Вы находитесь на странице: 1из 15

Corporate Governance

Pengertian dan fungsi Corporate Governance


Corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan
mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan
harapan para pemangku kepentingan (CGPI, 2012). Dewan direksi, yang merupakan
penanggung jawab utama dalam tata kelola perusahaan yang baik, berpartisipasi
dalam keputusan-keputusan strategis, mengajukan pertanyaan-pertanyaan manajemen
yang tangguh, mengawasi rencana, keputusan, dan tindakan manajemen, dan
memonitor perilaku etis, pelaporan keuangan, dan kepatuhan hukum, dapat sangat
efektif dalam mewujudkan tata kelola yang baik dan melindungi kepentingan
stakeholder.
Forum of Corporate governance for Indonesia-FCGI (2001) menjelaskan bahwa
corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan (dengan
kata lain sebagai sistem yang mengendalikan perusahaan) antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta
pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya sengan hak-hak dan kewajiban
mereka. Corporate governance mengarah kepada aturan-aturan yang memungkinkan
pemegang saham untuk membuat perusahaan memaksimalkan nilai dan untuk
memperoleh return. Dengan begitu, corporate governance merupakan alat untuk
menjamin direksi dan manajer agar bertindak yang terbaik bagi kepentingan investor.

Fungsi dari corporate governance adalah meningkatkan kinerja perusahaan melalui


pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka dan
aturan yang berlaku. Selain itu, corporate governance juga bermanfaat, antara lain:
a. Mengurangi biaya keagenan yang merupakan biaya yang harus ditanggung
pemegang saham karena penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pendelegasian
wewenang kepada pihak manajemen.
b. Mengurangi biaya modal (cost of capital) sebagai dampak dari menurunnya tingkat
bunga atas dana dan sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan seiring dengan
turunnya tingkat risiko perusahaan.
c. Menciptakan dukungan para pemegang saham dalam lingkungan perusahaan
tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh
perusahaan.
Prinsip Corporate Governance
Code of Corporate governance di Indonesia dalam Komite Nasional Corporate
Governance terdapat lima prinsip yang harus dilakukan oleh perusahaan, yaitu:
1. Transparancy (Transparansi)
Transparansi berkaitan dengan informasi yang disajikan manajemen perusahaan.
Untuk mewujdukan dan mempertahankan objektivitas dalam praktek bisnis,

perusahaan harus menyediakan informasi yang relevan dan material yang mudah
diakses dan mudah dipahami bagi pemegang saham. Dalam hal ini perusahaan harus
berinisatif untuk mengungkapkan informasi, tidak hanya diwajibkan oleh hukum dan
regulasi, tetapi juga informasi lain yang dianggap penting bagi pemegang saham,
kreditor dan pemegang saham lain untuk pembuatan keputusan.
2. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah salah satu prasyarat untuk memperoleh kinerja berkelanjutan.
Akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan
antara organ-organ yang ada dalam perusahaan. Sebagai manajer perusahaan,
akuntabilitas erat kaitannya sebagai penanggungjawaban terhadap kinerja manajer,
manajer harus mampu melaporkan, menjelaskan, dan menjawab pertanyaanpertanyaan terkait kinerjanya dengan wajar dan transparan. Jadi, perusahaan harus
mampu mengatur cara agar kepentingan perusahaan sejalan dengan kepentingan
pemegang saham dan pemegang saham lainnya.
3. Responsibility (Tanggung Jawab)
Perusahaan menjalankan kewajiban terhadap hukum dan aturan-aturan yang berlaku
kepada komunitas dan lingkungan dengan tujuan mempertahankan kelangsungan
bisnis jangka panjang dan dikenal sebagai perusahaan yang baik. Kepatuhan terhadap
aturan-aturan yang berlaku untuk memastikan bahwa perusahaan dapat menjalankan

aktivitas bisnisnya, dengan sebelumnya melaksanakan kewajiban - kewajibannya


terhadap hukum yang berlaku dan ketentuan-ketentuan lain dalam masyarakat.
4. Independency (Kemandirian)
Perusahaan harus diatur secara independen oleh kekuasaan yang seimbang, dimana
tidak ada salah satu organ perusahaan yang mendominasi organ lain dan tidak ada
intervensi dari pihak lain, dengan tujuan mendukung implementasi prinsip-prinsip
tata kelola perusahaan yang baik.
5. Fairness (kejujuran)
Prinsip kejujuran atau kewajaran menekankan pada jaminan perlindungan hak-hak
para pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing serta perlakuan yang
setara terhadap semua investor. Praktik kewarajaran ini juga mencakup adanya sistem
hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak.
Hal ini penting untuk melindungi kepentingan pemegang saham khususnya pemegang
saham minoritas dari praktik kecurangan (Fraud) dan praktik-praktik insider trading.
Teori-teori Corporate governance
Dalam Syakhroza (2003) dijelaskan bahwa teori corporate governance dapat
diformulasikan dalam model-model corporate governance yang bersifat mainstream
seperti finance model (agency theory), stewardship model (stewardship theory),
stakeholders model (stakeholders theory), political model (political theory) serta

