Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada
tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian
adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan
yang menderita cedera kepala.
Menurut paparan dr Andre Kusuma SpBS dari SMF Bedah Saraf RSD dr Soebandi
Jember, cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat nondegenerative, non-congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun
sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus
terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan
menolong penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
Berdasarkan hal-hal dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk membahas
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala agar kita bisa menambah wawasan mengenai konsep
dari cedera kepala.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kepala.
D. Manfaat Penulisan
a) Manfaat bagi Tim Penulis
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat karya ilmiah dan
menambah wawasan khususnya tentang Cedera Kepala dan ruang lingkupnya.
b) Manfaat bagi pembaca
Menjadi bahan masukan dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama
mengenai konsep tentang Cedera Kepala dan ruang lingkupnya dalam bidang kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP MEDIS
1. Konsep Triage Cedera Kepala
Triage adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi selanjutnya. Tindakan ini
merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan musibah terutama musibah
yang melibatkan massa.
Triase memiliki beberapa kategori, antara lain:
a) Prioritas Pertama (Merah)
Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan
transport segera untuk tetap hidup. Prioritas tertinggi untuk penanganan atau evakuasi.
b) Prioritas kedua (Kuning)
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan
tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Meliputi kasus yang memerlukan
tindakan segera terutama kasus bedah.
c) Prioritas ketiga (Hijau)
Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan
bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala. Penanganan tidak
terlalu mendesak dan dapat ditunda jika ada korban lain yang lebih memerlukan penanganan atau
evakuasi.
d) Prioritas nol (Hitam)
Diberikan kepada
mereka
yang meninggal
atau
mengalami
cedera
yang
Seleksi (triage) penderita dengan cidera kepala tergantung pada beratnya cidera dan
fasilitas yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan persiapan persetujuan
pengiriman dengan rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap, dengan
demikian penderita dengan cidera kepala sedang dan berat dapat segera dikirim untuk
mendapatkan perawatan yang memadai. Konsultasi segera dengan ahli bedah saraf pada saat
pengobatan dan perawatan penderita sangat dianjurkan(1), khususnya pada penderita dengan
koma dan atau penderita dengan kecurigaan adanya lesi massa intrakranial. Keterlambatan
dalam perujukan dapat memperburuk keadaan penderita dan selanjutnya akan menurunkan
luaran cidera kepala.
yang lebih baik terutama untuk petugas kesehatan yang berada digaris depan, dimana sarana
diagnostik dan sarana penunjang untuk tindakan operasi tidak memadai.
Pada fasilitas-fasilitas kesehatan, dimana tidak dapat dilakukan tindakan diagnostik
ataupun operatif yang memadai, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Penanganan
A,B,C,D, dan E, pencegahan cidera otak sekunder dan merujuk penderita secepat mungkin
bila keadaan memungkinkan.
Dari keseluruhan kasus cidera kepala, 10% adalah cidera kepala berat dengan angka
kematian kurang lebih sepertiganya. Sepertiga lainnya hidup dengan kecacatan dan sepertiga
sisanya sembuh (tidak tergantung pada orang lain). Namun demikian mereka mungkin masih
mengalami gangguan kepribadian dan kesulitan dalam berkomunikasi dalam jangka waktu
lama.
percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat pencegahan, (Musliha, 2010).
4. Etiologi
a) Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal
meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak
koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
c) Etiologi lainnya
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
5. Klasifikasi
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
a) Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
Tak ada fraktur tengkorak
Tak ada contusio serebral (hematom)
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
b) Cedera kepala sedang
GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
Dapat mengalami fraktur tengkorak
Muntah
Kejang
c) Cedera kepala berat
GCS 3-8 (koma)
Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
Tanda neurologist fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
6. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
a) Gangguan kesadaran
b) Konfusi
c) Abnormalitas pupil
d) Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
e) Gangguan pergerakan
f) Gangguan penglihatan dan pendengaran
g) Disfungsi sensori
h) Kejang otot
i) Sakit kepala
j) Vertigo
k) Kejang
l) Pucat
m) Mual dan muntah
n) Pusing kepala
o) Terdapat hematoma
p) Sukar untuk dibangunkan
q) Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
7. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, .perubahan tekanan
vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia
8. Pemeriksaan Diagnostik
a) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) :
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24
- 72 jam setelah injuri.
b) MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c) Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e) X-Ray
Mendeteksi
perubahan
struktur
tulang
(fraktur),
perubahan
struktur
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Pengkajian Primer
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan
dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Exposure
Suhu, lokasi luka.
b) Pengkajian Sekunder
Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab
nyeri/cedera. Darimana arah dan kekuatan pukulan?
Diagnosa
Ketidakefektifan
Pola Napas
berhubungan
jam
dengan
kerusakan
neurovaskuler
(cedera pada
pusat
pernapasan
diharapkan Catat
pernapasan.
ketidakteraturan
otak)
sesuai
aturannya,
posisi
napas
dalam
daerah
hipoventilasi
dan
adanya
Perubahan
misal:
ronkhi,
wheezing, krekel.
Setelah dilakukan tindakan Tentukan faktor-faktor yang
jam,
diharapkan
masalah koma/penurunan
perfusi
berhubungan
dengan
kesamaan
antara
kanan,
reaksi
dan
terhadap cahaya.
Pantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas,
suhu.
Bantu
pasien
menghindari
untuk
/membatasi
steroid,
analgetik,
sedatif, antipiretik
Setelah dilakukan tindakan Kaji keluhan nyeri dengan
Nyeri
berhubungan
dengan
adanya jam
trauma kepala.
diharapkan
berkurang
atau
nafas
peningkatan
cepat
atau
nyaman
obat
analgetik
relaksasi.
Monitor
distraksi
dan
Resiko
kekurangan
volume cairan
jam
status
hidrasi
diharapkan
Berikan
penggantian
batas normal.
nasogatrik sesuai dengan
output
Kolaborasikan pemberian
cairan IV
Setelah dilakukan tindakan Bantu anak dalam
Defisit
perawatan
berhubungan
dengan
jam
diharapkan
baring
menurunnya
kesadaran.
NO.DX
kedalaman
pernapasan.
sesak
Catat lagi
ketidakteraturan pernapasan.
O : Klien tampak bernafas dengan baik
Memantau dan catat kompetensi
A : Masalah teratasi
reflek
gag/menelan
dan
P : Hentikan Intervensi
kemampuan
pasien
untuk
melindungi jalan napas sendiri.
Pasang
jalan
napas
sesuai
indikasi.
Mengangkat kepala tempat tidur
sesuai aturannya, posisi miirng
sesuai indikasi.
Menganjurkan pasien untuk
melakukan napas dalam yang
efektif bila pasien sadar.
Mengauskultasi suara napas,
perhatikan daerah hipoventilasi
dan adanya suara tambahan yang
tidak
normal
misal:
ronkhi,
wheezing, krekel.
2 Menentukan faktor-faktor yang
S : -
menyebabkan koma/penurunan
O : Klien tampak mengalami perbaikan
perfusi
jaringan
otak
GCS
Mengevaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara kiri dan
kanan, reaksi terhadap cahaya.
Memantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Membantu pasien untuk
menghindari /membatasi batuk,
muntah, mengejan.
Mengkolaborasikan pemberian
obat
sesuai
indikasi,
misal:
nyeri,
cepat
atau
berkeringat dingin.
Mengatur
posisi
kebutuhan
anak
lambat,
sesuai
untuk
mengurangi nyeri.
Mengurangi rangsangan yang
bisa memicu terjadinya nyeri.
Memberikan obat analgetik
sesuai dengan program.
Menciptakan lingkungan yang
nyaman termasuk tempat tidur.
Memberikan
sentuhan
aktivitas
kebersihan perseorangan.
Memberikan makanan via
P : Lanjutkan Intervensi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya,
(Standar Pelayanan Mendis ,RS DR Sardjito).
