Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
SKRIPSI
RIANTI RAHARDJA
0906516096
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
DEPOK
JUNI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
FINAL REPORT
RIANTI RAHARDJA
0906516096
FACULTY OF ENGINEERING
ENVIRONMENTAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
DEPOK
JUNE 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata
satu Teknik Lingkungan
RIANTI RAHARDJA
0906516096
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
DEPOK
JUNI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
FINAL REPORT
Proposed as one of the requirement to obtain the Environmental Engineering
Bachelors Degree
RIANTI RAHARDJA
0906516096
FACULTY OF ENGINEERING
ENVIRONMENTAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
DEPOK
JUNE 2013
Nama
: Rianti Rahardja
NPM
: 0906516096
Tanda Tangan
Tanggal
STATEMENT OF AUTHENTICITY
Name
: Rianti Rahardja
Student ID
: 0906516096
Signature
Date
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Rianti Rahardja
NPM
: 0906516096
Program Studi
: Teknik Lingkungan
Judul Skripsi
DEWAN PENGUJI
Penguji 1
Penguji2
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
STATEMENT OF LEGITIMATION
: Rianti Rahardja
Student ID
: 0906516096
Study Program
: Environmental Engineering
Thesis Title
Has been succesfully defended before the Council Examiners and was
accepted as part of the requirements necessary to obtain a Bachelor of
Engineering degree in Environmental Engineering Program, Faculty of
Engineering, Universitas Indonesia.
BOARD OF EXAMINERS
Advisor 1
Advisor2
Examiner 1
Examiner2
Defined in
: Depok
Date
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas
kasih karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Program
Studi Teknik Lingkungan pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penulis
menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak,
sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Kedua orang tua penulis yang penulis hormati, atas doa, dukungan moriil dan
materiil yang telah diberikan kepada penulis mulai dari awal hingga akhir
penelitian serta penyusunan laporan skripsi ini;
2. Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik DEA dan Dr. Cindy R. Priadi ST., M.Sc.,
selaku dosen pembimbing yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk memberikan bimbingan, dukungan, dan pengarahan selama
pengerjaan skripsi;
3. Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono S.E., M.Eng dan Dr. Nyoman Suwartha ST.,
MT., Magr., selaku dosen penguji sidang seminar dan skripsi yang telah
memberikan kritik dan saran dalam pengerjaan skripsi;
4. PT. Rohm and Haas Indonesia, terutama Bapak Riswan Sipayung dan Bapak
Yoyo Priyono, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data
yang diperlukan dan memberikan izin untuk melakukan penelitian di PT. Rohm
and Haas Indonesia;
5. Bapak Didin, Bapak Faisal, dan seluruh staff Laboratorium Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Serang, yang telah memberikan izin dan bantuan dalam proses
pengecekan sampel lumpur di Laboratorium BLH Serang;
6. Mba Sri Diah Handayani dan Mba Licka Kamadewi, selaku laboran
laboratorium lingkungan yang telah membantu penulis dalam mempelajari
metode sampling laboratorium dan penelitian pendahuluan sampel lumpur.
7. David Iskandar dan Rinaldi Rahardja, yang telah banyak memberikan
dukungan tenaga, moriil,semangat, dan doa yang sangat berarti bagi kelancaran
pengerjaan skripsi hingga selesai;
8. Sahabat-sahabat Departemen Teknik Sipil 2009 yang selalu memberikan
keceriaan dan semangat selama proses penyusunan skripsi ini;
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah
membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pembuatan skripsi ini.
10.
membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu saya selama proses
penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan ke depannya.
11.
12.
13. Depok, Juni 2013
14. Penulis
15.
16. PREFACE
Praise the Almighty God, for the grace of God, the author can finish this
thesis. This thesis is done as one of the requirements to achieve a Bachelor of
Environmental Engineering Program at the Faculty of Engineering, Universitas
Indonesia. The author recognizes that it is very difficult for the author to finish
this thesis without the guidance, assistance, and support from various parties.
Therefore, the author would like to thank the following this parties :
1. Both parents of author, for the prayers, morale and material support that has
been given to the author from the beginning to the end of the study and
preparation of this thesis;
2. Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moersidik DEA and Dr. Cindy R. Priadi ST., M.Sc., as
the supervisor who is willing to take the time, energy, and thought to provide
guidance and support during the thesis;
3. Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono S.E., and Dr. Eng. Nyoman Suwartha ST., MT.,
MAgr., as the examiner of the thesis that has provided criticism and
suggestions in the thesis;
4. PT. Rohm and Haas Indonesia, especially Mr. Riswan Sipayung and Mr. Yoyo
Priyono, who have helped in the effort to obtain the necessary data and giving
permission to conduct research at PT. Rohm and Haas Indonesia;
5. Mr. Didin, Mr. Faisal, and the entire staff of the Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Serang, who has given permission and assistance in the process of
checking the sludge samples in BLH Laboratory Serang;
6. Ms. Sri Diah Handy and Ms. Licka Kamadewi, as the Environmental
Laboratory Assistant who helped me in learning the methods of laboratory
sampling and preliminary research of sludge samples.
7. David Iskandar and Rinaldi Rahardja, who has provided personnel support,
spirit, and prayers mean so much to the continuity of thesis working till it has
been finished;
8. The friends of the Department of Civil Engineering 2009 that always give joy
and enthusiasm during the preparation of this thesis;
9. All parties that cant be mentioned one by one, who helped me directly or
indirectly in the process of making this thesis.
10.
kindness of all those who have helped me during the preparation of this
thesis. Hopefully this paper can be useful for the future development of
science.
11.
12.
13. Depok, June 2013
14. Author
15.
: Rianti Rahardja
NPM
: 0906516096
: Teknik Sipil
Fakultas
: Teknik
Jenis Karya
: Skripsi
: Depok
Pada tanggal :
Yang menyatakan
(Rianti Rahardja)
: Rianti Rahardja
Student ID
: 0906516096
: Teknik Sipil
Faculty
: Teknik
Type of Work
: Final Report
(Rianti Rahardja)
ABSTRAK
Nama
: Rianti Rahardja
Program Studi : Teknik Lingkungan
Judul Skripsi : Optimasi Chemical Conditioning untuk Meningkatkan Efisiensi
Dewatering Lumpur Biologis IPAL PT. Rohm and Haas
Indonesia
Proses lumpur aktif dalam suatu Instalasi Pengolahan Air limbah (IPAL) dapat
menghasilkan lumpur biologis (WAS) dengan kadar air berkisar 90-99%.
Pengolahan lumpur hingga pembuangannya dapat menghabiskan 60% dari total
biaya operasional IPAL tersebut. Diperlukan proses dewatering untuk mengurangi
kandungan kadar air lumpur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
chemical conditioning lumpur dengan tawas, FeCl3, kapur, dan polielektrolit
kation yang diujicobakan dengan dosis yang berbeda-beda; dengan
memperhatikan kadar air, pH, suhu, volatile solid (VS), dan total solid (TS).
Tawas dengan dosis 18 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33%
menjadi 77,79%. FeCl3 dengan dosis 12 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS
dari 97,33% menjadi 69,60%. Kapur dengan dosis 6,5 gr/L dapat menurunkan
kadar air WAS dari 97,33% menjadi 73,23%. Polielektrolit kation dengan dosis 9
gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33% menjadi 57,30%. Hasil
optimasi chemical conditioning berdasarkan hasil analisis variabel persentase
kadar air, pH, dan kuantitas timbulan lumpur. Conditioner yang paling optimal
pada penelitian di PT. Rohm and Haas Indonesia (RHI) adalah tawas; dengan
dosis optimum sebesar 10 gr/L. Biaya operasional tahunan total pada dosis
tersebut sebesar Rp7.434.136,-, turun dari biaya operasional total tahunan sebelum
adanya chemical conditioning lumpur yang berkisar Rp32.640.000,-. Peningkatan
efisiensi dewatering lumpur melalui chemical conditioning yang dioptimalkan
adalah sebesar 11,74%. Penelitian chemical conditioning lebih lanjut disarankan
untuk menambah parameter capillary suction time (CST) atau specific resistance
of filtration (SRF) lumpur juga agar dapat mengestimasi dewaterability lumpur
dengan lebih baik.
Kata kunci :
chemical conditioning, conditioner, FeCl3, kadar air, kapur, lumpur biologis, pH,
polielektrolit kation, tawas, volatile solid
ABSTRACT
Name
: Rianti Rahardja
Study Program : Teknik Lingkungan
Title
: Chemical Conditioning Optimization to Enhance the Dewatering
Efficiency of Waste Activated Sludge WWTP PT. Rohm and
Haas Indonesia
Activated sludge process in a wastewater treatment plant (WWTP) can produce
biological sludge (WAS) with a water content ranging from 90-99%. Treating
sludge spend up to 60% of the total operational cost of the WWTP. It is necessary
to use dewatering process which useful to the water content of sludge. The
method used in this study are chemical conditioning using alum, FeCl3, lime, and
cationic polyelectrolyte to be tested with different doses; with the parameters of
water content, pH, temperature, volatile solids (VS), and total solids (TS). Alum
dose of 18 g/L able to reduce the WAS water content from 97.33% to 77.79%.
FeCl3 dose of 12 g/L can reduce the WAS water content from 97.33% to 69.60%.
Lime dose of 6.5 g/L can reduce the WAS water content from 97.33% to 73.23%.
Cationic polyelectrolyte dose of 9 g/L can reduce the WAS water content from
97.33% to 57.30%. Chemical conditioning optimization results are taken from the
analysis of some variables : percentage of water content, pH, and the quantity of
sludge generation. Conditioner agent concluded as the most optimal conditioner
for use in PT. Rohm and Haas Indonesia is the alum with optimum dose of 10 g/L
and the total annual operating expenses of Rp7,434,136,-, down from an annual
total operating expenses before any chemical sludge conditioning that range from
Rp32,640,000,-. The efficiency increasing of the sludge dewatering process
through chemical conditioning which has been optimized is 11.74%. Chemical
conditioning further research is recommended to add a parameter capillary suction
time (CST) or the specific resistance of filtration (SRF) in order to estimate the
WAS dewaterability better.
Key words :
chemical conditioning, conditioner, FeCl3, water content, lime, waste activated
sludge, pH, cationic polyelectrolyte, alum, volatile solid
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Jadwal Penelitian.................................................................................49
Tabel 3.2
Matriks Penelitian...............................................................................54
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1. Pengaruh Dosis Tawas terhadap CST dan SRF Lumpur.....................33
Grafik 2.2. Pengaruh Dosis Kapur terhadap CST dan SRF Lumpur.....................34
Grafik 2.3. Pengaruh Dosis Polielektrolit terhadap CST Lumpur.........................34
Grafik 4.1. Pengaruh Conditioner Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur 64
Grafik 4.2. Pengaruh Conditioner FeCl3 terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur..64
Grafik 4.3. Pengaruh Conditioner CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur...65
Grafik 4.4. Pengaruh Conditioner Polielektrolit Kation terhadap Kadar Air dan
Solid Lumpur......................................................................................66
Grafik 4.5. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur ..68
Tren Linear..........................................................................................68
Grafik 4.6. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur ..68
Tren Logaritmik..................................................................................68
Grafik 4.7. Pengaruh Kadar Conditioner terhadap pH Lumpur............................70
BAB 1
PENDAHULUAN
disebabkan oleh sifat lumpur yang ada (Liu et al., 2003). Bagian padatan (solid)
dari lumpur biologis disusun oleh sel-sel mikroba dan Extra-cellular Polymeric
Substances (EPS) yang berhubungan satu sama lain antar selnya (Comte et al.,
2007). Kadar EPS yang merepresentasikan kadar organik dalam lumpur biologis
dapat menghambat proses dewatering, karena EPS mengikat sel-sel melalui
interaksi kompleks untuk membentuk struktur jaring-jaring yang luas dengan
sedikit air, yang melindungi sel-sel dari proses dewatering (Wingender et., 1999).
Kadar organik tersebut dapat diukur dengan kadar Volatile Suspended Solid(VSS)
dalam lumpur. Kadar volatile solid (VS) dalam lumpur biologis biasanya sekitar
70-80%. Semakin tinggi nilai VS, maka ekstraksi air dari lumpur akan menjadi
semakin sukar (Hosnani et al., 2010).
Untuk membantu mengurangi kadar air dalam lumpur IPAL, maka
dibutuhkan suatu proses dimana padatan lumpur ditambahkan dengan bahan kimia
atau cara lain untuk mengkondisikan lumpur sebelum masuk dalam proses
dewatering. Kemampuan dewaterability lumpur bergantung pada jenis lumpur,
metode conditioning dan dewatering lumpur. Proses conditioning yang efisien
dapat meningkatkan karakteristik dewatering lumpur dan mendorong pemisahan
flok dari fase liquid untuk mencapai kadar solid yang lebih tinggi (Pan et al.,
2003).
Ketika mempertimbangkan biaya seperti peralatan modal, conditioning
agent (bahan kimia), transportasi dan penanganan conditioning agent, dalam
banyak kasus, terbukti bahwa chemical conditioning menjadi yang paling
ekonomis dan sejauh ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam
pengolahan lumpur. PT. Rohm and Haas Indonesia (PT. RHI) yang memproduksi
emulsi akrilik juga memiliki lumpur biologis dalam jumlah yang cukup besar.
Oleh karena itu, bagaimana pengaruh optimasi chemical conditioning tersebut
terhadap peningkatan efisiensi dewatering lumpur biologis IPAL PT. RHI perlu
diteliti lebih lanjut.
1.
2.
3.
pengeringan
lumpur
dari
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi teori-teori yang mendasari penelitian ini berupa teori
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan topik.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Berisi langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian, mulai dari
kerangka penelitian, hingga penjelasan untuk tiap tahapan penelitian yang
berawal dari pengumpulan data, pengolahan dan analisis mengenai
optimalisasi conditioning yang dilakukan terhadap lumpur biologis IPAL
PT. Rohm and Haas Indonesia (RHI).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil penelitian lapangan berupa data kadar air, pH, suhu, total
solid, dan volatile solid lumpur biologis IPAL PT. Rohm and Haas
Indonesia (RHI). Selain itu, dalam bab ini juga berisi analisis hubungan
antara kadar VS dengan persentase kadar air yang terdapat dalam lumpur,
serta menganalisis optimasi chemical conditioning.
BAB 5
PENUTUP
Berisi kesimpulan hasil penelirian dan beberapa rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya mengenai chemical conditioning.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Metcalf & Eddy (2003), bila dilihat dari tingkatan perlakuan
pengolahan maka sistem perlakuan limbah diklasifikasikan menjadi beberapa
tingkat. Tahap tersebut dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengkategorikan
dan melaksanakan pengolahan sesuai dengan beban dan kandungan suatu limbah
cair. Tingkatan pengolahan antara lain adalah preliminary treatment, primary
treatment, secondary treatment, dan tertiary treatment.
