Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN

A.1.1 Latar belakang masalah


Beberapa dekade lalu dunia ini dikejutkan oleh kenyataan bahwa banyak negara
mengalami kebangkrutan karena tidak berfungsinya administrasi publik secara efektif.
Kemiskinan,memburuknya tingkat kesehatan masyarakat, serta ketidakadilan distribusi
pendapatan menjadi perosalan yang bersifat endemik di seluruh dunia. Beberapa negara yang
memiliki sumber daya alam yang berlimpah justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang
sangat rendah, meskipun di negara tersebut memiliki angkatan kerja yang terdidik1.
Permasalahan ini pada umumnya sering terjadi di negara-negara berkembang seperti
negara-negara pecahan bekas uni soviet,dan di beberapa negara seperti di bagian Asia dan Eropa.
Keadaan ini akhirnya menggerakan PBB dan World Bank untuk mengatasi permasalahan ini
dengan memberikan pinjaman. Namun hasil yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan yang
direncanakan. Pinjaman yang di berikan ternyata malah memberikan hasil yang negatif, sehinga
malah memperburuk keadaan ekonomi negara-negara tersebut. Ketidak efektifan pinjaman
tersebut ternyata disebabkan oleh adanya korupsi yang disebabkan oleh birokrat di negara-negara
yang diberikan pinjaman.
Timbulnya korupsi terhadap bantuan-bantuan tersebut menurut Rose-ackerman
disebabkan tidak berfungsinya insitusi negara dan swasta2. Sementara menurut ahli lain seperti
Keefe & Snack,bahwa korupsi disebabkan oleh tingginya indeks korupsi di negara-negara
tersebut.
Para birokrat tersebut melakukan korupsi karena bermental Rent Seeking. Istilah tersebut
dipopulerkan oleh Bhagwati (1974) dan krueger (1974) untuk perilaku birokrasi yang menunjuk
perilaku rente yang mencari keuntungan tanpa dasar3. Tingginya korupsi juga pada dasarnya
merujuk pada lemahnya pengawasan yang disebabkan adanya infromasi asimetris4 .
Pemaparan kasus diatas meruapakan salah satu contoh kasus korupsi yang terjadi di
negara-negara berkembang. Permasalahan kasus korupsi tidak hanya terjadi di negara
berkembang,tetapi juga dapat terjadi di negara-negara maju yang indeks kejujurannya paling
tinggi, seperti di negara-negara Skandivia,Singapura,Selandia Baru,Jerman,Perancis,Italia,dll.
Jadi dapat disimpulkan bahwa permasalahan korupsi bisa terjadi di negara mana saja baik di
negara berkembang maupun di negara maju.
Perbedaan utama korupsi di negara berkembang dan negara maju adalah aktornya, di
negara maju korupsi cenderung dilakukan secara kecil-kecilan, dalam arti lain hanya melibatkan
beberapa aktor tertentu, sedangkan di negara-negara berkembang korupsi telah menjadi suatu hal

1
Ulul Albab,”A to Z korupsi”,Surabaya:Jaring Pena,2009,hlm.3
2
Susan-rose ackerman, “The Political Economy of Corruption-cause and consequences”,World Bank,1996
3
Ulul Albab,Loc cit,hlm.3
4
Susan-rose ackerman,Op cit ,hlm.2
1
yang bersifat sistemik bahkan bisa melibatkan para petinggi negara5, yang akhirnya korupsi di
negara berkembang diistilahkan extraordinary crimes karena keterkaitannya satu perbuatan
pidana dengan pidana lainnya, yang merugikan masyarakat baik dari segi sosial,ekonomi dan
kebudayaan.
1.1.1 Korupsi Di Indonesia
Di negara berkembang seperti Indonesia korupsi merupakan salah satu masalah terbesar
sampai saat ini. Berbagi survei yang dilakukan lembaga-lembaga international selalu
menempatan Indonesia pada peringkat tertinggi. Sebagai contoh survei Transparansi
Internasional Indonesia (TI Indonesia) pada tahun 2009, menurut hasil survei yang dilakukan
lembaga tersebut, Indonesia berada di urutan ke-5 pada tingkat korupsi di ASEAN. Penilaian TI
Indonesia tidak salah,karena korupsi di Indonesia telah menjadi suatu budaya yang bersifat
merusak, bahkan di era orde lama Wakil Presiden Muhammad Hatta pada tahun 1950-an sampai
mengeluarkan wacana “bahwa korupsi telah membudaya, pemerintah tidak bisa melayani
warganya tanpa adanya korupsi”.
Tabel 1.1. Indeks Persepsi Korupsi di Asia Tenggara

NO NEGARA Indeks Persepsi Korupsi


1 Singapura 9,2
2 Brunei Darussalam 5,52
3 Malaysia 4,5
4 Thailand 3,4
5 Indonesia 2,8
6 Vietnam 2,7
7 Filipina 2,4
8 Kamboja 2
9 Laos 2
10 Myannmar 1,4

Sumber : TII,2009
Dari tabel berikut kita dapat melihat bahwa skor Indonesia dalam Indeks Persepsi
Korupsi 2009 adalah 2,8. Dengan skor tersebut Indonesia ditempatkan pada level ke 111 maka
Indonesia berdekatan dengan negara-negara seperti Mesir, Mali, Kiribati, Sao Tome dan
Principe, Algeria, Djibouti, Kepulauan Solomon dan Togo.
Skor ini dapat diartikan bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis
maupun pengamat/analis negara. Skor tersebut juga menjelasakan bahwa di Indonesia jenis
praktek korupsi sudah merambah hampir ke semua sektor yang menyangkut kepentingan publik.
Hal ini juga diperkuat dengan hasil survei yang dilakukan Political Economic Risk Consultancy
yang menaruh Indonesia pada urutan pertama korupsi di Asia Tenggara6.

5
Ulul Albab,Op cit ,hlm. X
6
http://www.suaramedia.com/berita-nasional/18391-perc-indonesia-negara-terkorup.html diunduh 2 April pada
pukul 13:00
2
Menurut TII bukti nyata korupsi di dalam sektor publik Indonesia dapat dilihat dari Jenis-
jenis korupsi yang berada di Indonesia

Tabel 1.2.Jenis/Praktek Korupsi dan Sektor-sektor yang potensi Korupsi di Indonesia

Jenis Korupsi Sektor dan Alokasi


Manipulasi Uang Negara • Pengadaan Barang dan jasa Konstruksi
• Pengadaan Barang dan jasa Militer
• Pekerjaan umum
• Pengadaan barang dan jasa umum

Suap dan Pemerasan • Polisi dan Peradilan


• Pajak dan Bea Cukai
• Perizinan
Politik Uang • Politisi dan DPR

Kolusi Bisnis • Militer dan Yayasan sosial


• Yayasan pemerintah

Sumber TII,2003
Hasil survei itu menunjukkan bahwa korupsi dalam bentuk manipulasi uang
negara,sektor yang paling korup adalah sektor pengadaan barang dan jasa konstruksi , pekerjaan
umum,perlengkapan militer dan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Jenis korupsi yang
berupa suap dan pemerasan yang paling korup terjadi di lembaga penegak hukum, yaitu
kepolisian dan peradilan. Sedangkan untuk jenis kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi pada tubuh
militer, kepolisian dan pegawai pemerintah yang dilakukan melalui koperasi dan yayasan.
Menurut KPK korupsi yang paling dominan di sektor pemerintahan adalah sektor pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah. hal ini mencerminkan bahwa korupsi di Indonesia mayoritas
dilakukan oleh birokrat.

