar air lumpur (%) berikut :
2
y=0,518 x 5,137 x +97,19
(4.6)
dengan persamaan pengaruh dosis CaO (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
y=4511 x 2 +45.769 x +24.138
(4.7)

Universitas Indonesia

83

Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 73,23% didapatkan pada saat dosis CaO yang digunakan sebesar
6,5 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan dosis CaO tersebut,
maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp
10.322.673,- setiap tahun.

Polielektrolit kationik
Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan polielektrolit kationik, dari grafik 4.4 mengenai pengaruh polielektrolit
kationik terhadap kadar air dan solid lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis polielektrolit kationik (gr/L) terhadap
penurunan kadar air lumpur (%) sebagai berikut :
2
y=0,624 x 9,942 x +99,79

(4.8)

dengan persamaan pengaruh dosis polielektrolit kationik (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
2
y=768,6 x + 46.869 x +31.156
(4.9)
Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 57,30% didapatkan pada saat dosis polielektrolit kationik yang
digunakan sebesar 9 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan
dosis polielektrolit kationik tersebut, maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis
PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp 36.259.753,- setiap tahun.
Skenario kedua adalah membandingkan biaya total proses chemical conditioning antara keempat conditioner dengan mengambil
acuan dosis yang merupakan titik optimal antara kadar air lumpur dengan jumlah timbulan lumpur pada grafik 4.1 hingga 4.4 yang dicapai
oleh keempat conditioner tersebut, sehingga optimasi conditioning lebih valid. Hasil perhitungan total biayanya terlihat dalam tabel 4.7.

Universitas Indonesia

84

Tabel 4.7 Skenario 2 - Biaya Total Chemical Conditioning dengan Acuan Optimasi Kadar Air dan Timbulan Lumpur Biologis
Jenis
Conditione
r

Dosis
Conditione
r (gr/L)

Kada
r Air
(%)

Tawas

10

85,90

FeCl3

10

86,15

CaO
Poli.
Kation

7,5

87,80

75,58

Kadar
Solid
(mg/L)

103.99
2
169.37
6
113.662
164.84
6

Biaya
Conditioner
yg dipakai
(Rp/tahun)

Biaya
Buang
Lumpur
(Rp/tahun
)

Biaya pH
Adjustment
(Rp/tahun)

1.605.312

3.153.304

2.675.520

7.434.136

5.172.672

5.135.914

2.675.520

12.984.106

3.344.400

3.446.515

1.083.586

7.874.501

7.812.518

4.998.541

12.811.059

Biaya
Operasiona
l Tahunan
(Rp/tahun)

Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Dari hasil skenario 1 dan skenario 2 didapatkan biaya total pengolahan lumpur yang berbeda antara kedua skenario tersebut. Biaya
total pengolahan lumpur dengan conditioner tawas tercapai paling murah pada skenario 2, yaitu pada harga Rp 7.434.136,- setiap tahun.
Demikian juga dengan conditioner feri klorida (FeCl3). Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner FeCl3 tercapai paling murah
pada skenario 2, yaitu pada harga Rp 12.984.106,- setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh jumlah dosis conditioner tawas dan FeCl3 yang
lebih rendah pada skenario 2 dibandingkan dengan dosisnya pada skenario 1, walaupun kadar air lumpurnya tidak mencapai 85%, hanya
mendekati 85%.
Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner kapur (CaO) tercapai paling murah pada skenario 1, yaitu pada harga Rp
7.677.051,- setiap tahun. Demikian pula dengan conditioner polielektrolit kationik. Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner

polielektrolit kationik tercapai paling murah pada skenario 1 pula, yaitu pada harga Rp 7.562.607 setiap tahun. Biaya pengolahan lumpur