myopic market model. Selain itu juga dalam Omran (2015) juga menggunakan dua
teori lainnya yaitu legitimacy theory dan social contract theory.
Agency Theory
Seorang agen ditunjuk oleh principal untuk melakukan beberapa jasa untuk
kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pembuatan
keputusan kepada agen, dalam rangka menghasilkan keuntungan terbesar bagi
principal serta meningkatkan kemakmuran principal sebagai pemberi kuasa. Menurut
Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan adalah sebagai kontrak, dimana
satu atau beberapa orang (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk
melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil
keputusan kepada agen tersebut.
Teori agensi dimulai ketika pemilik perusahaan tidak mampu mengelola perusahaan
sendiri, sehingga pemilik harus melakukan kontrak dengan eksekutif untuk
menjalankan perusahaan. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggungjawab
untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya
akan memperoleh kompensasi sesuai kontrak. Manajer selalu ingin mengurangi pos
pengurangan karena ingin mengejar target pencapaian laba, biasanya selalu ditentang
oleh pemilik. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam
perusahaan,

dimana

masing-masing

pihak

berusaha

untuk

mencapai

atau

mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki. Adanya perbedaan antara

manajemen dan pemilik tersebut dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan yang


diputuskan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976).
Upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengatasi berbagai masalah keagenan
yang terjadi karena perbedaan kepentingan antara principal dan agen adalah dengan
mengeluarkan agency cost. Menurut Jensen dan Meckling (1986) agency cost dapat
dibagi menjadi tiga yakni monitoring cost, bonding cost, dan residual cost.
Monitoring cost merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengamati,
mengontrol, serta membatasi perilaku agen agar tidak melakukan aktivitas yang
merugikan principal. Bonding cost merupakan biaya yang dikeluarkan agen untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen bertindak sesuai
kepentingan principal. Sementara residual cost merupakan biaya yang dikeluarkan
principal berupa berkurangnya kemakmuran principal akibat perbedaan keputusan
agen dan keputusan principal. Menurut Jensen (1986) salah satu cara untuk
memperkecil biaya pengawasan yang ditanggung oleh pemegang saham adalah
dengan melibatkan pihak ketiga dalam pengawasan tersebut. Untuk mengurangi
monitoring cost dan memperoleh pendanaan, perusahaan akan menggunakan utang
sebagai alternatif pilihan.
Teori agensi mengasumsikan bahwa principal tidak memiliki informasi yang cukup
tentang kinerja agen. Agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri,
lingkungan kerja, perusahaan secara keseluruhan dan prospek di masa yang akan
datang

dibandingkan

dengan

principal.

Hal

inilah

yang

menyebabkan

ketidakseimbangan

informasi

yang

dimiliki

oleh

principal

dan

agen.

Ketidakseimbangan inilah yang disebut sebagai asimetri informasi (asymmetric


information). Menurut Scott (2000) asimetri informasi terdiri dari dua macam, yaitu
moral hazard dan adverse selection. Moral hazard memiliki makna bahwa para
pemegang saham atau pemberi pinjaman tidak mengetahui seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh manajer, sehingga kegiatan yang melanggar kontrak dan sebenarnya
secara etika dan norma tidak layak, dapat dilakukan oleh manajer tanpa diketahui
oleh pemegang saham. Sedangkan adverse selection memiliki makna bahwa keadaan
dan prospek perusahaan lebih banyak diketahui oleh manajer serta orang-orang dalam
dibandingkan dengan investor luar, sehingga investor atau pemegang saham tidak
dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar
didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah
kelalaian dalam tugas.
Menurut Purwantini (2012) terdapat tiga macam konflik keagenan yang sering terjadi,
yaitu: (1) Konflik antar pemegang saham dengan manajer, (2) Konflik antara
pemegang saham dengan kreditor, (3) Konflik pemegang saham mayoritas dengan
minoritas. Dalam penjelasan agency theory diasumsikan bahwa masing-masing
individu seolah-olah termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga
menimbulkan konflik antara principal dan agen.

1.