Korupsi yang terjadi di Indonesia pada dewasa ini tidak hanya terjadi di pemerintahan
pusat,namun hal tersebut telah terjadi di pemerintahan daerah. Salah satu penyebab adanya
korupsi di daerah adalah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah,berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah yang diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004. Dari berbagai penjelasan tersebut kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi suatu penyakit sosial yang berbahaya
terutama bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat secara kolektif. Dan korupsi di Indonesia
telah menjadi sesuatu yang kompleks, Karena pada era Orde Baru, korupsi masih dilakukan
secara tersembunyi. Tetapi pada era reformasi sekarang, di samping yang dilakukan secara

3
sembunyi muncul korupsi gaya baru dalam bentuk perampasan seperti yang terjadi di daerah-
daerah tertentu7.

1.1.2 Dampak Korupsi di Indonesia

Tingginya korupsi di Indonesia tentunya juga mempunyai dampak yang besar, dampak
tersebut dapat dirasakan pada tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Terutama dalam hal ekonomi,sosial dan budaya. Menurut Robertson-Snape tingginya korupsi di
Indonesia menyebabkan dampak yang buruk terhadap ekonomi,yaitu menyebabkan tingginya
biaya bisnis atau transaksi yang harus dikeluarkan untuk memperoleh izin mendirikan bisnis.
Tingginya biaya tersebut disebabkan adanya uang pelicin atau sogokan yang harus dikeluarkan.
Dampak yang kedua adalah dampak dalam kebudayaan, korupsi telah menciptakan suatu budaya
baru di Indonesia yaitu budaya yang mentoleransi korupsi dengan menciptakan budaya korupsi,
adanya budaya tersebut mengakibatkan sulitnya melakukan pemberantasan korupsi karena akibat
tingginya toleransi kepada korupsi. Dampak yang lainnya adalah hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah, hal ini akhirnya membuat stigma negatif terhadap birokrat8.

Dampak lain dari korupsi selain ketiga dampak tersebut adalah dampak materil dan
dampak immateril, dampak materil merupakan salah satu dampak korupsi yang paling nyata,
contoh dari dampak materil ini adalah kerugian negara secara material yang sangat besar.
Menurut KPK kerugian yang terjadi akibat korupsi selama 2005-2009 sebesar Rp 689,19 M,
Kerugian negara tersebut sebagian besar terjadi karena proses penunjukan langsung dalam
proyek pengadaan barang dan jasa, kerugian negara jenis ini mencapai Rp647 miliar atau 94
persen dari total kerugian negara. Kerugian negara tersebut sebagian besar terjadi karena proses
penunjukan langsung dalam proyek pengadaan barang dan jasa. memperlihatkan, angka itu
berasal dari berbagai proyek pengadaan barang dan jasa dengan nilai sekira Rp1,9 triliun9.

Dampak lainnya yang dapat juga dirasakan adalah dampak secara immateril, yaitu citra
dan martabat bangsa di mata international, tingginya korupsi di Indonesia membuat para investor
asing harus berfikir ulang dalam melakukan penanaman modal di Indonesia, hal tersebut pada
akhirnya akan merugikan Indonesia, karena dengan terhambatnya investasi tentunya akan
menghambat pembangunan nasional.

1.1.3 Pemberantasan Korupsi Indonesia

Kisah pemberantasan Korupsi di Indonesia pada dasarnya memiliki sejarah yang panjang,
namun sayangnya belum ada satu cerita yang berhasil dalam melalukan pemberantasan korupsi
di Indonesia. Hingga pada awal saat reformasi digulirkan,pemberantasan korupsi masih berjalan
di tempat.
7
Bahrin,”Dampak Korupsi Terhadap Negara dan Penanggulangannya”,Bogor;IPB,2004
8
Ibid,hlm.14
9
http://www.detiknews.com/read/2009/12/02/131911/1252607/10/uang-negara-rp-689-m-raib-akibat-korupsi-
pengadaan-barang-jasa diunduh 2 April Pada pukul 13:00
4
Berbagai upaya pemberantasan korupsi cukup banyak dilakukan oleh pemerintah, Upaya
penanggulangan terhadap korupsi dilakukan melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan.
Kedua upaya tersebut sama pentingnya. Upaya pencegahan mencakup semua usaha yang dapat
dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi tindak korupsi pada semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan upaya penindakan adalah usaha yang
dilakukan untuk menyelamatkan uang atau kerugian negara akibat korupsi dan
menindak/mengadili pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun sayangnya
pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih terfokus pada upaya penindakan dan
itupun belum dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia
masih kurang efisien.

Dewasa ini,pemberantasan korupsi masih terus dilakukan, dalam hal ini pemerintah
berusaha menunjukan keseriusannya dengan membuat suatu Grand Design yang beguna untuk
memberantas korupsi yaitu dengan membuat Rancangan Nasional Anti Korupsi (RAN-PK),
rancangan tersebut diharapakan dapat memberikan harapan baru terutama dalam hal
pemberantasan korupsi di Indonesia. Rancangan ini juga diharapakan dapat menciptakan suatu
sistem yang sistemik sehingga mampu menuntaskan permaslaah korupsi hingga ke akar-akarnya

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjelasan tersebut kita dapat melihat bahwa permasalahan korupsi di Indonesia
merupakan suatu permasalahan yang kronis bahkan dapat dikatakan telah menjadi penyakit
sosial. Tingginya korupsi di Indonesia juga telah memberikan suatu dampak yang negatif
terhadap kehidupan masyarkat yang akhirnya menimbulkan suatu bentuk ketidak percayaan
masyarkat terhadap pemerintah. Guna mengatasi ini akhirnya pemerintah membuat suatu Grand
Design anti korupsi yang diharapakn dapat memberantasan korupsi.

Berangkat dari penjelasan tersebut,penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam


permasalahan dari rumusan masalah sebagai berikut :

• Apa yang menyebabkan timbulnya korupsi di Indonesia?


• Upaya-upaya apa saja yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka
melakukan pemberantasan korupsi?
• Bagaimana peran administrasi pembangunan dalam rangka implementasi upaya-
upaya pemerintah dalam rangka melakukan pemberantasan korupsi?

1.3 Tujuan Penelitian

• Mengetahui penyebab timbulnya korupsi di Indonesia

• Mengetahui Upaya-Upaya Pemerintah dalam rangka melakukan pemberantasan


korupsi

5
• Mengetahui Peran administrasi pembangunan dalam proses implementasi Upaya-
Upaya Pemerintah dalam rangka melakukan pemberantasan korupsi

BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
2.1 Definisi korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin,Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam
bahsa Inggris dan Prancis Corruption dan dalam bahasa belanda Korruptie dan dalam bahasa
6
Indonesia disebut korupsi. 10Dalam kamus lengkap Webster’s Third New International
Dictionary, definisi korupsi adalah “ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-
pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.11
Secara epistemologi, korupsi merupakan perbuatan tercela yang bertentangan dengan tata nilai,
norma, hukum dan agama. Sedangkan definisi korupsi pernah dikemukakan oleh penulis teori-
teori politik klasik seperti Plato dan aristotele, sebagaimana diuraikan oleh Bouckaert yang
mendefinisikan korupsi sebagai perilaku merugikan negara, baik dilakukan secara illegal
maupun legal.Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan
negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Bagi para penulis teori-teori politik
klasik ini korupsi tidak selalu dapat diamati sebagai tindakan yang illegal, seperti mencuri dan
menggelapan uang negara. Terkadang korupsi terjadi dan dilakukan dengan kesadaran penuh dan
dilegalkan oleh negara.