Universitas Indonesia

85

dengan conditioner polielektrolit kationik menjadi yang paling murah di sini karena pengolahan dengan polielektrolit kationik tidak
membutuhkan biaya tambahan untuk penyesuaian pH, tidak seperti penggunaan ketiga jenis conditioner lainnya.
Jika skenario 1 dijadikan acuan dalam menentukan dosis yang optimal bagi chemical conditioning lumpur biologis PT. RHI, maka
jenis conditioner yang paling optimal untuk dipakai adalah polielektrolit kationik, dengan dosis sebesar 1,66 gr/L. Namun, dosis tersebut
hanya dapat berlaku jika pada suatu syarat tertentu saja, yaitu pada saat perusahaan menginginkan kadar air lumpur sebesar 85%. Jika
dilihat dari keseluruhan skenario proses optimasi chemical conditioning, maka jenis conditioner yang paling optimal untuk digunakan
dalam mengolah lumpur biologis PT. RHI adalah tawas, dengan dosis sebesar 10 gr/L. Hal ini dapat disimpulkan demikian karena
penggunaan conditioner tawas sebanyak 10 gr/L inilah yang membutuhkan biaya total pengolahan yang paling ekonomis, menghasilkan
timbulan lumpur yang paling sedikit, serta dapat menekan kadar air lumpur hingga mendekati batas kadar air lumpur yang diinginkan, yaitu
sekitar 85,9%.Perhitungan efisiensi pengurangan kadar air lumpur adalah sebagai berikut :
97,3385,9
E=
x 100 = 11,74%
97,33
Efisiensi pengurangan kadar air lumpur biologis yang dapat dilakukan setelah pemilihan conditioner yang optimal (tawas) adalah sebesar
11,74%.

4.3 Desain Unit Chemical Conditioning Skala Industri PT. RHI

Dari hasil optimasi, penulis mendapati bahwa bahan kimia yang paling optimal untuk digunakan sebagai conditioner dalam proses
chemical conditioning lumpur biologis PT. Rohm and Haas Indonesia adalah tawas dengan dosis optimum sebesar 10 gr/L. Sehingga, jika

Universitas Indonesia

86

diproyeksikan untuk timbulan lumpur PT. RHI sebanyak 38.400 kg per tahun, maka tanki conditioner yang akan dibuat akan memiliki
spesifikasi sebagai berikut :

Desain Tanki Penyimpanan Conditioner Tawas


- Kadar alum aktif = 49 %
- Debit lumpur IPAL = 10 L/s
- Massa jenis lumpur
: 929,36 kg/m3
- Dosis alum (C)
: 10 gr/L
- Kebutuhan alumunium (m) : (100/49) x Q x C
= (100/49) x 10 L/s x 10 gr/L
= 204,08 gr/s = 17.632,65 kg/hari
- Direncanakan untuk penyimpanan selama 7 hari
= 17.632,65 kg/hari x 7 hari
= 123.428,57 kg

Jumlah Tangki = 1 buah


-

Volume tangki conditioner =

m 123.428,57 kg
=

kg
929,36 3
m

3
Volume tangki conditioner 132,81m

Dengan dimensi tangki conditioner :


tinggi = 5 m
diameter = 6 m
3
Volume tangki = 141,30 m

Universitas Indonesia

87

Desain Bak Chemical Conditioning


Sistem pembubuhan conditioner digunakan dengan menggunakan dosing pump yang dihisap melalui tangki conditioner
kemudian diinjeksikan ke dalam lumpur sebelum lumpur masuk pada bak conditioning.
- Kebutuhan alumunium = 17.632,65 kg/hari
kg
17.632,65
hari
=18.980,25
- Debit conditioner =
kg
hari
0,929

Jumlah conditioner yang dihisap =

18.980,25 1000 ml /
hari
=219,7 ml /s
s
86400
hari

Universitas Indonesia

88

Desain bak Chemical Conditioning :

6m

Tawas
5
m

Gambar 4.4. Tampak Samping (kiri) dan Tampak Atas (kanan) Bak Chemical Conditioning
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

Digested Sludge

PumpSludge Supply

Universitas Indonesia

89

Gambar 4.5. Diagram Alir dari Pengolahan Biologis Limbah hingga Proses Chemical Conditioning Lumpur Biologis
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Dari 4 jenis conditioner digunakan, maka pengaruh jenis dan dosis conditioner agent tersebut adalah sebagai berikut :
-

Tawas dengan dosis 18 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 77,79%, serta dapat dikatakan
sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 10 gr/L.

