Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh :
Nadia Oktarina 1210313046
Indah Mutiara Sari 1210313029
Preseptor :
dr. Novialdi, Sp.THT-KL(K)
BAB I
PENDAHULUAN
Bell s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem
saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan
unilateral dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi
lainnya atau kelainan lokal.1-3
Bells palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.2 Insidens sindrom ini sekitar 23
kasus
per
bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2
Bells palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1, 2
Perjalanan alamiah Bell s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter pelayanan
primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis
banding yang mungkin didapatkan.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FUNGSI NERVUS FASIALIS
Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam
tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang
temporal.4 Nervus ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari
7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf
lainnya
serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik
untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.3
Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen mototris,
sensoris dan parasimpatis.4 Komponen motoris mensarafi m.stapedius, venter
posterior
m.digastriks
dan
otot
wajah,
kecuali
m.levator
palpebra
b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori
internal (foramen meatus) ke ganglion genikulatum. Kanal falopi
pada segmen labirin merupakan daerah paling sempit dan rentan
terhadap kompresi pada Bells Palsy.
c. Segmen timpani (8-11 mm): memanjang dari ganglion genikulatum
hingga eminensia piramidalis kemudian ke arah inferior. Segmen
timpani terletak diatas tingkap oval dan di bawah kanalis
semisirkularis.
d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): memanjang dari
piramid ke foramen stilomastoideus.
kelenjar
parotis.
Bagian
ekstrakranial
dari
foramen
Zygomaticus
Buccal
Geraka wajah
Mengangkat alis
Memejamkan
mata
dengan kuat
Menunjukkan gigi
Ramus mandibularis
Cervical
Gambar 2.3 Cabang nervus fasialis setelah keluar dari foramen stilomastoideus5
dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator strukturstruktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah.
Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis.7
Gambar. gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial yang berhubungan
dengan ekspresi8
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otototot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m.
frontalis, m. sourcilier, m. piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m.
relever komunis, m. businator, m. orbikularis oris, m. triangularis, m. mentalis.4
10
per
bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
11
Infeksi virus: teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit
ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di
ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam
minggu setelah mengalami Bell s palsy. Murakami et al. menggunakan
teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom
virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling
saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell s palsy yang dilakukan
dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan
paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian
ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya
temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat
diadopsi.1. Menurut Holland, HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus
Bells palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV)
kasus.
fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6%
dalam bentuk Ramsay Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine
herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan
saraf fasialis yang idiopatik.3
Iskemia vaskular: iskemia primer dapat diinduksi oleh dingin atau stres
emosional. Hal tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler yang
meningkat sehingga menyebabkan eksudasi cairan, edema, dan kompresi
mikrosirkulasi dari saraf tersebut.
12
Fase akut (0-3 minggu): Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion
genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV).
Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat
menyebabkan edema saraf.
Fase sub akut (4-9 minggu): Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai
berkurang.
Fase kronik (> 10 minggu): Edema pada saraf menghilang, tetapi pada
beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada
sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja,
otot dahi
dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer
terjadi pada satu sisi wajah.3 Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai
secara
subjektif
Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak
lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.3, 4
Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani
pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi,
pemeriksaan
massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari
N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka
dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila
terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan
kelopak mata dalam melindungi kornea.3
14
15
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai 30.
Terdapat sistem grading yang dikembangkan oleh House and Brackmann dengan
skala I sampai VI.2
Tabel.
Grade
Grade I
Grade II (disfungsi
ringan)
Karakteristik
Fungsi fasial normal.
Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
Sinkinesis ringan dapat terjadi.
Simetris normal saat istirahat.
Gerakan dahi sedikit sampai baik.
Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan
sedikit usaha.
Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial
dapat ditemukan.
Simetris normal saat istirahat.
Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan
usaha.
Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
Simetris normal saat istirahat.
Tidak terdapat gerakan dahi.
Mata tidak menutup sempurna.
Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal
Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
Tidak terdapat gerakan pada dahi.
Mata menutup tidak sempurna.
Gerakan mulut hanya sedikit.
Asimetris luas.