Seleksi (triage) penderita dengan cidera kepala tergantung pada beratnya cidera dan
fasilitas yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan persiapan persetujuan
pengiriman dengan rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap, dengan
demikian penderita dengan cidera kepala sedang dan berat dapat segera dikirim untuk
mendapatkan perawatan yang memadai.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
B. Saran
1.
Melalui kesimpulan diatas, adapun saran yang diajukkan oleh Tim Penulis adalah :
Sebagai tenaga kesehatan yang lebih tahu tentang kesehatan, kita dapat menerapakan
perilaku yang lebih berhati-hati agar tidak memicu terjadinya cedera pada kepala.
2. Perawat harus melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik pada pasien penderita
Cedera Kepala sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai dengan baik
3. Perawat maupun calon perawat harus memahami konsep dasar dari Cedera Kepala dan ruang
lingkupnya sehingga dalam proses memberikan asuhan keperawatan pada pasien penderita
Cedera Kepala dapat terlaksana dengan baik.
NB: kritik & saran sangat dibutuhkan dihalaman komentar :) terima kasih semoga bermanfaat
Diposkan oleh Wa Ode Sitti Yusniar di 01.21
Definisi
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita
Yuliani, 2001).
B. Klisifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1.
Minor
SKG 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
2. Sedang
SKG 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Berat
SKG 3 8
C. Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
D. Patofisiolog
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi
secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan
posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai
kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal
diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta
kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia.
Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau
dua-duanya
E. Tipe Trauma kepala :
1. Trauma kepala terbuka.
2. Trauma kepala tertutup.
Trauma kepala terbuka :
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai :
Merobek duramater LCS merembes. Saraf otak Jaringan otak.
Gejala fraktur basis :
Battle sign.
Hemotympanum.
Periorbital echymosis.
Rhinorrhoe.
Orthorrhoe.
Brill hematom.
1.
2.
3.
4.
5.
Gejala :
Gangguan kesadaran lebih lama.
Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
Gejala TIK meningkat.
Amnesia retrograd lebih nyata.
Hematom Epidural :
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
Lokasi tersering temporal dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
Katagori talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit beberapa jam) ---penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat,
reflek patologik positip.
Hematom Subdural :
Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Biasanya
pecah
vena
---
akut,
Akut :
Gejala 24 - 48 jam.
Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
PTIK meningkat.
Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.
Sub Akut :
sub
akut,
kronis.
Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat --- kesadaran menurun.
Kronis :
Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.
Hematom Intrakranial :
Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih.
Selalu diikuti oleh kontosio.
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak.
Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.
F.
G. Penatalaksaan medis
trauma
kepala
adalah
sebagi
berikut
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa,
status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung
jawab, dll.
2. Riwayat Kesehatan :
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat
kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris,
lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari
hidung dan telinga, dan adanya kejang.
Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit
menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
3. Pemeriksaan Fisik :
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan
waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan
decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif.
Adanya
hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan
getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien
juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana
pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak
atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya
penciuman dan anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala
berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks
cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis),
pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak
adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian
lidah
anterior
lidah.
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan
kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius),
gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut.
Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi,
biasanya
yang
berisiko
peningkatan
tekanan
intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia
dan
disartria.
Hal
ini
menyebabkan
adanya
kesulitan
menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan intrakranial maka
tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur.
Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar
dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan
terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal,
irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya
sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau
rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal
perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak
terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.
Glasgow Coma Scale :
I. Reaksi Membuka Mata.
4. Buka mata spontan.
3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara.
2. Buka mata bila dirangsang nyeri.
1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun.
II. Reaksi Berbicara
4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.
3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person.
2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak membentuk kalimat.
1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.
III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai
6. Mengikuti perintah.
5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan.
4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
4. Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat
dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan
emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga
pasien
karena
mengalami
kecemasan
sehubungan
dengan
penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-orang terdekat dan
yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien
terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.
5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan
yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.
3. Pemeriksaan diagnostik
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Observasi 24 jam
Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
Anak diistirahatkan atau tirah baring.
Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
Pemberian obat-obat analgetik.
Pembedahan bila ada indikasi.
No
Prioritas
Diagnosa
Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah karena adanya
penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma)
2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan kerusakan pusat
pernapasan di medulla oblongata.
3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak
ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan produksi anti
diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.
6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring.
7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan sensoris.
8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui jaringan atau
kontinuitas yang rusak.
9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan otak dan
perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap
pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.
Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan lokasi
dari lesi.
R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan
tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan merupakan tanda penurun difusi
lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi
dengan peningkatan tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari
multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan
perkembangan dari gangguan batang otak.
4. Evaluasi pupil.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf
jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara simpatik dan parasimpatik merupakan respon
reflek nervus kranial.
5.
Kaji
penglihatan,
daya
ingat,
pergerakan
mata
dan
reaksi
reflek
babinski.
R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan merupakan
tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek dari gangguan
medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak piramidal.
R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan
menunjang peningkatan ICP.
7.
Monitor
intake,
dan
output
catat
turgor
kulit,
keadaa
membran
mukosa.
R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes insipedus atau
syndroma peningkatan sekresi ADH.
8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal. Hindari
penggunaan bantal yang banyak pada kepala.
R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena cerebral dan
meningkatkan ICP.
9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif.
10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung, lingkungan yang
tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis dan
memberikan
istirahat
untuk
mempertahankan/ICP
yang
rendah.
R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam abdomen
dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.
12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek nyeri
dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat
meningkatakan ICP.
13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika digunakan
dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/
Dapat
meningkatkan
respon
automatik
yang
potensial
menaikan
ICP.
Kolaborasi :
14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi.
R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan edema/resiko
terjadi
15.
ICP.
Berikan
cairan
intra
vena
sesuai
dengan
yang
dindikasikan.
R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan minimum
pada
pembuluh
darah,
tekanan
16.
darah
dan
ICP.
Berikan
Oksigen.
R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan volume darah dan
menaikkan
17.
ICP.
Berikan
obat
Diuretik
contohnya
mannitol,
furoscide.
R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain cells, dan
mengurangi
18.
R/
edema
Berikan
Untuk
19.
Steroid
menurunkan
Berikan
cerebral
contohnya
inflamasi
analgesik
dan
Dextamethason,
(radang)
dosis
dan
methyl
mengurangi
tinggi
ICP.
prednisolone.
edema
jaringan.
Codein.
contoh
R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada ICP tetapi dapat
digunakan
20.
R/
dengan
Berikan
Mungkin
digunakan
sebab
Sedatif
untuk
mengontrol
untuk
contoh
kurangnya
mencegah.
:
istirahat
Benadryl.
dan
agitasi.
21.
Berikan
antipiretik,
contohnya
aseptaminophen.
PUSTAKA
Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan
Masalah
Kolaboratif.
Ed.2.
Jakarta
EGC.
Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada Kasus Trauma
Kepala.
Makalah
Kegawat
daruratan
dalam
bidang
bedah.
Tidak
dipublikasikan.
Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung :
Yayasan
Makalah
Ikatan
Kuliah
Medikal
Alumni
bedah
Pendidikan
PSIK
FK
Keperawatan
Unair
Surabaya.
Bandung.
Tidak
Dipublikasikan
Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara.
Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC.
Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed.
1 . Jakarta : ECG.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
2.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
3.
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
4.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
TRAUMA KAPITIS
A. PENGERTIAN
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan
tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan
secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya
evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat
pasien tiba di rumah sakit.
B. KLASIFIKASI
1. The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow
(cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4):
Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Konkusi
Muntah
SKG 13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada
fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma.
SKG 9-12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
SKG 3-8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.
3. Annegers( 1998 ) membagi trauma kepalaberdasarkan lama taksadar dan lama amnesia pasca
trauma yang di bagimenjadi :
a)
Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30
menit
b)
Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24
jam atau adanya fraktur tengkorak
c)
C. ETIOLOGI
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :
1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.