2.1.1
Preliminary Treatment
Pada preliminary treatment pengolahan yang dilakukan adalah pengolahan
fisik dengan tujuan untuk menghilangkan padatan anorganik yang terdapat dalam
limbah cair domestik sehingga tidak mengganggu proses pengolahan selanjutnya.
Pengolahan pendahuluan sangat penting sebagai dasar penentu keberhasilan
proses pengolahan selanjutnya. Pengolahan pada tahapan ini biasanya terdiri dari
screening, grit removal, bak ekualisasi, pompa, dan flow measurement.
Penyaringan (screening) merupakan tahap awal pada proses pengolahan air
limbah. Proses ini bertujuan untuk memisahkan potongan-potongan kayu, plastik,
dan benda-benda besar lainnya. Grit chamber dibuat untuk menghilangkan kerikil,
pasir, dan partikel-partikel lain yang dapat mengendap di dalam saluran dan pipapipa serta untuk melindungi pompa-pompa dan peralatan lain dari penyumbatan,
abrasi, dan overloading. Ekualisasi bertujuan untuk mengurangi variasi laju alir
dan konsentrasi limbah cair, agar mencegah pembebanan tiba-tiba (shock load),
dan dapat mengurangi beban dan biaya fasilitas pengolahan yang selanjutnya
(Metcalf, 2003).Terhadap beberapa jenis limbah cair perlu diberikan pengolahan
awal untuk menghilangkan zat pencemar yang tak terbiodegradasi atau beracun,
agar tidak mengganggu proses-proses selanjutnya. Sebagai contoh limbah cair
yang akan ditangani secara biologis harus memenuhi kriteria tertentu yaitu: pH
Universitas Indonesia
antara 6-9; total padatan tersuspensi < 125 mg/L; minyak dan lemak < 15 mg/L;
sulfida < 50 mg/L, dan logam-logam berat umumnya < 1 mg/L (Gunawan, 2006).
2.1.2
2.1.3
untuk mengurangi material fisik seperti suspended solid dan bahan organik dari
air limbah. Mekanisme penyisihan padatan di dalam pengolahan primer dilakukan
melalui proses fisika yang dapat berupa pengendapan (sedimentation) atau
pengapungan (flotation).
2.1.1.1 Sedimentasi Primer
Tujuan dari pengolahan dengan sedimentasi primer ini adalah untuk
menghilangkan padatan yang dapat mengendap (settleable solids) dan padatan
yang dapat terapung (floatable solids). Tangki pengendapan didesain sedemikian
rupa agar air limbah memiliki kecepatan aliran yang cukup rendah sehingga
memungkinkan padatan untuk mengendap. Bak pengendap primer yang didesain
dan dioperasikan secara efisien dapat menyisihkan 50 hingga 70 persen
suspended solids dan 25 hingga 40 persen BOD (Biochemical Oxygen Demand)
dari dalam air limbah (Metcalf, 2003).
2.1.1.2 Flotasi
Pada proses flotasi, gelembung udara diinjeksikan ke dalam tangki untuk
mengapungkan padatan sehingga mudah disisihkan. Dengan adanya gaya dorong
dari gelembung tersebut, padatan yang berat jenisnya lebih tinggi dari air akan
terdorong ke permukaan. Demikian pula halnya dengan padatan yang berat
jenisnya lebih rendah daripada air. Hal ini merupakan keunggulan teknik flotasi
dibanding pengendapan karena dengan flotasi, partikel yang ringan dapat
disisihkan dalam waktu yang bersamaan (Metcalf, 2003).
2.1.1.3 Koagulasi dan Flokulasi
Untuk meningkatkan kemampuan pengendapan, ada kalanya dilakukan
proses penambahan bahan kimia sebelum air limbah memasuki tangki
Universitas Indonesia
menggabungkan
partikel-partikel
koloid
yang
telah
mengalami
dan
dicampur
dengan
pengadukan
udara,
organisme
individu
menggumpal bersama menjadi bentuk massa aktif flok mikroba yang disebut
activated sludge atau lumpur aktif. Kombinasi massa air limbah dan biologis
umumnya dikenal sebagai mixed liquor. Dalam semua sistem lumpur aktif,
setelah air limbah telah menerima perawatan yang mencukupi, kelebihan mixed
liquor (WAS) dibuang ke bak pengendap sekunder dan supernatan dilimpaskan
untuk menjalani perawatan lebih lanjut sebelum dibuang. Proses dekomposisi
materi biodegradable secara aerob memiliki waktu detensi hidrolis sebesar 4-36
jam. Waktu ini memungkinkan untuk terjadinya kontak antara mikroorganisme
dengan air limbah sehingga akan tercipta proses dekomposisi. Removal efficiency
dari unit ini adalah 80-85% untuk BOD5 dan COD, 80-90% untuk TSS, 10-25 %
untuk fosfat, 60-85% untuk nitrogen organik, dan 8-15% untuk nitrogen dalam
bentuk amoniak.
2.2Lumpur
Dari kadar solid di atas, maka lumpur didefinisikan sebagai zat sisa
(residu), berupa material semi-solid yang berasal dari proses pengolahan limbah.
Menurut Manahan (1994), ada 2 jenis lumpur yang dihasilkan dalam pengolahan
air limbah. Yang pertama adalah lumpur organik yang berasal dari lumpur aktif
(activated sludge), trickling filter, RBC, atau pengolahan biologis lainnya. Yang
kedua adalah lumpur anorganik yang beraal dari penambahan bahan kimia dan
pengolahan secara kimiawi. Lumpur dapat menimbulkan gangguan lingkungan
yang lebih berbahaya dari air limbah mengingat bahwa:
Universitas Indonesia
10
2.2.1
pabrik dan metode operasinya (Metcalf, 2003). Jenis solid atau padatan yang ada
di dalam suatu sistem pengolahan air limbah adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Sumber Padatan dari WWTP Konvensional
Unit Operasi
Jenis Padatan
Keterangan
dan Proses
Padatan kasar dihilangkan dengan alat
Screening
padatan kasar
mekanis dan bar screen
grit (pasir),
Fasilitas penghilang scum seringkali
Grit Removal
scum (buih)
ditiadakan pada fasilitas grit removal
Pra-aerasi
grit (pasir),
scum (buih)
Sedimentasi
Primer
solid primer,
scum (buih)
Pengolahan
Biologis
solid
tersuspensi
Sedimentasi
Sekunder
biosolid,
scum (buih)
Fasilitas
Pemroses
Solid
solid,
kompos, abu
2.2.2
lumpur yang dihasilkan dari WWTP (Wastewater Treatment Plant) dengan cara
yang efektif, sangat penting untuk mengetahui karakteristik padatan (solid) dan
lumpur yang akan diproses. Karakteristik tersebut bervariasi bergantung pada asal
Universitas Indonesia
11
padatan dan lumpur, waktu penuaan lumpur, dan jenis pengolahan lumpur
sebelumnya. Menurut Metcalf (2003), karakteristik solid dan lumpur yang
dihasilkan selama pengolahan dalam WWTP adalah sebagai berikut :
Universitas Indonesia
12
Grit
Scum/lemak
Lumpur Primer
Lumpur dari
Presipitasi Kimia
Lumpur Trickling
Filter
Digested biosolid
secara aerobik
Digested biosolid
secara anaerobik
Kompos
Universitas Indonesia
13
Parameter
Range
5-9
60-80
Tipikal
6
65
Range
2-5
30-60
Tipikal
4
40
0,8-1,2
59-88
6-30
7-35
20-30
1,5-4
0,8-2,8
25
2,5
1,6
5-20
15-20
1,6-3,0
1,5-4,0
18
18
3,0
2,5
5-12
32-41
2,4-5
2,8-11
0-1
8-15
2,0-4,0
15-20
5,0-8,0
0,4
10
2,5
6,0
0-3,0
8-15
3,0-8,0
10-20
6,5-7,5
1,0
10
4,0
7,0
0,5-0,7
6,5-8,0
500-1500
600
2500-2500
3000
580-1100
200-2000
500
100-600
200
1100-1700
23.000-29.000
25.000
9000-14.000
12.000
19.000-23.000
Waste
Activated
Sludge
Digested Activated
Sludge
Universitas Indonesia
14
pH
Konsentrasi ion hidrogen merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kecepatan reaksi biokimia (Sawyer, 2003).
Temperatur
Dalam pengolahan lumpur aktif, temperatur mempengaruhi (1) laju degradasi
senyawa, (2) laju pemindahan oksigen, dan (3) kelarutan oksigen.
umumnya diukur sebagai VSS (Volatile Suspended Solid), yang sebagian besar
disusun oleh tiga bagian partikulat, yaitu biomassa aktif (X H heterotrophic dan XA
autotrophic), bagian non-biodegradable influent (XU) dan residu yang diproduksi
oleh respirasi endogen (XE). Proporsi komponen VSS sebagian besar bergantung
pada solid retention time (SRT) sistem dan kadar XU dari influent (Ramdani,
2010). Matrix VSS sebagian besar disusun oleh extracellular polymeric
substances (EPS) yang berasal dari berbagai macam proses mikroba
(mikroskopik), terutama pertumbuhan biomassa, lisis, dan penggunaan substrat
(Laspidou dan Rittmann, 2002; Liu and Fang, 2003; Raszka et al., 2006).
Extracellular Polymeric Subtances (EPS) merupakan campuran berat
molekul tinggi yang kompleks dari polimer yang dihasilkan oleh mikroorganisme,
diproduksi dari hasil lisis sel dan zat organik yang teradsorbsi dari air limbah. EPS
merupakan komponen utama dari kumpulan (agregat) mikroba untuk menjaga
Universitas Indonesia
15
agar agregat mikroba tersebut tetap berada dalam bentuk (matrix) tiga dimensi
(Sheng, 2010).
Dalam sistem pengolahan air limbah secara biologis, pada umumnya
mikroorganisme hadir dalam bentuk agregat mikroba, seperti flok lumpur,
biofilm, dan butiran (granula). EPS (campuran polimer dalam berat molekul yang
tinggi), memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada karakteristik fisik-kimia
dari agregat mikroba, termasuk pada struktur, muatan permukaan, flokulasi, sifat
pengendapan, sifat pengeringan (dewatering), dan kemampuan adsorbsi. EPS
mengikat sel-sel melalui interaksi kompleks untuk membentuk struktur jaringjaring yang luas dengan sedikit air, yang melindungi sel-sel dari proses
dewatering (Wingender et., 1999) dan bahaya zat beracun (Sutherland, 2001).
Bagian dari EPS dapat berperan sebagai karbon atau sumber energi pada kondisi
kekurangan nutrien (Sutherland, 2001; Zhang dan Bishop, 2003). Bagian tersebut
juga mempercepat pembentukan agregat mikroba melalui ikatan sel yang kuat
(Liu e al., 2004).
EPS ada di luar sel-sel dan di dalam agregat mikroba. Wingender et al.
(1999) menggunakan singkatan EPS sebagai istilah yang lebih umum dan
komprehensif untuk merepresentasikan jenis-jenis makromolekul yang berbedabeda, seperti polisakarida, protein, asam nukleat, lemak (lipid), dan komponen
polimer lainnya yang ada dalam interior berbagai macam agregat mikroba.
Nielsen dan Jahn (1999) mengusulkan bahwa semua polimer di luar dinding sel,
yang tidak sampai ke membran luar atau lapisan protein-murein, adalah termasuk
EPS. Beberapa zat organik dari air limbah juga dapat teradsorbsi ke dalam matrix
EPS (Nielsen dan Jahn, 1999; Liu dan Fang, 2003). Bentuk EPS yang ada di luar
sel-sel dapat dibagi menjadi EPS terikat dan EPS terlarut (makromolekul terlarut,
koloid, dan lendir). EPS terikat terdiri dari selubung, polimer kapsuler, gel kental,
polimer terikat renggang (Loosely Bound/LB), dan zat organik yang terikat
(Tightly Bound/TB)(Nielsen dan Jahn 1999; Laspidou dan Rittmann, 2002).
Karbohidrat dan protein biasanya merupakan komponen utama dalam EPS.
Substansi humic juga merupakan komponen penting EPS dari lumpur biologis,
yang dapat mencapai 20% dari jumlah keseluruhan (Frolund et al., 1995).
Universitas Indonesia
16
2.2.3
Air bebas (bulk/free water) air yang tidak berhubungan dengan partikel
solid/padatan termasuk void water tidak berhubungan dengan gaya
kapilaritas.
Air celah (interstitial water) air yang terperangkap di dalam celah dan
ruang kosong antara flok dan mikroba.
Air hidrasi/terikat (bound water) air yang secara kimiawi terikat dengan
struktur partikel yang dapat dihilangkan hanya dengan pemanasan termal
(thermal drying).
Di dalam literatur, air dalam lumpur juga dapat dibagi menjadi 2 kategori
besar, yaitu bulk water dan bound water. Dalam kasus ini, bound water adalah air
yang belum dihilangkan dengan peralatan mekanik (Gordon, 2011).
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
Thickening : Stabilisasi :
Conditioning :
- Gravity
- Oksidasi
- Chemical
Lumpur masuk
- Flotation - Stabilisasi dengan lumpur
- Elustristion
- Configuration
- Pengeraman Aerobik - Pemanasan
- Pengeraman Anaerobik
Dewatering :
- Vacuum Filter
- Filter Press
- Belt Press
- Centrifugation
- Drying Bed
Disposal :
- Land Application
- Composting
- Recalcination
- Landfilling
unit
pengolahan
lumpur
juga
mensyaratkan
adanya
proses
Universitas Indonesia
19
2.4.1
Gravity thickening
Suatu gravity thickener didesain berdasarkan prinsip beban permukaan hidrolik
dan solid loading. Prinsip desain gravity thickener serupa dengan bak
sedimentasi. Lumpur yang tebal dengan Sludge Volume Index (SVI)
membutuhkan laju pembebanan yang lebih rendah. Penggunaan bahan kimia
seperti lime atau polielektrolit juga memungkinkan laju pembebanan yang
tinggi. Waktu detensi minimum dan volume lumpur dibagi menjadi jumlah
lumpur
yang
dihilangkan
per
hari
(yang
merepresentasikan
waktu
Sentrifugasi
2.4.2
Stabilisasi
Qasim (1985) mengatakan bahwa tujuan utama dari stabilisasi lumpur
20
Conditioning
Conditioning merupakan proses pengolahan lumpur secara kimia atau fisik
pada
2.4.4
Dewatering
Proses dewatering berguna untuk mengurangi kadar air dalam lumpur
Pembuangan (Disposal)
Semua proses pengolahan lumpur yang telah dibahas di atas memiliki
tujuan yang sama, yaitu untuk proses pembuangan sampah (disposal) utama yang
baik. Praktek pembuangan lumpur yang diakui adalah (1) proses konversi, seperti
Universitas Indonesia
21
insinerasi, oksidasi basah, pirolisis, komposting, dan (2) land disposal (aplikasi
lahan dan landfilling).
