Вы находитесь на странице: 1из 7

A.

Bukti Audit (Audit Evidence)


Bukti audit adalah semua informasi yang digunakan oleh auditor dalam
pembuatan kesimpulan (opini) dibuat.
Semua keterampilan pemeriksaan pada hakikatnya diarahkan untuk menyajikan
bukti (audit evidence) yang relevan dalam rangka menggambarkan temuan
pemeriksaan (audit finding).
Secara garis besar bukti audit dapat dibedakan kedalam 3 kategori, antara lain:
1. Physical Evidence (bukti fisik)
Bukti yang terlihat, dijuumpai saat dilakukan observasi/inspeksi langsung di
lokasi audit. Misalnya, selisih stok, barang rusak, barang hilang dan lainnya.
2. Data Evidence (bukti data)
Bukti tertulis, yang dapat dikumpulkan secara on desk maupun on site. Bukti
ini dapat berupa bon transaksi, catatan rutin, kertas kerja dan lainnya.
3. Witness Evidence (bukti saksi)
Bukti keterangan lisan dari saksi terkait, yang selanjutnya dituangkan dalam
konfirmasi tertulis. Saksi bisa berupa saksi pelaku maupun saksi yang
memberatkan/meringankan.
Sedapat mungkin bukti pendukung sebuah temuan (audit finding evidence) harus
didukung minimal oleh 2 dari 3 kategori diatas. Namun dalam prakteknya tidak
jarang auditor membuat kesimpulan yang tidak tepat, sehingga menimbulkan
resistensi atau friksi yag tidak perlu dengan pihak auditee. Beberapa factor penyebab
terjadinya bias itu antara lain:
1. Waktu pemeriksaan yang tidak sebanding dengan luasnya bidang-bidang yang
diperiksa.
2. Kurangnya kompetensi auditor dalam mendalami suatu bidang
3. Hanya mengandalkan 1 kategori bukti saja dan langsung menjadi kesimpulan
yang dituangkan dalam memo konfirmasi atau malah langsung dimuat dalam
laporan hasil audit.

Umumnya, bukti awal bisa berupa salah satu dai ketiga kategori diatas, yaitu bisa
hasil penggalian oleh auditor sendiri atau hasil informasi yang diterima oleh
auditor. Karena itu, diperlukan pendalaman atas bukti awal tersebut, termasuk
dengan mencari bukti pendukung dari kategori lainnya.
Ad 3 tahapan dalam aktivitas pengumpulan bukti, antara lain:
1. Penetapan lingkup bukti-bukti (determining scope of evidence)
2. Pengambilan rentang/kisaran bukti-bukti (taking range of evidence)
3. Pengukuran
tingkat
signifikan/materialitas
bukti-bukti
(measuring
significancy/materiality of evidence).
B. Lingkup Bukti (Scope of Evidence)
Penetapan lingkup bukti adalah penetapan luas kavling yang sepatutnya diperiksa,
yang merupakan sumber asal dari bukti-bukti pemeriksaan yang dikumpulkan. Scope
of evidence sudah harus ditetapkan sejak tahap perencanaan atau sebelum
pelaksanaan audit dan siap ditinjau kembali pada saat pelaksanaan audit dengan
memperhatikan beberapa hal dibawah ini:
a. Kompleksitas bisnis yang dijalankan oleh auditee atau tingkat kejelasan
gambaran awal yang ada ditangan auditor mengenai auditee beserta
permasalahannya.
b. Kesiapan sumber daya yang dimiliki oleh auditor seperti waktu yang tersedia,
jumlah sumber daya manusiayang dialokasikan, serta tingkat kompetensi yang
dimiliki auditor.
Lingkup audit berbicara mengenai critical area yang harus dijelajahi
sedangkan lingkup bukti berbicara tentang fakta/data pendukung seperti apa yang
membuat hasil/temuan audit layak disajikan. Bukti-bukti harus sesuai dengan
corak audit yang sedang dijalankan.

Penetapan lingkup bukti sangat penting dalam suatu aktivitas audit dengan
maksud:
a. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hasil audit, dimana auditor
hanya menjamin telah meninjau berbagai aspek yang termasuk dalam
lingkup periode atau bidang yang diperiksa.
b. Menyesuaikan dengan sumber daya audit yang dimiliki, yaitu waktu yang
tersedia, jumlah SDM, termasuk tingkat kompetensi auditor memeriksa
suatu lingkup/bidang pekerjaan.
c. Menyediakan kondisi bagi pihak auditee agar dapat memberikan
dukungan sepenuhnya terhadap data yang diminta.
d. Memberikan perspektif yang jelas bagi auditee untuk memahami hasil
audit.
Lingkup bukti secara sederhana ditetapkan dari 2 perspektif terkait
relevansinya, yaitu:
1. Relevan dari segi periode/kurun waktu terjadinya transaksi (Time based
Scope of Audit)
Yaitu lingkup

bukti

yang

dibedakan

berdasarkan

tingkat

kemuktahiran objek/data yang diuji (dari kurun waktu terjadinya


objek/data).
Pembagian dengan cara ini dibedakan berdasarkan 3 tingkatan area
pengujian, yaitu:
a. Kurun waktu data untuk uji fisik (cut off date for physical test)
Area pengujian fisik mengambil kurun waktu paling mutakhir,
yaitu dimulai pada tanggal akhir bulan dari laporan keuangan bulanan
terbaru hingga tanggal uji fisik dilakukan.

