Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB III

PEMERIKSAAN SKIZOFRENIA POST MORTEM MENGGUNAKAN MRI


DITINJAU DARI ISLAM

III.1. Pandangan Islam tentang Penyakit Skizofrenia


Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna
dengan dilengkapi oleh akal, perasaan, kemauan dan kehendak. Sebagaimana Allah
SWT berfirman:

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya (QS. At-Tin (95): 4).
Akal merupakan satu-satunya perbedaan yang sangat mendasar pada diri
manusia terhadap mahluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Tetapi dengan kehendakNya pula akal seseorang dapat menjadi rusak atau hilang. Orang yang menggunakan
akalnya pada dasarnya adalah orang yang cerdas. (.Djazuli, 2010)
Secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), alhajr (menahan), al-nahyu (melarang), dan Manu (mencegah). Berdasarkan makna
bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal (al-aqil) adalah orang yang mampu
menahan dan mengikat hawa nafsu. Jika hawa nafsu terikat maka jiwa rasionalitasnya
mampu bereksistensi. Nama lain dari akal adalah hulm, nuha, hijir dan hujjah (
Djazuli, 2010).

Akal merupakan bagian dari daya nafsani manusia yang memiliki dua makna, yaitu:
1.

Akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini

lazim disebut dengan otak (al-dimagh) yang bertempat di dalam kepala.


2.

Akal ruhani, yaitu cahaya (al-nur) ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan

untuk memperoleh pengetahuan (al-marifah) dan kognisi (al-mudrikat) (Djazuli,


2010).
Akal diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan
mengeluarkan pengetahuan. Akal merupakan daya kekuatan untuk memperoleh segala
ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan ukhrowi. Beberapa nash yang
mendukung eksistensi akal sebagai bagian dari diri manusia, disebutkan dalam hadits
Nabi SAW:

Artinya: Tidak dijadikan Allah suatu makhluk yang terlebih mulia pada-Nya
daripada akal (H.R. Bukhari & Muslim).
Perubahan-perubahan

sosial

yang

serba

cepat

sebagai

konsekwensi

modernisasi dan industrilisasi ataupun kemajuan ilmu mempunyai dampak dalam


kehidupan masyarakat. Stres psikososial dapat merupakan salah satu faktor pencetus,
yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa
mengadakan adaptasi atau menanggulangi stresor yang timbul (Djazuli, 2010)

Sehingga hal-hal seperti ini dapat menyebabkan kesehatan fisik dan jiwa dari
seseorang dapat menurun dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari, Allah
SWT berfirman:

Artinya: Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al


Quran dan As Sunah) kepada siapa yang dikehendak-Nya. Dan Barangsiapa yang
dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (QS. AlBaqarah (2): 269).
Suatu penyakit yang menutupi atau mengganggu akal, akan menyebabkan akal
tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai kebingungan dan
kekacauan pikiran. Orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah, atau antara yang baik atau yang buruk
(Dyah Hastuti, 2009)
Secara psikologi akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah
suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan dalam berimajinasi,
memprediksi, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Dalam Al-Quran
komponen nafsani yang mampu berakal adalah kalbu, Allah SWT berfirman:

Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada (QS. A1-Hajj (22): 46).
Orang yang hilang akal secara permanen, maka hal inilah yang biasa disebut
sebagai gila (Skizofrenia). Sedangkan orang yang rusak akal adalah orang yang tidak
mampu mempergunakan akalnya sehingga hawa nafsu dapat menguasai dirinya (buruk
akhlak), ia tidak mampu mengendalikan diri dan akan sulit memahami kebenaran,
karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk
memahami kebenaran (Dyah Hastuti, 2009).
Seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia merupakan sekelompok
gangguan psikotik, dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada
proses pikir. Gejala yang ditimbulkan mencakup banyak fungsi seperti pada gangguan
persepsi (halusinasi), keyakinan yang salah (waham), penurunan dari proses berpikir
dan berbicara (alogia), gangguan aktivitas motorik (katatonia), gangguan dari
pengungkapan emosi (afek tumpul), tidak mampu merasakan kesenangan (anhedonia)
(Dyah Hastuti, 2009).
Untuk membahas pandangan hukum Islam mengenai Skizofrenia, maka mesti
membahas dulu tentang Mukallaf. Mukallaf secara bahasa adalah orang yang

mendapat perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah). Dengan kata lain


Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi
larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Dari sisi
implementasi hukum seorang Mukallaf, dikenakan hukuman bila orang tersebut
tidak menjalankan kewajibannya (Rohayana, 2008).
Sanksi akan digugurkan dari mukallaf disebabkan alasan-alasan berikut:
1. Kehendaknya hilang karena dipaksa dengan paksaan yang mematikan atau yang
setara hukumnya.
2. Jika lupa dan benar-benar tidak ingat akan kewajibannya.
3. Jika perbuatan itu dilakukan dalam cakupan wilayah kekeliruan (khatha)tidak
disengajabukan karena kehendak (Rohayana, 2008).
Hal itu didasarkan pada sabda Rasul saw.:

Artinya : Diangkat (sanksi) dari umatku karena kekeliruan, lupa dan dipaksa (HR.
Thabarani, Daruquthni dan Hakim).
Hukum atas mukallaf dari sisi pelaksanaan perbuatan itu secara langsung
digugurkan dari anak yang belum balig, orang yang gila dan orang yang tidur lelap
hingga ia bangun. Ini di dasarkan pada sabda Rasul saw.:


::
Artinya : Pena (taklif hukum) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia
balig; dari orang tidur hingga ia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras (HR
Abu Dawud).

Dari uraian diatas, maka pasien Skizofrenia tidak termasuk Mukallaf. Karena
perbuatan yang dilakukan oleh para pasien Skizofrenia tersebut dilakukan dalam
keadaan hilang akal dikarenakan kondisi penyakitnya.
Bilamana terdapat seseorang yang mengidap Skizofrenia melakukan suatu
tindak pidana atau kejahatan, orang tersebut juga tidak dapat dihukum. Menurut R.
Soesilo sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:
a.

Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan akal di


sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang
dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, buta-tuli, dan
bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit,
tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai
kanak-kanak.

b.

Sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini


misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita),
epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya (Soesilo,1991)

Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang Pasal 44 ayat (1) KUHP yang
berbunyi Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau
sakit berubah akal. Pasal 44 ayat (2) KUHP juga menyebutkan bahwa Jika nyata
perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan
dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. (Soesilo,1991)

Dalam hukum acara pidana, hakim berkewajiban untuk memperoleh bukti


yang cukup untk mampu membuktikan dengan apa yang dituduhkan kepada pelaku
jarimah. Oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusan bagi sanksi pelaku diharuskan
adanya pembuktian terlebih dahulu bahwa pelaku benar-benar bersalah atau tidak.
Pembuktian adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan alat-alat bukti guna
memberikan kecukupan putusan hakim yang benar dan adil. Alat bukti terdiri
beberapa macam. Di antaranya ada yang disepakati oleh mazhab-mazhab dan
sebagiannya lagi masih diperselisihkan. Di dalam kitab-kitab hukum Islam (fiqh)
kebanyakan para ahli hukum Islam menyebut alat bukti dengan Al-Bayyinah yang
berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang
hak (benar) (Rasyid, 2001)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat
digunakan di hadapan hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fiqih. Adapun
alat bukti yang disepakati oleh ulama fiqih adalah sebagai berikut (Rasyid, 2001) :
a).

Iqrar (Pengakuan)
Pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara

adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui
kebenaran tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar


penegak keadilan, menjadi saksi karna Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau
ibu bpak dan kaum kerabatmu ... (QS. an-Nisa : 135)
Ayat diatas menjelaskan penyaksian seorang atas dirinya sendiri ditafsirkan
sebagai suatu pengakuan atas perbuatan yang dilakukannya. Para ulama sepakat
tentang keabsahan pengakuan, karena pengakuan merupakan suatu pernyataan yang
dapat menghilangkan keraguan dari orang yang menyatakan pengakuan tersebut.
Alasan lain adalah bahwa seorang yang berakal sehat tidak akan melakukan
kebohongan yang akibatnya dapat merugikan dirinya (Rasyid, 2001).
b).