Tabel 2.5. Proses Konversi Pembuangan Lumpur
Pembuangan
Rekomendasi
Persyaratan Proses
Proses Konversi
dari residu
Pre-treatment
Tambahan
lainnya
Thickeningda
n dewatering
Insinerasi
Ya
Oksidasi basah
Thickening
Tidak
Pyrolysis
Thickening
Tidak
Recalcining
Thickeningda
n dewatering
Tidak
Komposting
dengan heat
drying
Thickeningda
n dewatering
Tidak
Pemanfaatan atau
penjualan kompos
Komposting
dengan mikroba
Thickening,
digestion, dan
dewatering
Tidak
Pemanfaatan atau
penjualan kompos
Universitas Indonesia
22
PT. Rohm and Haas Indonesia yang berada di kota Cilegon merupakan
pabrik yang memproduksi emulsi akrilik (acrylic) dengan proses batch. Bahan
baku yang digunakan dalam proses produksi ini adalah buthyl acrylate, ethyl
acrylate, methyl acrylate, glacial acrylate acid, glacial methacrilyc acid, dan
stryrene. Beberapa peralatan utama untuk memproduksi emulsi akrilik adalah
MET (Monomer Emulsion Tank), reaktor, drain tank, storage tank, dan drumming
machine (mesin pengepakan). Secara umum, kegiatan pengolahan air limbah
sejauh ini yang ada di dalam PT. RHI dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut :
Sampel diambil dan ditest pada lab yang sudah terakreditasi (PT Unil
Outlet: WWTP
Titik penaatan
Outlet Out Plant
Outlet
Limbah
cair WWTP
Outlet out plant
Limbah yang dihasilkan
Boiler sampling emisi
Scrubber sampling emisi
Limbah gas
Boiler
Scrubber
Disimpan di TPS B3
Universitas Indonesia
23
Denah IPAL secara keseluruhan dari PT. RHI (Cilegon Plant) adalah
sebagai berikut :
MET
ST
DT
RX
DM
LAB WW Pit
2
Filter Cleaning
UF
Neutralizer (H+/OH-)
Lagoon
AB 1
*
*
*
*
AB 2
Recycle
LAB
Cake
TCS
PPLI
WW 30-35% solid
Sale or PPLI
blower air
Bacteria/AS
Urea (N source)
Posphate (P source)
SP
Sludge TSS/drum
PPLI
Keterangan :
Limbah cair IPAL PT. RHI memiliki suhu sekitar 26-30oC, dan pH yang
cukup netral sekitar 7-7,5 (sumber : Laporan Hasil Pengujian PT.Unilab Perdana,
2005). Secara umum, jenis limbah cair dari gambar 2.5 digolongkan ke dalam 2
jenis, yaitu :
a. Limbah cair bersih (clean wastewater)
Limbah cair bersih adalah limbah cair yang berwarna bening dan sangat
sedikit mengandung solid tersuspensi. Limbah ini berasal dari pembersihan
tangki MET, pembersihan drum-drum bekas bahan kimia, regenerasi demin
unit, blowdown boiler, dan cooling water serta tumpahan dari area monomer
Universitas Indonesia
24
(jika ada). Limbah ini mengandung COD yang tinggi yang berasal dari sisasisa bahan kimia, terutama bahan kimia organik. Limbah-limbah cair ini
seluruhnya diarahkan menuju pH pit untuk mendapatkan perlakuan netralisasi
dan proses pengolahan limbah selanjutnya.
b. Limbah cair putih (white water)
White water adalah limbah cair yang berwarna putih. Warna putih berasal dari
sisa-sisa emulsi yang terbawa pada saat pencucian reaktor, drain tank,
storage tank, drumming machine, dan proses analisa laboratorium. Biasanya
limbah ini mengandung 2-5% padatan polymer acrylate. Keseluruhan limbah
ini, diarahkan menuju white water pit untuk ditampung dan dilakukan
pengolahan selanjutnya.
Belum ada data mengenai efisiensi setiap unit Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) yang ada di PT. RHI. Untuk pengolahan limbah cair secara
biologis, PT. RHI menggunakan sistem lumpur aktif konvensional (Activated
Sludge) yang disemai di 2 bak aerator. Asupan oksigen dan nutrisi dijaga tetap
stabil agar bakteri tumbuh dan tetap sehat. Disamping itu, terdapat proses sirkulasi
dari bak pengendap sekunder ke bak aerasi 1 dan pengaliran sebagian lumpur aktif
untuk menyeimbangkan jumlah lumpur di bak aerasi 1 dan bak aerasi 2. Sisa
lumpur (WAS / Waste Activated Sludge) kemudian dilakukan filtrasi untuk
dihilangkan airnya. Air tersebut di pompa kembali ke bak aerasi 1, sedangkan
lumpur keringnya ditampung di drum dan di buang ke PPLI.
Lumpur (WAS) yang berasal dari pengolahan biologis IPAL PT. RHI
memiliki frekuensi timbulan lumpur sebanyak 5 drum (kapasitas masing-masing
drum 160 kg) per minggu. Lumpur tersebut masih mengandung kadar air yang
tinggi. Proses yang digunakan untuk mengeringkan lumpur ini masih
menggunakan metode pengeringan konvensional, menggunakan peralatan yang
murah, diambil dari tote bekas yang dimodifikasi dengan penambahan support
dari besi 10 mm. Bahan penyaring (filter) menggunakan bahan jeans yang murah
dan dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama. Lumpur dalam bentuk slurry
akan mengalir ke dalam tote dan padatan lumpurakan tertinggal di atas filter dan
dikeringkan oleh matahari. Sejauh ini, PT. RHI belum pernah melakukan
Universitas Indonesia
25
pengamatan dan pengujian terhadap kadar air dari lumpur (WAS), baik sebelum
maupun sesudah pengeringan. Untuk pengolahan lumpur (WAS) ini belum
menggunakan proses conditioning.
lumpur,
conditioning
lumpur,
peralatan
dewatering,
dan
kondisi
26
No
2
3
4
5
6
Universitas Indonesia
27
menambahkan
ion
kation,
polielektrolit
kationik,
metode
Universitas Indonesia
28
Pre-treatment
ultrasound
Thermal conditioning
Menambah fluktuasi
kationik dapat mengubah
bentuk air dalam lumpur
dan menambah kecepatan
proses dewatering (Xuan
Yin et al., 2004)
Memiliki kemampuan
lebih untuk
menghilangkan air terikat
(bound water) dalam
lumpur (Reynolds, 1982)
Universitas Indonesia
29
klorida, polietilen, dan karet (rubber) adalah material yang cocok untuk tank dan
pemipaan larutan asam. Pompa meteran juga harus dari bahan yang tahan korosi.
Pengkondisian secara kimiawi merupakan proses untuk mempersiapkan
lumpur untuk pengolahan lanjutan yang lebih baik dan ekonomis dalam sistem
pelepasan air (dewatering). Menurut Manahan (1994), pengkondisian lumpur
ditujukan untuk mengkonsentrasikan dan menstabilkan lumpur dan menjadikan
lumpur mudah untuk dilepaskan airnya. Pengkondisian secara kimiawi (chemical
conditioning) dapat menurunkan 90-99% kandungan air menjadi 65-85%,
tergantung pada sifat solid yang akan diolah (Metcalf & Eddy,2003). Di sini akan
dihasilkan koagulasi dari solid dan melepaskan air yang terabsorbsi. Penambahan
ini akan dapat meningkatkan padatan kering. Penambahan kapur meningkatkan
padatan kering sampai 20-30% (Yatnanta, 2009).
Dengan adanya tambahan bahan kimia dalam chemical conditioning, maka
dapat meningkatkan dewaterability lumpur biologis dengan mendegradasi EPS.
Degradasi EPS dapat mengurangi karakteristik retensi air dalam melepaskan air
terikat (bound water) dalam EPS. Degradasi EPS juga dapat mengurangi stabilitas
sel namun menambah ukuran flok lumpur, yang menghasilkan peningkatan
kemampuan filtrasi lumpur (Pham, 2011). Agen conditioning yang memiliki
muatan positif, lebih mudah ketika berikatan dengan muatan negatif yang dimiliki
oleh EPS (mayoritas zat organik), di mana di dalamnya terjadi netralisasi muatan
atau bridging antar partikel (Sheng, 2010). Contohnya seperti FeCl3, ketika
dibubuhkan sebagai conditioner, maka FeCl3 akan terurai dan menghasilkan ion
positif Fe3+ yang akan berikatan dengan partikel negatif lumpur, terjadi netralisasi
muatan atau bridging antar partikel, lalu membentuk flok lumpur yang lebih
besar, sehingga air terikat (bound water) menjadi lebih mudah dilepaskan dari
lumpur, dan dengan demikian telah meningkatkan dewaterability lumpur (Haas,
2000). Reaksi yang terbentuk saat FeCl 3 dibubuhkan sebagai conditioner adalah
sebagai berikut :
FeCl3 + 3 H20 Fe (OH)3 + 3H+ + 3 ClConditioning dengan polielektrolit dapat menyerap air terikat (bound
water) dalam lumpur, menetralisir muatan negatif partikel dan mengakumulasi
partikel halus dalam lumpur dengan membuat jembatan antar partikel, dan
Universitas Indonesia
30
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis dan dosis agen sludgeconditioning adalah karakteristik lumpur, dan jenis peralatan dewatering yang
digunakan dan mixing yang dipakai. Karakteristik lumpur termasuk di dalamnya
adalah sumber lumpur, konsentrasi solid, umur lumpur, pH, dan alkalinitas.
Sumber lumpur seperti lumpur primer, lumpur aktif, dan digested sludge adalah
indikator yang baik untuk rentang dosis conditioner yang dibutuhkan. Konsentrasi
solid akan mempengaruhi dosis dan dispersi agen conditioning. pH dan alkalinitas
akan dapat mempengaruhi
anorganik tertentu. Ketika kapur (lime) digunakan untuk menjaga pH tetap tinggi
bagi dewatering, permasalahan seputar lime dan bau tak sedap ammoniak yang
kuat dapat terjadi. Feri klorida, alum, kapur, dan polielektrolit memiliki rentang
pH masing-masing di mana masing-masing conditioner akan bekerja secara
optimal. pH optimal untuk feri klorida adalah sekitar 4-8,3 (Suksarojet et al.,
2005), alum 4-7 (Golob et al., 2005), kapur 7-12 (Hosseini, 2005), dan
polielektrolit 2,8-6 (Bratby et al., 2006). Untuk pH limbah biologis PT. RHI yang
tergolong cukup netral, maka tidak diperlukan lagi suatu penyesuaian pH dalam
percobaan chemical conditioning, karena rentang pH masing-masing conditioner
masih memenuhi untuk pH yang relatif netral.
Metode dewatering juga mempengaruhi pemilihan bahan kimia untuk
conditioning karena adanya perbedaan peralatan mixing yang bermacam-macam
dan karakteristik metode tertentu dari dewatering. Contohnya, polimer biasanya
digunakan pada proses dewatering jenis centrifuge dan belt press, namun jarang
digunakan untuk vacuum filtration dan pressure filtration. Percobaan skala
laboratorium dapat dilakukan untuk menentukan jenis agen chemical-conditioning
yang dibutuhkan, khususnya bagi lumpur yang sulit untuk dikeringkan
(dewatered).
Universitas Indonesia
31
Pada umumnya, telah diamati bahwa jenis lumpur memiliki dampak yang
besar terhadap kuantitas bahan kimia yang dibutuhkan. Lumpur yang sulit
dikeringkan membutuhkan dosis bahan kimia yang lebih besar, biasanya tidak
menghasilkan sampai lumpur kering (dry cake), dan memiliki kualitas filtrat yang
lebih buruk. Jenis lumpur berdasarkan perkiraan kebutuhan bahan kimia
conditioning dari yang paling sedikit ke yang paling banyak adalah sebagai
berikut :
1. Lumpur primer (baku/raw)
2. Lumpur primer dan trickling filter yang dicampur (baku/raw)
3. Lumpurprimer dan lumpur aktif yang dicampur (baku/raw)
4. Lumpur primer hasil anaerobic digester
5. Lumpurprimer dan lumpur aktif yang dicampurhasil anaerobic digester
6. Lumpur aktif baku/raw
7. Lumpur aerobik digester
2.8.1
seperti alum (tawas), feri klorida, feri sulfat, lime, dan polimer (Buyukkamaci,
2004). Untuk metode stabilisasi lumpur, dapat dilakukan dengan cara stabilisasi
alkalin, di mana dapat pula dipakai sebagai pengkondisian (conditioning) sebelum
proses pelepasan air (dewatering). Cara stabilisasi atau pengkondisian alkalin
umumnya menggunakan bahan kimia misalnya kapur (kapur terhidrasi,Ca(OH)2),
atau polimer. Bahan lain yang dapat digunakan adalah kalsium oksida (CaO), abu
terbang, debu tempat pengeringan semen dan kapur karbit (Metcalf & Eddy,
2003). Bahan-bahan tersebut di atas disebut juga sebagai bahan pengkondisi fisik
lumpur.
Destabilisasi dalam proses conditioning dengan feri klorida (FeCl3) dapat
disebabkan oleh adanya yang menjembatani antara partikel negatif lumpur dengan
ion besi hidroksida yang positif, atau karena terperangkapnya flok dalam
presipitat feri hidroksida (Mustin, 2001). Menurut Mustin, penambahan lime
(CaO) pada lumpur dapat membantu filterability lumpur yang baik dan ekonomis.
Polimer kation alam seperti chitosan juga dapat digunakan sebagai agen
Universitas Indonesia
32
2.8.2
33
lebih lama dibandingkan tes CST (Sawalha, 2010). Jar test standar terdiri dari
pencampuran sejumlah volume standar pengukuran sampel lumpur dengan
konsentrasi conditioner yang berbeda-beda, diikuti dengan proses pengadukan
cepat, flokulasi, dan pengendapan menggunakan jar test apparatus. Metode jar
test lebih mudah dilakukan daripada metode CST, karena peralatan tes CST masih
sukar ditemukan di Indonesia.
Dosis polimer akan bervariasi jumlahnya bergantung pada berat molekul,
kekuatan ionik, dan tingkat aktivitas polimer yang digunakan. Mencampurkan
lumpur dengan koagulan sangat penting dalam proses conditioning yang tepat.
Pengadukan harus dijaga agar flok tidak pecah setelah terbentuk, dan waktu
detensi harus dibuat seminimum mungkin agar lumpur dapat mencapai alat
dewatering secepat mungkin setelah proses conditioning. Kebutuhan pengadukan
bervariasi, bergantung pada metode dewatering yang digunakan. Tank mixing dan
tank flokulasi secara terpisah biasanya disediakan di depan vacuum filter atau
pressure filter; tank flokulasi yang terpisah bisa juga disediakan untuk belt filter
press, atau conditioner dimasukkan langsung ke sludge feed line (jalur input
lumpur) dari unit belt filter press; dan mixer in-line biasanya digunakan dengan
centrifuge. Umumnya didesain terdapat 2 lokasi untuk penambahan bahan kimia
conditioning.