2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/
kekuatan diteruskan kepada otak.
E. KOMPLIKASI
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal
atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
F. PEMERIKSAAN DIANOSTIK:
1. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak.
2. MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur
dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
G. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera
tambahan pada organ-organ vital.
Aktivitas/ Istirahat
Gejala
Tanda
Sirkulasi
Gejala
Integritas Ego
Gejala
Tanda
Eliminasi
Gejala
Makanan/ cairan
Gejala
Tanda
Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda
Nyeri/ Kenyamanan
Gejala
: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tnda
: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahanpola nafas (apnea yang diselingiolehhiperventilasi). Nafas berbunyi
stridor, terdesak
Ronki, mengi positif
Keamanan
Gejala
Tanda
: Fraktur/ dislokasi
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami
paralisis
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Interaksi Sosial
Tanda
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b/d interupsi aliran darah
2. Resiko terhadap ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler, kerusakan
persepsi atau kognitif, obstruksi trakeo bronkial
3. Perubahan persepsi sensori b/d perubahan resepsi sensori, transmisi.
4. Perubahan proses pikir b/d perubahan fisiologis, konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan.
6. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, penurunan kerja silia, kekurangan nutrisi, respon
inflamasi tertekan.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
3.
a.
b.
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda
vital
stabil
dan
tidak
ada
tanda-tanda
peningkatan
TIK
Rencana Tindakan :
Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif,
antipiretik.
Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera
pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Rencana tindakan :
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter,
warna dan kekeruhan dari sekret.
Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang
tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan rontgen thoraks ulang.
Berikan oksigenasi.
Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
c.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan kesadaran).
d. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus. Observasi karakteristik sputum.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,
imobilisasi.
Tujuan :Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil :
Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan makanan yang
harus dihindari.
Rencana tindakan :
a. Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas
abdomen.
R/ tindakan ini meningkatkan relaksasi otot GI dan mengurangi tenaga selama perawatan dan
saat klien lemah.
b. Singkirkan pemandangan yang tidak menyenagkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan
klien.
R/ pemandangan yang tidak menyenagkan atau bau yang tidak sedap merangsang pusat
muntah.
c. Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal :teh encer, air jahe, agaragar, air) 30-60 ml tiap -2 jam.
R/ cairan dalam jumlah yang kecil cairan tidak akan terdesak area gastrik dan dengan
demikian tidak memperberat gejala.
d. Instruksikan klien untuk menghindari hal ini :
Cairan yang panas dan dingin
Makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah)
Kafein
R/ Cairan yang dingin merangsang kram abdomen; cairan panas merangsang peristaltik;
lemak juga merangsang peristaltik dan kafein merangsang motilitas usus.
e. Lindungi area perianal dari iritasi
R/ sering BAB dengan penigkatan keasaman dapat mengiritasi kulit perianal.
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan
otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
Tujuan :
Intake nutrisi meningkat.
Keseimbangan cairan dan elektrolit.
Berat badan stabil.
Torgor kulit dan membran mukosa membaik.
Membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per oral.
Keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan, yaitu makan rendah
garam dan rendah lemak.
Kriteria hasil :
Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak lemas lagi. Klien
diberikan rentang skala (1-10).
a. Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
b. Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien kurang makan
makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan keringat).
c.
Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan program diet
(rendah garam dan rendah lemak).
d. Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan klien
untuk menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
e. Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
f. Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500 cc/24 jam dan
NaCl.
Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Guyton dan Hall. 1996. Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.
Marlyn E Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth, 2002,Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa : Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.Made Karyasa, EGC,Jakarta.
NANDA, 2001-2002,Nursing Diagnosis: Definitions and Classification. Philadelphia,USA
Judith M Wilkinson, 2007, Buku Saku Daignosis Keperawatan: dengan intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC, EGC., Jakarta.
Arif Mansjoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius., Jakarta.
Marilynn E. Doengoes,1993, Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa : I Made Kariasa,
S.Kep., Ni Made Sumarwati, S.Kep: EGC, Jakarta