2.1.1 Jenis-jenis korupsi


Jeremy Pope memaparkan secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara antara lain: (1) berkhianat, transaksi luar negri
illegal dan penyelundupan, (2) menggelapkan barang milik negara, menggunakan uang negara,
swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri,(3) menggunakan uang negara atau kas
negara yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang
lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalahgunaan dana,(4)
menyalahgunaan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya dan memeras,(5)
penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta komisi, (6) menjual tanpa izin
jabatan pemerintah, barang milik pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah, (7) manipilasi
peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang, (8) menghindari pajak dan
meraih laba yang melebih-lebihan, (9) menerima hadiah, uang pelicin atau hiburan, dan
perjalanan yang tidak pada tempatnya, dan (10) menyalahgunakan stempel dan surat kertas
kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
2.2 Penyebab timbulnya korupsi dalam sudut pandang teoritis
Fenomena korupsi dalam administrasi publik adalah persoalan yang mendesak untuk
dipecahkan, bukan saja karena korupsi itu adalah kejahatan publik yang harus diberantas, tetapi
lebih dari itu, korupsi telah merasuk sedemikian dalam pada praktik administrasi publik.
Pertanyaan-pertanyaan yang sering menggoda kecerdasan berkisar tentang “faktor-faktor yang
medorong terjadinya korupsi?”. Misalnya, apakah korupsi disebabkan karena faktor ekonomi dan
budaya semata, ataukah ada motif-motif yang lebih besar misalnya motif politik sehingga
korupsi terus berkembang. Selain itu pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan adalah “siapa
actor yang melakukan korupsi dengan cara apa korupsi dilakukan, bagaimana peran pemerintah
dan untuk kepentingan siapa korupsi itu dilakukan?”. Dalam rangka menjawab pertanyaan
tersebut kita dapat menggunakan 3 teori dari perspektif yang berbeda, yaitu: teori ekonomi
mainstream tentang korupsi, teori patrimonialisme tentang korupsi dan teori negara

10
A. Hamzah, Korupsi: Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan (Jakarta: Akademika
Presindo, 1985) hlm.2-3
11
Robert Klitgaard. “Membasmi Korupsi”. Hlm. 29.
7
kleptokratik12. Ketiga teori tersebut menjelaskan fenomena korupsi dalam kaitannya dengan
negara (pemerintah). Atau dengan kata lain, memahami korupsi sebagai hasil relasi antara sektor
publik dan sektor privat.
1. Korupsi dalam perspektif Teori Ekonomi Mainstream
Korupsi diperkirakan terjadi apabila perolehan bersih yang diharapkan dapat diandalkan.
Sebaliknya, jika menurut kalkulasi ekonomis seseorang tidak akan menerima keuntungan bersih
sebagaimana yang diharapkan, maka ia tidak akan melakukan suao dan member hadiah.
Dalam “ corruption: A study in Political Economi” Susan Rose- Ackerman menegaskan bahwa
disiplin ilmu ekonomi merupakan instrument yang ampuh untuk menganalisis korupsi.
Pendekatan budaya dan moralitas memang dapat menjelaskan fenomena korupsi, tetapi sifatnya
halus (samar-samar). Sementara pendekatan ekonomi merupakan ekonomi merupakan dasar
untuk dapat menangkap di mana terdapat insentif terbesar untuk berkorupsi dan dampaknya
paling terasa
Dalam literatur ilmu ekonomi, “korupsi” tampaknya menjadi pembahasan yang menarik bagi
para penulis teori-teori ekonomi, tidak terkecuali para penulis tentang “mainstream economics”
Teori yang menganalisis korupsi secara ekonomi pada awalnya dikembangkan oleh Becker dan
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Polinsky dan Shavell melalui kajian-kajiannya.
Menurut teori atau model ini, korupsi menjadi hal yang biasa terjadi pada orang yang senangtiasa
memikirkan keuntungan.
Teori ekonomi mainstream (mainstream economic theory) ini menyatakan bahwa korupsi lebih
sering terjadi di negara yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Negara yang dalam bidang ekonominya, sektor publik lebih mempunyai peran utama
dibandingkan dengan sektor swasta.
2. Negara yang sebagian besar produk dan jasa dipenuhi oleh negara sedangkan sektor
swasta lebih kecil itupun harus melalui persaingan
3. Negara mengatur masalah perekonomian
4. Negara yang pejabat publiknya memiliki banyak kebijakan dalam mengimplementasikan
peraturan negara.
5. Dinegara tersebut tidak ada sisitem transparansi dan akuntabilitas yang dapat menekan
korupsi.

2. Korupsi dalam perspektif teori Patrimonialisme


Bagi Weber dalam masyarakat patrionialisme, korupsi malah berfungsi sebagai suatu cara untuk
membantu terciptanya integrasi politik diantara golongan, partai, dan suku yang berbeda-beda
dalam pemerintahan. Dengan korupsi penguasa bias mempertahankan kekuasaannya sekaligus

12
Ulul Albab,Op Cit. Hlm .9
8
mencegah terjadinya pertentangan dan perpecahan politik. Kltigaard menambahkan, bahwa
dalam kondisi seperti ini, negara akan mendapatkan keuntungan dari korupsi
Weber berpendapat bahwa patrimonialisme dapat kita jumpai pada tipe penguasa yang pertama,
yaitu “penguasa tradisional” dimana tidak ada satu peraturan pun yang memisahkan antara public
dan property swasta dari penguasa dan pejabat-pejabatnya.
Teori Patrionialisme menjelasnya dalam system pemerintahan yang patrimonialisme korupsi
biasa mewabah dan merajalela ke semua sektor kehidupan, karena memang tidak ada satupun
undang-undang yang dibuat untuk melarang korupsi, bahkan negara melindunginya. Namun
demikian teori ini memilki kelemahan antara lain: bahwa banyak negara yang pemerintahannya
tidak memiliki peran dominan dalam bidang ekonomi, korupsi tetap terjadi dan menjadi masalah
serius di negara tersebut.
3. Korupsi dalam perspektif Teori Kleptokratik
Istilah “kleptokratik” muncul pertama kali oleh Andreski pada tahun 1968 melalui tulisannya
berjudul Cleptocracy or Corruption as a system of government. Menurutnya, Kleptokratik adalah
seseorang penguasa atau pejabat tinggi negara yang sasaran utamanya dalam memegang jabatan
adalah untuk selalu berusaha memperkaya diri sendiri. Ia akan terus menggunakan kekuasaannya
untuk mengejar tujuan tersebut. Susan Rose menegaskan korupsi yang terjadi di negara yang
kleporkrasi diselenggarakan di puncak pemerintahan. Dia membedakan dua macam korupsi
birokrasi. Pertama, korupsi kleptokrasi yang melibatkan para petinggi atau pejabat tinggi negara
sebagai aktornya. Kedua, korupsi birokrasi yang diseleggarakan oleh pegawai (birokrasi)
rendahan.
Pemerintahan negara yang kleptokratik pada umumnya terjadi di negara-negara berkembang.
Dengan alas an mendemokratisasikan perekonomian dan mengurangi peran negara secara
monopolis, pemerintah membuat berbagai kebijakan deregulasi, khususnya pada sektor ekonomi.
Para kleptokrat, dengan berlindung dan memanfaatkan paradigma deregulasi tersebut,
mengurangi peran monopoli negara sedemikian rupa dan memberikan hak monopoli tersebut
kepada pihak swasta.