2.9Hasil Penelitian Terdahulu
Universitas Indonesia
34
Grafik 2.1. Pengaruh Dosis Tawas terhadap CST dan SRF Lumpur
Sumber : Buyukkamaci (2004)
Universitas Indonesia
35
Grafik 2.2. Pengaruh Dosis Kapur terhadap CST dan SRF Lumpur
Sumber : Buyukkamaci (2004)
Universitas Indonesia
36
Berikut ini adalah konsentrasi lumpur dari WWTP yang telah mengalami
pengkondisian dengan metode yang berbeda-beda :
Tabel 2.10. Konsentrasi Lumpur dengan Variasi Metode Conditioning
Metode Conditioning
Batch Settlement
Continous Thickening
Tanpa dosis
polymer
Dengan dosis
polymer
Centrifuging
Filter Pressing
0,03-0,2
2-3
0,03-0,2
5-10
1-5
1-10
12-17
20-25
Sumber : Bolto(2007)
Universitas Indonesia
Nama Penulis
Gordon C.C.
Yang, Min-Cong
Chen, Chun-Fu
Yeh (2011)
Judul
Ringkasan
Catatan
Xuan Yin,
Pingfang Han,
Xiaoping Lu,
Yanru Wang
(2004)
Philip R. Karr
(1978)
A review on the
dewaterability of
bio-sludge and
ultrasound
pretreatment
Influence of
Particle Size on
Sludge
Dewaterability
Faktor-faktor yang
mempengaruhi karakteristik
dewatering lumpur
Dynam AC
Corporation
(1999)
Correlation
Between Liquid,
Sludge, and Solid
Waste Form S,
and Surface
Impoundment,
Land Application,
And Landfill
Disposal Options
Correlation
Jill Ruhsing
Between
Pan , Chihpin
Dewatering Index
Huang, Minyih
and Dewatering
Cherng , KungPerformance of
Cheh Li , Cheng- Three Mechanical
Fang Lin (2003)
Dewatering
Devices
E. Hosnani, M.
Nosrati, S.A.
Shojasadati
(2010)
Role of
Extracellular
Polymeric
Substances in
Dewaterability of
Untreated,
Sonicated, and
Digested Waste
Activated Sludge
Wastewater
Engineering
(Treatment,
Disposal, Reuse)
Third Edition
Conditioning
Abdellah
Ramdani, Peter
Dold, Stephane
Deleris, Daniel
Lamarre, Yves
Comeau (2010)
Biodegradation of
the endogenous
residue of
activated sludge
10
M. Mihai, G.
Dabija, C.
Costache (2008)
Complex
Formation
Between Cationic
Polyelectrolytes
Polielektrolit
11
12
Yatnanta Padma
Devia (2009)
Pengaruh
Penambahan
Kapur dan Abu
Terbang Dalam
Laju Pelepasan
Air dari Lumpur
Biologis (IPAL
SIER)
Guo-Ping Sheng,
Han-Qing Yu,
Xiao-Yan Li
(2010)
Extracellular
Polymeric
Substances (EPS)
of Microbial
Aggregates in
Biological
Wastewater
Treatment
Systems : A
Review
13
14
S. DENEUXMUSTIN, B. S.
LARTIGES, G.
VILLEMIN, F.
THOMAS, J.
YVON, J. L.
BERSILLON
and D.
SNIDARO
(2001)
Tan Phong
Nguyen, Nidal
Hilal, Nicholas
P. Hankins, John
T. Novak (2008)
Ferric Chloride
and Lime
Conditioning of
Activated Sludge
an Electron
Microscopic
Determination of
the effect of
cations and
cationic
polyelectrolytes
on the
characteristics
and final
properties of
synthetic and
Activated Sludge
15
M. Citeau, O.
Larue, E.
Vorobiev (2011)
Inuence of salt,
pH and
polyelectrolyte on
the pressure
electrodewatering of
sewage sludge
Konsentrasi larutan
polielektrolit kationik
dipersiapkan dengan
dilarutkan dalam air dengan
kadar dispersi 10g/L, 3g/L,
dan 5g/L.
16
Nurdan
Buyukkamaci
(2004)
Biological sludge
conditioning by
Fentons reagent
17
Hai-ping Yuan,
Xiao-bo Cheng,
Shan-ping Chen,
Nan-wen Zhu,
Zhen-ying Zhou
(2011)
New sludge
pretreatment
method to
improve
dewaterability of
waste activated
sludge
18
Tan Phong
Nguyen, Nidal
Hilal, Nicholas
P. Hankins, John
T. Novak (2008)
Characterization
of synthetic and
activated sludge
and conditioning
with cationic
polyelectrolytes
19
Brian Bolto,
John Gregory
(2007)
Organic
polyelectrolytes
in water treatment
20
Zhiqiang Zhang,
Siqing Xia, Jiao
Zhang (2010)
Enhanced
dewatering of
waste sludge with
microbial
occulant TJ-F1
as a novel
conditioner
21
Nurdan
Buyukkamaci,
Emrah
Kucukselek
(2007)
Improvement of
dewatering
capacity of a
petrochemical
sludge
22
Tae-In Ohm,
Jong-Seong
Chae, Jeong-Eun
Kim, Hee-kyum
Kim, SeungHyun Moon
(2009)
A study on the
dewatering of
industrial waste
sludge by frydrying technology
23
Bound Water
Content and
Water Binding
Strength on
Sludge Flocs
24
Lene Haugaard
Mikkelsen,
Kristian Keiding
(2002)
Physico-chemical
characteristics of
full scale sewage
sludges with
implications to
dewatering
Moisture
Distribution in
Sludge: Effects of
Polymer
Conditioning
25
Rangkuman :
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, maka jenis conditioner yang digunakan dalam chemical conditioning adalah tawas, FeCl3, kapur, dan
polielektrolit kationik seperti dalam jurnal Nurdan Buyukkamaci (2007) dan S. Deneux (2001), dengan dosis dan metode yang mengacu pada
jurnal Mustin (2001) dan M. Citeau (2011), untuk mencapai kadar air lumpur 60-85% (Xuan Yin et al., 2004).
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pengolahan lumpur biologis melalui proses pengkondisian lumpur dengan bahan
kimia (chemical conditioning). Penelitian dilakukan pada skala laboratorium dengan menggunakan metode jar test dalam mensimulasikan
proses pengkondisian lumpur, menggunakan agen conditioner dengan variasi jenis dan dosisnya untuk mencari jenis dan dosis conditioner
yang paling optimal untuk meningkatkan efisiensi dewatering lumpur biologis.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data
primer berasal dari pengujian parameter dewatering yaitu kadar air lumpur, serta parameter pendukung penelitian berupa parameter pH,
temperatur, total solid (TS), dan volatile solid (VS). Sedangkan data sekunder didapatkan dari hasil survey, jurnal, data literatur, dan buku.
Adapun kerangka pemikiran penelitian dalam penelitian ini digambarkan dengan diagram alir sebagai berikut :
Rumusan Masalah
Tinjauan Pustaka
Penentuan Variabel
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Lumpur (WAS)
Proses Chemical Conditioning Skala Laboratorium
Pengujian Kadar Air & Analisa
Kesimpulan
Sampel lumpur biologis yang digunakan dalam penelitian diambil dari bak pengendap sekunder pada IPAL PT. Rohm and Haas
Indonesia, Cilegon, Banten. Tempat penelitian dan pengecekan parameter dilaksanakan di laboratorium PT. Rohm and Haas Indonesia.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2013 hingga Mei 2013. Secara keseluruhan, penelitian dilaksanakan pada waktu sebagai
berikut :
Tabel 3.1. Jadwal Penelitian
3.3Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis dan dosis agen conditioning, yang berupa ferric chloride (FeCl3), tawas
(Al2(SO4)3), kapur (CaO), dan polyelectrolyte (polimer organik). Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah persentase
pengurangan kadar air lumpur. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah pH, temperatur, TS, dan VS lumpur.
3.4Tahapan Penelitian
3.4.1
Pengambilan Sampel
Sampellumpur biologis pada penelitian ini diambil dari hasil pengolahan biologis (berupa bak aerasi) yang telah diendapkan dalam
bak pengendap sekunder. Sampel tersebut diambil melalui bagian bawah bak pengendap sekunder dengan sebuah selang yang dapat dibuka
dan ditutup, di mana terdapat lumpur biologis yang telah dikumpulkan selama beberapa hari.
3.4.2
Pengujian Pendahuluan
Sebelum melakukan penelitian pada skala laboratorium, dilakukan pengukuran data primer terlebih dahulu terhadap sampel
lumpur baku, agar diketahui karakteristik lumpur tersebut sebelum dilakukan penelitian pengkondisian lumpur skala laboratorium. Data
primer yang diukur di awal tersebut adalah data temperatur, pH, TS,dan VS yang kemungkinan besar akan mempengaruhi efisiensi
dewatering yang akan diukur selama penelitian nantinya. Analisis awal ini dilakukan di laboratorium dalam kurun waktu 2 jam setelah
pengambilan sampel untuk menghindari proses penuaan akibat penyimpanan sampel terlalu lama (Hosnani, 2010). Kadar air lumpur baku
juga diuji di awal penelitian ini, agar dapat menjadi acuan bagi penilaian pengurangan kadar air dari hasil penelitian nantinya (selama
proses optimalisasi chemical conditioning), dan dapat diperkirakan seberapa banyak dry sludge dari lumpur baku.
Sampel lumpur baku sebanyak 1 liter diaduk secara manual atau dengan pengaduk selama 1 menit sehingga menjadi homogen,
kemudian diteliti kondisi awal lumpur, yakni pH, temperatur, TS, dan VS. pH diukur dengan pH-meter, berdasarkan SNI 06-6989.11-2004
tentang Cara uji derajat keasaman (pH)dengan menggunakan alat pH-meter. Temperatur lumpur baku diukur dengan menggunakan
termometer. Analisa TS dan VS dilakukan berdasarkan prinsip gravimetri yang mengacu pada Standard Method (APHA, 2000). Metode
yang digunakan untuk menghitung kadar air lumpur juga mengacu pada Standard Method (APHA, 2000). Masing-masing parameter diuji
secara duplo agar didapatkan data penelitian yang lebih representatif.
3.4.3
diberi agen conditioning dengan dosis yang bervariasi. Kisaran variasi dosis ini dapat mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, dan
juga berdasarkan hasil penelitian pendahuluan terhadap lumpur baku sebelumnya.
Proses pengkondisian lumpur secara kimiawi ini dilakukan dengan metode jar test. Untuk setiap sampel yang masing-masing
sebanyak 500 mL dibubuhkan agen conditoning berdasarkan jenis dan dosisnya, alat jar-stirring dijalankan dengan kecepatan tinggi 200
rpm selama 20 detik dan dilanjutkan dengan kecepatan rendah 120 rpm selama 40 detik (Citeau et al., 2011). Pengaturan kecepatan ini
bertujuan agar bahan pengkondisi kimia tersebut dapat terlarut dengan baik.
Konsentrasi larutan yang dibuat untuk masing-masing agen pengkondisi (conditioner) bervariasi sesuai dengan penelitian
sebelumnya, yaitu dengan dosis FeCl3, tawas (alum), dan kapur (CaO) sebesar 6 g/L, 8 g/L, dan 10 g/L (Mustin et al., 2001). Sementara
konsentrasi larutan polielektrolit kationik adalah sebesar 3 g/L, 5g/L, dan 10 g/L (Citeau et al., 2011). Dosis larutan agen pengkondisi yang
dibubuhkan pada setiap sampel diatur sesuai kadar conditioner yang diinginkan dalam gram per kg dry sludge. Untuk FeCl3, tawas (alum),
dan kapur (CaO) kadarnya adalah 6-10 g/kgdry sludge (Mustin et al., 2001), sementara untuk polielektrolit kationik kadar yang dibubuhkan
adalah 3-8 g/kg dry sludge (Saveyn et al., 2008). Setelah melakukan jar-stirring, sampel masing-masing akan diukur temperatur dengan
termometer, pH dengan pH-meter, TS dan VS dengan prinsip gravimetri yang mengacu pada Standard Method (APHA, 2000).
3.4.4
dan pengukuran terhadap persentase pengurangan kadar air lumpur. Metode yang digunakan untuk menghitung pengurangan kadar air
lumpur juga mengacu pada Standard Method (APHA, 2000). Sampel yang telah dikondisikan diambil dengan massa yang sama untuk
setiap sampel, masing-masing ditaruh di cawan petri, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Kadar air didapatkan
melalui perhitungan sebagai berikut:
Kadar air ( )=
BC
x 100
B A
dengan
A : berat cawan (mg)
B : berat cawan + sampel awal (mg)
C : berat awan + sampel setelah dioven 1 jam (mg)
Setiap pengujian untuk menghitung pengurangan kadar air lumpur dilakukan secara duplo, agar didapatkan hasil yang lebih
representatif.
Setiap pengujian kadar air lumpur dari hasil pengkondisian lumpur, dibandingkan dengan hasil pengujian kadar air lumpur baku
awal sebelum pengkondisian, di mana hasil yang diharapkan setelah pengkondisian lumpur adalah persentase pengurangan kadar air
lumpur bertambah. Kenaikan persentase pengurangan kadar air lumpur setelah pengkondisian merepresentasikan peningkatan efisiensi
dewatering lumpur tersebut. Perhitungan efisiensi pengurangan kadar air lumpur adalah sebagai berikut :
S S
E= 1 2 x 100
S1
Di mana :
E = Efisiensi pengurangan kadar air lumpur (%)
S1 = Kadar air lumpur sebelum treatment conditioning (%)
S2 =Kadar air lumpur setelah treatment conditioning (%)
Setelah didapatkan nilai kadar air masing-masing lumpur, maka dibuat skenario-skenario yang berfungsi untuk mengoptimalkan
chemical conditioning di mana akan dibandingkan semua variabel yang dipertimbangkan dalam optimasi tersebut, yaitu persentase kadar
air lumpur serta biaya-biaya yang akan dikeluarkan untuk penyediaan conditioner agent (bahan kimia), penyesuaian pH, dan pembuangan
akhir timbulan lumpur.
