Вы находитесь на странице: 1из 13

Statins Meningkatkan Efek Mikobakterisidal Rifampin

Resistensi antimikroba Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis telah menjadi


perhatian selama beberapa tahun terakhir, karena itu dibutuhkan obat-obat baru yang mampu
untuk mengontrol lepra dan tuberkulosis, yang umumnya kebanyakan tuberkulosis resisten
terhadap obat (XDR-TB). Kelompok kami belakangan ini menunjukkan bahwa M. leprae
dapat menginduksi biogenesis lipid dan akumulasi kolesterol pada makrofag dan sel
Schwann, yang memfasilitasi kemampuannya untuk viabilitas dan replikasi. Berdasarkan
hasil ini, kami menginvestigasi efikasi dua statin pada viabilitas mikobakteria intraseluler di
dalam makrofag, seperti efek atorvastatin terhadap inkesi M. leprae pada tikus BALB/c.
Kami mengobservasi bahwa viabilitas mikrobakterial intraseluler berkurang setelah inkubasi
dengan kedua statin, tetapi artovastatin menunjukkan efek inhibitor terbaik ketika
dikombinasikan dengan rifampin. Dengan menggunakan model Shepards, kami
mengobservasi efikasi atorvastatin dalam mengontrol M, leprae dan infiltrat inflamasi pada
telapak kaki tikus BALB/c, dalam kadar kolesterol serum - jalur dependen. Kami
menyimpulkan bahwa statin berkontribusi dalam aktivitas bakterisidal makrofag melawan
Mycobacterium bovis, M. leprae, dan M, tuberculosis. Ini menunjukkan bahwa hubungan
statin dengan multidrug terapi efektif mengurangi viabilitas mikrobakterial dan lesi jaringan
pada pasien lepra dan tuberkulosis, tetapi studi epidemiologi tetap dibutuhkan untuk
konfirmasi.
Tuberkulosis (TB) dan lepra adalah infeksi
kronis
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis
dan
Mycobacterium leprae, yang paling
penting masing-masing adalah patogen
fakultatif dan patogen obligat intraseluler;
keduanya menggunakan makrofag untuk
replikasi dan bertahan, sementara itu M.
leprae juga menginfeksi sel Schwann pada
saraf. Tuberkulosis adalah infeksi bakteri
yang sering terjadi pada manusia,
menyebabkan 1.4 juta kematian di seluruh
dunia pada 2011 (1). Lepra dapat
menyebabkan kerusakan saraf yang
permanen, dan pada 2011, penyakit ini
didiagnosa pada 219,075 pasien di seluruh
dunia, walaupun umumnya tidak fatal.
Tetapi, infeksi M. leprae menyebabkan
12,225 kasus disabilitas motorik dan
deformitas, yang merupakan tanda umum
infeksi ini (2).

Lepra dan TB adala infeksi bakteri


efektif diterapi dengan mutidrug terapi,
tetapi terapi membutuhkan waktu yang
lama: 12 atau 6 bulan untuk lepra
(tergantung keadaan klinis) dan 6 bulan
untuk TB. Kenyataannya, penggunaan
multidrug terapi (MDT) menunjukkan
hasil yang baik dalam mengontrol penyakit
ini (2). Namun, ketaatan terapi adalah
suatu masalah yang penting dimana
munculnya kasus resistensi multidrug
(MDR)
meningkat
dengan
cepat,
khususnya TB. Oleh karena itu, resistensi
M. leprae diamati dengan perhatian besar
selama beberapa tahun terakhir (3). Lebih
dari beberapa dekade terakhir, WHO telah
mengidentifikasi isolasi klinis M. leprae
resisten terhadap rifampin, dapsone, atau
ooxacin dan telah dilaporkan bahwa
jumlahnya semakin meningkat (4).

Sudah diketahuti bahwa setelah


fagositosis M. leprae atau M. tuberculosis
oleh sel inang, terjadi perubahan
metabolisme lipid sel, yang menghasilkan
peningkatan kolesterol dan pengambilan
aliphatic lipid dan sintesis de novo (57).
Parihar dan kawan-kawan (8) belakangan
mendemonstrasikan
bahwa
reduksi
kolesterol dengan statins mengurangi
viablititas M. tuberculosis secara in vitro
dan in vivo, sebuah strategi sudah
diusulkan di dalam literatur (9).
Remodeling metabolis karena infeksi
mikobakterial
berperan
dalam
meningkatkan jalur sistemik lipid dalam
kelas yang berbeda, sebagai contoh pada
studi metabolomik serum pasien lepra,
terdapat
korelasi
antara
indeks
bacilloscopy (BI) (jumlah basil pada
sampel biopsi kulit ditampilkan dalam
skala logaritma dari 0 hingga 6) dan
peningkatan beberapa asam lemak tidak
jenuh dan fosfolipid, seperti asam
arakidonat, asam eikosapentaenoat, dan
asam dokosaheksanoat (10). Kelompok
kami
juga
mendemonstrasikan
peningkatan ester kolesterol pada sampel
biopsi kulit multibasiler dibandingkan
dengan
pausibasiler
(11).
Sebagai
tambahan, telah ditunjukkan bahwa M.
leprae menekan degradasi lipid melalui
hambatan ekspresi hormon-sensitif lipase,
menyebabkan terjadinya akumulasi lipid
pada sel yang terinfeksi (12), dan proses
ini berperan penting sebagai pertahanan
bakteri (11). Walaupun hanya dua lipase
dan satu fosfolipase yang dikodekan oleh
genomnya, belakangan analisis proteomik
mengindikasikan sebuah siklus asam
glikosilase aktif pada M. leprae, dimana
oksidasi asam lemak beta menghasilkan
suksinat untuk sintesis karbohidrat (13,14).
Karena alasan tersebut, metabolisme lipid
inang menggambarkan mekanisme penting

