Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1

Konsep Fraktur
2.1.1 Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya continuitas tulang
atau tulang rawan, umumnya di karenakan rudapaksa. Fraktur
umumnya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak
lengkap (Price &Wilson, 2009).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa
atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan
saraf dan pembuluh darah). Fraktur disebut terbuka apabila terdapat
hubungan langsung antara tulang dengan udara luar. Kondisi ini secara
umum disebabkan oleh trauma langsung pada paha. (Helmi, 2012)
2.1.2 Etiologi (Helmi, 2012)
1) Cedera Traumatik
Cedera Traumatik pada tulang disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.

b. Cedera tidak Langsung berarti pukulan langsung berada jauh


dari lokasi benturan.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat .
2) Fraktur Patologik
Dalam Hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit
dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat
juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas) : pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif .
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progeresif , lambat dan sakit nyeri.
c) Rakhitis ; suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya di sebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah .
3) Secara Spontan :
Di sebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya
pada penyakit polio dan orang yang bertugas kemiliteran

2.1.3

Tanda dan Gejala (Muttaqin, 2011)


1)

Nyeri
Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai otot merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.

2) Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang dinamakan krepitus Yang teraba antara fragmen satu dan fragmen
lainnya akibat gesekan (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan lunak yang lebih berat).
3) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cidera.
4) Pemendekan tulang (pada fraktur panjang)
Yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama
lain sampai 2,5 cm sampai 5 cm (1 inchi sampai 2 inchi).

5) Hilangnya fungsi dan deformitas (perubahan bentuk)


Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fraktur pada
ekstremitas deformitas (terlihat maupun teraba). Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
2.1.4 Patofisiologi
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan
batang femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria
muda yang mengalami kecelakaan keendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian.

Biasanya,

klien

ini

mengami

trauma

multipel

yang

menyertainya.
Pada kondisi fraktur baik terbuka maupun tertutup akan mengenai
serabut syaraf yang dapat menimbulkan respon gagguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu juga dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler
yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu.
Secara klinis, fraktur femur terbuka sering menyebabkan kerusakan
neurovaskuler yang menimbulkan manifestasi peningkatan resiko syok, baik
syok hipovolemik karena kehilngan darah (pada siap patah satu tulang
femur, diprediksi hilangnya darah 500 cc dari sistem vaskuler) maupun syok
neorogenik karena nyeri yang sangat hebat akibat kompresi atau kerusakan
saraf yang berjalan dibawah tulang femur.
Respon terhadap pembengkakan yang hebat adalah sidrom
compartement. Sindrom compartement adalah suatu keadaan otot, pembuluh

darah, jaringan saraf akibat pembengkakan lokal yang melebihi kemampuan


suatu compartement atau ruang lokal dengan manisfestasi gejala yang khas,
meliputi keluhan nyeri hebat pada area pembengkakan, penurunan perfusi
perifer secara unilateral pada sisi distal pembengkakan, CRT (capillary refill
time) lebih dari 3 detik pada sisi distal pembengkakan, penurunan denyut
nadi pada sisi distal pembengkakan. Komplikasi yang terjadi akibat situasi
ini adalah kematian jaringan bagian distal dan memberikan implikasi pada
peran perawat dalam kontrol yang optimal terhadap pembengkakan yang
hebat ada klien fraktur femur.
Kerusakan fragmen tulang femur menyebabkan mebilitas fisik dan
diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan defomitas khas pada
paha, yaitu pemendekan tungkai bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa
dilakukan intervensi yang optimal, akan menimbulkan resiko terjadinya
malunion pada tulang femor.
Kondisi klinis fraktur femur terbuka pada fase awal menyababkan
berbagai masalah keperawatan pada klien, meliputi respon nyeri hebat akibat
kerusakan veskuler dengan pembengkakan lokal yang menyebabkan
sindrom kopartemen yang sering terjadi pada fraktur suprakondilus, kondisi
syok hopovolemik sekunder akibat cedera vaskuler dengan pendarahan yang
hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang,
dan resiko tinggi infeksi sekunder akibat port de entree luka terbuka. Pada
fase lanjut, fraktur femur terbuka menyebabkan kondisi malunion, nonunion, dan delayed union akibat cara mobilisasi yang salah.