2.3 Teori Model antikorupsi


Model Antikorupsi Becker dan Klitgaard
Hutchincon merumuskan bentuk korupsi menjadi 8 bentuk, yaitu: fraud, political bargains,
embezzlement, bribery, favoritism, extortion, abuse of discretion, and conflict of interest
(Hutchincon).Anwar syah mengklasifikasikankorupsi dala 4 bentuk yaitu: petty, administrative
or bureaucratic corruption; grand corruption; state or regulatory capture and influence
peddling; patronage/paternalism and being a “team player”Chetwynd dan Spector merumuskan

9
korupsi dalam 6 kategori, yaitu: Embezzlement, Nepotism, Bribery, extortion, Influence peddling,
dan Fraud
Sebenarnya banyak pakar lain yang mengklasifikasikan bentuk korupsi. Pada umumnya mereka
menyatakan pengklasifikasian bentuk korupsi hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam
penanggulangan maupun pemberantasannya. Korupsi dirumuskan sebagai penyalahgunaan
kekuasaan untuk kepentinganpribadi ( the abuse of public power for private gain ) atau bisa di
sebut juga tindak penyuapan ( bribery ). Dapat di simpulkan bahwa korupsi dan suap merupakan
duahal yang tidak bisa di pisahkan satu dengan yang lainnya
Menurut Becker dan Klitgaard pemberantasan korupsi bisa di lakukan dengan dua perspektif,
yaitu perspektif empiris dan perspektif teoritis. Secara teoritis Becker dan Klitgaard
merumuskannya dalam 3 model, yaitu principal-agent for agency models; new publik
management perspective; dan neo-institutional economics framworks.
Dalam pandangan Klinggard, ”principal-agenr or agancy models” adalah model yang cocok
diterapkan pada pemerintahan yanng di pimpin oleh seorang diktator yang baik ( benvolent
dictator ); dan pemerintahan yang kepala ( principal )-nya memotivasi pegawainya agar
memiliki integritas dalam menggunakan berbagai sumber daya publik. Becker menyebut model
ini sebagai crime and punishment model.
Menurut principal-agenr or agancy models korupsi dapat di kurangi dengan 4 cara, yaitu:
1. Mengurangi jumlah transaksi melebihi kewenangan yang dimiliki pejabat publik.
2. Mengurangi kesempatan memperoleh keuntungan setiap transaksi.
3. Meningkatkan akses untuk menditeksi.
4. Meningkatkan hukuman bagi kotuptor.

Klitgaard menyatakan ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu: ada monopoli, ada diskresi, dan
adanya pertanggungjawaban. Korupsi terjadi krtita terdapat akumulasi monopoli dan diskresi
yang tidak disertai tanggungjawab ( accountability ).
The Basic Ingredients of Corruption
Untuk mengurangi korupsi dengan kerangka kerja ini negara harus memiliki pemerintahan yang
mampu menegakkan peraturan perundangan, pengawasan yang ketat serta diskresi yang terbatas
kepada pejabat publik.
Klitgaard mengajukan juga kerangka kerja untuk menganalisis kebijkan pemberantasan korupsi
1. Select agents for “honesty” and “capability”
2. Chang the reward and penalties facing agents
3. Gather and analyze information
4. Restructure the principal
5. Change attitudes about corruption

10
Model dan rekomendasi Klitgaard sangat cocok diterapkan untuk memberantas korupsi birokrasi
terutama dari sisi pencegahan.
Model Anti Korupsi John S.T. Quah
Korupsi bisa di definisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik, jabatan atau wewenang
untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui suap, pemerasan memaksakan pengaruh,
nepotisme, penipuan, atau penggelapan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik.
Korupsi dapat dilakukan oleh seseorang apabila terjadi hal – hal berikut:
1. Gaji yang didapatkan rendah.
2. Mempunyai atau diberi kesempatan melakukan korupsi.
3. Menganggap korupsi merupakan perbuatan yang ringan
4. korupsi merupakan hal yang memiliki risiko kecil dengan mendapatkan hasil yang
besar.
Ada tiga buah gagasan tentang ukuran antikorupsi yang membuat Quah tertarik yang di
kemukakan oleh Narasumhan (1997), seorang mantan direktur Biro Pusat Investigasi di India,
meliputi:

• Preventif ( pencegahan )
• Punitif ( menghukum )
• Promosional ( mendorong )

John S.T Quah menentukan ada 3 model dalam memberantas korupsi


1. Anti-corruption legislation with no independent agency.
Adanya perundang-undangan yang mengatur anti korupsi tanpa adanya badan anti
korupsi yang independent.
2. Anti-corruption legislation with several agencies.
Adanya undang-undang anti korupsi yang mengatur dan di sertai beberapa lembaga
antikorupsi.
3. Anti-corruption legislation with an independent agency.
Adanya undang-undang antikorupsi dan disertai dengan adanya satu lembaga antikorupsi
yang independent.

Model Antikorupsi Bank Dunia


Teori tentang pemberantasan korupsi sekarang ini terus di kembangkan, salah satu yang
mengembangkan teori anti korupsi adalah Bank Dunia. Bank Dunia mengembangkan dan
merekomendasikan The World Bank Anti-Corruption Strategi, yaitu:
1. Competitive private sector
Ditempuh dengan melalui peraturan, simplifikasi pajak, stabilitas ekonomi makro,
dan mengurangi monopoli.

11
2. Strategi Political Accountability
Ditempuh dengan menciptakan kompetisi politik yang sehat, transparansi keuangan
parpol mengumumkan asset dan harta kekayaan ke publik.
3. Strategi Civil Society Participation
Harus ada kebebasan informasi, publik hearing dan memberi peran besar pada media
dan LSM.
4. Strategi Institutional Restraints on Power
Ditempuh melalui menciptakan pengadilan yang independen dan efektif.
5. Strategi Publik Sector Management.
Ditempuh melalui profesionalisasi pelayanan kepada masyarakat, desentralisasi.

