Вы находитесь на странице: 1из 16

Agar Jera, Harus Ada Sanksi Tegas & Nyata

untuk Koruptor
Margaret Puspitarini
Sabtu, 22 September 2012 17:03 wib

Ilustrasi : Corbis

JAKARTA - Berbeda dengan Indonesia yang kurang tegas dalam memberikan sanksi terhadap
berbagai tindakan korupsi, Amerika Serikat justru memiliki undang-undang (UU) anti korupsi.
Adanya sanksi tegas atas tindakan korupsi yang termuat dalam UU tersebut tentu membuat
warga AS, khususnya perusahaan swasta berpikir ratusan kali untuk melakukan korupsi.
UU anti korupsi AS ditujukan pada perusahaan swasta yang melakukan praktik suap untuk
mendapatkan proyek. Bahkan, berdasarkan UU tersebut, para koruptor akan mendapat sanksi
tegas, tidak hanya pada oknum, tapi juga denda cukup besar hingga mencabut izin operasi
sebuah perusahaan.
Demikian disampaikan praktisi hukum anti korupsi AS Danforth Newcomb dalam peluncuran
matakuliah klinik anti korupsi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
belum lama ini. Bahkan di Amerika, bagi perusahaan yang bekerjasama dalam mencegah
praktik suap justru akan mendapat insentif dari pemerintah, tutur Newcomb, seperti dinukil dari
laman UGM, Sabtu (22/9/2012).
Dia menambahkan, aturan hukum tersebut tidak hanya berlaku pada praktik suap di dalam negeri
Amerika saja namun juga berlaku di luar Amerika. Semua perusahaan internasional Amerika
yang beoperasi di luar negeri bisa dijerat dengan undang-undang anti korupsi itu, katanya.
Ketentuan tindak pidana suap di AS didasarkan pada definisi pada pemberian sesuatu yang
berharga kepada pejabat asing, partai politik, petinggi partai, dan siapa pun dengan maksud yang
bersangkutan memperoleh keuntungan yang tidak semestinya atau memperoleh dan
mempertahankan suatu usaha.
Tidak ubahnya dengan kondisi Indonesia saat ini, lanjut Newcomb, sebelumnya banyak
perusahaan AS juga melakukan praktik suap untuk mendapatkan proyek. Setelah hadirnya UU
tersebut, serta pelaksanaan praktik yang tegas, berangsur-angsur praktik suap tersebut bisa
dikurangi bahkan banyak perusahaan bekerjasama dengan pemerintah dan aparat penegak hukum
untuk memberantas praktik suap tersebut.
Dari hasil penelitiannya, Newcomb menyebutkan, Indonesia berada di posisi keempat setelah
Nigeria, Irak, dan China untuk jumlah terdakwa asal AS yang sudah diadili di pengadilan
Amerika karena telah melakukan praktik suap. Tercatat, sebanyak 27 terdakwa AS yang telah

melakukan suap di Indonesia, sementara di Nigeria sejumlah 69 orang, di Irak 50 orang, dan
China 43 orang.
(mrg)

Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua
rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor namun apakah hukuman mati adalah solusi
yang tepat dalam pemberantasan korupsi dan atau memberikan efek jera terhadap pelaku?
Terdapat sejumlah alasan mendasar mengapa penggiat LSM menolak hukuman mati untuk
koruptor. Pertama, alasan hukum dan hak asasi manuasia. Hukuman mati jelas melanggar HAM
yang paling penting yaitu hak untuk hidup (right to life).
Hak untuk hidup diatur tegas dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan pasal 4 Undang-Undang
(UU) No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan:
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun
Dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk dihapuskan di
dalam UU nasional masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang telah
meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) melalui UU No 12
Tahun 1995.
Kedua, alasan efektifitas. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah yang
menunjukkan hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati
telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan
jenis hukuman lainnya. Kajian Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hubungan hukuman mati (

capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan bahwa
hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari
hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan
oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau
aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya
justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati
dapat menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
China sebagai negara yang seringkali menjadi acuan karena telah menerapkan hukuman mati
untuk koruptor, tetapi sampai sekarang tidak berhasil memperbaiki peringkat korupsinya yang
juga tergolong rendah. Malah, koruptor masih berkembang di China. Proses penegakan hukum
juga tergantung dari kemauan politik para pemimpinnya, hal ini dibuktikan dengan adanya kasus
korupsi yang melibatkan keluarga penguasa, tetapi kemudian tidak dihukum mati. China
sekarang bahkan belajar memberantas korupsi kepada Korsel yang tidak menerapkan hukuman
mati, tetapi justru menerapkan pelayanan publik yang baik dan tegas dan malah makin lebih
bersih.
Sejumlah negara-nagara di Skandinavia mampu membuktikan diri sebagai negara yang bersih
dari korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati untuk koruptor. Dukungan dan kesadaran
yang kuat dari pemerintah, parlemen, penegak hukum dan masyarakat menjadi kunci
keberhasilan negara tersebut dalam upaya memerangi praktek korupsi.
Di Indonesia secara normatif dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Korupsi
(UU Tipikor), ancaman hukuman mati hanya ditujukan kepada pelaku tipikor yang melanggar
Pasal 2 Ayat 1, di mana Ayat 2 pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan bila
negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor, atau saat negara
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Namun pada prakteknya hingga saat ini belum ada satupun koruptor di Indonesia yang dituntut
atau dihukum dengan pidana mati. Data ICW 2011 menyebutkan dalam lima tahun terakhir ratarata tuntutan jaksa dalam perkara korupsi sangat minim yaitu 3-4 tahun penjara dan hukuman
yang dijatuhi oleh hakim dalam perkara korupsi tergolong rendah, rata-rata hanya 1-2 tahun
penjara. Hukuman maksimal terhadap koruptor terhadap koruptor masih sangat sedikit. Saat ini
baru Adrian Woworuntu, terpidana kasus korupsi pembobolan BNI yang divonis seumur hidup
dan Urip Tri Gunawan, terpidana kasus suap terhadap Artalyta Suryani yang dihukum pidana
penjara maksimal yaitu 20 tahun penjara.
Sesungguhnya ada cara lain memberikan efek jera bagi koruptor tanpa harus menghukum mati
seseorang misalnya memiskinkan koruptor atau perampasan aset koruptor, menghapus

pemberian remisi, pembebasan bersyarat dan grasi serta pemberian fasilitas khusus untuk
koruptor selama di penjara, memaksimalkan tuntutan dan hukuman penjara bagi koruptor serta
memberikan sanksi sosial bagi koruptor.
Selain hal-hal tersebut saat ini juga sedang dikaji wacana penjatuhan hukuman terhadap koruptor
secara akumulatif untuk memberikan efek jera. Penghukuman terhadap koruptor yang terjadi di
Taiwan bisa menjadi acuan bagi pemerintah dan DPR yang akan melakukan Revisi UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU Tipikor).
Pengadilan di Taiwan pada tahun 2010 lalu menghukum Yu Wei-hsiang, yang merupakan
walikota Hsikang di Provinsi Tainan dengan hukuman 203 tahun dan 10 bulan penjara. Dia
terbukti bersalah atas kasus korupsi dengan menerima suap dari sejumlah kontraktor yang
terlibat dalam proyek-proyek pemerintah. Juru bicara pengadilan mengungkapkan, terpidana
menerima suap dengan nilai total NT$790.000 (sekitar Rp 230 juta).
Koalisi masyarakat sipil memberikan dukungan terhadap penerapan langkah-langkah pemberian
efek jera terhadap koruptor tersebut melalui dorongan kepada pemerintah, penegak hukum dan
parlemen. Langkah konkrit lainnya adalah memasukkan klausul sejumlah upaya pemberian efek
jera dalam Rancangan Revisi UU Tipikor (RUU versi masyarakat). RUU Tipikor versi
Masyarakat yang disusun setidaknya dapat menjadi alternatif pilihan bagi DPR dalam proses
legislasi nanti selain dari RUU Tipikor versi Pemerintah yang dinilai masih belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat dan kurang memberikan efek jera terhadap koruptor.
Apakah betul seluruh masyarakat Indonesia setuju hukuman mati ? Hingga saat ini belum ada
Survei dengan metodologi yang ketat yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia
setuju hukuman mati. Hasil survei yang disampaikan oleh Nurdirman Munir dan dikutip oleh
Anugrah dalam opininya, tidak tepat dinyatakan sebagai pendapat mayoritas seluruh masyarakat
Indonesia. Berdasarkan penelusuran, hasil survei yang diduga digunakan oleh Nurdirman Munir
sebagai acuan adalah Survei yang dilakukan oleh Harian Tribun Jogja pada 24 September 2012.
Survei ini dilakukan hanya terbatas pada pembaca harian tribun Jogja (tribuners) dan tidak
dilakukan diseluruh Indonesia. (lihat http://jogja.tribunnews.com/2012/09/24/mayoritas-setujuhukuman-mati-untuk-koruptor)
Apakah betul seluruh warga NU setuju hukuman mati diterapkan pelaku pidana termasuk kepada
koruptor? Saya sendiri ragu. Hal ini karena KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan
Presiden RI dan juga mantan pimpinan NU pada tahun 2008 menyatakan tidak setuju penerapan
hukuman mati untuk koruptor. Gusdur menyatakan jika hukum yang ada saja dilaksanakan
dengan baik, maka sudah lebih dari cukup untuk mengurangi angka korupsi di Indonesia.
Dalam negara berdemokrasi berbeda pendapat merupakan suatu yang wajar. Pro dan kontra
terhadap hukuman mati sampai kapanpun tetap akan muncul karena masing-masing pihak