bakteri
untuk
menyebabkan
dan
meningkatkan infeksi. Hal ini lebih sering
ditunjukkan oleh M. tuberculosis, yang
menghasilkan sejumlah besar coding gen
yang terlibat dalam lipogenesis dan
lipolisis (15). Kontroversial, banyak gengen ini merupakan pseduogen genom M.
leprae (14). Sepertinya hampir lebih
banyak, enzim-enzim berasal dari sel inang
melengkapi gen bakteri, seperti yang
digambarkan oleh
penelitian
yang
mendeskripsikan induksi lipase dan
fosfolipase selular oleh infeksi pada
jaringan pasien lepra (16). Walaupun
metabolisme kolesterol masih belum
dimengerti dengan jelas pada M. leprae,
akumulasi pada dinding sel
M.
tuberculosis
sebelumnya
tampaknya
berperan untuk menurunkan permeabilitas
rifampin bertanda tritium secara in vitro
(17), hal ini juga berperan pada
mikobaterial untuk menghindar dari fusi
vakuolar makrofag dan respon imun (18);
ini menggambarkan sumber karbon
penting dalam mengaktifkan interferon
gamma (IFN-) makrofag in vitro (19).
Berdasarkan akumulasi data mengenai
peran kolesterol dan lipid sebagai
pertahanan intraseluler mikobakteria, pada
penelitian ini, kami menginvestigasi
penggunaan statin untuk mengontrol
infeksi M. Leprae baik secara in vitro dan
in vivo. Statin adalah kelompok obat yang
banyak digunakan sebagai terapi penyakit
aterosklerosis kardio vaskular yang
diinduksi oleh kolesterol. Secara struktural
obat ini merupakan analog mevalonate
yang dapat menghambat kerja enzime 3hydroxy 3-methyl-glutarylcoenzyme A
(HMG-CoA) reduktase, yang berperan
dalam sintesis kolesterol pada mamalia.
Umumnya obat ini digunakan sebagai
terapi hiperkolesterolemia, statin dikenal

sebagai
obat
imunomodulator,
meningkatkan efek pleiotropik pada
gangguan imun (20, 21). Dengan
mengurangi availibilitas kolesterol dalam
lingkungan
intraselular,
kami
mengantisipasi
pengurangan
jumlah
mikobakterial dan multiplikasi dalam sel
inang.
Pada penelitian kami ini, kami menguji
aktivitas dan efek aditif rifampin dalam
hubungannya
dengan
dua
statin,
atorvastatin dan simvastatin, dalam
mengontrol M. leprae dan M. tuberculosis
pada model infeksi makrofag secara in
vitro dan model infeksi M. leprae pada
telapak kaki tikus Shepard secara in vivo.
Kami mendemonstrasikan bahwa kedua
statin menginduksi efek bakterisidal pada
infeksi M. tuberculosis dan M. leprae.
Efek bakterisidal diobservasi pada sel yang
terinfeksi M. leprae berhubungan dengan
tangkapan fagosomal, dan kombinasi statin
dengan rifampin secara drastis mengurangi
infiltrasi selular pada model telapak kaki
tikus.
BAHAN DAN METODE
Kultur sel. Sel THP-1 diperoleh dari
American Type Culture Collection (ATCC)
dan dipelihara dalam media RPMI 1640
(LCG Bioscience, So Paulo, Brazil),
ditambah dengan 10% fetal bovine serum
(Cultilab, Campinas, SoPaulo, Brazil),
tanpa antibiotik. Kultur dijaga pada suhu
37C atau 33C dengan kelembapan
atmosfer 5% CO2. Diferensiasi monosit
dengan makrofag didapat dari paparan sel
dengan 200 ng/ml phorbol 12-myristate
13-acetate (PMA) (Sigma, St. Louis, MO)
selama 24 jam.
Strain mikobakterial dan pewarnaan.
M.leprae hidup didapatkan dari telapak