Konflik pemegang saham dengan manajer

Konflik antara pemegang saham dengan manajer ini terjadi karena adanya
kesalahpahaman. Pengambilan kebijakan yang secara sepihak, membuat asimetri
informasi terjadi diantara mereka. Di satu sisi, pemegang saham menginginkan
kemakmuran untuk dirinya sendiri dengan mengharapkan adanya profitabilitas yang
terus meningkat, sedangkan di sisi lain, manajer juga menginginkan kemakmuran
untuk dirinya sendiri dengan kesejahteraan. Ketika manajer ingin menguntungkan
dirinya sendiri, dengan mendapatkan promosi, gaji, atau fasilitas lainnya, akan
merugikan pemegang saham. Hal ini terjadi karena tidak adanya keselarasan antara
tujuan manajer dan pemegang saham.
2.

Konflik antara pemegang saham dengan kreditor

Pemegang saham melalui manajer, bisa mengambil keuntungan atas kreditor. Konflik
tersebut bisa terjadi karena pemegang saham dengan kreditor mempunyai struktur
penerimaan yang berbeda. Kreditor memperoleh bunga dan kembalian pinjamannya,
sedangkan pemegang saham memperoleh pendapatan dari sisa kewajiban yang
dibayarkan ke kreditor. Jika nilai perusahaan berada dibawah nilai kewajiban,
kreditor berhak atas semua nilai perusahaan. Jika nilai perusahaan naik di atas nilai
kewajiban, pemegang saham berhak atas kelebihan tersebut. Semakin tinggi
kelebihan tersebut, semakin tinggi nilai yang dimiliki pemegang saham, sementara
kekayaan kreditor tetap, tidak berubah.

3.

Konflik antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham

minoritas
Potensi konflik bisa terjadi ketika pemegang saham mayoritas memanfaatkan
kesempatannya dalam mengambil keuntungan yang merugikan pemegang saham
minoritas. Potensi konflik anta pemegang saham ini dikarenakan para pemegang
saham tidak bersifat homogen.
Salah satu mekanisme untuk mengatasi konflik agensi tersebut adalah corporate
governance. Corporate governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan. Tujuan dilaksanakannya corporate governance ini adalah
agar manajer bertindak sesuai dengan kepentingan para pemegang saham. Dengan
adanya corporate governance dapat meyakinkan pemegang saham bahwa kebijakan
yang diambil oleh manajer dapat membawa keuntungan bagi mereka. Selain itu,
dengan adanya corporate governance, dapat meningkatkan daya tarik investor untuk
berinvestasi di perusahaan, karena dijadikan sebagai alat ukur nilai perusahaan itu
sendiri. Corporate governance diharapkan dapat memaksimalkan pendanaan modal
dan meminimalkan biaya keagenan, serta nilai perusahaan dapat bertambah karena
tata kelola yang baik (Rahadian, 2013).
Stewardship Theory

Teori stewardship menggambarkan hubungan antar pemegang saham (principal) dan


manajer (steward) (Susetyo, 2009). Teori ini memiliki asumsi bahwa kepentingan
personal antara manajer dan pemegang saham dapat diselaraskan melalui pencapaian
tujuan organisasi. Apabila terdapat perbedaan kepentingan antara principal dan
steward, steward akan menjunjung tinggi nilai kebersamaan sehingga tujuan
perusahaan tercapai (Susetyo, 2009). Pada dasarnya karyawan ingin melakukan
pekerjaan dengan baik untuk menjadi pengelola yang baik dalam perusahaan.
Dalam teori stewardship diasumsikan bahwa ada hubungan yang kuat antara
kepuasan dan kesuksesan perusahaan. Kesuksean perusahaan akan memaksimukan
utilitas kelompok manajemen dan memkasimalisasi utilitas kelompok ini dan pada
akhirnya akan memaksimumkan kepentingan individu yang ada di dalam kelompok
perusahaan tersebut.
Teori stewardship dalam penelitian ini dipertimbangkan dapat menjelaskan bahwa
organ yang terdapat dalam perusahaan akan memaksimalkan kinerjanya agar tujuan
perusahaan dapat tercapai. Dengan demikian, organ-organ tersebut akan menerapkan
good corporate governance dalam perusahaan, sehingga tujuan perusahaan dapat
tercapai.
Stakeholder Theory
Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki
hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung

maupun tidak langsung oleh perusahaan. Dengan demikian, stakeholder merupakan


pihak internal maupun eksternal, seperti: pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat
sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya),
lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain
sebagainya yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan.
Batasan stakeholder tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya
memperhatikan stakeholder, karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi dan
dipengaruhi baik secara langsung mapun tidak langsung atas aktivitas serta kebijakan
yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan
stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi
legitimasi stakeholder.
Berdasar pada asumsi dasar stakeholder theory tersebut, perusahaan tidak dapat
melepaskan diri dengan lingkungan sosial (social setting) sekitarnya. Perusahaan
perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam kerangka
kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung dalam pencapaian
tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern (Adam C. H,
2002 dalam Nor Hadi, 2011: 94-95).
Esensi teori stakeholder tersebut di atas jika ditarik interkoneksi dengan teori
legitimasi