Universitas Indonesia

90

Feri klorida (FeCl3) dengan dosis 12 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 69,60%, serta dapat
dikatakan sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 10 gr/L.

Kapur dengan dosis 6,5 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 73,23%, serta dapat dikatakan
sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 7,5 gr/L.

Polielektrolit kation dengan dosis 9 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 57,30%, serta dapat
dikatakan sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 3 gr/L.

Secara garis besar, grafik penurunan kadar air lumpur berbanding terbalik dengan grafik timbulan fraksi berat lumpur, yaitu semakin
banyak pemakaian dosis conditioner sampai dosis tertentu, maka kadar air lumpur akan semakin menurun, dan timbulan fraksi berat
lumpur semakin bertambah, di mana keduanya akan mencapai suatu titik jenuh pada dosis tertentu.
2. Jenis conditioner agent yang paling optimal untuk digunakan sebagai conditioner dalam proses chemical conditioning lumpur biologis
PT. Rohm and Haas Indonesia adalah tawas dengan dosis optimum sebesar 10 gr/L. Hasil optimasi chemical conditioning lumpur
biologis ini membutuhkan biaya operasional total tahunan sebesar Rp 7.434.136,-, turun dari biaya operasional total tahunan sebelum
adanya chemical conditioning lumpur yang berkisar Rp 32.640.000,-. Analisa perbandingan biaya operasional total tahunan ini berasal
dari penggabungan interaksi variabel persentase kadar air, pH, dan kuantitas timbulan lumpur, di mana persentase kadar air
merepresentasian pengaruh conditioner secara langsung terhadap lumpur dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pemakaian
bahan kimia sebagai conditioner, biaya penyesuaian pH dibutuhkan untuk memenuhi standar baku mutu lingkungan, dan biaya
pengolahan timbulan lumpur lanjutan yang terlihat dari kuantitas fraksi berat lumpur yang terjadi.
3. Peningkatan efisiensi dewatering lumpur biologis IPAL PT. RHI melalui chemical conditioning yang dioptimalkan adalah sebesar
11,74%.

Universitas Indonesia

91

5.2 Saran

Agar penelitian yang selanjutnya dapat dilaksanakan dengan lebih maksimal, maka penulis menarik beberapa saran berdasarkan
data-data sebelumnya, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan data awal karakteristik lumpur biologis sebaiknya lumpur diambil dari secondary clarifier segera setelah lumpur
baru terbentuk, bukan lumpur yang telah diendapkan beberapa hari, agar hasil analisis perbandingan dapat menjadi lebih akurat dan
sempurna.
2. Dalam melakukan pengujian parameter seperti kadar organik lumpur sebaiknya dilakukan pada hari yang sama pada semua sampel,
karena parameter biologis dapat berubah-ubah dengan cepat bergantung pada kondisi lingkungan pada saat pengawetan sampel.
3. Untuk pengecekan efisiensi dewatering selanjutnya, akan lebih baik jika parameter dewatering yang diperiksa tidak hanya kadar air
lumpur saja, namun juga nilai capillary suction time (CST) lumpur menggunakan CST apparatus, atau nilai specific resistance of
filtration (SRF) lumpur menggunakan test SRF, yang dapat mengestimasi dewaterability lumpur. Pada penelitian ini, penulis tidak
menggunakan variabel tersebut dikarenakan adanya keterbatasan alat.
DAFTAR PUSTAKA

Bolto, Brian dan John Gregory. 2007. Organic Polyelectrolytes in Water Treatment. Water Research 41 (2007) 23012324.