memiliki cara pandang dan argumentasinya sendiri. Namun sungguh keliru dan tidak logis jika
mengatakan kelompok penentang hukuman mati untuk koruptor dianggap sebagai pihak yang
dibayar koruptor, didanai pihak-pihak pro koruptor, mempunyai kepentingan memakmurkan
koruptor dan merupakan musuh bersama seluruh rakyat Indonesia.
Dalam menghadapi perang panjang melawan korupsi, maka sangat tidak bermanfaat jika publik
hanya sekedar berpolemik tentang hukuman mati untuk koruptor. Diperlukan aksi nyata dengan
melakukan segala upaya mendukung pemberantasan korupsi yang merugikan koruptor.
Hal terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukan sekedar masalah ancaman
hukuman mati, tetapi bagaimana memastikan bahwa pemerintah dan penegak hukum serta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya maksimal dan tidak tebang pilih dalam
pemberantasan korupsi serta memenjarakan koruptor di penjara secara konsisten dan tanpa
keistimewaan apapun. Pembersihan lembaga penegak hukum dari praktek korupsi harus menjadi
prioritas yang harus segera diselesaikan.
Semua pihak juga perlu mendorong agar upaya pemberantasan korupsi berjalan secara efektif.
Langkah pemidanaan atau penindakan dalam perkara korupsi harus berjalan simultan dengan
upaya pencegahan dan pengembalian aset (asset recovery) para koruptor, harmonisasi peraturan
perundang-perundangan dan kerja sama internasional.
Selain itu dukungan semua kalangan sangat dinanti dalam rangka menyelamatkan KPK yang
ingin dibubarkan oleh partai politik dan para koruptor. Jika upaya pemberantasan korupsi dan
KPK berhasil dilemahkan oleh koruptor, maka negara ini akan berada diambang kehancuran.
Pada akhirmya Mari Memberantas Korupsi Bersama Rakyat. Berantas Korupsi YES, Hukuman
Mati NO!
Emerson Yuntho
Saat ini bekerja di Indonesia Corruption Watch. Opini merupakan pendapat pribadi.