Syahadah (Kesaksian)
Wahbah

Zuhaili

mengemukakan

pengertian

persaksian

adalah

suatu

pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan


lafadz-lafadz syahadat didepan pengadilan. Pengakuan saksi sebagai alat pembuktian
untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karena persaksian
merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkap suatu jarimah
(Dahlan, 1996)
Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti tersebut disebutkan dalam
firman Allah SWT :

Artinya :... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...( QS. Ath-Thallaq : 2)

3)

Qasamah (Sumpah)
Qasamah dalam arti bahasa adalah al-yamin yang artinya sumpah. Menurut

istilah, qasamah didefinisikan sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan)


pembunuhan. Abu Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili juga membuat definisi dengan
menyatakan bahwa qasamah menurut istilah fuqaha adalah sumpah yang diulangulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si
pembunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh
tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan. Disyariatkan
dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun pembunuhan
itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan dan ditetapkan hukumannya. Dengan
demikian, qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu kasus
pembunuhan, dimana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan (Dahlan, 1996)
4)

Qarinah

Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak
pidana pembunuhan dan penganiayaan. Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili
adalah sebagai berikut: qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas menyerai
sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya (Dahlan, 1996).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus
dipenuhi dua hal, yaitu:
a.

Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan

dasar dan pegangan

b.

Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang

jelas (zhahir) dan yamng samar (khafi) (Dahlan, 1996).


Dalam jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka
ihtiath (hati-hati) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, dengan berpegang kepada
adanya korban ditempat tersangka menurut Hanafiyah, atau berpegang dengan adanya
lauts (petunjuk) menurut jumhur ulama. Salah satu contoh kasus yang kemudian
menjadi petunjuk (qarina) adalah terdapatnya tersangka didekat kepala korban, badan
dan tangannya memegang pisau yang terhunus, serta badannya berlumuran darah.
Adanya tersangka didekat jasad korban dengan pisau terhunus dan badan serta pakaian
yang berlumuran darah merupakan petunjuk (qarinah) bahwa dialah orang yang
membunuh korban. Demikian pula ditemukanya korban di tempat (wilayah) tersangka
merupakan qarinah bahwa pembunuhan dilakukan oleh penduduk diwilayah tersebut
(Rasyid, 2001).
5. Alat Bukti Surat
Alat bukti surat atau tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah
pikiran

seseorang

dan

dipergunakan

sebagai

pembuktian. Al-Quran

telah

memerintahkan orang beriman untuk menuliskan transaksi yang terjadi di antara


manusia, sebagaimana termuat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282, firman Allah SWT :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.... (Q.S. Al-Baqarah : 282)
Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk
tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di antara manusia. Karena itu
sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti
(Rasyid, 2001).
6. Alat Bukti Keterangan Ahli
Bantuan dari orang ketiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk
memperoleh kejelasan objektif bagi hakim atas suatu peristiwa yang dipersengketakan
dalam suatu perkara, disebut keterangan ahli atau ada juga yang menyebutnya
dengan saksi ahli.Jika hakim menggunakan saksi ahli dalam pengusutan masalah
persidangan dan kemudian hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut, maka pendapat
ahli itu diambil oper oleh hakim dan dianggap sebagai pendapatnya sendiri untuk
dapat dijadikan dasar pemutus (Dahlan, 1996).
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni
berdasarkan pemahamannya secara langsung pada peristiwa tersebut. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa salah
mengetahui. (Ishak, 2014)

satu

syarat

kesaksian adalah telah

Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:

Artinya : Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah.


Namun, jika tidak maka tinggalkanlah (H.R. Baihaqi dan Hakim).
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa dalam pemeriksaan post
mortem untuk kepentingan peradilan dan sebagainya dibutuhkan alat-alat bukti yang
dianggap sah dalam syariat Islam. Dalam perihal alat bukti surat, bisa didapatkan
keterangan tertulis keterangan tertulis dari pihak berwajib mengenai jenazah.
Mengenai alat bukti saksi ahli, bisa dengan mendapatkan keterangan dari ahli
kedokteran Forensik. Serta mengenai alat bukti Qarinah, dapat melihat tanda-tanda
saat penemuan jenazah dan kondisi saat kematian dari pemeriksaan pihak berwajib.
Semua ini dilakukan untuk mendapatkan kejelasan yang akurat demi kepentingan
semua pihak dari pemeriksaan post mortem tersebut.