BAB III
RUMUSAN MASALAH

3.1 Implementasi teori korupsi dalam permasalahan korupsi di Indonesia


Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang kompleks, untuk menganalisis penyebab
timbulnya korupsi di Indonesia kita dapat menganalisis dengan menggunakaan teori-teori

12
korupsi menurut para ahli ekonomi. Para ahli ekonomi yang telah mengamati perkembangan
perekonomian di Indonesia mengamati bahwa sebagian besar penyebab korupsi yang terjadi di
Indonesia adalah saat sebelum adanya liberalisasi ekonomi di Indonesia yaitu pada pertengahan
tahun 1980, pada saat itu pemerintah memainkan peranan penting dan menguasai perekonomian
negara seperti dengan adanya peraturan tentang pembatasan perdagangan, represi keuangan, dan
lisensi ekonomi yang seringkali dapat menjadi hambatan yang signifikan terhadap bisnis di
Indonesia, sehingga perekonomian pada saat itu masih bersifat tertutup dan tidak adanya
persaingan. Akan tetapi lain halnya bagi mereka yang memiliki sumberdaya, kemampuan atau
koneksi politik, mereka mampu untuk menghindari peraturan undang-undang tersebut dan
melakukan perdagangan tanpa masalah walaupun perdagangan yang mereka lakukan secara
illegal menurut hukum. Guna mengatasi permasalahan tersebut World Bank mengajurkan
pemerintah untuk melakukan liberalisasi dalam rangka memberantas korupsi. Naman sayangnya
dalam perjalanannya peranan negara masih terlihat dominan bahkan setelah liberalisasi ekonomi
di Indonesia yang mengacu pada pengecilan peran pemerintah atau lebih “membuka” ekonomi
untuk modal asing dan investasi13, negara masih memainkan peran penting di perekonomian dan
rent-seeking masih terus terjadi. Dalam mainstream economic campur tangan pemerintah dalam
perekonomian sangat tinggi, korupsi tidak dapat dihindarkan namun demikian mainstream
economic theory yakin bahwa liberalisasi dapat mengurangi korupsi karena di negara yang
terbuka dan bersaing korupsi dapat dikurangi. Namun dalam teori ini tidak menjelaskan mengapa
di negara yang sudah mengalami liberalisasi ekonomi korupsi tetap terjadi oleh karena itu kita
dapat menggunakan teori patrimonalisme untuk menganalisis gejala korupsi yang terjadi di
Indonesia
Teori patrimonial dapat dilihat dari karya Anderson14 yang menyatakan bahwa budaya
jawa yang mendominasi politik di Indonesia adalah budaya patrimonial. Secara khusus memiliki
aturan tagihan pada sumber daya negara lalu mendistribusikan di antara keluarga, teman
bawahan dan pendukung setia. Beberapa praktik yang saat ini disebut sebagai tindakan korupsi
dapat ditemukan pada kerajaan-kerajaan masa lalu yang mempunyai basis agricultural di Pulau
Jawa sekitar abad ke-10.Kekuasaan seorang raja sangat bergantung pada penguasaannya atas
berbagai sumber penghasilan dan loyalitas para elite politik. Hal ini dapat diperoleh melalui
penggunaan kekerasan atau dengan cara memuaskan kepentingan materiil para elite.Jika
kekuasaan koersif untuk memaksakan dukungan atau kekuasaan tidak memada, penguasa
biasanya mencoba mencari kesetiaan secara sukarela melalui pembagian tanah atau
penghidupan. Para raja Jawa memberikan penghargaan kepada para punggawa kerajaan dengan
cara menempatkan mereka pada posisi-posisi tertentu dengan harapan dapat dimanfaatkan demi
kepentingan raja itu sendiri.Pada dasarnya penggunaan jabatan kepemerintahan demi
memperkaya diri sendiri bukan merupakan bentuk dari korupsi karena tidak mengganggu
stabilitas ekonomi atau mendorong protes khalayak umum namun akibatnya muncul kebiasaan
memberikan upeti yang pantas dibayarkan kepada raja.
Praktik patrimonialisme di Indonesia masih dipengaruhi oleh praktik pemerintahan kerajaan
tersebut, setelah merdeka Indonesia pun masih dalam bayang-bayang dan budaya kekuasaan
kerajaan. Para elite negara banyak berorientasi pada budaya dan norma kerajaan. Oleh karena itu
13
http://en.wikipedia.org/wiki/Economic_liberalization di unduh 3 April pada pukul 11:02
14
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-ketiga/ diunduh pada
3 April Pada pukul 12:00
13
korupsi di Indonesia sebagian besar disebabkan, ditumbuh suburkan bahkan dilindungi oleh
adanya paham patrimonialisme ini sehingga masyarakat dibuat permisif terhadap praktik
pungutan pejabat elite pemerintahan. Masyarakat seakan menganggap wajar setiap ada
pemberian (upeti) kepada pejabat negara sebagai ucapan teima kasih atas pelayanan yang
diterima.Selain dari pada itu saat kedatangan Belanda datang ke Indonesia pada abad ke-16,
sebagian kalangan belanda melakukan praktik yang serupa dengan apa yang terjadi pada budaya
Jawa tradisional. Gaji yang dibayarkan Dutch East India Trading Company (VOC) hanya sebatas
nominal saja, karena para pejabat pada saat itu berharap mengambil keuntungan dari kesempatan
yang terbuka lebar untuk menambah pemasukan yang pada akhirnya tindakan korup para pejabat
tersebut begitu normal. Kasus ini juga berlanjut pada masa orde lama pada jaman pemerintahan
Soekarno yang menerapkan demokrasi terpimpin yang diikuti dengan langkah kontraproduktif,
yaitu membubarkan parlemen, membatasi kebebasan pers, intervensi dan monopoli negara atas
sejumlah barang ekonomi dan nasionalisasi persahaan-perusahaan asing yang tidak jelas
konsepnya dan akhirnya membuat tingginya tingkat korupsi dan saat digantikan masa orde baru
juga ternyata tidak berubah. Polanya hamper sama dan korupsi terus menjadi-jadi. Lalu terjadi
pada era Soeharto juga terjadi hal yang sama saat dia melibatkan anak-anaknya untuk ikut
memonopoli perekonomian dalam negeri, dimana hal ini yang dapat di hubungkan dengan
implementasi teori klepotkratik di Indonesia.
Dalam perspektif partimonialisme, Indonesia menampakan dirinya sebagai negara korup pada
masa orde lama hingga orde baru. Praktek yang kemudian membudaya dan mengakar dalam
praktik administrasi publik ini memperparah korupsi. Sistem pemerintahan yang patrimonialisme
korupsi bisa mewabah dan merajalela ke semua sektor kehidupan, karena memang tidak ada
satupun undang-undang yang dibuat untuk melarang korupsi bahkan negara
melindunginnya.Oleh Karena itu di bawah system seperti itu korupsi akan lebih mudah dapat
menjadi merajalela, seperti di Indonesia ssat ini.
Di Indonesia kleptokratik terjadi selama era Soeharto memimpin. Dalam teori ini lebih menaruh
perhatian pada adanya perilaku pejabat negara (birokrasi pemerintah) yang berorientasi mencari
keuntungan15. Indonesia semakin menjadi negara yang kleptokratik terutama setelah anak-anak
Soeharto yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam aktifitas rent-seeking dengan secara tegas
menerapkan kontrol atas berbagai sumber daya ekonomi di Indonesia dengan cara monopoli
dalam negri dan menarik investor asing sebagai mitra bisnisnya.. Selama peraturan Soeharto,
Indonesia berubah secara sendirinya dari perekonomian yang dijalankan oleh negara menjadi
perekonomian yang berdasarkan pasar. bagaimanapun korupsi tetap terjadi dan terus merajalela
atau mungkin semakin parah sehinnga membuktikan asumsi bahwa Indonesia merupakan negara
kleptokratik dimana seorang penguasa / pejabat tinggi negara yang dalam memegang jabatan
hanya untuk selalu memperkaya diri. Jadi mereka tidak perlu susah-susah mencuri uang negara.
Mereka hanya memainkan regulasi dan memberikan hak istimewa kepada swasta yang
dikehendaki untuk menguasai dan memegang monopoli seperti yang terjadi pada era Soeharto
dan anak-anaknya. Walaupun saat Soeharto sudak tidak lagi menjabat sebagai presiden di
Indonesia, Indonesia masih dianggap sebagai negara kleptokratik.
Dengan melihat implementasi dari teori korupsi di Indonesia kita bisa menemukan dukungan
untuk semua teori pendekatan korupsi baik dari mainstream economics theory, teori
patrimonialisme dan teori kleptokratik yang diuraikan dalam bagian ini dalam kasus di
15
Ulul albab, op.cit. hlm. 36
14
Indonesia. Hasilnya tidak selalu buruk, mungkin bahkan positif sebagai analisa lebih lanjut,
karena walaupun masing-masing pendekatan memiliki fokus dan prediksi yang berbeda-beda,
teori-teori ini bisa melengkapi satu sama lain dalam menganalisis korupsi di negara-negara
berkembang seperti di Indonesia.
3.2 Upaya pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi
Pemberantasan Korupsi di Indonesia,pada dasarnya bukanlah barang baru. Namun pada
era reformasi pemberantasan korupsi menjadi suatu hal yang baru, terutama dalam keseriusan
pemerintah. Salah satu bukti keseriusan pemerintah pada era reformasi adalah dengan
memasukan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda reformasi.
Salah satu langkah awal pemberantasan korupsi yang di lakukan pada awal era reformasi
adalah ketika presiden B.J. Habibie dalam pemerintahannya yang baru adalah dengan
membebaskan media/Social and Press Freedoms yang bertujuan untuk memberikan informasi
kepada masyarakat seluas – luasnya dan juga pada bulan Oktober tahun 1999 MPR membuat
keputusan tentang aparatur negara yang berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang profesianal,efisien, produktif, transparan, dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.
Dalam perkembanggannya langkah-langkah tersebut juga diikuti oleh langkah-langkah
lainnya,seperti
1. Political Reform yaitu dengan memberikan wewenang DPR sebagaimana
mestinya sesuai dengan konsep Trias Politica dan dilakukannya pemilu yaitu
pada tahun 1999,sebagai simbol awal reformasi
2. Fiscal Transparency and Financial Monitoring yaitu dengan cara melakukan
audit fiskal yang dipimpin langsung oleh departemen keuangan dan melakukan
restrukturisasi perbankan yaitu dengan mendirikan BPPN
3. Legal Reform yaitu dengan cara melakukan reformasi di bidang yuridiksi seperti
melakukan fit and proper test,dan pembuatan hakim ad hoc
4. Direct Strategies against Corruption dalam rangka melakukan pemberantasan
korupsi yang masih ada pada era pasca reformasi,maka dibentuklah badan/komisi
independen yang bertujuan melakukan pemberantasan korupsi
5. Foreign Involvement In the Reform Process dalam proses reformasi pihak asing
dilibatkan terutama dalam pengawasan agar tidak terjadi penyalah gunaan
6. Civil Service Reform yaitu melakukan reformasi dalam PNS dengan cara
melakukan renumerasi,downsizing dll

