Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
I. Pendahuluan
Pada tahun 2025 diperkirakan populasi penduduk Indonesia mencapai
273,1 juta. Laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka
pada tahun 2050 penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Hal
tersebut berpotensi menimbulkan krisis pangan, sehingga produksi pangan perlu
ditingkatkan agar memenuhi kebutuhan tersebut. Tingginya permintaan (demand)
terkadang tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi (supply), sehingga
untuk menutup defisit tersebut pemerintah diharuskan untuk melakukan impor
beras. Impor beras yang dilakukan dapat mengakibatkan inflasi pada
perekonomian dan pelemahan nilai kurs mata uang.
Defisit yang terjadi dapat ditutup dengan beberapa cara diantaranya
intensifikasi, ekstensifikasi, dan program diversifikasi pangan. Pemerintah
cenderung memilih program diversifikasi pangan karena langkah tersebut
membutuhkan waktu yang lebih pendek jika dibandingkan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Selain itu, program diversifikasi pangan mendorong masyarakat
lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang
dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi seperti jagung, ketela, dan umbiumbian lainnya.
Sebenarnya upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah
dilaksanakan sejak tahun 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan
konsumsi bahan pangan pokok selain beras. Kemudian di akhir Pelita I (1974),
secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan
melalui Inpres No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat
(UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari
instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan
meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam
perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi
pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Selanjutnya
dipungkiri,
Departemen
Kesehatan
juga
melaksanakan
program
pemerintah melalui berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai
contoh gerakan sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen
Kesehatan, program diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian
(1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet
Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang
meluncurkan slogan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996
telah lahir Undang-undang no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002
muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era
Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang
dipimpin langsung oleh Presiden (Suyono, 2002). Kepres ini kemudian
diperbaharui melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan,
dimana mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan
termasuk tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.
Konsumsi Sumber Karbohidrat Tingkat partisipasi konsumsi beras di
berbagai wilayah cukup tinggi, yaitu ratarata hampir mencapai 100 persen, yang
berarti hampir semua rumah tangga telah mengkonsumsi beras (Tabel 2).
Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah tangga perkotaan tetapi
juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya tingkat partisipasi di desa
masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar pulau, maka tingkat
partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu dengan pulau
yang lain, yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras yang masih rendah
hanya terjadi di pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan
ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen).
IX. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Mencoba memberikan alternatif kebijakan yang palingda unggul dibanding
dengan alternatif kebijakan yang lain dalam upaya mewujudkan diversifikasi
pangan.
XI. PENUTUP
Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara
untuk menuju swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga
total konsumsi tidak melebihi produksi. Pada dasarnya diversifikasi pangan
2.
3.
2.
3.
dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih
didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian.
Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan
meningkatnya tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan
upaya diversifikasi konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang
mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan adalah sama dengan dengan faktor
yang
yaitu
sosial,
budaya, ekonomi,
2.
Adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan kalau belum
makan nasi
3.
4.
5.
6.
7.
8.
bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar, dengan
harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya
usaha tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan
mengubah pola pangan pokok masyarakat.
Pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai
menggarap diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi
(DPG). Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena
terjadi krisis pangan, DPG dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah mencapai
swasembada beras, dan masyarakat tergantung pada beras. Program DPG
bertujuan untuk mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah
tanggadan mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan
untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.
Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan
pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan
sasaran wilayah program yang terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah
meningkatkan ketersediaan keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga.
Pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk
memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi
pangan pokok. Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari
pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan untuk menyediakan aneka ragam
kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu pemanfaatan pekarangan/kebun
sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif.
Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga
meliputi aspek pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal
alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat (Program DPG Pusat, 1998).
Departemen Kesehatan juga melaksanakan program diversifikasi konsumsi
pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi yang tujuan
utamanya untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP),
Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia
Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait
dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui
berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan
sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program
diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lainlain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI juga
dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan Aku
Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996 telah lahir Undang-undang
no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang
Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah
dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden
(Suyono, 2002). Kepres ini kemudian diperbaharui melalui Perpres No 83 tahun
2006 tentang Dewan ketahanan pangan, dimana mempunyai tugas untuk
mengkoordinasikan
program
ketahanan
pangan
termasuk
tujuan
untuk
dibawah satu persen. Kecenderungan tersebut terjadi di semua pulau, baik di kota
maupun di desa. Perbedaanya adalah kalau di kota, tingkat partisipasi konsumsi
beras pada kurun waktu tersebut menunjukkan sedikit penurunan, sebaliknya di
desa masih menunjukkan peningkatan. Laju tingkat partisipasi konsumsi beras
secara agregat di kota tahun 1990-1996 adalah -0,1 persen per tiga tahun,
sedangkan untuk desa lajunya 1,1 persen per tiga tahun.