Universitas Indonesia

92

Buyukkamaci, Nurdan. 2004. Biological Sludge Conditioning by Fentons Reagent. Process Biochemistry 39 (2004) 15031506.
Buyukkamaci, Nur dan Emrah Kucukselek. 2007. Improvement of Dewatering Capacity of a Petrochemical Sludge. Journal of Hazardous
Materials 144 (2007) 323327.
Chu, C. dan Lee, D. 1999. Moisture Distribution in Sludge : Effects of Polymer Conditioning. Colloids and Surfaces A : Physicochemical
and Engineering Aspects 194 (2001) 213220.
Citeau, M., O. Larue, dan E. Vorobiev. 2011. Inuence of Salt, pH and Polyelectrolyte on The Pressure Electro-Dewatering of Sewage
Sludge. Water Research 45 (2011) 2167-2180.
Devia, Yatnanta Padma. 2009. Pengaruh Penambahan Kapur dan Abu Terbang Dalam Laju Pelepasan Air dari Lumpur Biologis (IPAL
SIER). JURNAL REKAYASA SIPIL, Volume 3, No.2 2009 ISSN 1978 5658.
Dynam AC Corporation. 1999. Correlation Between Liquid, Sludge, and Solid Waste Form S, and Surface Impoundment, Land
Application, And Landfill Disposal Options. Washington, D.C : U.S. Environmental Protection Agency.
Hosnani, E., M. Nosrati, dan S.A. Shjasadati. 2010. Role of Extracellular Polymeric Substances in Dewaterability of Untreated, Sonicated,
and Digested Waste Activated Sludge. Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng., 2010, Vol. 7, No. 5, pp. 395-400.

Universitas Indonesia

93

http://wastecinternational.co.id/?ForceFlash=true#/blog/Pengolahan-Limbah-Industri-Pengolahan-Limbah-Industri-B3.html (11 Oktober


2012).
Karr, Philip R. 1978. Influence of Particle Size on Sludge Dewaterability. Journal Water Pollution Control Federation, Vol.50, No.8.
Kim, J., Park, C., dan Novak, J.T. 2011.Combination of Coagulating Agents, Alum and Cationic Polymer, for Sludge Dewatering and
Odors. Korean Society of Civil Engineers Journal of Civil Engineering 15 (3), 447-451.
Krzemieniewski, M., M. Debowski, W. Janczukowicz, dan J. Pesta. 2003. Effect of Sludge Conditioning by Chemical Methods with
Magnetic Field Application. Polish Journal of Environmental Studies Vol. 12, No. 5 (2003), 595-605
Li, D.H. dan J.J. Ganczarczyk, Structure of activated sludge flocs, Biotechnol. Bioeng., 35 (1990) 5765.
Lee, C. H. dan J. C. Liu. 2001. Sludge Dewaterabiltity and Floc Structure in Dual Polymer Conditioning. Advances in Environmental
Research 5 2001 129-136
Metcalf & Eddy 1991. Wastewater Engineering Treatment, Disposal and Reuse. 3th Edition. MC. Graw- Hill. New York. America.
Metcalf & Eddy 2003. Wastewater Engineering Treatment and Reuse. MC. Graw- Hill. New York. America.
Mihai, M., G. Dabija, dan C. Costache. 2008. Complex Formation Between Cationic Polyelectrolytes. Chem. Bull. "POLITEHNICA" Univ.
(Timioara), Volume 53(67), 1-2, 2008.