kaki tikus athymic nude (nu/nu) yang


diproduksi di Lauro de Sousa Lima
Institute, Bauru, So Paulo, Brazil. M.
leprae didapatkan dengan disinfeksi-iodine
telapak kaki bagian belakang. Secara
singkat, kulit dan tulang disingkirkan, dan
jaringan dipotong menjadi bagian kecil
dengan gunting dan dicampur dengan
larutan 170 unit kolagen tipe I, 2 unit
dispase (Life Technologies, NY), 5 mg/ml
ampicillin (Sigma, St. Louis, MO), dan
150 unit DNase (Life Technologies)
selama 2 jam pada suhu 33C. Jaringan
yang sudah dicampur di homogenisasi
dengan vortex dan dibilas tiga kali dengan
air, satu kali dengan 0.1 N NaOH, dan satu
kali dengan media RPMI, disentrifugasi
pada 10,000 x g selama 5 menit, dan
dihitung dengan acid-fast staining (Ziehl
Neelsen kit; Becton Dickinson). Sebagian
suspensi M. leprae di sterilisasi dengan
iradiasi gamma di Aceltron Facility (Rio
de Janeiro, Brazil). M. bovis strain BCG
Pasteur
(ATCC
35734)
dan
M.
tuberculosis strain H37Rv dikembang
biakan pada suhu 37 Cin Middlebrook
7H9 media dasar kaya ADC (Becton
Dickinson, Franklin Lakes, NJ), ditambah
dengan 0.2% gliserol dan 0.05% Tween 80
(Sigma).
Determinasi viabilitas M. tuberculosis
dan M. bovis BCG Pasteur. Viabilitas M.
tuberculosis dan M. bovis BCG ditentukan
setelah 2 x 105 THP-1 sel yang diinfeksi
dan didiferensiasi ke dalam makrofag,
setelah 24 jam, sel-sel ini diinfeksi dengan
M. tuberculosis atau M. bovis BCG pada
multiplikasi infeksi (MOI) 10:1 atau 50:1,
masing-masing, selama 72 jam pada suhu
37C. Kultur ini kemudian dicuci dan
disintegrasi dengan 0.1 % Triton X-100
inphosphate-buffered saline (PBS) selama
10 menit. Jumlah bakteri yang hidup

intrasel dinilai secara dilusi serial


disintegrasi dan pembibitan pada media
Middlebrook 7H10 dengan 10% oleic
acid-albumin-dextrose-catalase (OADC),
dengan determinasi CFU setelah 1 bulan
inkubasi pada suhuh 37C.
Determinasi viabilitas M. leprae.
Kami menggunakan dua metode untuk
menentukan viabilitas M. leprae. Yang
pertama adalah protokol pewarnaan
uorimetric
LIVE/DEAD
yang
dideskripsikan di tempat lain (22)
menggunakan peralatan viabilitas bakterial
LIVE/DEAD
BacLight
(Life
Technologies,
CA),
ditampilkan
berdasarkan intruksi manufaktur, untuk
memastikan persiapan viabilitas basil dari
tikus nude selalu >85%; hasil yang
sebaliknya, akan dibuang. Metode kedua
adalah pendekatan molekular yang
dideskripsikan di tempat lain (23) untuk
menentukan viabilitas M. leprae pada
kultur selular, dimana nilai mRNA M.
leprae labil dinormalkan dengan by DNA
yang sangat stabil. Secara singkat, 2 x 105
sel THP-1 didiferensiasikan ke dalam
makrofag dalam 24 jam inkubasi dengan
200 nM PMA. Setelah waktu tersebut, sel
dibilas untuk disimpan. Setelah 24 jam
penyimpanan, sel diinfeksi dengan M.
leprae pada MOI 10:1. Setelah diuji
dengan waktu infeksi yang berbeda, kami
mengobservasi bahwa setelah 7 hari
infeksi dihasilkan hasil analisis viabilitas
yang paling konsisten. Setelah 1 minggu
infeksi, RNA dan DNA M. leprae
diekstrasi menggunakan reagen TRIzol
(Invitrogen, CA) dalam tabung FastPrep24 (MP Biomedicals, CA), seperti yang
telah dideskripsikan sebelumnya (23).
Pada persiapan RNA, DNA dihilangkan
menggunakan peralatan Turbo DNA-free
(Ambion, CA). RAN M. leprae

ditranskirpsikan terbalik menggunakan


random primer dan SuperScript III
berdasarkan
instruksi
manufaktur
(Invitrogen). Jumlah 16S rRNA, mRNA,
dan DNA M. leprae ditentukan dari kultur
makrofag dengan real-time reverse
transcription-PCR
(RT-PCR),
menggunakan pasangan primer : sense, 5GCA TGTCTTGTGGTGGAAAGC-3 dan
antisense,
5CACCCCACCAACAAGCTGAT-3.
Seluruh sampel menggambarkan nilai
cycle threshold (CT) antara 20 dan 28.
Seratus persen viabilitas secara bebas
diasumsikan sebagai 2-CT sampel kontrol
yang terinfeksi, dan seluruh nilai lainnya
dinormalkan sebagai persentasi ini. Rekasi
yang ditampilkan dalam sistem deteksi
sekuens ABI StepOnePlus (Applied
Biosystems,CA).
Ekstrasi lipid dan analisis. Total 8 x
105 sel THP-1 didiferensiasikan ke dalam
makrofag seperti yang telah dijelaskan di
atas, diinfeksi dengan M. leprae pada MOI
10:1, dan diberi 2 M simvastatin selama
1 minggu. Kultur kemudian dibilas dua
kali dengan PBS, dipisahkan, dan
dihomogenkan dengan tiga freeze-thaw
siklus. Total jumlah kolesterol ditentukan
menggunakan Amplex red cholesterol
assay kit (Invitrogen, CA), berdasarkan
intruksi manufaktur. Total nilai kolesterol
digambarkan sebagai g total kolesterol
per mg protein.
Fluoresen mikroskopik. Sel THP-1
ditempatkan dalam 24-piringan yang
memiliki penutup pada densitas 2 x 105
sel/piringan dan diterapi dengan statin
selama 24 jam. Untuk menentukan ratarata infeksi dalam sel yang diterapi dengan
statin, kultur dipaparkan dengan M.leprae
yang telah diiradiasi pewarnaan dengan