10

Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna


dan fikasi eksterna memberikan implikasi pada masalah resiko tinggi
infeksi.( Muttaqin, 2011)

2.1.5

Pemeriksaan Penunjang
1) Foto rontgen
a) Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b) Mengetahui tempat atau tipe fraktur biasanya diambil sebelum dan
sesudah serta selama proses penyembuhan secara peiodik
(bertahap).
2) Artelogram : suatu pemeriksaan diagnostic yang menggunakan kontras
dengan tujuan untuk melihat obstruksi pada pembuluh darah
3) Hitung darah lengkap, HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal
setelah fraktur.
4) Sebagai penunjang pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (X-ray). Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periousteum atau
biomekanik atau juga rotasi

11

c) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.


5) Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a) Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja, tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b) Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah diruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma
c) Arthrografi : menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d) Computed tomografi-scanning : menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
6) Pemeriksaan laboratorium.
2.1.6 Penatalaksanaan
Pada fraktur femur tertutup, untuk sementara dilakukan traksi dengan
metode ekstensi buck, atau didahului pemakaian thomas splint, tungkai
ditraksi dalam keadaan ekstensi. Tujuan traksi kulit tersebut untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut
disekitar daerah yang patah.

12

Setelah dilakukan traksi kulit dapat dipilih pengobatan non-operatif. Fraktur


batang femur pada anak-anak umumnya dengan terapi non-operatif, karena
akan menyambung baik. Perpendekan kurang dari 2 cm masih dapat
diterima karena di kemudian hari akan sama panjangnya dengan tungkai
yang normal. Hal ini dimungkinkan karena daya proses remodeling pada
anak-anak.

1) Pengobatan non-operatif
Dilakukan traksi skeletal, yang sering metode perkin dan metode blance
skeletal traction, pada anak dibawah 3 tahun digunakan traksi kulit
bryant, sedangkan pada anak usia 3-13 tahun dengan traksi russel.
a) Metode perkin. Pasien tidur terlentang. Satu jari di bawah tuberositas
tibia dibor dengan stainman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha
ditopang dengan 3-4 bantal. Tarikan dipertahankan sampai 12
minggu lebih sampai terbentuk kalus yang cukup kuat. Sementara itu
tungkai bawah dapat dilatih untuk gerakan ekstensi dan fleksi.
b) Metode balance skeletal traction. Pasien tidur terlentang. Satu jari
dibawah tuberositas tibia dibor steinman pin. Paha ditopang dengan
thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang oleh perarson
attachment. Tarikan dipertahankan sampai 12 minggu atau lebih
sampai tulangnya membentuk kalus yang cukup. Kadang-kadang

13

untuk mempersingkat waktu rawat, setelah ditraksi 8 minggu, di


pasang gips hemispica atau cast bracing.
c) Traksi kulit bryan. Anak tidur terlentang ditempat tidur. Kedua
tungkai dipasang traksi kulit, kemudian ditegakkan ke atas, ditarik
dengan tali yang diberi beban 1-2 kg sampai kedua bokong anak
tersebut terangkat dari tempat tidur.
d) Traksi russel. Anak tidur terlentang. Dipasang plester dari batang
lutut. Dipasang dari batas lutut. Dipasang sling di daerah popliteal,
sling dihubungkan dengan tali yang dihubungkan dengan beban
penarik. Untuk mempersingkat waktu rawat, setelah 4 minggu
ditraksi, dipasang gips hemispica karena kalus yang terbentuk belum
kuat benar.
2) Operatif
Indikasi operatif antara lain
a) Penanggulangan non-operatif gagal
b) Fraktur multipel
c) Robeknya arteri femoralis
d) Fraktur patologik
e) Fraktur pada orang-orang tua.
Pada fraktur femur 1/3 tengah sangat baik untuk dipasang
intamedullary nail. Terdapat bermacam-macam intamedullary nail untuk
femur, di antaranya kuntscher nail, A0 nail, dan interlocking nail.
Operasi dapat dilakukan dengan cara terbuka atau cara tertutup.
Cara terbuka yaitu dengan menyayat kulit-fasia sampai ketulang yang
patah. Pen dimasukkan melalui ujung trokanter mayor bantuan image
intensifer. Tulang direposisi dan pen dapat masuk kedalam fragmen

14

bagian distal melalui guide tube. Keuntungan cara ini tidak menimbulkan
bekas sayatan lebar dan perdarahan terbatas.