Universitas Indonesia

94

Mikkelsen, Lene Haugaard dan Kristian Keiding. 2002. Physico-hemical Characteristics of Full Scale Sewage Sludges with Implications to
Dewatering. Water Research 36 (2002) 24512462.
Mustin, S. Deneux, B.S. Lartiges, G. Villemin, F. Thomas, J. Yvon, J.L. Bersillon, dan D. Snidaro. 2001. Ferric Chloride and Lime
Conditioning of Activated Sludge an Electron Microscopic. Wat. Res. Vol. 35, No. 12, pp. 30183024.
Nguyen, Tan Phong, Nidal Hilal, Nicholas P. Hankins, dan John T. Novak. 2008. Characterization of Synthetic and Activated Sludge and
Conditioning with Cationic Polyelectrolytes. Desalination 227 (2008) 103110.
Nguyen, Tan Phong dkk. 2008. Determination of the effect of cations and cationic polyelectrolytes on the characteristics and final
properties of synthetic and Activated Sludge. Desalination 222 (2008) 307317.
Novak, J.T. dan C. Park. 2004. Chemical Conditioning of Sludge. Water Science & Technology Vol 49 No 10 pp 7380.
Ohm, Tae-In, Jong-Seong Chae, Jeong-Eun Kim, Hee-kyum Kim, dan Seung-Hyun Moon. 2009. A study on the Dewatering of Industrial
Waste Sludge by Fry-Drying Technology. Journal of Hazardous Materials 168 (2009) 445450.
Pan, Jill Ruhsing. 2003. Correlation Between Dewatering Index and Dewatering Performance of Three Mechanical Dewatering Devices.
Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng., 2010, Vol. 7, No. 5, pp. 395-400.

Universitas Indonesia

95

Park, Chul, Yuan Fang, Sudhir N. Murthy, dan John T. Novak. 2010.Effects of Floc Aluminum on Activated Sludge Characteristics and
Removal of 17--Ethinylestradiol in Wastewater Systems.Water research 44 (2010) 13351340.
Patel, Hema & Suneel Pandey. 2009. Exploring the Reuse Potential of Chemical Sludge from Textile Wastewater. American Journal of
Environmental Sciences.
Qasim, Syed R. 1985. Wastewater Treatment Plants : Planning, Design, and Operation. New York : CBS College Publishing.
Ramdani, Abdellah, Peter Dold, Stephane Deleris, Daniel Lamarre, Alain Gadbois dan Yves Comeau. 2010. Biodegradation of The
Endogenous Residue of Activated Sludge. Water Research 44 (2010) 21792188.
Reynold, Tom, D. 1982. Unit Operation and Processes in Environmental Engineering. Texas ANM University. Brooks/Cole Engineering
Division. Monterey. California.
Rinaudo, M., 2006. Chitin and chitosan: Properties and Applications. Progr. Polym. Sci. 31, 603632.
Sawalha, O. dan Scholz, M. 2010. Modeling the Relationship between Capillary Suction Time and Specific Resistance to Filtration. Journal
of Hazardous Materials 154 (2008) 10521059.
Sawyer, Clair N., Perry L. McCarty, Gene F. Parkin. 2003. Chemistry for Environmental Engineering, 5th edition. New York : McGrawHill Inc.

Universitas Indonesia

96

Sheng, Guo-Ping, Han-Qing Yu, dan Xiao-Yan Li. 2010. Extracellular Polymeric Substances (EPS) of Microbial Aggregates in Biological
Wastewater Treatment Systems : A Review.Biotechnology Advances 28 (2010) 882894.
Simmons, Milagros S. 1991. Hazardaous Waste Managements. United States of America : Lewis Publisher, Inc.
Tchobanoglous, George and Franklin L. Burton. 1991. Wastewater Engineering Treatment Disposal Reuse 3th ed. Singapore: Mc Graw Hill
Book Co.
Universitas Indonesia (2004). Pengantar Penulisan Ilmiah.
Wahid, S. S. 2013. Design Criteria for The Hazardous (Biomedical) Waste Incineration Plants for Hospitals. Minia Journal of Engineering
and Technology, (MJET)Vol. 32, No 1, January 2013.
Wu, Chih Chao, Chihpin Huang, dan D.J. Lee. 1997. Bound Water Content and Water Binding Strength on Sludge Flocs. Wat. Res. Vol. 32,
No. 3, pp. 900-904.
Yang, Gordon C.C, Min-Cong Chen, Chun-Fu Yeh. 2011. Dewatering of a Biological Industrial Sludge by Electrokinetics-assisted Filter
Press. Water Research 44, 21792188.
Yin, Xuan, Pingfang Han, Xiaoping Lu, dan Yanru Wang. 2004. A Review on The Dewaterability of Bio-sludge and Ultrasound
Pretreatment. Ultrasonics Sonochemistry 11 (2004) 337348.