PKH26 uoresen merah, seperti yang telah


dideskripsikan di tempat lain (24), pada
MOI of 10:1 selama 5 jam, waktu yang
diketahui cukup untu menginfeksi satu-tiga
sel THP-1 cells dengan M. leprae pada
MOI. Setelah itu, media dibersihkan
dengan mencucinya di dalam PBS, dan sel
diikat dalam paraformaldehyde 4%
(wt/vol) pada suhuh 4C selama 20 menit.
Gambar-gambar diambil pada mikroskop
fluoresen Zeiss Axio Observer, dimana 10
lapang dari tiga replikasi biologis
dianalisis.
Untuk immunocytochemistry dengan
mikroskop confocal, kultur diinfeksi
dengan M.leprae hidup pada MOI 1:10
selama 24 jam, waktu yang diketahui
cukup
untuk
mengobservasi
M.
tuberculosis lepas dari fagosom (25). Slide
permeabel dan diblok dengan inkubasi
0.01% TritonX-100 selama 30 menit dan
10% fetal bovine serum dalam PBS (pH
7.2). Sel-sel diinkubasi selama 2 jam
dengan
antibodi
IgG
antilipoarabinomannan (anti-LAM) kelinci
(1:50 [vol/vol]), yang didonasikan oleh
John S. Spencer (BEI Resources
Repository,
NIAID,
NIH),
untuk
mengidentifikasi M. leprae, dan IgG antihuman Rab7 tikus (1:500 [vol/vol];
Abcam, MA) untuk mengidentifikasi
endosom akhir. Konjugasi antibodi kedua
dengan Alexa Fluor 488 (IgG anti-tikus)
and Alexa Fluor 555 (IgG anti-kelinci)

(Invitrogen,CA) diinkubasi dengan samoel


selama 2 jam. Slide kemudian diobservasi
dalam LSM 710 confocal laser scanning
microscope (Carl Zeiss, Heidenheim,
Germany). Kami menganilisis 100 sel dari
tiga replikasi biologis, merencanakan
persentase
fagosom
akhir
yang
+
mengandung M. leprae (Rab7 vesicles).
Tes efikasi artovastatin melawan M.
leprae secara in vivo pada tikus Shepard
BALB/c. Suspensi yang mengandung 1 x
104 sel M. leprae hidup dalam 10 l
diinokulasi dalam setiap telapak kaki
bagian belakang tikus BALB/c, seperti
yang dideskripsikan pada model Shepard.
Satu bulan setelah inokulasi, tikus dibagi
menjadi 6 kelompok. Kelompok kontrol
diinokulasi dan tidak diterapi; dua
kelompok lainnya diterapi dengan
atorvastatin dengan dosis 40 and 80 mg/kg
berat badan/hari dalam makanan. Tiga
kelompok lainnya mendapat rifampin 10
mg/kg, rifampin 1 mg/kg dengan gavage
setiap minggu, atau rifampin 1 mg/kg berat
badan dan atorvastatin 80 mg/kg berat
badan/hari dalam makanan. Tikus-tikus
tersebut diterapi selama 5 bulan. Enam
bulan setelah inokulasi, masing-masing
tikus diuji dan kedua telapak kaki dipotong
satu dimaserasi untuk menghitung basil,
dan sisi kontralateral difiksasi dalam 10%
buffered formalin, parafnized, dan
dipotong untuk pemeriksaan histopatologi
dengan hematoxylin dan eosin dan

pewarnaan FiteFaraco untuk acid-fast


bacilli (AFB).
Determinasi kolesterol dan aktivitas
transaminase pada plasma tikus. Setiap
tikus BALB/c diuji dengan anestesi, dan
plasma dikumpulkan dalam heparin secara
langsung dari jantung. kolesterol, aspartate
aminotransferase (AS), dan alanine
aminotransferase
(ALT)
dihitung
menggunakan assay kit Bioclin/Quibasa
(Belo Horizonte, Minas Gerais, Brazil),
berdasarkan instruksi manufaktur.
Analisis statistik. Seluruh data numerik
dianalisis menggunakan uji nonparametrik
Kruskal-Wallis dan postest Dunn untuk
membandingkan
kelompok
yang
berhubungan, dengan GraphPad Prism
software.
Kode Etik. Protokol pada hewan
berdasarkan the animal care guidelines
dari National Institutes of Health dan
disetujui oleh Animal Welfare Committee
Sagrado Corao University (So Paulo,
Brazil).