2.2 Konsep Nyeri


2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan , yang didefinisikan dalam
berbagai perspektif (Andarmoyo, 2013)
Nyeri adalah pengalaman pribadi ,subyektif yang di pengaruhi oleh
budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variable-variabel psikologis
lainnya, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap
orang untuk menghentikan rasa tersebut (Tamsuri, 2007)
2.2.2

Klasifikasi Nyeri
1) Nyeri akut
Nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi
bedah , dan memiliki awitan yang cepat dengan intesnsitas yang bervariasi
(ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu yang singkat . Untuk
tujuan intervensi berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan .
Fungsi nyeri akut ialah member peringatan akan suatu cedera atau penyakit
yang akan datang. Nyeri akut dapat berhenti dengan sendirinya (selflimiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah
keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan .

15

2) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu . Nyeri kronik berlangsung lama , intensitas
yang bervariasi , dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik
tida punya awitan yang di tetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk di
obati karena biasanya nyer ini tidak memberikan respon terhadap
2.2.3

pengobatan yang di arahkan kepada penyebabnya . (Andarmoyo , 2013)


Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri
(Andarmoyo, 2013)
a) Usia : pada anak memiliki kesulitan memahami nyeri, sedangkan lasia
biasanya melaporkan nyerinya bersumber lebih dari 1 sumber
b) Jenis Kelamin : beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin
dalam memaknai nyeri , dimana laki laki cenderung dapat menahan rasa
nyeri dari pada wanita .
c) Makna nyeri : makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri
mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi
terhadap nyeri .
d) Perhatian : tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyer
dapat mempengaruhi persepsi nyeri .
e) Ansietas : Ansietas sering kali meningkatkan persepsi nyeri , namun
nyeri juga dapat menyebabkan perasaan ansietas .
f) Keletihan : keletihan yang di sebabkan seseorang akan meningkatkan
persepsi nyeri
g) Pengalaman nyeri sebelumnya : apabila individu sudah sejak lama sering
mengalami episode nyeri tanpa pernah sembuh maka ansietas dapat
muncul dan mempengaruhi persepsi nyeri .

16

2.3.4 Penilaian respons intensitas nyeri


a. Skala numerik
Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS)
lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.
Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Pembangian tingkat nyeri yaitu, angka 0 :
tidak nyeri, angka 1-3 : nyeri ringan, angka 4-6 : nyeri
sedang, angka 7-9 : nyeri berat, angka 10 : nyeri sangat
berat (Perry dan Potter, 2006).

0
9

10 Tidak

8
nyeri

Sangat nyeri
Gambar 2.2 Penilaian intensitas nyeri menggunakan skala
numerik(sulistyo, 2013).
b. Skala diskriptif
Skala diskriptif merupakan alat pengukuran tingkat
keparahan nyeri yang lebih obyektif, skala pendidkripsi
verbal (Verbal Discription Scale, VDS). Pendiskripsian ini
di rangking dari tidak terasa nyeri, Nyeri ringan,
Nyeri sedang, Nyeri berat sampai nyeri yang tidak
tertahankan(Perry&Potter, 2006).
c. Skala analog visual

17

Skala analog visual (Scale Analog Visual, SAV) , skala ini


memberi

kebebasan

penuh

untuk

mengidentifikasi

keparahan nyeri. Merupakan pengukuran keparahn nyeri


yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi
setiap rangkaian. Pendiskripsian di rangking dari tidak
ada nyeri dan nyeri paling buruk(Potter&Perry, 2006).
d.Wong Baker Faces Pain Rating Scale
Skala nyeri ini mudah digunakan karena hanya dengan melihat
ekpresi wajah pasien pada saat bertatap muka. Berikut adalah ekspresi
wajah skala Wong Baker Faces.

KETERANGAN :
Penilaian skala nyeri dari kiri ke kanan
i. Wajah Pertama (skala 0-1) : Sangat senang karena tidak
merasa sakit sama sekali (Tidak Nyeri)
ii. Wajah Kedua (skala 2-3) : Sakit hanya sedikit
(Nyeri Ringan)
iii. Wajah Ketiga (Skala 4-5) : sedikit lebih sakit
(Nyeri yang Mengganggu)
iv. Wajah Keempat (Skala 6-7) : Jauh Lebih sakit
(Nyeri yang