Objek uji fisik dapat berupa asset (barang, uang, surat berharga),
transaksi atau data yang secara langsung dapat dihitung (dilakukan
opname) atau dapat diamati (observasi). Opname dan observasi fisik
disini bertujuan untuk mendapatkan indikasi awal melalui hasil
pengamatan langsung, sampai sejauh mana kemampuan auditee
mengelola

risiko

bisnis

serta

menjaga

tingkat

kepatuhan

operasionalnya.
Contoh objek opname pada field audit antara lain bukti transaksi
yang belum diselesaikan oleh pemakai dana, uang tunai di brankas,
cek/giro yang belum terpakai, bilyet asli deposito, stok fisik
persediaan, aktiva tetap nonbangunan/nonfixture, dokumen asli terkait
asset.
Contoh objek observasi pada field audit antara lain pelayanan para
frontliner, kondisi asset bangunan, kebersihan ruang kerja, kemanan
lingkungan, efisiensi pemakaian faslitas dan sebagainya.
b. Kurun waktu data untuk uji substantif (cut off date for substantive test)
Pengujian substantive bertujuan untuk mendapatkna indikasi awal
sebelum sampai pada kesimpulan menyeluruh tentag tingkat
pengelolaan risiko dan pengendalian operasi sepanjang rentan waktu
sesudah audit berakhir.
Biasanya diambil 3-4 periode data terakhir atau sekitar 30% dari
seluruh data sebagai sampel wajibuntuk memverifikasi transaksi/data
yang sudah terjadi atau telah dibukukan/dilaporkan.
Jumlah sampel wajib bisa saja lebih dari 3-4 periode, tergantung
pada alokasi waktu yang tersedia dan tingkat kemudahan pengolahan
data. Pada area ini dianjurkan agar tidak menyita waktu lebih dari

30% total mandays yang tersedia untuk mengantisipasi kebutuhan


waktu yang lebih panjang saat pendalaman temuan.
c. Kurun waktu data untuk uji lanjutan (cut off date for advanced test)
Area pengujian ini merupakan kelanjutan dari hasil substantive test
pada short term period sebelumnya. Jadi, kedalaman pemeriksaan pada
area ini sangat bergantung pada hasil substantive test yang dijalankan
sebelumnya.
Berdasarkan kesimpulan yang yang diperoleh dari substantive test,
diasumsikan bahwa kelemahan praktek pengelolaan risiko atau
pengendalian operasi yang dijumpai dalam 3 bulan periode sampel,
kemungkinan dijumpai pula pada periode-periode sebelumnya.
Dengan memeriksa mundur kebelakang dapat diketahui akar masalah
sekaligus diukur dampak yang ditimbulkannya.
Apabila hasil pengujian substantive tidak mengindikasikan hal
yang memmbahayakan, tetapi untuk sejumlah alasan kritis atau topic
tertentu perlu kesimpulan dengan sampel data yang diperluas, maka
dapat dilakukan pemeriksaan secara acak pada area inni berdasarkan
kriteria tertentu.
Beberapa alasan/topic tertentu yang dimaksud adalah
a. Perubahan data yang mencolok
b. Perubahan organisasi, adanya pergantian pejabat pada suatu
unit kerja
c. Perubahan sistem
2. Relevan dari segi topic audit (Topical/Thematical based Scope of Audit)
Yaitu berupa penetapan jenis objek yang diperiksa. Pendekatan
yang biasanya dilakukkan dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu:
a. Berbasis aktivitas/tugas audit (Audit Activity/Task Based)
Yaitu lingkup bukti pemeriksaan disusun berdasarkan aktivitas atau
metode audit yang akan dilakukan. Aktivitas yang dimaksud salah satu

contohnya seperti Opname fisik yang merupakan audit activity nya


dan topic pemeriksaannya seperti kas operasi, lembar cek & giro,
bilyet deposito & surat berharga, stok barang & uang penjualan, aktiva
tetap, dan sebagainya.
Pendekatan ini paling sederhana dan banyak diterapkan karena
berorientasi pada aktivitas rutin yang akrab dilakukan oleh auditor.
Kelemahannya

terletak

pada

kemungkinan

tidak

lengkapnya

objek/topic bisnis yang tersentuh oleh aktivitas audit yang terkait.


b. Berbasis proses bisnis/organisasi (Business Process/Organizational
Based)
Yaitu lingkup bukti pemeriksaan dibuat berdasarkan SOP, struktur
organisasi, kebijakan internal, atau standar kualitas tertentu sebagi
acuan. Misalnya:
1. Pemeriksaan berbasis SOP pembelian
2. Pemeriksaan terhadap divisi sales dan marketing
3. Pemeriksaan terkait kebijakan pelayanan pelanggan

serta

keamanan system dan teknologi.


4. Pemeriksaan dalam rangka penerapan ISO 9000/14000, GMP,
HACCP.
Pendekatan ini lazim digunakan dalam audit kepatuhan guna
memastikan administrasi dan pengendalian berjalan efektif sesuai alur
proses atau ketentuan yang ditetapkan.
Kelemahan perspektif audit ini adalah cenderung tertuju pada hasil
pengamatan semata, sampel data yang sederhana, serta kesimpulan
tentang penyebab yang hanya seputar SDM, perangkat system, dan
implementasi (tidak cukup mampu mendeteksi secara langsung tindak
kecurangan).

c. Berbasis titik pengendalian/risiko kritis (Critical Control Point/Critical


Risk Point Based)
Hampir mirip dengan pendekatan proses/organisasi, hanya saja
bisa lebih luas atau sebaliknya lebih spesifik. Peninjauan tidak sekedar
pada implementasi proses/organisasi/kebijakan, tetapi juga melihat
dimensi yang lebih holistic (implikasi/dampak dari sejumlah masalah
implementasi), atau lebih khusus (yaitu titik-titik yang harus menjadi
perhatian).
Kelemahannya terletak pada tuntutan kapabilitas auditor yang
relative tinggi, khususnya kemampuan melihat dalam wawasan
strategis.

Вам также может понравиться