Program-program tersebut menurut Hamilton-Hart dilakukan pada awal reformasi hingga


sekarang, menurut Hamilton-Hart pemberantasan korupsi pada reformasi sekarang bersifat lebih
mengigit.dan menurut dia pemerintahan sekarang juga telah melakukan reformasi yang
fundamental.
Dewasa ini pemberantasan korupsi di Indonesia masih terus berlanjut, dimasa sekarang
pemberantasan korupsi dapat dikatakan lebih sistematis,karena pemerintah telah membuat
Grand Design yaitu Rancangan Nasional Pemberantasan Korupsi, rancangan tersebut di

15
perbaharui tiap tahunnya,namun ada beberapa faktor yang tetap menjadi elemen utama dalam
RAN-PK yaitu16 :

PREVENTION
Improvement of Public Services

• Improve licensing mechanisms in Ministries/Non ministry Bodies that are crucial for
investment (BPKM, Enviroment, Land Agency, Mining,etc)
• Improve public service that heve a big impact on socirty (Education, Health, Labor,
Immigration, Public work, Police, Fisheries, etc)
• Draft government regulation on one stop services in districts/cities

Improvement in the Performance of Governments Services

• Apply Integrity pact on state apparatus involved in delivering public services


• Apply reward and punishment system on delivering public services in crucial
Ministries/Non Ministry Bidies (BPKM, Land Agencies, Health Public Work, Fisheres,
Environment, Police Labor etc.)
• Improve performance accountability system of government officials and institutions

Improvement in the Performance of Public Service Institutions

• Implement pilot “island of integrity” in several/government institutions


• Internalization and application of good governance principles within government
management at national and local levels;
• Internalization and application of good corporate governance principles within State
Owned Enterprise (SOEs) and Regional SOEs

Improvement in Supervision of Government Services

• Increase people’s acces to information about the status of public complaints and increase
service to respond to public complaints.
• Improve reporting, disclosure and investigation of government official wealth report and
increase people’s acces to reports on gratification
• Harmonization and revision of laws and implementing regulations related to supervision
and internal investigation of government institutions

Improvement of State Financial Management System


16
Soren Davisen , Wisnu Juwono, and David G. Timberman, Curbing Corruption in Indonesia 2004-2006, CSI
and USINDO, 2006, hlm. 22.
16
• Application of “integrity pact” on state officialon state officials responsible for
government revenue and the implementation of the state budget
• Improvement of services and audit system on custem and developing e-government in tax
and custom system
• Application of reward and punishement system on tax and customs management
• Revision of law and regulations on tax and customs
Improving Government Goods and Services Procurement System

• Application of “integrity pacts” on officers who have responsibility for goods and
services, procurement, business and other and related players
• Application of the e-procurement system and empowerment of the internal audit
institution of the procurement process
• Revision on laws and regulations in government goods and sevice procurement

Improving Human Resource Management and State Apparatus Mentoring system

• Improving development system of government officials related to appointment,


reassignment and dismissal of position, performance appracial and career development
of law enforcement officers
• Creating databased for the evaluation of integrity and quality of law enforcement officers
in the context for promotion and reassignment
• Improving recruitment system of strategic position at national/ local levels and for law
enforcement officials

Increasing the Awareness and Participation of the people

• Increasing the application for anti-corruption curricula from elementary level of


education through university
• Increasing the participation of public figures and anti-corruption campaigns
• Finishing of the laws/ regulation in related to anti-corruption (freedom of information,
withness protection, public service, governmental administrative procedure etc)

REPRESION
Accelerate the Handling and Execution

• Decide priority sectors for corruption eradication and apply performance indicators of the
handling, existing corruption cases to accelerated the process
• Support an increase in the number of Ad-Hoc judge for the corruption court increase the
coordination between internal and external audit agencies with law enforcement agencies

17
Increase the Capacity of Law Enforcement Official

• Provide asset tracing, legal audit,accounting/ audit forensic and public relation training
• Improve management supervision system on law enforcement institutions
• Continue accelerating the establishment of attorney general commission and police
commission as external supervision institution

Monitoring and Evaluation

• Creation of a monitoring team


• Compile information on the judicial process related to corruption
• Conduct survey on corruption
• Conduct supervision of the implementation of RAN-PK related to the improvement of the
existing law

Dalam sudut pandang teoritis model pemberantasan korupsi di Indonesia lebih berkiblat pada
model Quah,karena model tersebut menekankan bahwa korupsi dapat dilakukan oleh seseorang
apabila terjadi hal – hal berikut:
1. Gaji yang didapatkan rendah.
2. Mempunyai atau diberi kesempatan melakukan korupsi.
3. Menganggap korupsi sebagai suatu perbuatan yang ringan
4. korupsi merupakan hal yang memiliki risiko kecil dengan mendapatkan hasil yang
besar.
Tindakan represi ini juga di dasari dengan adanya UU RI No 7 Tahun 2006, UU RI No 30 Tahun
2002,UU RI No 31 Tahun 1999 ,UU RI No tahun 2001 dan UU RI No 28 Tahhun 1999.