Berdasarkan keragaman produk yang ada, seharusnya tingkat partisipasi
konsumsi pada rumah tangga perkotaan menurun secara signifikan, dikarenakan
di wilayah ini banyak terdapat produk-produk alternatif yang dapat berperan
sebagai subsitusi beras, baik dalam bentuk mentah maupun olahan, tersedia dalam
berbagai kemasan yang praktis, mudah diperoleh dan dihidangkan. Kenyataanya
beras masih mendominasi dalam pola konsumsi pangan masyarakat, sehingga
perubahannya sangat kecil. Berdasarkan data perkembangan tingkat partisipasi
konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi konsumsi
pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras
dapat dibilang masih jalan di tempat.
Tingkat konsumsi beras sekitar 100 kg/kapita/tahun walaupun cenderung
menurun dari tahun ke tahun dengan laju penurunan sebesar 4,2 persen pada
periode 1999-2004 (Tabel 3). Demikian pula untuk konsumsi umbi-umbian juga
cenderung menurun. Peningkatan laju konsumsi ubi jalar sebetulnya lebih
disebabkan peningkatan konsumsi pada tahun 2004, yaitu dari 2,7 kg menjadi 3,3
kg/kapita/tahun. Selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring dengan
semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat
diperoleh dengan mudah. Belum lagi adanya perubahan gaya hidup masyarakat
yang jelas berpengaruh pula pada gaya makan. Mungkin orang akan gengsi
mengkonsumsi jagung dan ubi kayu karena komoditas tersebut sudah
mempunyai trade mark sebagai barang inferior, yang hanya cocok untuk kalangan
bawah.
Masyarakat mengalihkan fungsi jagung dan ubi kayu, tidak lagi sebagai
makanan pokok tetapi sebagai makanan selingan atau snack, sehingga jumlah
yang dikonsumsi juga sangat terbatas. Keragaan data tersebut menunjukkan
bahwa pangan lokal seperti jagung dan ubi kayu telah ditinggalkan oleh
Padi-padian 275 gr
2.
Umbi-umbian 100 gr
3.
Pangan hewani150 gr
4.
Minyak+Lemak 20 gr
5.
Buah/biji berminyak 10 gr
6.
Kacang-kacangan 35 gr
7.
Gula : 30,0 gr
8.
kelompok padi-padian yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi
langsung penduduk sebesar 99 kg/kapita.
Memperhatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah konsumsi beras,
jagung dan terigu untuk tahun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang berarti lebih
besar dari seharusnya. Belum lagi bila dilihat proporsi dari ketiga jenis pangan
tersebut yang sangat bisa pada beras. Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari
padi-padian
dapat
dilakukan
dengan
mengurangi
konsumsi
beras
dan
sebesar 36 kg/kapita/tahun yang berasal dari ubikayu, ubijalar, sagu dan umbiumbi lainnya. Namun kenyataannya 71 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN: 978-979-8940-29-3 baru 16,2 kg/kapita/tahun yang berarti masih kurang
dari setengahnya.
Kebijakan
terakhir, pemerintah
menetapkan
kebijakan
percepatan
Menurut Grubben dan Soetjipto (1996) jagung dapat digunakan sebagai bahan
baku berbagai industri pangan, minuman, kimia dan farmasi serta industri lainnya.
Dari 100 kg jagung dapat diperoleh 3.5-4 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil,
pakan, gluten, serat dan sebagainya, serta 64-67 kg pati, dan sisanya 15-25 kg
hilang atau terbuang. Jagung berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku
diversifikasi pangan karena mengandung Karbohidrat yang setara dengan serealia
lainnya dan fisikokimia dari pati jagung memiliki karakteristik fungsional sebagai
dietary fiber, beta karotin dan besi
2. Ubi Kayu/Singkong/Ketela Pohon (Manihot esculenta crantz)
Di Indonesia, ketela pohon menjadi pangan pokok setelah beras dan
jagung. Di beberapa tempat, tanaman ubi kayu ini dianggap sebagai cadangan
pangan dan lumbung hidup. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya
karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru
terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin. Umbi
akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah. Rasanya
sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan racun glukosida
yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan
paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih segar, dan 50 kali
lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis,
proses pemasakan sangat diperlukan untuk menurunkan kadar racunnya. Dari
umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka. Ubi Jalar/Ketela Rambat (Ipomoea
batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis
tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk
umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar
menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia,
selaindimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat
pula ubi jalar yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya. Ubi jalar
terutama yang berdaging umbi oranye atau kuning memiliki potensi unggulan
pada kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi. Beta karoten atau
provitamin A dalam ubi jalar diketahui memiliki banyak manfaat bagi tubuh,
karena selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai
antioksidan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh.
beraneka
ragam,
pengembangan
berbagai
hasil
olahan
dan
Nurhaedar. Diversifikasi
Konsumsi
dan
Ketahanan
Pangan
untuk
Meningkatkan
Ketahanan
Pangan