Universitas Indonesia

97

Yuan, Hai-ping, Xiao-bo Cheng, Shan-ping Chen, Nan-wen Zhu, dan Zhen-ying Zhou. 2011. New Sludge Pretreatment Method to Improve
Dewaterability of Waste Activated Sludge. Bioresource Technology 102 (2011) 56595664.
Zhai, Lin-Feng, Min Sun, Wei Song, dan Gan Wang. 2012. An Integrated Approach to Optimize the Conditioning Chemicals for Enhanced
Sludge Conditioning in a Pilot-Scale Sludge Dewatering Process. Bioresource Technology 121 (2012) 161168.
Zhang, Zhiqiang, Siqing Xia, dan Jiao Zhang. 2010. Enhanced Dewatering of Waste Sludge with Microbial Focculant TJ-F1 as a Novel
Conditioner. Water Research 44 (2010) 30873092.
Lampiran 1 : Dokumentasi

LAMPIRAN

Universitas Indonesia

Gambar Alat dan Bahan untuk Percobaan Chemical Conditioning

98

Universitas Indonesia

99

Lampiran 1 : Dokumentasi (lanjutan)

Universitas Indonesia

100

Sampel-sampel Lumpur dalam Percobaan Chemical Conditioning

Universitas Indonesia

101

Lampiran 2 : Pengukuran Suhu

Pengukuran Suhu
1. Prinsip
Air raksa dalam termometer akan memuai atau menyusut sesuai dengan panas air yang diperiksa, sehingga suhu air dapat dibaca pada
skala termometer (oC).
2. Bahan
- Sampel yang akan diukur
3. Peralatan
- Termometer air raksa yang mempunyai skala sampai 110oC
- beaker glass 100 ml
4. Prosedur
- Sampel yang akan diuji dituang ke dalam beaker glass 100 ml
- Termometer langsung dicelupkan ke dalam contoh uji dan biarkan 2 menit sampai dengan 5 menit sampai termometer
-

menunjukkan nilai yang stabil


Catat pembacaan skala termometer tanpa mengangkat lebih dahulu termometer dari air

Universitas Indonesia

102

Lampiran 3 : Pengukuran pH

Pengukuran pH
1. Prinsip
Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktifitas ion hidrogen secara potensiometri/ elektrometri dengan menggunakan pH
meter.
2. Bahan
- Sampel yang akan diukur
- Air suling
3. Peralatan
- pH meter dengan perlengkapannya
- beaker glass 100 ml
4. Prosedur
- Sampel yang akan diuji dituang ke dalam beaker glass 100 ml
- Elektroda dibilas terlebih dahulu sebelum mengukur sampel
- Elektroda dicelupkan ke dalam beaker glass yang berisi sampel, diamati hingga pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap

Universitas Indonesia

103

Lampiran 4 : Pengukuran Total Solid dan Kadar Air Lumpur

Pengukuran Total Solid (TS) dan Kadar Air


1. Prinsip
Sampel yang terlah tercampur diuapkan dalam cawan dan dikeringkan sampai berat konstan dalam oven pada suhu 103 hingga 105C.
Penambahan berat pada cawan kosong setelah oven merepresentasikan total solid.
2. Bahan
- Sampel yang akan diukur (20 ml)
3. Peralatan
- Cawan uap 100 ml
- Oven pengering (untuk operasi 103 hingga 105C)
- Desikator
- Timbangan analitik
4. Prosedur
a. Preparasi cawan uap
Jika yang mau diukur adalah total solid, cawan uap harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum digunakan pada suhu 103 hingga
105C selama 1 jam. Setelah itu didinginkan pada desikator minimal setengah jam atau sampai waktunya akan digunakan. Lalu
cawan uap harus segera ditimbang dengan timbangan analitis sebelum digunakan untuk mendapatkan data berat cawan kosong awal
b. Analisis sampel
-