6 g, 8 g, 10 g3CaO/liter
g, 5 g, 10 g Polyelectrolite/liter
6 g, 8 g, 10 g FeCl3/liter
6 g, 8 g, 10 g tawas/liter
Menghitung % pengurangan
Menghitungkadar
% pengurangan
Menghitung
air lumpur kadar
% pengurangan
Menghitung
air lumpur kadar
% pengurangan
air lumpur kadar air lumpur
Menentukan dosisMenentukan
optimumFeCl3
dosis optimumtawas
MenentukanMenentukan
dosis optimumCaO
dosis optimumPolyelectrolite
57
Satuan
Periode
Pengamata
n
Temperatur
Januari
2013
pH
Januari
2013
Variabel
Penelitian
Pendahuluan
Januari
2013
mg/L
Januari
2013
Temperatur
pH
Februari -
VSS
Keterangan
SNI 06-6989.23-2005
Air dan air limbah Bagian 23 : Cara uji suhu
dengan termometer
SNI 06-6989.11-2004
mg/L
TSS
Percobaan
Chemical
Conditionin
g
Standar Pengujian
SNI 06-6989.23-2005
Air dan air limbah Bagian 23 : Cara uji suhu
dengan termometer
SNI 06-6989.11-2004
Universitas Indonesia
58
TSS
VSS
mg/L
mg/L
April 2013
SNI 01-2891-1992
Kadar Air
Universitas Indonesia
agen conditioning
59
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan sampel lumpur biologis dilakukan di wilayah IPAL PT. RHI, tepatnya diambil di bak pengendap sekunder
(secondary clarifier). Proses pengkondisian lumpur secara kimiawi (chemical conditioning) ini dilakukan sesuai dengan perencanaan awal,
yaitu dengan metode jar test, di mana masing-masing sampel sebanyak 500 mL dibubuhkan agen conditoning berdasarkan jenis dan
dosisnya, diaduk dengan alat jar-stirring berkecepatan tinggi 200 rpm (selama 20 detik) dan dilanjutkan dengan kecepatan rendah 120 rpm
(selama 40 detik).
Gambar 4.1. Pengambilan Sampel Lumpur Biologis PT. RHI dari Bak Pengendap Sekunder (Secondary Clarifier)
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2013)
Universitas Indonesia
60
Untuk lumpur baku yang belum mengalami perlakuan pengkondisian apapun, yang telah diaduk dalam jar tes pula memiliki
karakteristik awal seperti yang tertera pada tabel 4.1. Lumpur ini secara fisik berwarna hitam keabuan dan agak encer. Kadar bahan organik
di dalam lumpur biologis baku ini adalah 51,5% berdasarkan karakteristik data awal lumpur baku. Menurut Zhang (2010) dan Yuan et al.
(2011), kadar air rata-rata pada lumpur biologis atau waste activated sludge (WAS) yang belum diolah dengan conditioning biasanya adalah
96,81-99,24%, pH dengan rentang 6,2-6,9, dan kadar VSS sebesar kurang lebih 50-75%. Berdasarkan literatur tersebut, maka lumpur
biologis PT. RHI telah memiliki karakteristik yang sesuai dengan literatur yang ada terkait chemical conditioning, sehingga hasil
penelitiannya nanti pun dapat dibandingkan juga dengan literatur yang sudah ada.
Tabel 4.1. Karakteristik Lumpur Baku Awal
Karakteristik Lumpur Baku
Nilai
Satuan
Suhu
pH
Total solid
Volatile solid
Kadar air
27,8
6,5-7,5
24.140
12.433
97,33
C
mg/L
mg/L
%
Menurut Metcalf (2003), WAS biasanya memiliki pH sekitar 6,5 hingga 8. Setelah beberapa kali melakukan pengukuran pH, maka
pH pada WAS yang diuji pada PT. RHI ditentukan sebesar 7,22. Pada pH ini, masih memungkinkan bagi setiap conditioner yang ada
(tawas, feri klorida, kapur, dan polielektrolit kation) untuk bekerja dengan cukup optimal. Menurut Zhiqiang Zhang (2010), di sekitar pH
netral, partikel lumpur tersuspensi menjadi lebih mudah teragregasi dan porporsi free water dalam lumpur dapat bertambah, yang berarti
Universitas Indonesia
61
lebih mudah untuk dikeringkan. Kadar organik yang terkandung di dalam WAS menurut Metcalf (2003) juga bervariasi dari 59-88%. Kadar
organik lumpur biologis (WAS) PT. RHI sebesar 51,5%, berada dibawah rentang tersebut. Hal tersebut mungkin disebabkan karena
lamanya penyimpanan WAS dalam bak pengendap sekunder IPAL yang cukup lama (lebih dari seminggu), sehingga memungkinkan
terjadinya degradasi material organik atau reaksi-reaksi di antara zat organik lumpur itu sendiri sehingga kadar organiknya sudah berkurang
pada saat diuji di laboratorium oleh penulis. Namun, kandungan organik ini masih dalam dianalisis dan masih dapat dijadikan sebagai
karakteristik awal lumpur biologis PT. RHI.
Universitas Indonesia
62
Pada saat pemeriksaan kadar solid lumpur, metode yang digunakan pada awal penelitian menggunakan acuan dari Standard
Methods for the Examination of Water and Waste Water edisi ke-20 (1998), untuk menghitung kadar Total Suspended Solid (TSS) dari
lumpur sebagai penanda adanya penambahan timbulan lumpur akibat adanya penggunaan bahan kimia tambahan. Pada percobaan di
minggu pertama, setelah menguji TSS lumpur melalui pengenceran 100 kali, didapatkan bahwa hasil percobaan tersebut tidak cukup
signifikan untuk merepresentasikan besarnya timbulan lumpur yang bertambah setelah adanya penambahan bahan kimia
(conditioner).Berdasarkan hasil penelitian Buyukkamaci (2004), besarnya total solid (TS) lumpur biologis baku sebesar 20.010 mg/L.
Kadar solid dalam jurnal yang dibuat oleh Xuan Yin et al., menunjukan hasil pengukuran total solid lumpur sekitar 38.670 mg/L hingga
40.320 mg/L. Hasil kadar TSS yang didapatkan dari pengecekan oleh penulis di laboratorium bernilai di atas kisaran normal jumlah solid
pada lumpur biologis IPAL (hasil TSS percobaan lebih dari 1 juta mg/L). Hal tersebut disebabkan oleh karena tingkat pengenceran yang
terlalu besar sehingga pengukuran kadar TSS lumpur menjadi tidak akurat. Oleh karena itu, agar lebih representatif dan untuk
penyederhanaan metode analisis, maka metode yang digunakan untuk mengukur kadar solid lumpur adalah menggunakan metode untuk
menghitung total solid (TS), tidak hanya TSS. Walau pun kadar TS merepresentasikan tidak hanya kadar TSS, namun juga kadar total
dissolved solid (TDS), nilai TDS dapat diabaikan.Seperti data yang berasal dari jurnal sebelumnya, kadar TS lumpur biologis baku adalah
sekitar 6.050 mg/L (Hosnani, 2010), dan kadar TSS lumpur biologis baku sekitar 6.381 mg/L (Yuan et al, 2011). Hal ini membuktikan
bahwa kadar TSS jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar solid terlarut total (total dissolved solid/TDS) dalam lumpur, dan kadar TDS
tersebut dapat diabaikan dalam percobaan. Setelah dianalisis lebih lanjut oleh penulis, adanya tambahan timbulan lumpur akan lebih
representatif diukur dengan melihat perkembangan fraksi beratnya, yang dapat diukur dengan total solid (TS) tanpa adanya pengenceran.
Dengan demikian, maka fraksi berat lumpur yang merepresentasikan timbulan lumpur akan terlihat lebih jelas dan signifikan. Pengujian
total solid (TS) lumpur dilakukan dengan memanaskan sampel lumpur sebanyak 20 ml tanpa pengenceran di dalam oven pada suhu 105 oC
Universitas Indonesia
63
selama 1 jam. Pada suhu tersebut selama 1 jam diasumsikan seluruh air yang terkandung dalam lumpur telah hilang menguap, sehingga
fraksi berat lumpur dapat teridentifikasi dan terkuantifikasi.
Sama seperti pengecekan TS lumpur, hal penyetaraan metode tersebut juga berlaku pada pengecekan VS lumpur, yang
merepresentasikan kadar organik dalam lumpur. Pada awalnya pemeriksaan kadar organik yang terdapat dalam lumpur dilakukan dengan
metode pengukuran volatile suspended solid (VSS) yang mengacu pada Standard Method (APHA, 2000), namun setelah dianalisis lebih
lanjut pula, ternyata akan lebih representatif jika parameter yang diukur adalah volatile solid (VS) saja, sehingga sampel lumpur tidak perlu
diencerkan lagi, lalu dilakukan pemanasan sampel lumpur lagi pada suhu tinggi (550C) selama 20 menit. Pemanasan pada suhu 550C
dilakukan karena suhu tersebut merupakan suhu minimum karbon dihasilkan dari proses pirolisis karbohidrat dan materi organik lain serta
suhu, dimana proses dekomposisi garam inorganik terjadi pada titik minimum. Sehingga pada suhu tersebut, seluruh kandungan material
Universitas Indonesia
64
organik lumpur akan hilang. Dengan demikian, fraksi zat padat terlarut baik yang volatile mau pun yang tidak, diabaikan dalam percobaan
ini, dan pengukuran disesuaikan menjadi pengukuran TS dan VS.
Percobaan chemical conditioning nya sendiri dimulai dengan membubuhkan conditioner ke dalam lumpur berdasarkan variasi
yang didapatkan dari literatur. Variasi dosis tersebut disetarakan dengan literatur di awal karena kondisi karakteristik lumpur PT. RHI
menyerupai karakteristik lumpur biologis yang ada dalam literatur (Mustin et al, 2001). Konsentrasi larutan yang dibuat untuk masingmasing agen pengkondisi (conditioner) bervariasi sesuai dengan penelitian sebelumnya. Percobaan chemical conditioning lumpur ini
dilakukan secara iterasi, berulang-ulang dengan mengubah-ubah dosis masing-masing conditioner hingga didapatkan data penurunan kadar
air lumpur yang signifikan, serta hingga tercapai titik di mana kondisi lumpur mencapai titik jenuhnya akibat penambahan bahan kimia
berupa conditioner tersebut. Untuk masing-masing conditioner, variasi dosis yang diujicobakan berbeda satu sama lainnya karena pengaruh
conditioner tersebut terhadap penurunan kadar air lumpur juga berbeda-beda.
Detail iterasi dosis masing-masing bahan kimia sebagai agen pengkondisi (conditioner agent) tersebut adalah sebagai berikut. Di
minggu pertama percobaan penelitian, penulis membuat variasi dosis conditioner sesuai dengan penelitian sebelumnya berdasarkan
penelitian Mustin et al. (2001), yaitu dosis FeCl 3, tawas (alum), dan kapur (CaO) sebesar 6 g/L, 8 g/L, dan 10 g/L. Sementara konsentrasi
larutan polielektrolit kationik adalah sebesar 3 g/L, 5g/L, dan 10 g/L (Citeau et al., 2011). Namun, kadar air lumpur dari hasil percobaan
chemical conditioning di minggu pertama ini masih belum turun sesuai dengan yang diharapkan, hanya mencapai 80 sampai 96%, dan
belum didapati titik jenuh masing-masing conditioner (titik di mana kadar maksimum conditioner dapat dibubuhkan). Oleh karena itu, pada
minggu selanjutnya, dosis masing-masing conditioner ditambahkan seperti tawas menjadi 12 gr/L hingga 18 gr/L pada minggu ke-2, dan
terus menambah dosis percobaan tawas hingga 34 mg/L pada minggu ke-3 untuk mendapatkan titik jenuh dosis pembubuhan tawas dalam
proses chemical conditioning ini. Demikian pula dengan jenis conditioner FeCl3, kapur, dan polielektrolit kation. Dosis FeCl3 yang juga
Universitas Indonesia
65
ditambahkan dari 12 gr/L hingga 18 gr/L pada minggu ke-2. Oleh karena pada rentang dosis tersebut, FeCl 3 telah ditemukan titik jenuhnya,
maka untuk minggu selanjutnya tidak dilakukan penambahan dosis lagi.Untuk conditioner kapur, pada minggu pertama, kadar air lumpur
hasil percobaan menunjukkan bahwa titik jenuh untuk dosis kapur berada pada rentang 6 gr/L hingga 8 gr/L, sehingga pada minggu
selanjutnya dosis kapur diubah menjadi 6,5 gr/L, 7 gr/L, dan 7,5 gr/L agar dapat lebih terlihat titik jenuhnya. Begitu pula dengan perubahan
dosis polielektrolit kation, yang diubah dosisnya dengan mempersempit rentang dosis dari 3-10 gr/L menjadi 6 gr/L, 7 gr/L, 8 gr/L, dan 9
gr/L.
Dari proses chemical conditioning yang dilakukan dalam skala laboratorium, maka didapatkan variasi data lumpur untuk masingmasing conditioner seperti yang tertera pada tabel 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Untuk percobaan chemical conditioning dengan tawas, didapatkan
bahwa dengan variasi dosis tawas dari 6 gr/L hingga 34 gr/L dapat menurunkan kadar air baku yang awalnya sebesar 97,33% menjadi
77,79%.
Tabel 4.2. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Tawas
No.
Sampel
(Kadar Conditioner)
1
2
3
4
5
TS
(mg/L)
VS
(mg/L)
Kadar Air
(%)
7,22 24.140
4,38 59.098
4,12 53.482
4,02 75.688
4,00 132.600
12.433
30.615
39.230
51.038
92.148
97,33
92,00
89,71
83,43
83,05
pH
Universitas Indonesia
66
6
7
8
3,97 143.820
3,92 164.913
3,89 169.513
3,90 176.485
10
3,85 178.975
11
3,76 180.025
79.098
83.530
57.652
122.22
8
161.59
0
109.61
8
85,12
81,76
77,79
86,36
91,45
92,51
Begitu pula dengan hasil percobaan chemical conditioning dengan conditioner lainnya. Variasi dosis feri klorida (FeCl3) dari 6 gr/L
hingga 18 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 69,60%. Variasi dosis kapur (CaO)
dari 6 gr/L hingga 10 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 73,23%. Lalu variasi
dosis polielektrolit kationik dari 3 gr/L hingga 12 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33%
menjadi 57,30%. Menurut Xuan Yin et al. (2004), chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%,
sehingga dari keempat jenis conditioner tersebut, semuanya dapat digunakan sebagai conditioner lumpur yang cukup efektif, hanya saja
harus digunakan secara optimal dalam hal menentukan dosisnya, agar mencapai sasaran penurunan kadar air yang dibutuhkan dan tetap
dapat bersifat ekonomis bagi perusahaan.
Tabel 4.3. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan FeCl3
No.