III.2. Pandangan Islam tentang pemeriksaan jenazah post mortem


Sejak lahir, umat manusia tidak dapat luput dari adanya musibah penyakit.
Penyakit ini berbagai macam, baik dari dalam tubuh atau pun dari luar tubuh manusia.
Penyakit ini dapat berakibat fatal sehingga menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
Tapi tidak jarang juga kita jumpai penyebab dari penyakit yang mendasari kematian
tersebut tidak jelas, dikarenakan berbagai macam kondisi.
Berkembangnya

ilmu

kedokteran

dan

teknologi

jaman

sekarang

memungkinkan umat manusia untuk melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak

bisa dilakukan. Salah satu nya adalah teknik pemeriksaan jenazah. Metode yang bisa
dilakukan untuk pemeriksaan jenazah tersebut pun bermacam-macam, tergantung jenis
pemeriksaan yang dibutuhkan.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan
jenazah atau post mortem adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat
yang dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau
kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan pemeriksaan mayat yang
digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan atau mencari penyebab
kematiannya dapat dengan menggunakan teori Qawaid al-Fiqhiyah berikut :
a.

Kaidah Pertama

Artinya : kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan


yang bersifat umum (Hasan, 1997).
Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh
dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan
pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan
publik atau mendatangkan mudaharat. Untuk menyelamatkan masyarakat dari
rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum
sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang
dilakukanya harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam
proses pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan melakukan
pemeriksaan atau membedah mayat korban.

Didalam hukum Islam suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan
daripada orang yang sudah mati.
b. Kaidah Kedua

Artinya : Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang (Hasan, 1997).
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan
sesuatu yang semula diharamkan. Berangkat dari fenomena di atas, maka pemeriksaan
jenaah sangat penting kedudukannya sebagai metode bantu pengungkapan kematian
yang diduga karena tindak pidana. Dengan melaksanakan pemeriksaan jenazah maka
dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian, dan
saat kematian korban.
c.

Kaidah Ketiga

Artinya: Tiada keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam
kondisi hajat (Hasan, 1997).
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi
darurat, seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika
pemeriksaan jenazah (post mortem) di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat,
artinya satu-satunya cara membuktikan, maka pemeriksaan jenazah itu sudah
menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya dibolehkan.

d. Kaidah Keempat

Artinya: Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat (Hasan, 1997).
Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya.
Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun
hajat yang bersifat perorangan.
Pemeriksaan jenazanh yang dilaksanakan guna menyelamatkan manusia,
pendidikan dan penegakan hukum diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu tidak
melewati batas dan guna kemaslahatan manusia sebagai makhluk hidup

III.3. Pandangan Islam tentang Pemeriksaan MRI post mortem pasien


Skizofrenia
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk
menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari
tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan
baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum
bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash tidak ditemukan
keterangan yang jelas tentang hukum melakukan pemeriksaan mayat, sebab
pemeriksaan jenazah seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai
hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan
sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah
atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang dilakukan

oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan teori-teori
yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan
berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang
telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi atau pemeriksaan jenazah sebagai
salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur
anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat
dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut
yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat bukti dan demi
majunya ilmu kedokteran.
Oleh karena itu pemeriksaan MRI post mortem pasien Skizofrenia merupakan
hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan
gambaran langsung dan nyata.
Dalam tinjauan Qawaid Fiqhiyah, status hukum pemeriksaan MRI post
mortem untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran pada pasien Skizofrenia dapat
ditentukan dengan menggunakan kaidah-kaidah berikut :
a.

Kaidah Pertama

Artinya: Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu
hal, maka hal tersebut juga wajib (Hasan, 1997).
Melalui kaidah pertama ini, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang
tidak sempurna pelaksanaanya tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut
hukumnya wajib pula. Dalam kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk

anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia
harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap mayat.
b. Kaidah Kedua

Artinya: Sebuah sarana sama hukumnya dengan tujuan(Hasan, 1997).
Melalui kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama
dengan tujuan. Misalnya agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara
kesehatan, maka mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula.
Konsekuensi lanjutanya adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut
ilmu kesehatan, termasuk sarana pratikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia
melalui pemeriksaan seperti MRI.
Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pemeriksaan MRI
post mortem untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran pada pasien Skizofrenia
dapat dipahami melalui tinjauan Qawaid Fiqhiyah, dimana seorang dokter tidak akan
bisa menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk
anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia
harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap mayat.

Вам также может понравиться