Timbang berat cawan uap awal yang diambil dari desikator

Universitas Indonesia

104

Lampiran 4 : Pengukuran Total Solid dan Kadar Air Lumpur (lanjutan)


Sampel yang akan diuji sebanyak 20 ml dituang ke dalam cawanuap 100 ml
Timbang berat cawan uap dan sampel tersebut dengan timbangan analitis sebelum dimasukkan ke dalam oven
Panaskan cawan uap beserta sampel dalam oven pada suhu 103 hingga 105C selama 1 jam

Setelah dikeluarkan dari oven, cawan uap beserta sampel didinginkan dalam desikator selama setengah jam atau lebih untuk

menyeimbangkan suhu
Timbang kembali cawan uap beserta sampel yang telah dioven tersebut dengan timbangan analitis sampai beratnya konstan , atau
sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% dari berat sebelumnya atau sebesar 0,5 mg.

- c.
-

Perhitungan
mg total solids / L=

( AB ) x 1000
volume sampel ,mL

kadar air=

( CA )
x 100
(CB)

di mana :
- A = berat residu kering + cawan setelah oven (mg)
- B = berat cawan kosong (mg)
- C = berat sampel basah + cawan sebelum oven
-

Universitas Indonesia

105

Universitas Indonesia

106

Lampiran 5 : Pengukuran Volatile Solid

Pengukuran Volatile Solid (VS)

1. Prinsip
- Residu dari metode TS (lampiran 4) dibakar hingga berat konstan pada suhu 550 oC. Solid yang tersisa merepresentasikan fixed
solid total, sementara berat yang hilang selama pembakaran adalah volatile solid. Penentuan ini berguna untuk mengontrol sistem
operasi pengolahan air limbah karena menyediakan pendekatan kasar mengenai jumlah fraksi solid organik yang ada dalam air limbah,
lumpur aktif, dan limbah industri.
1. Bahan
- Sampel yang akan diukur (20 ml)
- 3. Peralatan
- Cawan uap 100 ml
- Furnace (untuk operasi mencapai 550C)
- Desikator
- Timbangan analitik
- 4. Prosedur
- a.
-

Preparasi cawan uap


Jika yang mau diukur adalah volatile solid, cawan uap harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum digunakan pada suhu

550C selama 1 jam. Setelah itu didinginkan pada desikator minimal setengah jam atau sampai waktunya akan digunakan. Lalu
cawan uap harus segera ditimbang dengan timbangan analitis sebelum digunakan untuk mendapatkan data berat cawan kosong awal
-

Universitas Indonesia

107

- b.
-

Analisis sampel Lampiran 5 : Pengukuran Volatile Solid (lanjutan)


Timbang berat cawan uap awal dan residu yang berasal dari pengujian TS (lampiran 6) dengan timbangan analitis sebelum
dimasukkan ke dalam furnace

Panaskan cawan uap beserta sampel dalam furnace pada suhu 550C selama 15 hingga 20 menit
Setelah dikeluarkan dari furnace, cawan uap beserta sampel didinginkan dalam desikator selama setengah jam atau lebih untuk

menyeimbangkan suhu
Timbang kembali cawan uap beserta sampel yang telah difurnace tersebut dengan timbangan analitis sampai beratnya konstan,
atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% dari berat sebelumnya atau sebesar 0,5 mg.