Sampel
(Kadar Conditioner)
pH
TS
(mg/L)
VS
(mg/L)
Universitas Indonesia
Kadar Air
(%)
67
1
2
7,22
3,53
24.140
32.895
12.433
25.480
97,33
95,91
2,94
51.573
44.595
94,27
2,53
2,49
2,42
2,36
62.035
182.03
3
221.67
5
225.13
5
90,57
2,24
79.905
243.09
0
246.40
5
251.29
0
271.57
5
114.945
87,25
69,60
80,66
85,46
Sampel
(Kadar Conditioner)
1
2
4
5
pH
TS
(mg/L)
VS
(mg/L)
Kadar Air
(%)
7,22
12,11
12,2
9
12,3
2
12,3
24.140
86.835
213.87
0
106.95
5
121.96
12.433
48.927
97,33
90,99
200.590
73,23
57.632
33.470
87,38
91,18
Universitas Indonesia
68
1
12,2
7
12,4
0
0
69.910
19.452
93,06
37.150
20.847
96,05
Sampel
(Kadar Conditioner)
pH
TS
(mg/L)
VS
(mg/L)
Kadar Air
(%)
7,22
24.140
97,33
7,31 206.040
7,23 218.370
7,03 248.660
7,13 323.750
7,18 351.873
7,28 422.860
7,24 441.960
7,21 464.420
12.433
100.00
0
105.00
0
232.85
1
209.90
1
328.19
6
400.00
0
441.70
8
443.85
0
Universitas Indonesia
76,74
74,60
60,73
59,38
58,70
57,30
58,74
75,21
69
4.2.1
tawas adalah pada kadar air lumpur sekitar 77,79% sampai 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 77,79% dicapai oleh tawas pada dosis
sebesar 18 gr/L. Jika dosis tawas yang dibubuhkan lebih besar dari konsentrasi tersebut, maka kadar air lumpur akan bertambah lagi. Pada
konsentrasi 18 gr/L tawas itulah titik jenuh bagi conditioner tawas. Buyukkamaci (2004) menyebut hal tersebut terjadi karena muatan
positif dari conditoner tawas sudah berikatan semuanya dengan muatan negatif yang mayoritas ada pada kandungan lumpur, pada dosis 18
gr/L tersebut. Jika diteruskan penambahan dosisnya, maka yang terjadi bukanlah pengikatan ion yang menyebabkan agregasi lumpur,
namun yang terjadi adalah bertambahnya fraksi berat lumpur yang disebabkan oleh bertambahnya berat lumpur akibat penambahan bahan
kimia yang tidak berikatan.
Grafik yang dihasilkan (grafik 4.1) merupakan grafik polinomial tingkat 2 di mana terdapat 1 lembah, yaitu nilai kadar air minimum
yang dapat dicapai dari hasil pembubuhan tawas dalam proses conditioning-nya. Dari grafik 4.1 terlihat bahwa penambahan dosis kimia
(conditioner) berbanding lurus dengan jumlah solid (berat) lumpur. Pada dosis tawas antara 8 gr/L hingga 14 gr/L terdapat lembah pula
pada grafik 4.1 yang menandakan adanya potensi titik jenuh juga. Namun, hal ini dianalisis sebagai kesalahan yang disebabkan oleh adanya
perbedaan hari dalam melakukan percobaan dengan dosis yang berbeda tersebut, sehingga memungkinkan hasil yang kurang akurat.
Universitas Indonesia
70
184,000
f(x)
==
0.05x^2
- 1.63x++12234.17x
97.74
f(x)
- 201.32x^2
+ 1782.77
164,000
RR
==
0.72
0.9
144,000
91.00
KadarKadar
Air Air
(%)
124,000
104,000
Solid
84,000
86.00
Polynomial (Kadar Air)
Solid
(mg/L)
Polynomial
(Solid)
64,000
81.00
44,000
76.00
-6.00
4.00
14.00
24.00
24,000
34.00
Grafik 4.1. Pengaruh Conditioner Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Universitas Indonesia
71
f(x)
f(x)==390.53x^2
0.06x^2 - 2.02x
+ 11598.72x
+ 100.58
+ 14336.11
RR==0.81
0.4
223,000
93.00
88.00
KadarKadar
Air Air
(%)
83.00
173,000
Polynomial (Kadar Air)
Solid
123,000
78.00
Solid
(mg/L)
Polynomial
(Solid)
73,000
73.00
68.00
0.00
23,000
5.00
10.00
15.00
Bergitu pula dengan conditioner lainnya. Dari grafik 4.2 mengenai pengaruh conditioner FeCl3 terhadap kadar air dan solid lumpur,
terlihat bahwa daerah kerja conditioner FeCl3 adalah pada kadar air lumpur sekitar 69,60% sampai 97,33%. Kadar air lumpur sebesar
69,60% dicapai oleh FeCl3 pada dosis sebesar 12 gr/L.
Universitas Indonesia
72
Solid
78
Polynomial (Solid)
73
0.0
2.0
(mg/L)
74,000
4.0
6.0
8.0
24,000
10.0
Grafik 4.3. Pengaruh Conditioner CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Dari grafik 4.3 mengenai pengaruh conditionerCaO terhadap kadar air dan solid lumpur, terlihat bahwa untuk dosis 6-10 gr/L CaO,
maka penurunan kadar air lumpur dapat berkisar dari 73,23% sampai dengan 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 73,23% dicapai oleh CaO
pada dosis sebesar 6,5 gr/L. Lalu dari grafik 4.4 mengenai pengaruh conditioner polielektrolit kationik terhadap kadar air dan solid lumpur,
terlihat bahwa daerah kerja conditioner polielektrolit kationik tersebut adalah pada kadar air lumpur sekitar 57,30% sampai 97,33%. Kadar
air lumpur sebesar 57,30% dicapai oleh polielektrolit kationik pada dosis sebesar 9 gr/L.Hal ini terjadi seperti yang telah disebutkan oleh
Universitas Indonesia
73
Zhang (2010), yaitu bahwa kation membantu proses dewatering dengan menjembatani area-area bermuatan negatif dari EPS, di mana dapat
mendorong kemampuan pelepasan air (dewaterability), dan kadar air lumpur dapat berkurang cukup banyak hingga berada di bawah 60%.
f(x) =
= 0.62x^2
- 9.94x
+ 99.79 424,000
f(x)
- 768.67x^2
+ 46869.18x
+ 31156.33
Polynomial (Kadar Air)
R
R =
= 0.97
0.9
324,000
77
224,000
67
Polynomial (Solid)
57
0.0 2.0
124,000
4.0
6.0
Solid
Solid (mg/L)
24,000
8.0 10.0 12.0
Dari hasil percobaan yang terpapar pada grafik 4.1, 4.2, 4.3, dan 4.4, terlihat bahwa conditioner yang dapat menurunkan kadar air
lumpur paling rendah adalah conditioner yang berupa polielektrolit kationik, yang merupakan polimer organik. Polielektrolit kationik
memberikan hasil yang terbaik dalam penurunan kadar air lumpur tersebut karena polielektrolit dapat mengubah karakteristik permukaan
Universitas Indonesia
74
koloid dan sifat reologi larutan pada lumpur. Secara khusus, polielektolit kationik digunakan karena kemampuannya untuk berinteraksi
dengan permukaan bermuatan negatif dari lumpur lebih baik dibandingkan dengan bahan kimia (conditioner) garam anorganik (Mihai,
2008). Secara umum, grafik menunjukkan grafik yang serupa dengan grafik yang terdapat dalam jurnal yang dibuat oleh Buyukkamaci
(2004) dan Lee (2000) di mana grafik pengaruh besaran dosis bahan kimia terhadap nilai CST berbanding terbalik, di mana semakin
banyak dosis conditioner dibubuhkan, maka nilai CST semakin menurun sampai suatu titik jenuh tertentu. Menurunnya nilai CST ini
menunjukkan bahwa kemampuan lumpur untuk melepas air semakin bertambah, dan itulah sebabnya seiring bertambahnya dosis
conditioner maka besarnya kadar air lumpur juga menurun, sampai suatu titik jenuh tertentu.
4.2.2
memiliki kecenderungan grafik yang sama. Keempat conditioner menunjukkan hasil yang serupa, yaitu semakin besar kadar organik dalam
suatu lumpur, maka kadar air yang terkandung dalam lumpur akan semakin sedikit. Menurut Wingender et al(1999), hal ini diakibatkan
oleh proses ekstraksi air dari lumpur akan menjadi semakin sukar ketika nilai volatile solid (VS) semakin tinggi. Extra-cellular Polymeric
Substances (EPS) yang ada dalam kandungan organik lumpur mengikat sel-sel melalui interaksi kompleks untuk membentuk struktur
jaring-jaring yang luas dengan sedikit air, sehingga melindungi sel-sel dari proses dewatering.
Kadar organik (VS) dalam lumpur yang telah dikondisikan dengan tawas adalah sekitar 34-90,2%. Kadar organik (VS) dalam
lumpur yang telah dikondisikan dengan FeCl 3 adalah sekitar 42,32-89,96%. Kadar organik (VS) dalam lumpur yang telah dikondisikan
dengan CaO adalah sekitar 27,44-93,79%. Kadar organik (VS) dalam lumpur yang telah dikondisikan dengan polielektrolit kationik adalah
sekitar 48,08-99,94%. Hasil tersebut agak berbeda dengan yang telah dikemukaan oleh Zhang (2010) mengenai kadar VSS yang biasanya
Universitas Indonesia
75
kurang lebih 50-75% dari total solid. Hal ini mungkin terjadi akibat kandungan organik yang ada pada lumpur telah mengalami berbagai
macam aktivitas atau degradasi akibat adanya beberapa perbedaan waktu percobaan, pengawetan sampel, dan perbedaan jenis conditioner.
Linear (Tawas)
810,000
760,000
710,000
660,000
CaO
Poli.Kation
Linear (Poli.Kation)
560,000
92,000
12,000
252,000
172,000
332,000
Kadar VS (mg/L)
Grafik 4.5. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur
Tren Linear
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Universitas Indonesia
76
Logarithmic (Tawas)
860,000 f(x) = -57550.18
-98092.62
1808695.38
-91945.65 ln(x) + 1435167.07
1743643.06
f(x)
=0.99
-88422.02 ln(x) + 1690177.67
0.98
0.9
R
=
810,000 R = 0.94
760,000
FeCl3
Logarithmic (FeCl3)
710,000
660,000
610,000
Logarithmic (CaO)
560,000
Poli.Kation
92,000
252,000
12,000
Logarithmic
172,000
(Poli.Kation)332,000
Universitas Indonesia
77
Kecenderungan data yang terlihat dari kedua grafik 4.5 dan 4.6 menunjukkan bahwa secara umum, grafik dengan tren logaritmik
lebih signifikan merepresentasikan pengaruh kadar volatile solid (VS) terhadap banyaknya air yang terekstrak dari lumpur biologis
dibandingkan dengan grafik tren linier. Hal ini dianalisis melalui kecenderungan data dari nilai R 2 pada grafik tren logaritmik yang
cenderung lebih besar daripada tren linear sehingga penyebaran data pada grafik tren logaritmik tersebut lebih akurat. Berdasarkan metode
analisis regresi linier sederhana, dapat dikatakan lebih akurat karena korelasi R 2 tersebut menyatakan bahwa regresi non linier (logaritmik)
memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan regresi linier. Dengan demikian, karena grafik dengan tren logaritmik lebih
representatif, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar kadar organik (VS) dalam lumpur, maka ikatan air secara kimiawi (bound water)
jauh lebih kuat daripada ikatan kimiawi dalam lumpur yang memiliki kadar organik (VS) lebih sedikit.
4.2.3
(detail perhitungan biaya ada pada lampiran 7). Biaya tersebut tersebut dapat dikurangi dengan adanya pengolahan awal ( preliminary
treatment) dari pihak PT. RHI untuk mengurangi timbulan lumpur tersebut, yaitu salah satu caranya adalah dengan melakukan chemical
conditioning dengan pembubuhan dosis yang optimal.
Menurut Zhai (2012), optimalisasi kinerja conditioning dapat evaluasi secara kuantitatif dengan input dari 2 respon, yaitu dari kadar
air lumpur yang sudah dikeringkan dan biaya bahan kimia dari conditioner yang digunakan. Dalam penelitian ini, proses penentuan dosis
yang optimal untuk masing-masing conditioner yang ada tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar penurunan kadar air lumpur yang
diperoleh, namun juga memperhatikan pengaruh dari jumlah timbulan lumpur beserta kadar solid lumpur yang bertambah seiring dengan
Universitas Indonesia
78
bertambahanya pemakaian conditioner. Selain itu, perlu juga untuk memperhatikan biaya yang mungkin dikeluarkan juga untuk melakukan
sedikit penyesuaian pH sebagai akibat adanya perubahan pH lumpur dari pencampurannya dengan conditioner.
12.00
Linear (Tawas)
10.00
pH
FeCl3
8.00
Linear (FeCl3)
6.00
Kapur
Linear (Kapur)
4.00
Poli. Kation
2.00
0 2 4 6 8 1012141618
Penggunaan conditioner dari bahan kimia anorganik seperti tawas dan feri klorida dapat menyebabkan turunnya pH lumpur di
bawah rentang pH baku mutu berdasarkan Kepmen lh nomor 51 tahun 1995 (6-9). Bahkan pembubuhan feri klorida sebanyak 18 gr/L dapat
menurunkan pH hingga 2,24. Hal ini membuktikan bahwa di dalam menganalisis optimasi chemical conditioning ini juga harus
memperhatikan biaya yang mungkin dikeluarkan untuk proses penyesuaian pH jika pH lumpur setelah dikondisikan berada di luar rentang
Universitas Indonesia
79
pH 6-9. Selain itu, oleh karena lumpur hasil olahan chemical conditioning ini akan diserahkan kepada pihak ketiga, di mana lumpur
tersebut akan dijadikan sebagai salah satu bahan baku (feedstock) unit waste-to-energy, sehingga harus memenuhi standar pH di atas 6,5
(Wahid, 2013).
Dari hasil grafik 4.7 dapat terlihat bahwa tawas dan feri klorida menyebabkan pH lumpur menjadi terlalu asam (di bawah pH 6),
dan kapur menyebabkan pH menjadi terlalu basa (di atas 9). Penambahan tawas yang mengurangi pH karena setiap 1 mg/L aluminium
sulfat bereaksi menghasilkan presipitat aluminium hidroksida, sehingga mengkonsumsi 0,5 mg/L alkalinitas (sebagai CaCO 3). Pengurangan
alkalinitas ini membutuhkan adanya pembubuhan lime (CaO) untuk menaikkan pH lumpur sampai mencapai pH lumpur yang ideal untuk
diaplikasikan. Demikian pula lumpur yang memiliki alkalinitas yang terlalu tinggi akibat adanya pembubuhan conditioner CaO juga harus
dinetralisir dengan asam, dalam percobaan ini digunakan alum sebagai penetralisir pH nya. Walau pun lumpur-lumpur ini nantinya akan
diserahkan ke pihak ketiga untuk diolah dalam sistem waste-to-energy, dan bukan untuk dibuang langsung ke lingkungan, tetap saja
penyesuaian pH ini harus dilakukan agar tidak membahayakan setiap unit waste-to-energy yang ada di PT. Holcim Geocycle Indonesia.
Oleh karena itu, perhitungan optimasi yang akan digunakan penulis untuk
pengkondisian lumpur sebagai upaya optimalisasi chemical conditioning adalah sebagai berikut :
Biaya Total ( Rp )=f ( solid ) +f ( conditioner )+ biaya pH adjustment
(4.1)
Dari rumus di atas, terlihat bahwa untuk menganalisis seberapa besar biaya yang dihasilkan dari masing-masing penggunaan
conditioner maka yang harus ikut diperhatikan dalam perhitungan dan mempengaruhi perhitungan tersebut adalah jumlah timbulan lumpur
akhir yang terjadi, jumlah conditioner yang dibubuhkan, dan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyesuaian pH. Setelah dilakukan
Universitas Indonesia
80
percobaan di laboratorium, didapati bahwa untuk penyesuaian pH lumpur yang memiliki asiditas tinggi akibat pembubuhan conditioner
tawas dan feri klorida dibutuhkan penyetara pH berupa larutan kapur (CaO) sebanyak 60% dari dosis conditioner yang dibubuhkan.
