Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya (QS. At-Tin (95): 4).
Akal merupakan satu-satunya perbedaan yang sangat mendasar pada diri
manusia terhadap mahluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Tetapi dengan kehendakNya pula akal seseorang dapat menjadi rusak atau hilang. Orang yang menggunakan
akalnya pada dasarnya adalah orang yang cerdas. (.Djazuli, 2010)
Secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), alhajr (menahan), al-nahyu (melarang), dan Manu (mencegah). Berdasarkan makna
bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal (al-aqil) adalah orang yang mampu
menahan dan mengikat hawa nafsu. Jika hawa nafsu terikat maka jiwa rasionalitasnya
mampu bereksistensi. Nama lain dari akal adalah hulm, nuha, hijir dan hujjah (
Djazuli, 2010).
Akal merupakan bagian dari daya nafsani manusia yang memiliki dua makna, yaitu:
1.
Akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini
Akal ruhani, yaitu cahaya (al-nur) ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan
sosial
yang
serba
cepat
sebagai
konsekwensi
Sehingga hal-hal seperti ini dapat menyebabkan kesehatan fisik dan jiwa dari
seseorang dapat menurun dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari, Allah
SWT berfirman:
Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada (QS. A1-Hajj (22): 46).
Orang yang hilang akal secara permanen, maka hal inilah yang biasa disebut
sebagai gila (Skizofrenia). Sedangkan orang yang rusak akal adalah orang yang tidak
mampu mempergunakan akalnya sehingga hawa nafsu dapat menguasai dirinya (buruk
akhlak), ia tidak mampu mengendalikan diri dan akan sulit memahami kebenaran,
karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk
memahami kebenaran (Dyah Hastuti, 2009).
Seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia merupakan sekelompok
gangguan psikotik, dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada
proses pikir. Gejala yang ditimbulkan mencakup banyak fungsi seperti pada gangguan
persepsi (halusinasi), keyakinan yang salah (waham), penurunan dari proses berpikir
dan berbicara (alogia), gangguan aktivitas motorik (katatonia), gangguan dari
pengungkapan emosi (afek tumpul), tidak mampu merasakan kesenangan (anhedonia)
(Dyah Hastuti, 2009).
Untuk membahas pandangan hukum Islam mengenai Skizofrenia, maka mesti
membahas dulu tentang Mukallaf. Mukallaf secara bahasa adalah orang yang
Dari uraian diatas, maka pasien Skizofrenia tidak termasuk Mukallaf. Karena
perbuatan yang dilakukan oleh para pasien Skizofrenia tersebut dilakukan dalam
keadaan hilang akal dikarenakan kondisi penyakitnya.
Bilamana terdapat seseorang yang mengidap Skizofrenia melakukan suatu
tindak pidana atau kejahatan, orang tersebut juga tidak dapat dihukum. Menurut R.
Soesilo sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:
a.
b.
Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang Pasal 44 ayat (1) KUHP yang
berbunyi Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau
sakit berubah akal. Pasal 44 ayat (2) KUHP juga menyebutkan bahwa Jika nyata
perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan
dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. (Soesilo,1991)
Iqrar (Pengakuan)
Pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara
adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui
kebenaran tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
Syahadah (Kesaksian)
Wahbah
Zuhaili
mengemukakan
pengertian
persaksian
adalah
suatu
Artinya :... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...( QS. Ath-Thallaq : 2)
3)
Qasamah (Sumpah)
Qasamah dalam arti bahasa adalah al-yamin yang artinya sumpah. Menurut
Qarinah
Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak
pidana pembunuhan dan penganiayaan. Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili
adalah sebagai berikut: qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas menyerai
sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya (Dahlan, 1996).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus
dipenuhi dua hal, yaitu:
a.
Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan
b.
seseorang
dan
dipergunakan
sebagai
pembuktian. Al-Quran
telah
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.... (Q.S. Al-Baqarah : 282)
Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk
tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di antara manusia. Karena itu
sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti
(Rasyid, 2001).