HASIL
Viabilitas mikobakterial berkurang
dengan
statin.
Karena
akumulasi
kolesterol pada dinding sel M. tuberculosis
berhubungan
dengan
penurunan
permeabilitas rifampin secara in vitro (17),
kami memiliki hipotesis bahwa hambatan
sintesis kolesterol de novo mungkin tidak
hanya membunuh mikobakteria dengan
deprivasi karbon tetapi juga membuat
bakteri lebih rentan terhadap rifampin.
Lebih dulu kami mengobservasi
potensial atorvastatin dan simvastatin
dalam mengontrol infeksi mikobakterial

THP-1 secara in vitro. Setelah 72 dam


infeksi, kedua atorvastatin dan simvastatin
dapat menginaktifkan BCG intrasel pada
model dependen-dosis (Gb. 1A). Dengan
dosis yang lebih tinggi (2 M), kedua obat
dapat mengurangi jumlah viabilitas basil
intrasel sekitar 75%, dan atorvastatin
menunjukkan efek aditif dalam kombinasi
dengan 1 g/ml rifampin. M. tuberculosis
memiliki respon yang serupa terhadap
statin seperti BCG, terjadi reduksi
viabilitas perilaku dependen-dosis (Gb.
1B). Satu perbedaan antara BCG dan M.
tuberculosis sadalah kelompok patogen,
efek aditif statin dengan rifampin tampak
pada kedua kombinasi (1 g/ml rifampin
ditambah 0.2 M atorvastatin atau
simvastatin), dengan nilai P <0.05.
Kami menentukan viabilitas M. leprae
dengan RT-PCR, metode yang paling
sensitif, dipilih berdasarkan capasitasnya
untuk menentukan viabilitas basil dalam
jumlah kecil (106) (23). Setelah 1 minggu
infeksi pada suhu 33C, jumlah kopi RNA
M. leprae, dimana secara cepat mengalami
degradasi setelah inaktifasi basilus, diukur
setelah
normalisasi.
Seperti
yang
ditunjukkan pada Gb. 1C, kedua
atorvastatin dan simvastatin menyebabkan
efek bakterisidal dependen-dosis. Pada
hasil ini juga, hanya atorvastatin yang
menunjukkan
efek
aditif
ketika
dikombinasi dengan rifampin (0.1 g/ml
rifampin ditambah 0.2 M atorvastatin).
Tidak ada efek ini yang berhubungan
dengan sitotoksik statin (lihat Gb. S1 pada
bahan tambahan).
Terapi statin tidak mengubah invasi
mikobakterial. Untuk mengobservasi
apakah statin dapat mereduksi nilai
kolesterol pada model kami dan melalui
mekanisme pencegahan infektivitas

mikobakterial sebagai ganti mengurangi


viabilitas mikobakterial, kami memberi
terapi sel THP-1 selama1 minggu dengan 2
M simvastatin. Kelompok ini juga
menunjukkan bahwa pada
sel yang
terinfeksi M. leprae mengakumulasi
kolesterol sebagai badan lipid melalui
sinyal Toll-menyerupai reseptor 2/6
(TLR2/6) (7). Pada penelitian ini, kami
mengobservasi bahwa simvastatin dapat
mencegah sel yang terinfeksi M. leprae
dari akumulasi kolesterol, menjadi nilai
koleterol normal (Gb. 2A). Karena
pentingnya 9-O-acetyl GD3, ikatan
kolesterol-ganglioside terletak di dalam
ikatan lipid selular, untuk incasi M. leprae
pada
sel
Schwann
yang
sudah
didemonstrasikan oleh kelompok kami
(26), kami menginvestigasi jika perubahan
nilai kolesterol yang diobservasi pada sel
yang diterapi dapat mengganggu abilitas
M. leprae terhadap sel yang diinfeksi.
Kami mengobservasi rata-rata infeksi
antara yang tidak diterapi dengan sel yang
diberi terapi statin menggunakan iradiasi
pewarnaan PKH26 M. leprae dan
menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan (Gb. 2B hingga F). Oleh karena
itu, kami menyimpulkan bahwa lebih
sedikit jumlah mikobakteria yang setelah
terapi dengan statin bukan berdasarkan

mortalitas sel THP-1 atau perbedaan laju


infeksi.
Statin meningkatkan ikatan antara
M. leprae dan endosom. Kolesterol juga
berperan dalam kemampuan mikobakteri
untuk terbebas dari fagosom,
yang
bertugas sebagai pengikat early secretory
antigenic target 6 (ESAT-6), sekresi
protein mikobakterial dapat merusak
membran sel dan menyebabkan bebasnya
mikobakteria ke dalam sitosol (A. B.
Robottom Ferreira dkk., data tidak
dipublikasi)
(27).
Penulis
lain
menunjukkan bahwa hanya pada deplesikolesterol makrofag dapat melakukan fusi
fagosom
yang
mengandung
Mycobacterium avium dengan lisosom,
menghasilkan fagolisosom (18). Sebagai
tambahan,
belakangan
ini
didemonstrasikan bahwa makrofag yang
diisolasi dari tikus yang diterapi
simvastatin lebih efisien membunuh M.
tuberculosis melalui maturasi fagosomal
andautofagi (8). Ini menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan Rab7 dari
fagosom M. tuberculosis, yang terjadi
sekitar 6 jam,
yang penting untuk
menyeimbangkan lingkungan fagosom,
yang matur menjadi fagolisosom setelah
fusi dengan lisosom (25). Meguatkan