Pakar: koruptor musuh negara pantas dihukum mati


Jumat, 4 Nopember 2011 - 23:28

Medan (ANTARA News) - Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr
Pedastaren Tarigan,SH, mengatakan para koruptor yang telah merugikan keuangan negara, sudah
sepantasnya dijatuhi hukuman mati, sehingga dapat membuat efek jera.
"Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat
diterapkan bagi koruptor yang ada di negeri ini," katanya di Medan, Jumat.
Sebab, menurut dia, tanpa diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor di negeri tercinta ini,
pelaku kejahatan atau "pencoleng" harta dan kekayaan negara itu akan terus berkembang
semakin subur dan tidak akan pernah berhenti.
"Jadi, perlu adanya ketegasan dalam menerapkan hukuman mati terhadap koruptor yang telah
menghancurkan sendi-sendi kehidupan perekonomian negara," kata Kepala Laboratorium
Fakultas Hukum USU itu.
Dia mengatakan, penerapan hukuman mati itu juga diatur dalam ketentuan hukum di Indonesia,
namun sampai saat ini tidak pernah dilaksanakan terhadap koruptor yang nyata-nyata telah
merugikan keuangan negara.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah juga perlu mengkaji ulang Undang-Undang yang
menerapkan hukuman mati tersebut.
"Selama ini, pelaku yang terbukti korupsi itu, hanya dijatuhi hukuman lima tahun penjara.Ini
dinilai terlalu ringan, dan tidak membuat efek jera terhadap mereka yang telah memperkaya diri
sendiri atau dengan sengaja menyalahgunakan keuangan negara," kata staf pengajar di Fakultas
Hukum USU itu.
Selanjutnya Pedastaren mengatakan, dengan penerapan hukuman mati terhadap koruptor itu,
diyakini dapat membuat rasa takut atau kehilangan nyali korup, serta mereka tidak akan
mengulangi lagi kejahatan tersebut.
Penerapan hukuman mati itu, juga salah satu solusi untuk menyelamatkan keuangan negara dari
koruptor yang juga sebagai musuh negara.
"Perlunya penerapan hukuman mati bagi koruptor itu, untuk terciptanya penegakan hukum tegas
dan benar, sehingga minat untuk melakukan penyimpangan keuangan negara semakin
berkurang," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai wacana hukuman minimal lima tahun penjara bagi koruptor, Pedastaren
mengatakan, dirinya kurang sependapat, hal ini terlalu ringan dan tidak akan membuat efek jera
terhadap koruptor itu.

Hukuman lima tahun terhadap pelaku koruptor tersebut, jelas membuat senang bagi mereka yang
melanggar hukum tersebut.
Karena, menurut Pedastaren, koruptor yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) itu, juga akan memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. Koruptor tersebut juga
tidak akan penuh menjalani hukuman di Lapas.
"Pemerintah juga perlu ketegasan mengenai penerapan hukuman terhadap koruptor itu, yakni
apakah hukuman 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup atau hukuman mati," kata Pedastaren.
(ANT)

Pembaruan Hukum dan Peradilan

Dalam sebuah demokrasi sistem peradilan menjamin aturan hukum dan melindungi hak-hak
masyarakat. Karena kurangnya transparansi, korupsi, mutu hakim yang buruk dan keterbatasan
akses publik, sistem peradilan Indonesia tidak memiliki legitimasi. Era reformasi membawa
beberapa perubahan nyata bagi standar keseluruhan. Tantangan terbesar yang dihadapi
pembaruan hukum adalah mendirikan lembaga hukum yang independen dan profesional.
Berikut adalah beberapa campur tangan Kemitraan untuk mengatasi masalah ini:
Pengadilan Adat di Papua
Kemitraan terus mengembangkan dan mendukung Pengadilan Adat di Papua dan Papua Barat,
agar memastikan bahwa adat suku dan kewenangan tradisional memiliki tempat dalam sistem
peradilan pidana.
Mendukung Perkembangan Hukum di Aceh
Bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kemitraan bekerja menyusun perbaikan
sejumlah peraturan di bawah UU 11/2006, yang saat ini sedang menunggu persetujuan Presiden.
Kemitraan telah membantu pengembangan beberapa peraturan tambahan secara paralel dengan
UNDP dan Kementerian Dalam Negeri, dan pada tahun 2009 proyek-proyek ini diselaraskan
untuk memaksimalkan sumber daya.
Meningkatkan Akses terhadap Keadilan di Aceh
Kemitraan telah bekerja dengan tiga LSM di Aceh untuk meningkatkan akses masyarakat ke
sistem peradilan, bersama dengan program-program anti korupsi, termasuk penyusunan Rencana