Tidak ada gerakan.
Grade IV (disfungsi
moderat
sampai
berat)
Grade V (disfungsi
berat)
Grade VI (paralisis
total)
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan
IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang buruk.
Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai
inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut
16
dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik
pasien saat pertama kali datang memeriksakan diri
2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic/ekspresi muka. Freyss menganggap
penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap
tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne
mengemukakan bahwa tonus yang jelek member gambaran prognosis
yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu
seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan.
Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai
minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.4
3. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu kompliaksi dari paresis fasialis yang sering
kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut :4
a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).
Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan
sisi normal nilainya dikurang satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut.
Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris.
17
4. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu kompliaksi yang sering dijumpai pada
penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedipngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot
pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat
kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak.
Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis
dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk persentasenya.4
5. Schimmer test atau nasolacrymal reflex : dianggap sebagai pemeriksaan
terbailk untuk mengetahui fungsi serabut-serabut pada simpatis dari
n.fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor
setinggi ganglion genikulatum yang berfungsi dalam proses lakrimasi
pada mata kanan dan kiri.4,
munilsin
kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva selama 3 menit.4, 11 Freys menyatakan bahwa kalau ada beda
kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. Lesipada
tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea
akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.4,3
18
19
Gambar. Lesi topografik dari nervus fasialis. (A) lesi diatas ganglion
genikulatum merusak serat motorik pada otot wajah dan stapedius,
serat sekretomotor ke kelenjar lakrimal dan submandibular, serta
serat pengecap; (B) Lesi diantara ganglion genikulatum dan saraf
stapedius tidak mengganggu serat sekretomotor kelenjar lakrimal;
(C) Lesi diantara nervus stapedius dan korda timpani tidak
mengganggu fungsi refleks stapedial dan lakrimasi; (D) Lesi
dibawah korda timpani hanya mempengaruhi ekspresi wajah. 5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
20
pada
media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), metastasis tulang, ada riwayat
trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1
bulan.1, 3
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel
sklerosis. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan
kontras saraf fasialis.1, 3
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy dapat digunakan sebagai
prediktor kesembuhan. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi
(EMG)
mempunyai
nilai
prognostik
yang
lebih
baik
dibandingkan
21
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.1
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis
media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum
timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster
otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat
nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi
virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik
berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli
bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus
kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah
(angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.1
22
23
d. Fisioterapi
atau
akupunktur:
dapat
mempercepat
perbaikan
dan
menurunkan sequel.2 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan
melingkar.1 Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam
empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan
paralisis fasialis.
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedangberat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang
dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
pasien
dengan
asimetri
dan
sinkinesis
perlu
atau
hasil
pemeriksaan
elektroneurography
(ENoG)
26
27
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Lowis H, Gaharu MN. Bells palsy, diagnosis dan tata laksanadi
pelayanan primer. Artikel pengembangan pendidikan keprofesian
berkelanjutan (p2kb). Jakarta: j indon med assoc. 2012:62:1-6
2. Menkes. PermenkesNomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di FaslitasPelayananKesehatan Primer. 2014;319-23.
3. Munilson J, Edward y, Triana W. Diagnosis dan penatalaksanan bells
palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 2011:1-6
4. Sjarifuddib, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan nervus fasialis
perifer. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Jakarta:
BadanPenerbitFakultasKedokteranUniveritas
Indonesia.
2012:114-117.
5. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67
6. Probst R. Facial nerve. In: Probst R, Grevers G, Iro H, editor. Basic
otorhinolaryngology. New York: Thieme. 2006:289-96
7. Istiqomah DN. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bells palsy sinistra.
Surakarta:
Fakultas
Ilmu
Kesehatan
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta. 2014:1-26.
8. Graaff VD. Human Anatomy. McGraw-Hill. 2001:250-2.
9. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management.
University of Illinois at Chicago College of Medicine, Chicago, Illinois.
2007:1-6.
10. 10 TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition, revised and expanded.
New York: Thieme. 2003:97-99.
11. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. In: Adams LG, Boies
RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 7th Ed. Edisi
Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2012:139-52.
29