Jika dikaitkan dengan keadaan Indonesia sekarang maka hal tersebut sangatlah cocok,dalam hal
lain upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Indonesia juga mempunyai kesamaan dengan
salah satu model pemberantasan korupsi yang diajukan St Quah yaitu dengan membuat adanya
lembaga independen dan UU yang mengatur tidak pidana korupsi

Model lain yang juga diterapkan dalam model pemberantasan korupsi di Indonesia adalah model
World Bank ,dalam hal ini kita bisa melihat adanya kesamaan model World Bank dengan
rencana yang dilakukan pemerintah

1. Competitive private sector : didalam penerapan poin pertama ini Indonesia


menerapkan adanya privatisasi yang diharapkan mampu menciptakan persaingan

2. Strategi Political Accountability: penerapan poin kedua ini dalam Indonesia


diimplementasikan pada pendirian parpol yaitu dengan adanya pelaporan kekayaan
partai kepada KPU
18
3. Strategi Civil Society Participation: penerapan poin ketiga ini diimplementasikan
pada perumusan UU yang melibatkan LSM
4. Strategi Institutional Restraints on Power: dibentuk lembaga Independen pemberantas
korupsi seperti KPK
5. Strategi Publik Sector Management.: dimplementasikan melalui adanya reformasi
administratif

3.3. IMPLEMENTASI Program Pemerintah dalam rangka melakukan pemberantasan korupsi di


birokrasi (studi kasus depkeu)
3.3.1 Deskripsi kasus

Berawal dari lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Keuangan Negara; UU
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bendahara Umum Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pertanggung-jawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Keuangan Negara, reformasi birokrasi
akhirnya diluncurkan dan Depkeu adalah instansi yang menjadi prototype dalam
menjalankannya.

Bersifat Holding Type Organization, Depkeu mempunyai masalah yang sangat kompleks, selain
itu Depkeu juga sebuah instansi yang strategis dan merupakan instansi yang memiliki kantor
vertikal terbesar dan tersebar di seluruh Indonesia.

Akhir tahun sebelum peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan reformasi


birokrasi resmi dikeluarkan, Depkeu telah merintis reformasi birokrasi di dalam instansinya
sendiri dengan sasaran penataan organisasi, perbaikan proses bisnis dan peningkatan manajemen
sumber daya manusia. Penyempurnaan perencanaan progam reformasi birokrasi yang telah
dirintis 5 tahun mulai menunjukan hasilnya misalnya, program perbaikan proses bisnis melalui
analisis dan evaluasi jabatan telah menghasilkan 5.225 uraian jabatan (job description),
spesifikasi jabatan (job specification), peta jabatan (job map) dan 27 peringkat jabatan (job
grade) di Depkeu.

Program perbaikan proses bisnis melalui penyusunan SOP telah menghasilkan 6.292 SOP di
lingkungan Depkeu.

Dengan tujuan lebih menyukseskan reformasi birokrasi, Depkeu juga menjalankan program
pendukung yaitu Reward & Punishment, Assessement Center yang berfungsi mencari kesesuaian
antara pekerjaan (job) dengan kompetensi SDM, pengembangan Sistem Informasi Manajemen
SDM, penerapan pedoman disiplin, pembentukan Majelis Kode Etik, penyusunan pola mutasi,
dan pelaksanaan pelatihan berbasis kompetensi.

Dengan perencanaan program reformasi birokrasi yang selama ini dijalankan oleh Depkeu
diharapkan peluang korupsi makin turun, budaya kerja menjadi semakin baik dan yang pasti
pelayanan Depkeu sebagai instansi publik terhadap masyarakat semakin baik dan keluhan dari
masyarakat akan berubah serta persepsi masyarakat tentang Depkeu menuju arah yang lebih baik

Sumber:Kompas, Rabu, 16 September 2009


19
3.3.2 Analisis Kasus

Pelaksanaan Reformasi biokrasi yang dilakukan Departemen keuangan tertuang dalam


Keputusan Menteri Keuangan No. 30/KMK.01/2007 tentang reformasi birokrasi di Departemen
Keuangan dan KMK No.31/2007 tentang pembentukan tim reformasi birokrasi di Departemen
Keuangan.

Program reformasi tersebut sudah dirintis sejak akhir tahun 2002, program tersebut pada
dasarnya ditujukan untuk melakukan perbaikan administratif dalam rangka melakukan program
pemberantasan korupsi di Departemen Keuangan.

Reformasi birokrasi tersebut antara lain mencakup :

1. Penataan organisasi
2. Perbaikan proses Bisnis
3. Peningkatan Manajemen SDM

Penataan Organisasi

Penataan Organisasi di departemen keuangan disesuaikan dengan kebutuhan


masyarakat,dan mengikuti perkembangan atau dinamika administrasi publik. Penataan ini
bertujuan untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan fungi-fungsi dan unit yang sudah ada,
penataan organisasi ini meliputi

20
1. Modernisasi organisasi : Mengandung unsur one stop services, check and
balances, tetap mengindahkan independensi, built control, dan didukung oleh
sistem berbasis teknologi informasi
2. Pemisahan Fungsi : Memisahkan fungsi penyusunan anggaran dan pelaksanaan
anggaran
3. Penggabungan Fungsi : Menggabungkan fungsi-fungsi yang sejenis dan koheren
4. Penajaman organisasi : Lebih mempertegas wewenang dan tanggung jawab
diantaranya disebabkan oleh adanya undang-undang baru

Penyempurnaan proses Bisnis

Sebagai organisasi bisnis, Departemen Keuangan berusaha memberikan hasil proses


bisnis yang transparan dan akuntabel, maka untuk mewujudkan hal tersebut Departemen
Keuangan melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Menyusun SOP secara rinci dan komprhensif


2. Melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memproleh gambaran rinci tentang
tugas yang akan dilaksanakan
3. Melakukan analisis beban kerja untuk mengetahui berapa banyak waktu yang
digunakan untuk menyelesaikan suatu tugas

Peningkatan Manajemen SDM

Pengembangan SDM berbasis kompetensi merupakan tujuan pembinaan SDM di masa


depan. Untuk itu, perlu dilaksanakan kegiatan yang mendukung kearah tujuan tersebut yang pada
tahun 2007 berupa :

1. Penyusunan pedoman dan penetapan Pola Mutasi


2. Pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian;
3. Pembangunan Assessment Center;
4. Penyusunan pedoman Rekrutmen
5. Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Dalam sudut pandang paradigma admninistrasi negara, reformasi birokrasi yang


dilakukan Departemen Keuangan pada dasarnya lebih merujuk pada New Public Management.