yang

mengisyaratkan

bahwa

perusahaan

hendaknya

mengurangi

expectation gap dengan masyarakat (publik) sekitar guna meningkatkan legitimasi

(pengakuan) masyarakat, ternyata terdapat benang merah. Untuk itu, perusahaan


hendaknya menjaga reputasinya yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang
semula semata-mata diukur dengan economic measurement yang cenderung
shareholder (para pemilik) orientation, ke arah memperhitungkan faktor social (social
factors) sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan terhadap masalah sosial
kemasyarakatan (stakeholder orientation).
Political Theory
Teori political menyatakan bahwa alokasi kekuasaan dalam perusahaan, previlege,
atau alokasi laba di antara pemilik, manajer dan stakeholders lainnya ditentukan oleh
pertimbangan-pertimbangan politis. Dalam hal ini pemerintah dapat berperan penting
dalam menentukan alokasi tersebut. Alokasi kekuasaan dalam teori corporate
governance juga harus dilihat dari perspektif budaya, sehingga dapat dikatakan tidak
ada satu model corporate governance yang dapat digunakan sekaligus untuk beberapa
negara, bahkan oleh beberapa perusahaan dalam satu negara.
Myopic Market Theory
Teori myopic market menyatakan bahwa pasar sudah efisien, yaitu informasi yang
tersedia di pasar sudah lengkap dan sempurna, serta tidak ada informasi yang tidak
simetris sehingga kinerja perusahaan tercermin sepenuhnya pada harga pasar. Pasar
dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku

perusahaan. Walaupun pada kenyataannya informasi di pasar cenderung terdistorsi


karena belum bekerjanya pasar secara efisien.
Legitimacy Theory
Legitimasi merupakan keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang
yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik fisik maupun nonfisik.
ODonovan (2002) dalam Nor Hadi (2011: 87) berpendapat legitimasi organisasi
dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan
sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian,
legitimasi merupakan manfaat atau sumberdaya potensial bagi perusahaan untuk
bertahan hidup (going concern).
Gray et. al, (1996) dalam Nor Hadi (2011: 88) berpendapat bahwa legitimasi
merupakan ....a systems-oriented view of organisation and society ...permits us to
focus on the role of information and disclosure in the relationship between
organisations, the state, indivisuals and group. Definisi tersebut mengisyaratkan,
bahwa legitimasi merupakan system pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada
keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok
masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan
kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat.
Dowling dan Pfeffer (1975) dalam Nor Hadi (2011: 91) menyatakan bahwa aktivitas
organisasi perusahaan hendaknya sesuai dengan nilai social lingkungannya. Lebih

lanjut dinyatakan, bahwa terdapat dua dimensi agar perusahaan memperoleh


dukungan legitimasi, yaitu: (1) aktivitas organisasi perusahaan harus sesuai
(congruence) dengan sistem nilai di masyarakat; (2) pelaporan aktivitas perusahaan
juga hendaknya mencerminkan nilai sosial.
Pattern (1992) menyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam
rangka mengelola legitimasi agar efektif, yaitu dengan cara:
1) Melakukan ide take holdntifikasi dan komunikasi/ dialog dengan publik
2) Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan
lingkungan, serta membangun persepsinya tentang perusahaan
3) Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan masalah
tanggung jawab sosial (social responsibility)
Social Contract Theory
J. J Rousseau (1762) dalam Nor Hadi (2011: 96) berpendapat bahwa alam bukanlah
wujud dari konflik, melainkan memberikan hak kebebasan bagi individu-individu
untuk berbuat secara kreatif. Kontrak sosial (social contract) di buat sebagai media
untuk mengatur tatanan (pranata) sosial kehidupan masyarakat.
Social contract dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk menjelaskan
hubungan antara perusahaan terhadap masyarakat (society). Di sini, perusahaan
(ataupun organisasi bentuk lainnya) memiliki kewajiban kepada masyarakat untuk

memberi kemanfaatan bagi masyarakat setempat. Interaksi perusahaan (organisasi)


dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mematuhi aturan dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat (community norm), sehingga kegiatan
perusahaan dapat dipandang legitimat (Deegan, 2000 dalam Nor Hadi (2011: 96).
Crowther David (2008 ) dalam Nor Hadi (2011: 96- 97) mengatakan bahwa
interrelasi dan interdependensi antara perusahaan dengan stakeholder, dan antara
stakeholder dengan stakeholder sebagaimana dijelaskan dalam gambar.

Gambar The Social Contract Theory (Sumber Crowther David (2008))

Вам также может понравиться