Menyusahkan)

v. Wajah Kelima (Skala 8-9) : Jauh lebih sakit sekali

18

(Nyeri Hebat)
vi. Wajah Keenam (skala 10) : sangat sakit luar biasa hingga
menangis (Nyeri Sangat Hebat)
2.3 Konsep Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Pengkajian

merupakan langkah pertama dari proses keperawatan

melalui kegiatan peengumpulan data atau perolehan data yang akurat dari
pasien guna mengetahui berbagai permasalahan yang ada (Hidayat , 2011).
1) Identitas
a) Umur : rata - rata pasien fraktur, adalah pasien usia remaja hingga
dewasa muda (>15tahun 35 tahun)
b) Pekerjaan : rata - rata pasien fraktur, adalah pasien dengan
pekerjaan di lapangan (seperti : pekerja bangunan), olahragawan
atau atlet.
c) Jenis kelamin : rata- rata pasien dengan fraktur adalah laki-laki,
kaena bergerak lebih aktif dan dinamis
2) Keluhan utama
Daerah cedera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat
timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkan syok neurogenik
(Andarmoyo,2013)
3) Riwayat penyakit sekarang

19

Pasien sering mengeluh Nyeri terus-menerus dan bertambah


berat, dan saat di inspeksi dan palpasi adanya krepitus, pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulitterjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera, pemendekan tulang (pada fraktur
panjang) dan hilangnya fungsi dan deformitas (perubahan bentuk).
4) Data psikososial
Biasanya pada kasus ini pasien mengalami gelisah, cemas dan
ketakutan tentang dampak dari fraktur femur tersebut.
5) Pola aktivitas dan kegiatan sehari-hari
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena akan
mempengaruhi pola aktivitas klien.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : ada kalanya pasien dengan fraktur femur mengalami
penurunan Kesadaran, bisa juga di sebabkan karena adanya syok
hypovolumik .
b)

Tanda tanda Vital :


i.

Tekanan Darah : kaji peningkatan tekanan darah sebagai akibat dari


nyeri, atau penurunan tekanan darah karena syok.

ii.

Frekuensi Nafas : Kaji peningkatan sebagai akibat dari menahan


rasa nyeri

20

iii.

Frekuensi Nadi : Kaji peningkatan sebagai respon dari nyeri dan


syok

iv.

suhu : Kaji Peningkatan suhu , bisa jadi akibat dari adanya infeksi
pada luka.

c) Kepala :
i.

Inspeksi : Perhatikan adanya cairan yang merembes keluar atau


tidak, adanya luka atau lesi pada kulit kepala,

perhatikan

penyebaran rambut dan warna


ii.

Palpasi : perhatikan nyeri tekan saat kepala di raba, juga apakah ada
krepitasi pada tulang tengkorang
d) Mata :
i) Inspeksi : perhatikan kesimetrisan pupil, reflek pupil, kaji warna
dari konjugtiva , jika pucat maka ada indikasi adanya syok
hypovolumik, amati warna sclera, selain itu kaji adanya tanda
braile hematoem / battle sign
e) Mulut

21

i) Inspeksi : kaji adanya pendarahan di dalam mulut , jumlah gigi, atau


adanya benda asing lainnya.
ii) Palpasi : kaji adanya krepitasi atau nyeri tekan pada tulang maxillamandibula
f) Hidung
i.

Inspeksi

kaji

adanya

keluaran

cairan

dari

hidung,

kesimetrisannya.
ii.
g)

Palpasi : kaji adanya jejas/ luka pada hidung, adanya nyeri tekan

Telinga :
i.

Inspeksi : perhatikan adanya cairan yang keluar dari telinga,


adanya luka atau jejas di telinga belakang (tulang mastoid)

h) Leher
i. Inspeksi : Kaji adanya jejas/luka di leher dan sektar bahu,
kesimetrisan tenggorokan,
ii.

Palpasi : kaji adanya Pembesaran kelenjar tyroid, bendungan


vena jugular.

i) Dada
i. Inspeksi : Kaji gerakan nafas, jejas/luka di dada
ii.

Palpasi : kaji adanya nyeri tekan, vocal fremitus

22

iii.

Auskultasi Paru : Kaji adanya Ronchi, Wheezing dan bunyi nafas


tambahan lainnya.

iv.

Auskultasi Jantung : Kaji gallop, S1, S2, mur-mur

v.

Perkusi : Kaji suara sonor/hypersonor/pekak/redup

j) Perut
i.

Inspeksi : Kaji adanya jejas/luka di perut, ketegangan dinding


perut

ii.

Palpasi : kaji adnya nyeri tekan pada kuadran I,II,III,IV

iii.

Auskultasi : kaji intensitas bising usus.

iv.