Strategis Pemberantasan Korupsi untuk KPK. Rencana tersebut juga menyerukan koordinasi
yang lebih baik antara lembaga-lembaga penegak hukum.
Pembaruan Perwakilan
Pembaruan proses pemilihan dan legislatif, pendidikan pemilih, dan membongkar sumbersumber pendanaan adalah langkah-langkah mendasar bagi Indonesia untuk bertransisi menuju
masyarakat demokratis sepenuhnya. Kemitraan terus bekerjasama dengan mitra-mitra daerah
melaksanakan program-program tata pemerintahan yang baik di badan legislatif daerah dan
mendorong para politikus untuk menanggapi berbagai kepentingan pemilih mereka.
Pengawasan Pemilu Pelatihan Bawaslu
Khususnya di daerah, banyak anggota staf Bawaslu dan Panwaslu yang merupakan pendatang
baru, dengan sedikit pengalaman dalam mengelola atau mengawasi pemilu. Peran
kesekretariatan mereka sangatlah penting sebagai orang-orang yang menerima laporan, dan
menindaklanjuti dugaan-dugaan pelanggaran pemilu.
Menyadari bahwa kurangnya keterampilan dan pengalaman akan sangat mengganggu fungsi
mereka, selama enam bulan menjelang pemilu berlangsung, Kemitraan, dengan menggunakan
dana proyek multi donor, melaksanakan serangkaian kegiatan pelatihan. Kemitraan bekerja sama
dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII)
mengembangkan dan melaksanakan sejumlah kegiatan pengembangan kapasitas bagi para
anggota Panwaslu dari 33 provinsi.
Menciptakan Pemilih yang Berpengetahuan dan Berdaya
Kemitraan telah lama mengakui arti penting OMS dalam memastikan agar pemilu berlangsung
dengan penuh integritas, dan bekerja erat dengan SEKNAS FITRA merancang strategi advokasi
publik bagi pendidikan pemilih, yang bermaksud memperbaiki tingkat pengawasan publik
terhadap pengeluaran para kandidat dan menagih janji mereka.
Tim proyek menyorot kebijakan masa lalu kandidat yang benar-benar dilaksanakan dalam
bidang pendidikan, pembaruan hukum, pengelolaan sumber daya, dan pengentasan kemiskinan,
dan kemudian mempublikasikannya ke berbagai media.
Membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kemitraan, dengan dukungan dari Komisi Pemilihan Umum Australia, dan dengan dana UNDP,
mengembangkan serangkaian pedoman untuk membantu KPU mempersiapkan pemilu 2009,
serta pelatihan bagi penyelenggara pemilu dan penyelenggara pemungutan suara.
Kemitraan juga bekerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia dan KPU untuk mengembangkan
pedoman penyingkapan dana kampanye dan melakukan serangkaian lokakarya untuk
memberikan bantuan teknis bagi para kandidat pemilu.

Proyek ini juga mengawasi dana dari anggaran daerah dan melaporkan setiap penyalahgunaan
dana kampanye kepada KPU, Bawaslu atau rekan-rekan regional mereka, yang menghasilkan
penyelidikan di beberapa provinsi.

Mendukung Hukuman Mati Koruptor


REP | 03 October 2012 | 18:53 Dibaca: 239

Komentar: 7

3 aktual

Korupsi adalah kejahatan yang menjadi musuh bersama (idealnya begitu). Tapi kenyataannya
korupsi makin menjadi-jadi menggerogoti bangsa ini. Kalau bisa dikatakan, korupsi adalah
budaya gagal bangsa ini, yang sangat nyata turut menyumbangkan kesengsaraan bagi rakyat
dan memberikan aib di mata dunia. Betapa tidak, bangsa yang mengaku sebagai bangsa relegi
dengan keyakinan keagamaan yang kuat tapi nyatanya kasus korupsi makin menggila. Indonesia
pun selalu masuk TOP FIVE negara terkorup di Asia. Sangat ironis.
Perdebatan tentang pro kontra mengenai hukuman mati para koruptor adalah sangat lumrah.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengeluarkan unek-unek perasaan dan kegelisahan melihat
makin maraknya kasus korupsi di tanah air tercinta ini. Pelaku-pelaku koruptor sebagian
kecilnya berhasil diciduk KPK dan polisi. Tapi yang bikin gemas, mereka yang sudah disidang di
meja hijau malah sebagian besar bebas tanpa terjerat hukum. Hanya 5 persen saja yang bernasib
sial dihukum lebih dari 5 tahun. Padahal mereka ini bandit-bandit berdasi yang sudah membobol
uang rakyat miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah.
Saya bukanlah aktivisi antikorupsi atau ahli hukum yang fasih berdalil dengan pasal-pasal UU
Antikorupsi atau KUHP. Banyak cara telah dilakukan oleh KPK, aparat penegak hukum lainnya
serta aktivis antikorupsi, pemerintah sampai tokoh masyarakat lintas agama telah mengeluarkan
pemikiran dan tindakan nyata membasmi korupsi. Tapi nyatanya, makin besar saja kebocoran
uang negara oleh ulah koruptor.
Mungkin solusi yang layak dicoba adalah hukuman mati untuk koruptor. Tentu harus ada aturan
tegas dan jelas mengenai kriteria tindakan korupsi yang mana yang bisa menggiring sang
koruptor ke tiang eksekusi hukuman mati. Walau banyak yang menentangnya, tapi ada baiknya
wacana ini kita diskusikan bersama.
Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua
rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor (mengutip tulisan Bang Emerson Yuntho).
Logika sederhana saya mengapa perampok uang negara itu pantas dihukum mati adalah karena
kejahatan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Setiap tahun
berapa banyak uang rakyat yang ditilap koruptor. Lihat saja angka kecelakaan lalu lintas yang
merenggut ribuan nyata, yang ada hubungan dengan buruknya infrastruktur jalan yang sebagian
uang proyeknya masuk kantong pejabat. Begitu juga dengan penyediaan sarana kesehatan di