Sementara untuk penyesuaian pH lumpur yang memiliki alkalinitas tinggi akibat pembubuhan conditioner CaO dibutuhkan penyetara pH
berupa larutan alum sebanyak 90% dari dosis conditioner yang dibubuhkan.
Dari perhitungan optimasi yang telah ditetapkan di atas, maka penulis membuat 2 macam skenario optimasi yang berguna untuk
menguji dan mencari skenario mana yang dapat menghasilkan proses chemical conditioning yang paling optimal. Keadaan optimal yang
dimaksud dalam skenario ini dapat digunakan sebagai decision support system (DSS), di mana PT. RHI dapat menentukan jenis dan dosis
conditioner mana yang akan dipakai dalam proses chemical conditioning yang akan digunakan nantinya, sesuai dengan keadaan lumpur
biologis dan keinginan perusahaan. Jika proses optimasi ingin dirancang menjadi sebuah decision support system (DSS), maka perlu pula
membandingkan total biaya chemical conditioning yang dihasilkan dari perbandingan dosis conditioner pada kondisi pencapaian kadar air
lumpur yang sama. Oleh karena setiap conditioner telah memiliki persamaan masing-masing yang merepresentasikan pengaruh dosis
terhadap kadar air dan timbulan lumpur, maka perusahaan dapat menentukan sendiri juga kadar air lumpur yang diinginkan sebagai output
unit chemical conditioning-nya. Misalnya, perusahaan menginginkan kadar air lumpur pada persentase tertentu seperti 75%, 80%, atau
85%.
Skenario pertama adalah membandingkan biaya total proses chemical conditioning antara keempat conditioner dengan mengambil
acuan kadar air lumpur akhir yang sama, yaitu sebesar 85%. Chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99%
menjadi 65-85%, bergantung pada sifat padatan yang akan diolah (Xuan Yin et al., 2004). Penentuan acuan hasil akhir kadar air lumpur
sebesar 85% adalah agar didapatkan kemungkinan hasil biaya total minimum yang dihasilkan dari keempat percobaan proses chemical
conditioning yang ada.
Universitas Indonesia
81
Tabel 4.6 Skenario 1 - Biaya Total Chemical Conditioning dengan Acuan Kadar Air 85%
Jenis
Conditione
r
Dosis
Conditione
r (gr/L)
Kada
r Air
(%)
Kadar
Solid
(mg/L)
Tawas
11,33
85
FeCl3
11,5
85
CaO
85
1,66
85
114.553
199.36
8
136.35
6
106.84
1
Poli.
Kation
Biaya
Conditioner
yg dipakai
(Rp/tahun)
Biaya
Buang
Lumpur
(Rp/tahun
)
Biaya pH
Adjustment
(Rp/tahun)
1.818.818
3.473.527
3.031.364
8.323.710
5.948.573
6.045.352
3.076.848
15.070.773
2.675.520
4.134.663
866.868
7.677.051
4.322.927
3.239.680
7.562.607
Biaya
Operasiona
l Tahunan
(Rp/tahun)
Tawas (Al2(SO4)3)
Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan tawas, dari grafik 4.1 mengenai pengaruh tawas terhadap kadar air dan
solid lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis tawas (gr/L) terhadap penurunan kadar air lumpur (%) berikut :
y=0,045 x 21,634 x +97,74
(4.2)
dengan persamaan pengaruh dosis tawas (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
y=201,3 x2 +12.234 x +1782
(4.3)
Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 77,79% didapatkan pada saat dosis tawas yang digunakan sebesar
18 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan dosis tawas tersebut,
Universitas Indonesia
82
maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp
12.845.566,- setiap tahun.
Kapur (CaO)
Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan CaO, dari grafik 4.3 mengenai pengaruh CaO terhadap kadar air dan solid
lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis CaO (gr/L) terhadap penurunan kadar air lumpur (%) berikut :
2
y=0,518 x 5,137 x +97,19
(4.6)
dengan persamaan pengaruh dosis CaO (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
y=4511 x 2 +45.769 x +24.138
(4.7)
Universitas Indonesia
83
Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 73,23% didapatkan pada saat dosis CaO yang digunakan sebesar
6,5 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan dosis CaO tersebut,
maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp
10.322.673,- setiap tahun.
Polielektrolit kationik
Untuk proses chemical conditioning yang menggunakan polielektrolit kationik, dari grafik 4.4 mengenai pengaruh polielektrolit
kationik terhadap kadar air dan solid lumpur, didapatkan persamaan pengaruh dosis polielektrolit kationik (gr/L) terhadap
penurunan kadar air lumpur (%) sebagai berikut :
2
y=0,624 x 9,942 x +99,79
(4.8)
dengan persamaan pengaruh dosis polielektrolit kationik (gr/L) terhadap peningkatan timbulan lumpur (mg/L) sebagai berikut :
2
y=768,6 x + 46.869 x +31.156
(4.9)
Dari persamaan tersebut, kadar air lumpur terkecil, yaitu sekitar 57,30% didapatkan pada saat dosis polielektrolit kationik yang
digunakan sebesar 9 gr/L. Dengan menghitung pembiayaan kadar solid dan penyesuaian pH yang dipengaruhi oleh pembubuhan
dosis polielektrolit kationik tersebut, maka untuk menghasilkan kadar air minimum lumpur, biaya total pengolahan lumpur biologis
PT. RHI tersebut adalah sebesar Rp 36.259.753,- setiap tahun.
Skenario kedua adalah membandingkan biaya total proses chemical conditioning antara keempat conditioner dengan mengambil
acuan dosis yang merupakan titik optimal antara kadar air lumpur dengan jumlah timbulan lumpur pada grafik 4.1 hingga 4.4 yang dicapai
oleh keempat conditioner tersebut, sehingga optimasi conditioning lebih valid. Hasil perhitungan total biayanya terlihat dalam tabel 4.7.
Universitas Indonesia
84
Tabel 4.7 Skenario 2 - Biaya Total Chemical Conditioning dengan Acuan Optimasi Kadar Air dan Timbulan Lumpur Biologis
Jenis
Conditione
r
Dosis
Conditione
r (gr/L)
Kada
r Air
(%)
Tawas
10
85,90
FeCl3
10
86,15
CaO
Poli.
Kation
7,5
87,80
75,58
Kadar
Solid
(mg/L)
103.99
2
169.37
6
113.662
164.84
6
Biaya
Conditioner
yg dipakai
(Rp/tahun)
Biaya
Buang
Lumpur
(Rp/tahun
)
Biaya pH
Adjustment
(Rp/tahun)
1.605.312
3.153.304
2.675.520
7.434.136
5.172.672
5.135.914
2.675.520
12.984.106
3.344.400
3.446.515
1.083.586
7.874.501
7.812.518
4.998.541
12.811.059
Biaya
Operasiona
l Tahunan
(Rp/tahun)
Dari hasil skenario 1 dan skenario 2 didapatkan biaya total pengolahan lumpur yang berbeda antara kedua skenario tersebut. Biaya
total pengolahan lumpur dengan conditioner tawas tercapai paling murah pada skenario 2, yaitu pada harga Rp 7.434.136,- setiap tahun.
Demikian juga dengan conditioner feri klorida (FeCl3). Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner FeCl3 tercapai paling murah
pada skenario 2, yaitu pada harga Rp 12.984.106,- setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh jumlah dosis conditioner tawas dan FeCl3 yang
lebih rendah pada skenario 2 dibandingkan dengan dosisnya pada skenario 1, walaupun kadar air lumpurnya tidak mencapai 85%, hanya
mendekati 85%.
Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner kapur (CaO) tercapai paling murah pada skenario 1, yaitu pada harga Rp
7.677.051,- setiap tahun. Demikian pula dengan conditioner polielektrolit kationik. Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner
polielektrolit kationik tercapai paling murah pada skenario 1 pula, yaitu pada harga Rp 7.562.607 setiap tahun. Biaya pengolahan lumpur
Universitas Indonesia
85
dengan conditioner polielektrolit kationik menjadi yang paling murah di sini karena pengolahan dengan polielektrolit kationik tidak
membutuhkan biaya tambahan untuk penyesuaian pH, tidak seperti penggunaan ketiga jenis conditioner lainnya.
Jika skenario 1 dijadikan acuan dalam menentukan dosis yang optimal bagi chemical conditioning lumpur biologis PT. RHI, maka
jenis conditioner yang paling optimal untuk dipakai adalah polielektrolit kationik, dengan dosis sebesar 1,66 gr/L. Namun, dosis tersebut
hanya dapat berlaku jika pada suatu syarat tertentu saja, yaitu pada saat perusahaan menginginkan kadar air lumpur sebesar 85%. Jika
dilihat dari keseluruhan skenario proses optimasi chemical conditioning, maka jenis conditioner yang paling optimal untuk digunakan
dalam mengolah lumpur biologis PT. RHI adalah tawas, dengan dosis sebesar 10 gr/L. Hal ini dapat disimpulkan demikian karena
penggunaan conditioner tawas sebanyak 10 gr/L inilah yang membutuhkan biaya total pengolahan yang paling ekonomis, menghasilkan
timbulan lumpur yang paling sedikit, serta dapat menekan kadar air lumpur hingga mendekati batas kadar air lumpur yang diinginkan, yaitu
sekitar 85,9%.Perhitungan efisiensi pengurangan kadar air lumpur adalah sebagai berikut :
97,3385,9
E=
x 100 = 11,74%
97,33
Efisiensi pengurangan kadar air lumpur biologis yang dapat dilakukan setelah pemilihan conditioner yang optimal (tawas) adalah sebesar
11,74%.
Dari hasil optimasi, penulis mendapati bahwa bahan kimia yang paling optimal untuk digunakan sebagai conditioner dalam proses
chemical conditioning lumpur biologis PT. Rohm and Haas Indonesia adalah tawas dengan dosis optimum sebesar 10 gr/L. Sehingga, jika
Universitas Indonesia
86
diproyeksikan untuk timbulan lumpur PT. RHI sebanyak 38.400 kg per tahun, maka tanki conditioner yang akan dibuat akan memiliki
spesifikasi sebagai berikut :
m 123.428,57 kg
=
kg
929,36 3
m
3
Volume tangki conditioner 132,81m
Universitas Indonesia
87
18.980,25 1000 ml /
hari
=219,7 ml /s
s
86400
hari
Universitas Indonesia
88
6m
Tawas
5
m
Gambar 4.4. Tampak Samping (kiri) dan Tampak Atas (kanan) Bak Chemical Conditioning
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Digested Sludge
PumpSludge Supply
Universitas Indonesia
89
Gambar 4.5. Diagram Alir dari Pengolahan Biologis Limbah hingga Proses Chemical Conditioning Lumpur Biologis
Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Dari 4 jenis conditioner digunakan, maka pengaruh jenis dan dosis conditioner agent tersebut adalah sebagai berikut :
-
Tawas dengan dosis 18 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 77,79%, serta dapat dikatakan
sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 10 gr/L.
Universitas Indonesia
90
Feri klorida (FeCl3) dengan dosis 12 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 69,60%, serta dapat
dikatakan sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 10 gr/L.
Kapur dengan dosis 6,5 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 73,23%, serta dapat dikatakan
sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 7,5 gr/L.
Polielektrolit kation dengan dosis 9 gr/L dapat menurunkan kadar air lumpur biologis dari 97,33% menjadi 57,30%, serta dapat
dikatakan sebagai titik optimasi antara kadar air dengan jumlah timbulan lumpur biologis pada dosis 3 gr/L.
Secara garis besar, grafik penurunan kadar air lumpur berbanding terbalik dengan grafik timbulan fraksi berat lumpur, yaitu semakin
banyak pemakaian dosis conditioner sampai dosis tertentu, maka kadar air lumpur akan semakin menurun, dan timbulan fraksi berat
lumpur semakin bertambah, di mana keduanya akan mencapai suatu titik jenuh pada dosis tertentu.
2. Jenis conditioner agent yang paling optimal untuk digunakan sebagai conditioner dalam proses chemical conditioning lumpur biologis
PT. Rohm and Haas Indonesia adalah tawas dengan dosis optimum sebesar 10 gr/L. Hasil optimasi chemical conditioning lumpur
biologis ini membutuhkan biaya operasional total tahunan sebesar Rp 7.434.136,-, turun dari biaya operasional total tahunan sebelum
adanya chemical conditioning lumpur yang berkisar Rp 32.640.000,-. Analisa perbandingan biaya operasional total tahunan ini berasal
dari penggabungan interaksi variabel persentase kadar air, pH, dan kuantitas timbulan lumpur, di mana persentase kadar air
merepresentasian pengaruh conditioner secara langsung terhadap lumpur dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pemakaian
bahan kimia sebagai conditioner, biaya penyesuaian pH dibutuhkan untuk memenuhi standar baku mutu lingkungan, dan biaya
pengolahan timbulan lumpur lanjutan yang terlihat dari kuantitas fraksi berat lumpur yang terjadi.
3. Peningkatan efisiensi dewatering lumpur biologis IPAL PT. RHI melalui chemical conditioning yang dioptimalkan adalah sebesar
11,74%.
Universitas Indonesia
91
5.2 Saran
Agar penelitian yang selanjutnya dapat dilaksanakan dengan lebih maksimal, maka penulis menarik beberapa saran berdasarkan
data-data sebelumnya, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan data awal karakteristik lumpur biologis sebaiknya lumpur diambil dari secondary clarifier segera setelah lumpur
baru terbentuk, bukan lumpur yang telah diendapkan beberapa hari, agar hasil analisis perbandingan dapat menjadi lebih akurat dan
sempurna.
2. Dalam melakukan pengujian parameter seperti kadar organik lumpur sebaiknya dilakukan pada hari yang sama pada semua sampel,
karena parameter biologis dapat berubah-ubah dengan cepat bergantung pada kondisi lingkungan pada saat pengawetan sampel.
3. Untuk pengecekan efisiensi dewatering selanjutnya, akan lebih baik jika parameter dewatering yang diperiksa tidak hanya kadar air
lumpur saja, namun juga nilai capillary suction time (CST) lumpur menggunakan CST apparatus, atau nilai specific resistance of
filtration (SRF) lumpur menggunakan test SRF, yang dapat mengestimasi dewaterability lumpur. Pada penelitian ini, penulis tidak
menggunakan variabel tersebut dikarenakan adanya keterbatasan alat.
DAFTAR PUSTAKA
Bolto, Brian dan John Gregory. 2007. Organic Polyelectrolytes in Water Treatment. Water Research 41 (2007) 23012324.