Perkusi : Kaji suara Tympani/hypertympani

k) Punggung :
i.

Inspeksi : Kaji adanya jejas atau luka

ii.

Palpasi : Kaji adanya nyeri tekan, penonjolan tulan, krepitasi,


vocal fremitus

j) Panggul
i.

Inspeksi : kaji adanya luka atau jejas, cek mobilisasi panggul,


deformitas bentuk panggul

23

ii.

Palpasi : Kaji krepitasi dan nyeri tekan.

k) Ekstremitas
i.

Inspeksi : Kaji adanya luka terbuka pada Ektremitas atas-bawah,


kesimetrisan bentuk, oedema, CRT (Capillary Refill Time), warna
dan kelembapan akral. Kaji pula tentang Skala, lokasi, frekuensi
penyebab, kualitas dan intensitas dari nyeri yang di sebabkan
oleh fraktur .

ii.

Palpasi : Kaji adanya Nyeri Tekan, krepitasi, suhu akral, cek


sensori pada kulit pasien , raba frekuensi nadi

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses
kehidupan potensial atau aktual.(Carpenito, 2007). Sesuai Teori, Pada
Fraktur Femur dapat di temukan diagnose keperawatan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Nyeri akut
Kerusakan integritas kulit
Hambatan mobilitas fisik
Resiko Infeksi
Resiko syok (hipovolumic)
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
Defisit pearawatan diri (NANDA, 2013)

2.3.3 Intervensi
Perencanaan merupakan

suatu proses penyusunan berbagai

intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau


mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan merupakan langkah ketiga
dalam proses keperawatan yang membutuhkan berbagai pengetahuan dan

24

keterampilan, diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan dari


pasien, nilai dan kepercayaan pasien, batasan praktik keperawatan, peran
dari tenaga kesehatan lainnya, kemampuan dalam memecahkan masalah,
mengambil keputusan, menulis tujuan, serta memilih dan membuat strategi
keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan, menulis instruksi
keperawatan,

dan

bekerja

sama

dengan

tingkat

kesehatan

lain

(Hidayat,2011).
Berikut ini adalah Intervensi Keperawatan untuk Nyeri Akut berhubungan
dengan agen cedera fisik .
1. Tujuan : setelah dilakukan Tindakan keperawatan kurang lebih 3X24
Jam masalah nyeri akut dapat berkurang atau hilang.
2. Kriteria Hasil :
a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab

nyeri,

mampu

menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,


mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa

nyeri

berkurang

dengan

menggunakan

manajemen nyeri.
c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
3. Intervensi
Terbagi menjadi Dua bagian penting yaitu :
Pain management :
a) Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk mengenai
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c)
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
d) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri. Evaluasi pengelaman
nyeri masa lampau.

25

e)

Evaluasi

bersama

pasien

dan

tim kesehatan

lain

tentang

ketidakefektifan kontrol nyei masa lampau.


f) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti: suhu
ruangan , pencahayaan, dan kebisingan.
g) Kurangi factor presipitasi nyeri.
h) Pilih dan lakukan penanganan nyeri(farmakologi, non farmakologi,
dan inter personal).
i) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
j) Ajarkan tentang tekhnik non-farmakologi.
k) Berikan Analgesik untuk mengurangi nyeri.
l) Evaluasi keefektifan control nyeri.
m)Tingkatkan istirahat.
Analggesic administration
a) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil.
bMonitor penerimaan tentang manejemen nyeri.
c) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
d)Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi. Cek
riwayat alergi.
e) Pilih analgesik yang di perukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu.
f) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri.
g) Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal.
h) Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara
teratur.
i) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesic pertama
kali.
j) Berikan Analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat. Evaluasi
efektifitas analgesik, tanda dan gejala (NANDA, 2013).
2.3.4

Implementasi

26

Merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan


melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah diencanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam hal ini
perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan pada klien,teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hakhak pasien serta dalam memahami
tingkat perkembangan pasien. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam
format yang telah ditetapkan institusi.
Jenis tindakan keperawatan dalam tahap pelaksanaan terdapat dua jenis
yaitu tindakan keperawatan mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat,
2011).
2.3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
malakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi
keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang
dicapai serta kemampuan dalam menggabungkan tindakan kepearawatan
pada kriteria hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang
dilakukan dengan mengevaluasi selama proses keperawatan belangsung atau
menilai dari respon klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan
evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil
(Hidayat, 2011)

Вам также может понравиться