daerah-daerah yang minim sehingga ribuan ibu hamil menghembuskan nafas karena terlambat
mendapat penangan medis, lagi-lagi karena keterbatasan fasilitas kesahatan, dokter desa,
minimnya infrastruktur jalan dan jembatan. Belum lagi jutaan anak didik usia sekolah yang putus
pendidikan lagi-lagi karena mahalnya biaya yang harus ditanggung orangtuanya. Padahal
pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis, jika APBD yang rata 25% lebih dikorup. Masih
banyak alasan lainnya yang bisa menjadi bukti nyata bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa
yang harus mendapat hukuman paling berat, yakni hukuman mati.
Hukum
sebagai
landasan
Memerangi sebuah perilaku korupsi memerlukan suatu gebrakan yang tidak memberikan
peluang bagi para pelaku. Apakah perihal gebrakan tersebut? tidak lain dan tidak bukan sangat
terkait dengan bentuk-bentuk punishment yang sifatnya maksimal sangat dibutuhkan dalam
memerangi korupsi melalui kata sandi yaitu hukum. Hukum yang tanpa celah akan memberikan
penguatan dalam melawan korupsi di negeri ini.
Kita pahami bahwasanya hukum yang bermain dalam kawasan ini terkait dengan
keberadaan undang-undang tindak pidana korupsi yang ada. Akan tetapi dalam
perkembangannya saat ini, kita sepertinya akan dihadapkan dengan produk hukum yang lemah.
Dimana isu yang berkembang tidaklah menggambarkan perlawanan yang keras terhadap korupsi
itu sendiri khususnya pada revisi undang-undang tipikor yang digodok oleh pemerintah.
Seperti halnya dilansir oleh ICW bahwasanya kelemahan-kelemahan terhadap revisi
undang-undang saat ini menggambarkan adanya celah-celah yang bisa meningkatkan perilaku
korupsi. Hal ini disebabkan bahwasanya revisi undang-undang tindak pidana korupsi banyak
terdapat penghilangan-penghilangan pasal yang sekiranya menjadi penting dalam pemberantasan
korupsi.
Kelemahan-kelemahan hukum yang dibeberkan oleh ICW bahwasanya dapat dilihat
dengan adanya penghilangan hukuman mati bagi pelaku korupsi, menurunnya hukuman minimal
bagi para pelaku koruptor, hilangnya pasal mengenai kerugian negara, ditemukannya pasal yang
berpotensi mengkriminalkan pelapor kasus korupsi, korupsi di bawah 25 juta dapat dilepaskan
dengan persyaratan pengembalian uang dan pengakuan bersalah, kaburnya kewenangan
penuntutan KPK serta tidak ditemukannya undang-undang yang mengatur pidana tambahan
seperti pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan
hasil untuk korupsi, penutupan perusahaan yang terkait korupsi. Situasi ini sangat miris
manakala pemerintah dan para dewan melegalkan suatu peraturan yang memiliki lubang besar
terkait penguatan untuk melakukan korupsi.
Perilaku
korupsi
dan
hukum
Asumsi munculnya suatu perilaku yang dibangun bahwasanya memperhitungkan segala
informasi yang ada dan mempertimbangkan implikasi dari perilaku tersebut (Ajzen, 2005). Hal
ini menjadi sangat nyata saat dinamika kausalitas yang terjadi terkait korupsi ini akan menjadi
semakin memilukan saat hukum menjadi lemah terkait punishment yang ada. Pandangan akan
hilangnya hukuman maksimal, semakin kecilnya hukuman maksimal maupun bentuk kemudahan
yang lain untuk bisa terlepas dari jerat hukum bagi pelaku koruptor sangat memungkinkan
menjadi faktor-faktor pertimbangan dalam melakukan tindakan korupsi secara berkelanjutan.