6. Alat Bukti Keterangan Ahli
Bantuan dari orang ketiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk
memperoleh kejelasan objektif bagi hakim atas suatu peristiwa yang dipersengketakan
dalam suatu perkara, disebut keterangan ahli atau ada juga yang menyebutnya
dengan saksi ahli.Jika hakim menggunakan saksi ahli dalam pengusutan masalah
persidangan dan kemudian hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut, maka pendapat
ahli itu diambil oper oleh hakim dan dianggap sebagai pendapatnya sendiri untuk
dapat dijadikan dasar pemutus (Dahlan, 1996).
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni
berdasarkan pemahamannya secara langsung pada peristiwa tersebut. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa salah
mengetahui. (Ishak, 2014)
satu
syarat
ilmu
kedokteran
dan
teknologi
jaman
sekarang
memungkinkan umat manusia untuk melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak
bisa dilakukan. Salah satu nya adalah teknik pemeriksaan jenazah. Metode yang bisa
dilakukan untuk pemeriksaan jenazah tersebut pun bermacam-macam, tergantung jenis
pemeriksaan yang dibutuhkan.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan
jenazah atau post mortem adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat
yang dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau
kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan pemeriksaan mayat yang
digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan atau mencari penyebab
kematiannya dapat dengan menggunakan teori Qawaid al-Fiqhiyah berikut :
a.
Kaidah Pertama
Didalam hukum Islam suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan
daripada orang yang sudah mati.
b. Kaidah Kedua
Artinya : Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang (Hasan, 1997).
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan
sesuatu yang semula diharamkan. Berangkat dari fenomena di atas, maka pemeriksaan
jenaah sangat penting kedudukannya sebagai metode bantu pengungkapan kematian
yang diduga karena tindak pidana. Dengan melaksanakan pemeriksaan jenazah maka
dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian, dan
saat kematian korban.
c.
Kaidah Ketiga
Artinya: Tiada keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam
kondisi hajat (Hasan, 1997).
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi
darurat, seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika
pemeriksaan jenazah (post mortem) di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat,
artinya satu-satunya cara membuktikan, maka pemeriksaan jenazah itu sudah
menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya dibolehkan.
d. Kaidah Keempat
Artinya: Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat (Hasan, 1997).
Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya.
Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun
hajat yang bersifat perorangan.
Pemeriksaan jenazanh yang dilaksanakan guna menyelamatkan manusia,
pendidikan dan penegakan hukum diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu tidak
melewati batas dan guna kemaslahatan manusia sebagai makhluk hidup
oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan teori-teori
yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan
berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang
telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi atau pemeriksaan jenazah sebagai
salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur
anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat
dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut
yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat bukti dan demi
majunya ilmu kedokteran.
Oleh karena itu pemeriksaan MRI post mortem pasien Skizofrenia merupakan
hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan
gambaran langsung dan nyata.
Dalam tinjauan Qawaid Fiqhiyah, status hukum pemeriksaan MRI post
mortem untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran pada pasien Skizofrenia dapat
ditentukan dengan menggunakan kaidah-kaidah berikut :
a.
Kaidah Pertama
Artinya: Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu
hal, maka hal tersebut juga wajib (Hasan, 1997).
Melalui kaidah pertama ini, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang
tidak sempurna pelaksanaanya tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut
hukumnya wajib pula. Dalam kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk
anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia
harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap mayat.
b. Kaidah Kedua
Artinya: Sebuah sarana sama hukumnya dengan tujuan(Hasan, 1997).
Melalui kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama
dengan tujuan. Misalnya agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara
kesehatan, maka mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula.
Konsekuensi lanjutanya adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut
ilmu kesehatan, termasuk sarana pratikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia
melalui pemeriksaan seperti MRI.
Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pemeriksaan MRI
post mortem untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran pada pasien Skizofrenia
dapat dipahami melalui tinjauan Qawaid Fiqhiyah, dimana seorang dokter tidak akan
bisa menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk
anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia
harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap mayat.