- c.
-

Perhitungan
mg volatile solids / L=

( AB ) x 1000
volume sampel ,mL

di mana :
- A = berat residu kering + cawan sebelum furnace (mg)
- B = berat residu kering + cawan sesudah furnace (mg)
-

Universitas Indonesia

108

Universitas Indonesia

109

Lampiran 6 : Hasil Pengukuran Suhu Sampel

- Setelah beberapa percobaan dilakukan dan suhu masing-masing sampel diukur, maka didapatkan bahwa tidak ada perubahan
suhu yang signifikan akibat adanya pembubuhan bahan kimia dalam chemical conditioning. Selain itu, metode pengawetan lumpur
melalui proses pendinginan di lemari pendingin membuat suhu lumpur yang berubah-ubah, sehingga tidak dapat dibandingkan
perubahan suhu masing-masing sampel tersebut. Berikut ini merupakan hasil pengukuran suhu masing-masing sampel :
-

Sampel

(Kadar
Conditioner)

Lumpur Baku
(Tanpa
Pengenceran)
Lumpur + Tawas (6
gr/L)
Lumpur + Tawas (8
gr/L)

Lumpur + Tawas

Universitas Indonesia

110

(10 gr/L)
-

Lumpur + Tawas
(12 gr/L)
-

Lumpur + Tawas
(14 gr/L)
Lumpur + Tawas
(16 gr/L)

Lumpur + Tawas
(18 gr/L)
-

Lumpur + Tawas
(22 gr/L)
-

Lumpur + Tawas
(26 gr/L)
Lumpur + Tawas
(34 gr/L)

Universitas Indonesia

111

Lumpur + FeCl3 (6
gr/L)

Lumpur + FeCl3 (8
gr/L)
-

Lumpur + FeCl3
(10 gr/L)
-

Lumpur + FeCl3
(12 gr/L)
-

Lumpur + FeCl3
(14 gr/L)
-

Lumpur + FeCl3
(16 gr/L)
-

Lumpur + FeCl3
(18 gr/L)

Universitas Indonesia

112

Lumpur + Kapur (6
gr/L)

Lumpur + Kapur
(6,5 gr/L)
-

Lumpur + Kapur (7
gr/L)
Lumpur + Kapur
(7,5 gr/L)

Lumpur + Kapur (8
gr/L)
-

Lampiran 6 : Hasil Pengukuran Suhu Sampel (lanjutan)


- Lumpur + Kapur
(10 gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (3 gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (5 gr/L)

Universitas Indonesia

113

Lumpur +
Poli.Kation (6 gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (7 gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (8 gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (9 gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (10
gr/L)
-

Lumpur +
Poli.Kation (12
gr/L)

Universitas Indonesia

114

Lampiran 7 : Perhitungan Biaya Operasional Tahunan


Pembuangan Lumpur PT. RHI
-

Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari PT. RHI (2013), jumlah lumpur biologis yang dihasilkan PT. RHI setiap

minggunya adalah sekitar 5 drum yang masing-masing memiliki kapasitas 160 kg, sehingga jumlah total lumpur biologis PT. RHI adalah
sekitar 800 kg/minggu. Lumpur biologis tersebut masih mengandung nilai kalor yang cukup tinggi (lebih dari 2500 kkal/kg), sehingga PT.
RHI dapat menyerahkan pengolahan selanjutnya kepada PT. Holcim Geocycle Indonesia sebagai pihak ketiga, di mana terdapat sejumlah
biaya pengolahan lumpur selanjutnya yang harus dibiayai oleh PT. RHI. Biaya pengolahan lumpur yang harus dikeluarkan untuk
pengolahan lumpur tersebut adalah sebesar Rp 850.000,-/ton lumpur yang dibuang. Harga yang ditentukan oleh PT. Holcim Geocycle
Indonesia tersebut merupakan harga pasar yang berlaku di daerah penelitian pada tahun 2013. Jika tidak ada perlakuan apa pun pada
lumpur yang akan dibuang oleh PT. RHI, maka dengan jumlah total keseluruhan lumpur yang dihasilkan oleh PT. RHI dalam kurun waktu
1 tahun, akan memakan total biaya sebagai berikut :
Jumlah lumpur biologis WWTP = 5 drums x 160 kg = 800 kg/minggu
= 3,2 ton/bulan = 38,4 ton/tahun
Biaya total pengolahan lumpur = Rp 850.000,-/ton x 38,4 ton/tahun
= Rp 32.640.000,-/tahun
-

Universitas Indonesia

Вам также может понравиться