Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
CEDERA KEPALA
menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah
akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan
listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder
meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia
serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral.
a. Cedera otak primer
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar
karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain
pada tuang tengkorak dan jaringan otak.
2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii)
Tulang
tengkorak
memberikan
perlindungan
pada
otak
dengan
tampon
steril
otorrhea/otoliquorrhea.
c) Pada penderita dengan
(Consul
tanda-tanda
ahli
bloody
THT)
pada
bloody
otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang
sehat
3) Komusio (Gegar otak)
Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan
didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh
trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran.
4) Kontusio (Memar otak)
Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung
pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat laserasi
pembuluh darah kecil.
5) Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur
bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar.
6) Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas araknoid
yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala
berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi cedera kepala yang lebih
ringan.
7) Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.
Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan
akselerasi-deselerasi mendadak.
8) Hemoragi subaraknoid traumatic
Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya pembuluh
darah mikro pada lapisan araknoid.
9) Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara
langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema
difus dan lokal.
10) Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding
pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial paling
dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan bekuan
darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga
terjadi stroke.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan
otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma.
1) Edema serebral
Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam
setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema
serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik.
2) Iskemia
Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi
aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha
metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian
jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan.
3) Sindrom herniasi
Peningkatan TIK
Diperlukan peningkatan
Sindrom herniasi
Tidak dapat distimulasi
stimulus
Fungsi motoric
stimulus
Kelemahan motorik
pronator
Respon pupil lembam
terfiksasi
Triad cushing
Respon pupil
Tanda-tanda vital
otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka
swelling dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan
menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak
segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini
untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala
akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak
otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami
cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan
angka
kematian
dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit
dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi
profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.
Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masingmasing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu
kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan
toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak
yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak
membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan
hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal
ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian.
Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP).
Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika
meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25
mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi
serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP.
Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak
atau terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan
tekanan
perfusi
akan
menurun.
Tubuh
memiliki
refleks
perlindungan
hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan
kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam
1.6 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
a. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan
lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh
darah peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah
ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah
dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.
Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara
perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi
dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa
lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau
fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.
c. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.
1.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat
dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan CT
scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap
struktur fosa posterior.
b. MRI (Magnetic resonance imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar
tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan perubahan
neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi
cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.
c. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak.
Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat debris
emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat
pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan selubung
setelah infus dilepaskan.
d. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral
dan mekanisme
fungsi
kortikal
abnormal.
Pemeriksaan
yang
penting
dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum
pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada
area cedera.
f. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory
evoked potential)
Riwayat
Nama, umur, jenis kelamin,
ras, pekerjaan
Mekanisme cedera
Waktu cedera
Dipulangkan dari RS
-Tidak memenuhi kriteria rawat
-Diskusikan kemungkinan
kembali ke rumah sakit bila
memburuk dan berikan
kertas observasi
-Jadwalkan untuk kontrol ulang
Pemeriksaan Inisial
-Sama dengan pasien cedera kepala ringan
ditambah pemeriksaan darah sederhana
-Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
-Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
bedah saraf
Setelah dirawat inap
-Lakukan pemeriksaan neurologis periodik
-Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi
pasien memburuk dan bila pasien akan
dipulangkan
Bila kondisi membaik
-Pulang bila
memungkinkan
-Kontrol di poliklinik
CT Scan
ALOGARITMA CEDERA
a.
b.
c.
d.
e.
Intubasi endotrakeal
Resusitasi cairan
Ventilasi (PAC02 35 mmHg)
Oksigenasi
Sedasi
f. Blokade neuromuscular
(kerja singkat)
Herniasi?*
Deteriorasi?*
Ya
hiperventilasi
manitol (1g/kg)
Tidak
Ya
CT Scan
Resolusi ?
Tidak
Ya
Lesi Bedah ?
Tidak
Unit perawatan
intensif
Pantau TIK
Obati hipertensi
intrakranial
Kamar
operasi
2.1 Pengkajian
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk
penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang
mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).
1) Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu
pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur
laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga
setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat
menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala
dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada
penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan
dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal
airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka
dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway
definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon
(cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :
- Adanya apnea
- Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
-
yang lain
Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus
Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple
24 jam.
Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan, produksi
urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang
memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan
kristaloid pada mulanya.
Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah); Akibat
kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang dewasa) dapat
sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan tanda klasik perfusi
yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan
penting oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam
keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling
kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita
dengan kehilangan darah tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse
darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas respon
penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse dan oksigenasi
tidak
simetris,
lemah,
paralysis,
perdarahan,
fraktur,
hilang
riwayat
mendetail
dari
pasien
guna
memfasilitasi
dengan
resistansi
pasif,
pergerakkan
terssebut
digolongkan
otak).
Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
jaringan
serebral
b.d
PTIK
Tujuan:
Rasional
Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan
menentukan
Reaksi
terhadap cahaya.
kesamaan
TIK
dan
lokasi,
pupil
diatur
ditentukan
bermanfaat
dalam
perluasan
dan
oleh
oleh
saraf
cranial
keseimbangan
suhu.
diikuti
oleh
penurunan
kesadaran.
kebutuhan
oksigen
metabolisme
terjadi
(terutama
dan
saat
tubuh
mukosa.
jaringan.
yang
terintegrasi
Iskemia/trauma
dengan
serebral
perfusi
dapat
dapat
mengarahkan
pada
masalah
stimulasi
dan
kenyamanan,
istirahat
untuk
mempertahankan
atau
menurunkan TIK.
Bantu
pasien
menghindari
untuk
cairan
diperlukan
untuk
Toradol 3 x 30 mg
Manitol digunakan untuk menurunkan air dari
iv
Manitol 6 x 100
cc/drip
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak).
Tujuan: Mempertahankan pola pernapasan efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi: Tidak ada sianosis, Blood Gas dalam batas normal.
Intervensi
Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan
dapat
kedalaman
pulmonal
setiap
pernapasan komplikasi
jam.
menandakan
atau
awitan
menandakan
ketidakteraturan
pernapasan.
Pantau / cek pemasangan Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak
tube,
selang
ventilator adekuatnya
sesering mungkin.
pengaliran
volume
dan
Catat
yang
pada
akhirnya
akan
merupakan
kontraindikasi
pada
untuk
memobilisasi
dan
misal:
ronkhi,
wheezing, krekel.
Menentukan
kecukupan
pernapasan,
Pantau analisa gas darah, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan
tekanan oksimetri.
terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
yang
berkembang
misal:
tanda-tanda
Berikan
posisi
nyaman
Berikan analgetik sesuai Mengurangi nyeri secara farmakologik
program dokter.
1. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan: tidak terjadi infeksi.
Kriteria evaluasi:
-
Intervensi
Rasional
Berikan perawatan aseptik Cara pertama untuk menghindari terjadinya
dan
daerah
kulit Deteksi
dini
mengalami memungkinkan
segera
perkembangan
untuk
melakukan
tindakan
dan
pencegahan
terhadap
infeksi
catat
demam,
diaforesis.
Berikan antibiotik sesuai Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien
program dokter.
Tulang
Kranial
Terputusnya
kontinuitas
jaringan
tulang
Terputusnya
kontinuitas
jaringan kulit,
otot & Vaskuler
Perdarah
an
Hematom
Ganggua
n suplai
darah
Perubaha
n sirkulasi
CSS
Iskemi
a
Hipoksi
a
PTI
K
Girus
medialis
lobus
temporalis
Resik
o
infek
Lobus
oksipital
Lobus
Gangguan
kesadaran
Resik
o
injury
Lobus
parietal
Immobilis
asi
Resiko
gangguan
integritas
Cedera
otak
(kontusio,
laserasi)
Ganggua
n
neurologi
s fokal
Kejan
g
Ganggua
n pola
napas
- Perubahan
autoregulasi
- Edema
serebral
- Bersihan
jalan napas
- Dispnea
- Henti napas
- Gangguan fungsi
luhur
- Perubahan perilaku
- Gangguan fungsi
motorik
Lobus
Frontal
Mesensefalo
n tertekan
Nyer
i
Resiko
ketikdaefekt
ifan perfusi
jaringan
serebral
Ganggua
n fungsi
otak
Herniasi
unkus
Intra
Kranial
Cema
s
Defisit
perawatan diri
Gangguan
fungsi
penglihatan
- Gangguan
keseimbangan
- Gangguan
memori
Gangguan fungsi
sensorik (anosmia,
hipestesi,
parestesi, dll)
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.
Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw Hill
Professional.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta:
EGC
Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012
Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Lumandung, Feibyg T, James F. Siwu, Johannis F. Mallo. (2013). Gambaran Korban
Meninggal Dengan Cedera Kepala Pada Kecelakaan Lalu Lintas Di Bagian
Forensik Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Tahun 2011-2012.
(online). http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/3608/3136
Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:
EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan
Emergensi. Jakarta: EGC.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3November
2007. Pekanbaru : PERDOSI.
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.
Jakarta: EGC
Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes.
Wijaya, Andra Saferi. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa Teori dan
Contoh Askep). Yogyakarta : Nuha Medika