Universitas Indonesia
92
Buyukkamaci, Nurdan. 2004. Biological Sludge Conditioning by Fentons Reagent. Process Biochemistry 39 (2004) 15031506.
Buyukkamaci, Nur dan Emrah Kucukselek. 2007. Improvement of Dewatering Capacity of a Petrochemical Sludge. Journal of Hazardous
Materials 144 (2007) 323327.
Chu, C. dan Lee, D. 1999. Moisture Distribution in Sludge : Effects of Polymer Conditioning. Colloids and Surfaces A : Physicochemical
and Engineering Aspects 194 (2001) 213220.
Citeau, M., O. Larue, dan E. Vorobiev. 2011. Inuence of Salt, pH and Polyelectrolyte on The Pressure Electro-Dewatering of Sewage
Sludge. Water Research 45 (2011) 2167-2180.
Devia, Yatnanta Padma. 2009. Pengaruh Penambahan Kapur dan Abu Terbang Dalam Laju Pelepasan Air dari Lumpur Biologis (IPAL
SIER). JURNAL REKAYASA SIPIL, Volume 3, No.2 2009 ISSN 1978 5658.
Dynam AC Corporation. 1999. Correlation Between Liquid, Sludge, and Solid Waste Form S, and Surface Impoundment, Land
Application, And Landfill Disposal Options. Washington, D.C : U.S. Environmental Protection Agency.
Hosnani, E., M. Nosrati, dan S.A. Shjasadati. 2010. Role of Extracellular Polymeric Substances in Dewaterability of Untreated, Sonicated,
and Digested Waste Activated Sludge. Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng., 2010, Vol. 7, No. 5, pp. 395-400.
Universitas Indonesia
93
Universitas Indonesia
94
Mikkelsen, Lene Haugaard dan Kristian Keiding. 2002. Physico-hemical Characteristics of Full Scale Sewage Sludges with Implications to
Dewatering. Water Research 36 (2002) 24512462.
Mustin, S. Deneux, B.S. Lartiges, G. Villemin, F. Thomas, J. Yvon, J.L. Bersillon, dan D. Snidaro. 2001. Ferric Chloride and Lime
Conditioning of Activated Sludge an Electron Microscopic. Wat. Res. Vol. 35, No. 12, pp. 30183024.
Nguyen, Tan Phong, Nidal Hilal, Nicholas P. Hankins, dan John T. Novak. 2008. Characterization of Synthetic and Activated Sludge and
Conditioning with Cationic Polyelectrolytes. Desalination 227 (2008) 103110.
Nguyen, Tan Phong dkk. 2008. Determination of the effect of cations and cationic polyelectrolytes on the characteristics and final
properties of synthetic and Activated Sludge. Desalination 222 (2008) 307317.
Novak, J.T. dan C. Park. 2004. Chemical Conditioning of Sludge. Water Science & Technology Vol 49 No 10 pp 7380.
Ohm, Tae-In, Jong-Seong Chae, Jeong-Eun Kim, Hee-kyum Kim, dan Seung-Hyun Moon. 2009. A study on the Dewatering of Industrial
Waste Sludge by Fry-Drying Technology. Journal of Hazardous Materials 168 (2009) 445450.
Pan, Jill Ruhsing. 2003. Correlation Between Dewatering Index and Dewatering Performance of Three Mechanical Dewatering Devices.
Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng., 2010, Vol. 7, No. 5, pp. 395-400.
Universitas Indonesia
95
Park, Chul, Yuan Fang, Sudhir N. Murthy, dan John T. Novak. 2010.Effects of Floc Aluminum on Activated Sludge Characteristics and
Removal of 17--Ethinylestradiol in Wastewater Systems.Water research 44 (2010) 13351340.
Patel, Hema & Suneel Pandey. 2009. Exploring the Reuse Potential of Chemical Sludge from Textile Wastewater. American Journal of
Environmental Sciences.
Qasim, Syed R. 1985. Wastewater Treatment Plants : Planning, Design, and Operation. New York : CBS College Publishing.
Ramdani, Abdellah, Peter Dold, Stephane Deleris, Daniel Lamarre, Alain Gadbois dan Yves Comeau. 2010. Biodegradation of The
Endogenous Residue of Activated Sludge. Water Research 44 (2010) 21792188.
Reynold, Tom, D. 1982. Unit Operation and Processes in Environmental Engineering. Texas ANM University. Brooks/Cole Engineering
Division. Monterey. California.
Rinaudo, M., 2006. Chitin and chitosan: Properties and Applications. Progr. Polym. Sci. 31, 603632.
Sawalha, O. dan Scholz, M. 2010. Modeling the Relationship between Capillary Suction Time and Specific Resistance to Filtration. Journal
of Hazardous Materials 154 (2008) 10521059.
Sawyer, Clair N., Perry L. McCarty, Gene F. Parkin. 2003. Chemistry for Environmental Engineering, 5th edition. New York : McGrawHill Inc.
Universitas Indonesia
96
Sheng, Guo-Ping, Han-Qing Yu, dan Xiao-Yan Li. 2010. Extracellular Polymeric Substances (EPS) of Microbial Aggregates in Biological
Wastewater Treatment Systems : A Review.Biotechnology Advances 28 (2010) 882894.
Simmons, Milagros S. 1991. Hazardaous Waste Managements. United States of America : Lewis Publisher, Inc.
Tchobanoglous, George and Franklin L. Burton. 1991. Wastewater Engineering Treatment Disposal Reuse 3th ed. Singapore: Mc Graw Hill
Book Co.
Universitas Indonesia (2004). Pengantar Penulisan Ilmiah.
Wahid, S. S. 2013. Design Criteria for The Hazardous (Biomedical) Waste Incineration Plants for Hospitals. Minia Journal of Engineering
and Technology, (MJET)Vol. 32, No 1, January 2013.
Wu, Chih Chao, Chihpin Huang, dan D.J. Lee. 1997. Bound Water Content and Water Binding Strength on Sludge Flocs. Wat. Res. Vol. 32,
No. 3, pp. 900-904.
Yang, Gordon C.C, Min-Cong Chen, Chun-Fu Yeh. 2011. Dewatering of a Biological Industrial Sludge by Electrokinetics-assisted Filter
Press. Water Research 44, 21792188.
Yin, Xuan, Pingfang Han, Xiaoping Lu, dan Yanru Wang. 2004. A Review on The Dewaterability of Bio-sludge and Ultrasound
Pretreatment. Ultrasonics Sonochemistry 11 (2004) 337348.
Universitas Indonesia
97
Yuan, Hai-ping, Xiao-bo Cheng, Shan-ping Chen, Nan-wen Zhu, dan Zhen-ying Zhou. 2011. New Sludge Pretreatment Method to Improve
Dewaterability of Waste Activated Sludge. Bioresource Technology 102 (2011) 56595664.
Zhai, Lin-Feng, Min Sun, Wei Song, dan Gan Wang. 2012. An Integrated Approach to Optimize the Conditioning Chemicals for Enhanced
Sludge Conditioning in a Pilot-Scale Sludge Dewatering Process. Bioresource Technology 121 (2012) 161168.
Zhang, Zhiqiang, Siqing Xia, dan Jiao Zhang. 2010. Enhanced Dewatering of Waste Sludge with Microbial Focculant TJ-F1 as a Novel
Conditioner. Water Research 44 (2010) 30873092.
Lampiran 1 : Dokumentasi
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
98
Universitas Indonesia
99
Universitas Indonesia
100
Universitas Indonesia
101
Pengukuran Suhu
1. Prinsip
Air raksa dalam termometer akan memuai atau menyusut sesuai dengan panas air yang diperiksa, sehingga suhu air dapat dibaca pada
skala termometer (oC).
2. Bahan
- Sampel yang akan diukur
3. Peralatan
- Termometer air raksa yang mempunyai skala sampai 110oC
- beaker glass 100 ml
4. Prosedur
- Sampel yang akan diuji dituang ke dalam beaker glass 100 ml
- Termometer langsung dicelupkan ke dalam contoh uji dan biarkan 2 menit sampai dengan 5 menit sampai termometer
-
Universitas Indonesia
102
Lampiran 3 : Pengukuran pH
Pengukuran pH
1. Prinsip
Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktifitas ion hidrogen secara potensiometri/ elektrometri dengan menggunakan pH
meter.
2. Bahan
- Sampel yang akan diukur
- Air suling
3. Peralatan
- pH meter dengan perlengkapannya
- beaker glass 100 ml
4. Prosedur
- Sampel yang akan diuji dituang ke dalam beaker glass 100 ml
- Elektroda dibilas terlebih dahulu sebelum mengukur sampel
- Elektroda dicelupkan ke dalam beaker glass yang berisi sampel, diamati hingga pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap
Universitas Indonesia
103
Universitas Indonesia
104
Setelah dikeluarkan dari oven, cawan uap beserta sampel didinginkan dalam desikator selama setengah jam atau lebih untuk
menyeimbangkan suhu
Timbang kembali cawan uap beserta sampel yang telah dioven tersebut dengan timbangan analitis sampai beratnya konstan , atau
sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% dari berat sebelumnya atau sebesar 0,5 mg.
- c.
-
Perhitungan
mg total solids / L=
( AB ) x 1000
volume sampel ,mL
kadar air=
( CA )
x 100
(CB)
di mana :
- A = berat residu kering + cawan setelah oven (mg)
- B = berat cawan kosong (mg)
- C = berat sampel basah + cawan sebelum oven
-
Universitas Indonesia
105
Universitas Indonesia
106
1. Prinsip
- Residu dari metode TS (lampiran 4) dibakar hingga berat konstan pada suhu 550 oC. Solid yang tersisa merepresentasikan fixed
solid total, sementara berat yang hilang selama pembakaran adalah volatile solid. Penentuan ini berguna untuk mengontrol sistem
operasi pengolahan air limbah karena menyediakan pendekatan kasar mengenai jumlah fraksi solid organik yang ada dalam air limbah,
lumpur aktif, dan limbah industri.
1. Bahan
- Sampel yang akan diukur (20 ml)
- 3. Peralatan
- Cawan uap 100 ml
- Furnace (untuk operasi mencapai 550C)
- Desikator
- Timbangan analitik
- 4. Prosedur
- a.
-
550C selama 1 jam. Setelah itu didinginkan pada desikator minimal setengah jam atau sampai waktunya akan digunakan. Lalu
cawan uap harus segera ditimbang dengan timbangan analitis sebelum digunakan untuk mendapatkan data berat cawan kosong awal
-
Universitas Indonesia
107
- b.
-
Panaskan cawan uap beserta sampel dalam furnace pada suhu 550C selama 15 hingga 20 menit
Setelah dikeluarkan dari furnace, cawan uap beserta sampel didinginkan dalam desikator selama setengah jam atau lebih untuk
menyeimbangkan suhu
Timbang kembali cawan uap beserta sampel yang telah difurnace tersebut dengan timbangan analitis sampai beratnya konstan,
atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% dari berat sebelumnya atau sebesar 0,5 mg.
- c.
-
Perhitungan
mg volatile solids / L=
( AB ) x 1000
volume sampel ,mL
di mana :
- A = berat residu kering + cawan sebelum furnace (mg)
- B = berat residu kering + cawan sesudah furnace (mg)
-
Universitas Indonesia
108
Universitas Indonesia
109
- Setelah beberapa percobaan dilakukan dan suhu masing-masing sampel diukur, maka didapatkan bahwa tidak ada perubahan
suhu yang signifikan akibat adanya pembubuhan bahan kimia dalam chemical conditioning. Selain itu, metode pengawetan lumpur
melalui proses pendinginan di lemari pendingin membuat suhu lumpur yang berubah-ubah, sehingga tidak dapat dibandingkan
perubahan suhu masing-masing sampel tersebut. Berikut ini merupakan hasil pengukuran suhu masing-masing sampel :
-
Sampel
(Kadar
Conditioner)
Lumpur Baku
(Tanpa
Pengenceran)
Lumpur + Tawas (6
gr/L)
Lumpur + Tawas (8
gr/L)
Lumpur + Tawas
Universitas Indonesia
110
(10 gr/L)
-
Lumpur + Tawas
(12 gr/L)
-
Lumpur + Tawas
(14 gr/L)
Lumpur + Tawas
(16 gr/L)
Lumpur + Tawas
(18 gr/L)
-
Lumpur + Tawas
(22 gr/L)
-
Lumpur + Tawas
(26 gr/L)
Lumpur + Tawas
(34 gr/L)
Universitas Indonesia
111
Lumpur + FeCl3 (6
gr/L)
Lumpur + FeCl3 (8
gr/L)
-
Lumpur + FeCl3
(10 gr/L)
-
Lumpur + FeCl3
(12 gr/L)
-
Lumpur + FeCl3
(14 gr/L)
-
Lumpur + FeCl3
(16 gr/L)
-
Lumpur + FeCl3
(18 gr/L)
Universitas Indonesia
112
Lumpur + Kapur (6
gr/L)
Lumpur + Kapur
(6,5 gr/L)
-
Lumpur + Kapur (7
gr/L)
Lumpur + Kapur
(7,5 gr/L)
Lumpur + Kapur (8
gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (3 gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (5 gr/L)
Universitas Indonesia
113
Lumpur +
Poli.Kation (6 gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (7 gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (8 gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (9 gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (10
gr/L)
-
Lumpur +
Poli.Kation (12
gr/L)
Universitas Indonesia
114
Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari PT. RHI (2013), jumlah lumpur biologis yang dihasilkan PT. RHI setiap
minggunya adalah sekitar 5 drum yang masing-masing memiliki kapasitas 160 kg, sehingga jumlah total lumpur biologis PT. RHI adalah
sekitar 800 kg/minggu. Lumpur biologis tersebut masih mengandung nilai kalor yang cukup tinggi (lebih dari 2500 kkal/kg), sehingga PT.
RHI dapat menyerahkan pengolahan selanjutnya kepada PT. Holcim Geocycle Indonesia sebagai pihak ketiga, di mana terdapat sejumlah
biaya pengolahan lumpur selanjutnya yang harus dibiayai oleh PT. RHI. Biaya pengolahan lumpur yang harus dikeluarkan untuk
pengolahan lumpur tersebut adalah sebesar Rp 850.000,-/ton lumpur yang dibuang. Harga yang ditentukan oleh PT. Holcim Geocycle
Indonesia tersebut merupakan harga pasar yang berlaku di daerah penelitian pada tahun 2013. Jika tidak ada perlakuan apa pun pada
lumpur yang akan dibuang oleh PT. RHI, maka dengan jumlah total keseluruhan lumpur yang dihasilkan oleh PT. RHI dalam kurun waktu
1 tahun, akan memakan total biaya sebagai berikut :
Jumlah lumpur biologis WWTP = 5 drums x 160 kg = 800 kg/minggu
= 3,2 ton/bulan = 38,4 ton/tahun
Biaya total pengolahan lumpur = Rp 850.000,-/ton x 38,4 ton/tahun
= Rp 32.640.000,-/tahun
-
Universitas Indonesia