Situasi ini tidak jauh berbeda saat perilaku kejahatan korupsi mendasarkan pada
pertimbangan rasional-analitis yaitu melihat manfaat secara subyektif. Seperti halnya dalam
konsep ini, bahwasanya perilaku korupsi menjadi semakin menguat akibat adanya kalkulasi
pertimbangan akan keberhasilan dan besar kecilnya keuntungan yang didapat dengan
pertimbangan akan kegagalan dan besar kecilnya kerugian (Carrol dalam Ancok, 2004). Melihat
dengan kasus lemahnya undang-undang tipikor tersebut maka sangat jelas bahwasanya kalkulasi
pertimbangan dalam tindakan korupsi melogiskan keuntungan lebih besar daripada suatu
kerugian. Hal ini bisa digambarkan bahwasanya saat melakukan tindakan korupsi sebesar apapun
maka ancaman rendahnya hukuman maupun tidak adanya penyitaan terhadap hasil korupsi
menjadi penguat yang nyata korupsi menjadi pekerjaan yang menggiurkan.
Sudah saatnya para pihak-pihak yang berwenang harus mampu penuh menyadari
bahwasanya aturan hukum dalam hal ini menjadi salah satu garda terdepan untuk memberantas
korupsi. Kelemahan hukum sama halnya menjadikan benih-benih tindakan korupsi menjadi kuat
dan nyata. Bukankah slogan pemberantasan korupsi masih menjadi agenda yang dijanjikan?
Jangan sampai hal ini menambah deret dosa para pemimpin negeri ini.

ABSTRAK
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berjalan cukup lama. Berbagai upaya
represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang
terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah banyak pejabat negara dan
wakil rakyat yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah,
selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan
korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957,
(ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977,
(iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v)
dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada
tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Timtas Tipikor). Pada tahun 2011, Country rank Year CPI Score Indonesia
baru sebesar 3,0. Country rank Year CPI Score mengurutkan negara-negara dalam
derajat korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Indeks
ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia
termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi.

2.1 Pengertian Korupsi

Kata korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau
orang lain. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur penyelewengan atau dis-honest
(ketidakjujuran). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28Tahun 1999 tentang Penyelewengan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dise-butkan bahwa korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan per-aturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pidana korupsi.
2.2 Gambaran Umum Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin
pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang
diikuti dengan dilaksanakannya Operasi Budhi dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa
Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan Operasi Tertibyang
dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan
kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain
ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas
dari KKN.
2.3 Persepsi Masyarakat tentang Korupsi
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi
pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat
menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat
lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi.
Tema yang sering diangkat adalah penguasa yang korup dan derita rakyat. Mereka
memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini
cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap
perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi

dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh,
mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.
2.4 Fenomena Korupsi di Indonesia
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:

a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

i.

Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.

ii.

Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya ok-num
lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan,
kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.

iii.

Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.

iv.

Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
kepentingan rakyat.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :


Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai
dengan kepentingan politik saat itu.
Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum.
Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan kekuasaan.
Dimulailah pola tingkah para korup.
Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang
mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik
dan ekonomi-bisnis.
Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki
politik kekuasaan.
2.5 Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas
korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi martir bagi para
pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :


i.

Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.

ii.

Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good


governance.

iii.

Membangun kepercayaan masyarakat.

iv.

Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.

v.

Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

2.6 Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi


Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia,
antara lain sebagai berikut :
a. Upaya pencegahan (preventif).
b. Upaya penindakan (kuratif).
c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

2.6.1 Upaya Pencegahan (Preventif)


a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung
jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.

f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

2.6.2 Upaya Penindakan (Kuratif)


Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan
peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh
penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an
negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari
BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

2.6.3 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa

a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

2.6.4 Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)


a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi
dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl
21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan
pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.
Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI
Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan
bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang
dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia,
Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan,
Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia
adalah negara terbebas dari korupsi.

Вам также может понравиться