literatur, kami menunjukkan hubungan


yang dekat antara transien fagosom
protein membran Rab7 dengan M. leprae
lipoarabinomannan (LAM) dengan jarak
fagosom 24 jam setelah terapi statin pada
sel yang diinfeksi. Kami mengobservasi
Rab7 dan LAM yang dikolokalisasi
dengan fagosom 24 jam setelah infeksi M.
leprae hanya sel THP-1 yang diterapi

dengan statin (Gb. 3A, panah dan sisipan).


Simvastatin menginduksi kolokalisasi
mikobakterial LAM/Rab7 lebih tinggi
dibandingkan dengan artovastatin, dan
efek bakterisidal melawan M. leprae lebih
tinggi, seperti yang ditunjukkan dalam Gb.
1C. Bagaimanapun, karena atorvastatin
memiliki efek yang serupa bila diberi dosis
yang lebih tinggi (2 M) dan obat ini

adalah satu-satunya yang memiliki efek


aditif
dalam hubungannya
dengan
rifampin, kami memlih obat ini untuk tes
in vivo.
Atorvastatin
sinergis
dengan
rifampin dalam efek antibakterial
secara in vivo. Berdasarkan penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa
deposisi kolesterol pada dinding sel
mikobakterial menghambat permeabilita
srifampin (17), hipotesis kami adalah
apakah aplikasi statin pada
terapi
tuberkulosis dan lepra berperan dalam
hubungannya dengan multidrug terapi.
Untuk alasan ini, kami mengevaluasi
apakah atorvastatin dapat meningkatkan
potensi rifampin secara in vivo. Untuk
menguji ini, kami menginfeksi telapak kai
tikus BALB/c dan, setelah 1 bulan infeksi,
tikus secara subjektif mendapat 5 terapi
berbeda selama 5 bulan (Gb. 4). Setelah 6
bulan, atorvastatin sendiri dengan dosis
tinggi (80 mg/kg/day) efektif mengurangi
replikasi M. leprae (Gb. 4A, segitiga).
Sebagai tambahan, hanya kelompok yang
diterapi denga atorvastatin dosis tinggi
yang menunjukkan reduksi nilai kolesterol
plasma yang signifikan (Gb. 4B). Yang
lebih
menarik,
atorvastatin
dikokmbinasikan dengan rifampin (1
mg/kg/week) menginduksi penurunan
yang lebih besar dibandingkan dengan
penggunaan rifampin sendiri (P <0.01).
kami juga mendemonstrasikan bahwa tidak
ada terapi yang meningkatkan kerusakan

jaringan muskular atau menyebabkan efek


hepatotoksisk (Gb. 4C dan D). Kami
memeriksa apakah atorvastatin dosis tinggi
dapat tidak hanya mencegah infeksi tetapi
juga mengeliminasi infeksi yang sudah ada
selama 4 bulan pada tikus Foxn1nu (nude).
Setelah
terapi
1
bulan,
kami
mengobservasi bahwa 2 dari 3 tikus nude
yang diterapi memiliki jumlah kematian
basil yang lebih tinggi yang didapatkan
dari telapak kakinya (data tidak
ditampilkan).
Hasil histologis dari telapak kaki
kontralateral kelompok tikus yang sama
dianalisis dalam Gb. 4 ditunjukkan dalam
Gb. 5. Seperti yang terlihat dengan
pembesaran yang lebih tinggi, kelompok
hewan yang tidak diterapi (Gb. 5A dan B,
asterisks) menunjukkan
inglamasi
makrofag yang predominan menginfiltasi
ke dalam dermis, sekitar pembuluh darah,
dan
mengenai serat otot skeletal.
Makrofag menunjukkan bentuk sel aktif,
dengan sitoplasma eosinofilik dengan
nukelus bulat atau oval yang mengandung
satu atau lebih nukleolus. Terdapat
sejumlah kecil limfosit, jarang neutrofil
,dan
eosinofil
bercampur
dengan
makrofag. Indeks basilokopik (ditentukan
dengan Fite-Faraco stain) tinggi, 5/6+,
dengan basil berfragmen di dalam
distribusi makrofag yang iregular di
seluruh perluasan infiltrasi inflamatori.
Pada beberapa area Gb. 5F (1
mg/kg/minggu rifampin), dapat dilihat

bahwa infiltat tersusun atas granuloma


yang regresi, tampak berupa vakuola

Dukungan ini penting dan seperti yang


telah dijelaskan sebelumnya keuntungan
efek pleiotropik statin dan peran
imunomodulatornya,
yang
mungkin
berperan dalam mereduksi kerusakan
jaringan oleh terapi statin dalam infeksi
tuberkulosis pada hewan (8, 21), adalah
efek yang diinginkan dalam mengontrol
inflamasi dan kerusakan jaringan pada
lepra.