New Public Management merupakan paradigma yang mengatakan bahwa pelayanan publik
dapat ditingkatkan dengan cara mengadopsi nilai-nilai dari swasta, yaitu dengan cara para
manajernya diberikan suatu kebebasan untuk memanajem dan berkreativitas. Ciri-ciri dari NPM
adalah sebagai berikut17:

1. Pemerintahan katalis; lebih mengarahakan ketimbang mengayuh

17
David E. Osborne and Ted Gaebler,” Mewirausahakan Birokrasi(Edisi Terjemahan)”,PT Pustaka Binaman
PressIndo,1999
21
2. Pemerintahan milik masyarakat; memberdayakan masyarakat daripada melayani Pemerintah
sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang
dapat menolong dirinya sendirinya (self-help community).

3. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik.
Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas
pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa
harus memperbesar biaya.

4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan
menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh
pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil bukan masukan.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan; memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi.


Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Mereka akan
memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat seringkali menjadi
arogan. Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. Ia akan mengidentifikasikan pelanggan yang
sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus akan
berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat.

7. Pemerintahan wirausaha; mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan.


Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya menghasilkan pendapatan dari
aktivitasnya. Padahal, banyakyang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan
pelayanan publik.

8. Pemerintah antisipatif; berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah tradisional yang


birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik, serta
cenderung bersifat reaktif. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba
untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Ia
menggunakan perenca-naan strategis untuk menciptakan visi.

9. Pemerintah desentralisasi; dari hierarki menuju partisipatif dan tim kerja. Lima puluh tahun
yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan
harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komando hingga sampai pada staf yang paling berhubungan
dengan masyarakat dan bisnis. Pada masa itu, sistem tersebut sangat cocok, karena teknologi informasi
masih sangat primitif, komunikasi antar lokasi masih lamban, dan aparatur pemerintah masih sangat
membutuhkan petunjuk langsung. Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan
teknologi sudah sangat maju dan keinginan masyarakat sudah semakin kompleks, sehingga pengambilan
keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya
masyarakat.

10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar; mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar
(sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedurdan
pemaksaan).Manajemen pemer-intahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat
22
berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah
dapat disebut sebagai Manajemen Kewirausahaan.Di dalam doktrin NPM atau Reinventing Government,
pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung
mengutamakan sistem dan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau hasil
kerja.

Dari berbagai point/ciri-ciri NPM diatas,kita dapat melihat bahwa beberapa upaya yang
dilakukan oleh Departemen Keuangan dalam reformasi birokrasi mempunyai ciri yang sama
seperti ciri NPM yaitu sebagai berikut :

1. Adanya penerapan Manjemen prosefional di sektor publik, sehingga memberikan


batasan tugas pokok dan fungsi serta deskripsi kerja yang jelas tentang wewenang dan
tanggung jawab yaitu melalui analisis jabatan dan analisis beban kerja
2. Adanya pengendalian output dan outcome yaitu dengan melakukan Performance
based budgeting system
3. Adanya pemecahan unit-unit kerja di sektor publik,yaitu adanya pembagian
wewenang pada tingkat eselon 1
4. Adanya penerapan persaingan yang kompetitif didalam program reformasi birokrasi
di Departemen Keuangan
5. Diberikannya kebebasan pada tiap-tiap unit untuk mengimplementasikan ketiga pilar
reformasi birokrasi Departemen Keuangan yaitu dengan kebebasan membuat layanan
unggulan

Bagaimana dengan peran administrai pembangunan dalam reformasi birokrasi di


departemen keuangan?, menurut Klitgaard administrasi pembangunan di negara-negara
berkembang mempunyai andil besar dalam pemberantasan korupsi. Namun sayangnya hal
tersebut sering diabaikan. Peran administrasi pembangunan menurut Klitgaard sangat
penting,karena administrasi pembangunan berhubungan langsung dengan fungsi-fungsi
pemerintah,seperti personalia.pengendalian,reformasi administratif,desain organisasi,dan
sebagainya.

Peran administrasi pembangunan jika dikaitkan dengan reformasi birokrasi di


Departemen Keuangan,pada dasarnya berperan sebagai agen perubahan. Karena didalam ruang
lingkup administrasi pembangunan terdapat ruang dua ruang lingkup yaitu administrasi
pembangunan dan pembangunan administrasi. Dalam reformasi birokrasi di Departemen
Keuangan,Administrasi Pembangunan difokuskan pada ruang lingkup pembagunan
administrasi,karena pembangunan administrasi mencakup pembangunan dan peningkatan
kapasitas administrasi dan keahlian (kepegawaian,keuangan,akuntansi,manajemen,perpajakan
dllHal ini sesuai dengan tiga pilar reformasi birokrasi di Departemen Keuangan yaitu : Penataan
organisasi,Perbaikan proses Bisnis dan Peningkatan Manajemen SDM.

Dengan demikian, jelaslah bahwa peran administrasi pembangunan dalam pemberantasan


korupsi di negara-negara berkembang sangat penting. Karena administrasi pembangunan
mempunyai kemampuan khusus yaitu untuk membangun suatu institusi.

23
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Korupsi di Indonesia merupakan permasalahan yang kompleks karena korupsi di


Indonesia telah melibatkan hamper seluruh aktor pemerintah

2. Faktor yang menyebabkan korupsi di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh


rendahnya gaji pegawai dan lemahnya pengawasan

3. RAN-PK berperan penting dalam pemberantasan korupsi

4. Pemberantasan korupsi di Indonesia bersifat preventif dan represif

4.2 Saran

1. Perlu dilakukan evaluasi terhadap RAN PK dalam implementasinya

2. Perlunya adanya sistem yang mengintegrasikan seluruh departemen yang terlibat dalam
rangka implementasi proses RAN PK

24
Daftar Pustaka
Arifianto, Alexander. 2006. Corruption in Indonesia: Causes History, Impacts, and Posiible
Cures
Bahrin. 2004. Dampak Korupsi Terhadap Negara dan Penanggulangannya.Bogor: IPB
Davisen, Soren, Vishnu, Juwono, dan David G. Timberman. 2006. Curbing Corruption in
Indonesia 2004-2006. CSIP and USINDO
Hamzah, Adit. 1985 Korupsi: Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta: Akademika
Presindo
Hamilton-Hart, Natasha. 2001. 67-63. Anti-Corruption Strategies in Indonesia dalam Buletin Of
Indonesia Economic Studie, Vol.37, No.1 (hlm: 65-82) Indonesia: Project ANU
Osborne, David E dan Ted Gaebler. 1999. Mewirausahakan Birokrasi (Edisi Terjemahan).PT
Pustaka Binaman Pressindo
Robertson-Snape, Fiona. 1999. Corruption, Collusion and nepotism in Indonesia, dalam Thirld
Wolrld Quaterly,Vol.20,No.3
Rose-Ackerman, Susan. 1996. The Political Economy of Corruption-cause and consequences.
World Bank
Rose-Ackerman, Susan. Tanpa tahun. The Political Economy Corruption-Causes and
Concequences, Public Policy for The Private Sector. The World Bank, No.74, April 1996
Ulul Albab. 2009. A to Z korupsi. Surabaya:Jaring Pena
http://www.suaramedia.com/berita-nasional/18391-perc-indonesia-negara-terkorup.html

25
http://www.detiknews.com/read/2009/12/02/131911/1252607/10/uang-negara-rp-689-m-raib-
akibat-korupsi-pengadaan-barang-jasa
http://en.wikipedia.org/wiki/Economic_liberalization
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-
ketiga/
siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/.../MOF.pptx
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/09/16/16314224/Depkeu.dan.Reformasi.Birokrsi
www.ti.or.id

26

Вам также может понравиться