DISKUSI

makrofag dan nukleus tanpa nukleolus,


yang dikenal dengan limfosit. Gambar 5G
dan H (1 mg/kg/minggu rifampin ditambah
80 mg/kg/hari atorvastatin) dan I serta J
(10 mg/kg/minggu rifampin) menunjukkan
infiltrat inflamasi yang kecil dan berlainan,
yang terdiri dari pre dominan jaringan ikat
longgar yang mengandung makrofag di
dermis dan area perivaskular dan
menyertai serat otot skeletal. Granuloma
mengalami regresi, dan beberapa serat otot
menunjukkan area perbaikan. Indeks
basiloskopi (Fite-Faraco stain) lebih
rendah, hanya 2+, dengan multifragmen
basil di dalam makrofag yang lemah.

Kelompok
kami
belakangan
mendeskripsikan mekanisme M. leprae
menginduksi formasi droplet lipid dalam
makrofag dan sel Schwann (5, 7, 28), yang
menunjukkan bahwa derivat kolesterol-sel
induk menggambarkan komponen lipid
mayor
di
dalam
organel-organel.
Pentingnya lipid dalam
metabolisme
energi M. leprae didukung dengan
prevalensi gen yang tinggi termasuk
anabolime
dan
katabolisme
lipid,
meskipun sebagian besar reduksi evolusi
terjadi pada genomnya, yang memproduksi
kelompok gen hewan yang penting untuk
pertahanan (14). Hal ini ditunjukkan pada
penelitian in vitro bahwa akumulasi
kolesterol sel induk pada dinding sel M.
tuberculosis
berhubungan
dengan
penurunan permeabilitas terhadap rifampin
(17); ini memungkinkan penjelasan untuk
efek aditif yang diobservasi antara statin
dan
rifampin.
Hipotesis
bahwa
mikobakterial HMG-CoA reduktase dapat
dihambat dengan statin tidaklah valid,
karena kemiripan M. tuberculosis dengan
enzim manusia sebesar 40%. Lebih dari
itu, enzim ini tidak diekspresikan pada M.
leprae, yang menunjukkan sensitifitas
yang serupa terhadap statin seperti pada
M. tuberculosis dan BCG. Yang lebih

penting, konsentrasi atorvastatin dan


simvastatin yang lebih tinggi digunakan
pada penelitian ini (2 M) gagal
membunuh M. tuberculosis H37Rv yang
dikembangbiakan dalam media 7H9.
Sementara itu, hasil yang diobservasi pada
sel THP-1 yang diinfeksi tidak dapat
diduga berasal dari sitotoksisitas statin,
karena viabilitas selular tidak diubah di
semua kondiso yang dilakukan pada
penelitian (lihat Gb. S1 dalam bahan
tambahan). Berdasarkan efek statin yang
diisolasi melawan mikobakteria di dalam
makrofag, efek yang lain harus
dipertimbangkan.
Sebagai
contoh,
metabolisme M. tuberculosis yang diisolasi
dari paru-paru tikus yang terinfeksi
merangsang asam lemak dan lungs tidak
berespon terhadap karbohidrat (29), dan
menghasilkan mutan M. tuberculosis
dengan mutants yang menyingkitkan
beberapa enzim termasuk enzim yang
berperan dalam metabolisme kolesterol,
seperti KshA, KshB, FadA5, ChoD, dan
KstD, menyebabkan infeksi tikus dan
makrofag
menjadi
tidak
efisien,
menunjukkan hubungan pivotal jalur ini
terhadap
infeksi
tuberkulosis
dan
keberadaannya di dalam sel inang(3033).
Karena statin menghasilkan stres oksidatif
dalam hepatosit (34), kami mengukur
produksi nitrat dan mengobservasi tidak
ada perbedaan signifikan diantara seluruh
kondisi yang digunakan dalam penelitian
kami (lihat Gb.S2 dalam bahan tambahan).
Oleh karena itu, kami juga menyingkirkan
kemungkinan
bahwa
statin
dapat
membunuh
mikobakteria
dengan
meningkatkan stres oksidatif pada
penelitian ini. Hipotesis lainnya, berbeda
dengan restriksi karbon, yang mungkin
menjelaskan efek mikobakterisidal statin,
seperti kapasitas statin mengganggu
kaskade sinyal yang berasal dari simpanan

lipid, fenomena ini digambarkan dalam


limfosit T (35). Belakangan, Parihar dan
kawan-kawan (8) menunjukkan bahwa
statin dapat mengontrol infeksi M.
tuberculosis, dan mereka berasumsi bahwa
efek ini berhubungan dengan simpanan
fagolisosom M. tuberculosis. Kami
menyimpulkan bahwa atorvastatin dan
simvastatin menunjukkan efek yang serupa
pada
penelitian
ini,
menunjukkan
efektivitas
melawan
BCG,
M.
tuberculosis, dan M. leprae yang
dikembalinkan oleh mevalonat, produk
HMG-CoA reduktase, yang ditunjukkan
pada Gb. 1. Kami berhasil mengobservasi
M. leprae dan hubungan peningkatan
endosom matur setelah terapi statin (Gb.
3). Ini dengan jelas ditunjukkan bahwa
mekanisme
yang
digunakan
M.
tuberculosis untuk lepas dari kompartemen
endosom meliputi ekpresi kompleks
protein, seperti ESX-1, yang berperan
dalam transpor protein yang terjadinya
ikatan membran kaya kolesterol, seperti
ESAT-6, yang berperan dalam destabilisasi
dan ruptur membran (27). Statin secara
efisien mencegah induksi inhibisi-M.
tuberculosis
oleh maturasi fagosomal
makrofag (8). ESAT-6 juga diekspresikan
oleh M. leprae selama infeksi THP-1
(Robottom-Ferreiraetal.,
data
tidak
dipublikasi). Walaupun simvastatin tidak
dapat mengurangi jumlah kolesterol pada
sel yang terinfeksi dibawah kontrol, kami
memiliki hipotesis bahwa pencegahan
akumulasi kolesterol ini diinduksi oleh M.
leprae dalam sel THP-1 yang diterapi
untuk menghambat kerusakan fagosom
ESAT-6,
yang matur pada endosom
dengan
simpanan
mikobakteria
di
dalamnya (Gb. 3, sisipan).
Penelitian in vivo kami mendukung
temuan in vitro, dengan perbedaan yang

signifikan dari kelompok kontrol yang


diobservasi pada tikus yang mendapat
statin dosis tinggi (80 mg/kg) dalam diet
mereka sehari-hari. Dosis yang serupa
pada manusia 390 mg/hari untuk dewasa
60-kg (36). Dosis atorvastatin yang sangat
tinggi
dapat
dicegah
jika
kami
menggunakan
gavage
atau
injeksi
intraperitoneal harian sebagai rute
pemberian, tetapi ini tidak praktis selama
periode terapi 5 bulan. Hasil ini dapat
dimanfaatkan untuk penelitian di masa
mendatang.
Bersama-sama,
hasil
kami
menunjukkan
bahwa
statin
dapat
menginaktivasi M. leprae dan M.
tuberculosis secara in vitro, sebaik efek
antimikroba rifampin melawan kedua
patogen. Kita dapat melihat bahwa
kombinasi
atorvastatin-rifampin
menghasilkan hasil yang berbeda dengan
penggunaan obat tersebut secara terpisah,
meningkatkan
efek
mikobakterisidal
rifampin (Gb. 1 dan 4A) serta mengurangi
respon inflamasi dan kerusakan jaringan
(Gb.5G dan H). Kami percaya bahwa
penurunan
viabilitas
M.
leprae
berhubungan dengan pengurangan infiltrat
inflamasi yang diobservasi pada Gb.5,
tetapi penurunan saja tidak dapat
menjelaskan semuanya, karena viabilitas
diobservasi dalam dua kondisi, rifampin
saja dan kombinasi rifampin- atorvastatin,
hanya menunjukkan perbedaan yang kecil,
karena penurunan infiltrat inflamasi lebih
menunjukkan bukti.
Penurunan infiltrat inflamasi yang
diobservasi pada Gb. 5 dapat menjelaskan

bagaimanan efek peliotropik statins juga


dijelaskan di dalamnya (20, 21, 3739).
Penelitian belakangan ini menunjukkan
bahwa statin dapat bermanfaat untuk terapi
penyakit autoimun terkait sel-T (40),
berdasarkan hubungan kolesterol dalam
keseimbangan ikatan lipid dan perannya
dalam aktivasi sel-T (41). Dengan
mengurangi isoprenoid, statin juga
menghambat prenilasi protein, memblok
GTPase Ras superfamily tethering
kecildan aktivitas (42), menyebabkan
inhibisi aktivasi sel-T (43), ambilan
antigen, proses, dan presentasi oleh
antigen-presenting cells, yang dikenal
sebagai imaturitas (44).
Efek
pleiotropik
imunomodulator
kombinasi statin dan rifampin mungkin
bermanfaat untuk menghambat episode
reaksi selaam terapi. Kombinasi statin
dengan MDT mungkin mengurangi
terjadinya episode reaksi, yang ditandai
dengan aktivasi mendadak respon imun sel
inang dengan nilai tumor necrosis factor
alpha (TNF-) yang tinggi, yang terjadi
hampir pada setengah pasien yang
mendapat terapi (45). Penggunaan statin
untuk mengontrol mikobakteriosis dapat
mengurangi biaya, eficien dan cara
tercepat untuk
memastikan seluruh
kelompok obat baru sebagai terapi
tuberkulosis dan lepra, yang menjadi
sangat tidak penting bila digunakan
dengan regimen MDT pada golongan
mikobakterial yang resisten MDR atau
extensively drug-resistant (XDR).

Вам также может понравиться