Вы находитесь на странице: 1из 25

DETEKSI KASUS RUBELLA DENGAN UJI SEROLOGI MENGGUNAKAN

METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Bagus Hendrawan
B1J013184

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGIDAN


KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

2016

DETEKSI KASUS RUBELLA DENGAN UJI SEROLOGI MENGGUNAKAN


METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Bagus Hendrawan
B1J013184
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana sains
pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Disetujui dan disahkan


pada tanggal.April 2016

Pembimbing

Drs. Agus Hery Susanto, M.S.


NIP 19590814 198603 1 004

Pembimbing Lapangan I

Pembimbing Lapangan II

dr. Mursinah Sp.MK

Subangkit, M.Biomed.

NIP 19770708 2008 01 2014 NIP 19820327 2003 12 1002

Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Hendro Pramono, M.S.


NIP 19590722 198601 1 001
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan proposal praktik kerja lapangan (PKL) mengenai deteksi kasus rubella
dengan uji serologi menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA). Proposal PKL ini disusun sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana sains
di Fakultas Biologi Unsoed.
Dengan selesainya penyusunan proposal PKL ini, penulis menyampaikan terima
kasih kepada
1. Dr. Hendro Pramono, M.S. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Biologi
yang telah memberikan izin untuk pelaksanaan PKL,
2. Drs. Agus Hery Susanto, M.S. selaku pembimbing PKL atas bimbingan dan arahan
dalam penyusunan proposal PKL ini,
3. dr. Mursinah selaku pembimbing lapangan PKL,
4. Subangkit, M.Biomed. selaku pembimbing lapangan PKL,
5. Drs. Bambang Heriyanto, M.Kes. selaku Koordinator Laboratorium Penelitian
Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sri Oemijati yang telah memberikan izin penulis untuk
melakukan PKL pada lokasi tersebut,
6. Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed. selaku Kepala Laboratorium Virologi,
7. Pretty Multihartina, Ph.D. selaku Kepala Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan
8. Semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian usulan PKL.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan proposal PKL ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
untuk perbaikan proposal PKL ini. Semoga proposal PKL ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi tentang deteksi kasus rubella,
khususnya menggunakan metode ELISA.
Purwokerto,

April 2016

Penulis
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan................................................................................................. i
Prakata.................................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
Daftar Tabel........................................................................................................... iv
Daftar Gambar....................................................................................................... v

I. Pendahuluan..................................................................................................... 1
II. Materi dan Cara Kerja...................................................................................... 10
III. Evaluasi Hasil Kerja........................................................................................ 14
Daftar Referensi..................................................................................................... 31
Lampiran................................................................................................................ 33

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Hasil pengukuran nilai Optical Density untuk strip 1 dan 2. 27
Tabel 3.2. Hasil pengukuran nilai Optical Density untuk strip 3 dan 4. 27
Tabel 3.3. Hasil pengukuran nilai Optical Density untuk strip 5 dan 6. 28
Tabel 3.4. Hasil pengukuran nilai Optical Density untuk strip 7 dan 8. 28
Tabel 3.5. Hasil pengukuran nilai Optical Density untuk strip 9 dan 10... 28
Tabel 3.6. Hasil pengukuran nilai Optical Density untuk strip 11 dan 12. 28

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Struktur Virus Rubella . 1
Gambar 3.1.1. Gedung Utama Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan .. 14
Gambar 3.1.2. Gedung Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Nasional Prof. Dr.
Sri Oemijati Labnas)... 15
Gambar 3.2.1. Skema koding protein nonstruktural pada ujung 5- Open Reading
Frames dan protein struktural pada ujung 3- Open Reading Frames .............. 18
Gambar 3.2.2. Skema siklus hidup virus rubella (RNA)........ 20

Gambar 3.2.3. Diagram hasil deteksi rubella menggunakan metode Indirect Enzyme
Linked-Immunosorbent Assay............................. 29
Gambar 3.2.4. Hasil akhir pengujian serum menggunakan metode Indirect Enzyme
Linked-Immunosorbent Assay sebelum penambahan Stop Solution............................... 29
Gambar 3.2.5. Hasil akhir pengujian serum menggunakan metode Indirect Enzyme
Linked-Immunosorbent Assay setelah penambahan Stop Solution................................. 30

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Virus Rrubella merupakan virus RNA dengan polaritas- positif, memiliki untai
RNA tunggal, dan merupakan anggota dari genus Rubivirus, famili Togaviridae
(Abernathy et al., 2013). Virus ini memiliki bentuk sferik, yang berukuran 65-70 nm
dengan kapsid berbentuk ikosahedral (Cong et al., 2011). Selubung luar virus ini
tersusun dariatas lipid yang kompleks dengan memiliki 3 buah glikoprotein, masingmasingyaitu dua di bagian selubung dan satu di bagian inti. Virus ini memiliki
sStrukturnya yang terdiri atasdari dua subunit besar,; satu subunit berkaitan dengan

envelope virus dan subunit yang lain berikatan dengan nucleoprotein core (Kadek &
Darmadi, 2007). Manusia merupakan inang bagi Vvirus rubella memiliki inang berupa
manusia (Cong et al., 2011).

Gambar 1.1 Struktur Vvirus Rrubella (Kadek & Darmadi, 2007)

Rubella merupakan penyakit pandemi yang terjadi sebelum ditemukannya


vaksin anti rubella. Kasus ini mencapai puncak pada wabah terbesar yang terjadi pada
tahun 19641965 dimana ada 12,5 juta kasus rubella yang muncul. Setelah penemuan
vaksin rubella pada tahun 1969 jumlah kasus yang dilaporkan dari rubella di menurun
secara drastis hingga 1: 10.000.000 penduduk. Panel independen internasional pada
tahun 2004 sepakat bahwa rubella dieliminasi dari daftar wabah di Amerika Serikat
(McLean et al., 2012a).
Penyakit ini kemudian menjadi penyakit endemik di berbagai belahan dunia.
Berdasarkan survei dari negara anggota World Health Organization (WHO), jumlah
negara yang telah masuk rubella-containing vaccines sebagai program imunisasi rutin
nasional meningkat dari 83 negara (13% dari kelompok kelahiran) pada tahun 1996
menjadi 130 negara (40% dari kelompok kelahiran) pada tahun 2010 (McLean et al.,
2012a).
Virus rubella masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis setelah terjadi
proses penempelan glikoprotein viral pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel.
Selubung viral kemudian berfusi dengan membran endosoma dan terjadi pelepasan
selubung viral, yang disertai dengan masuknya genom viral ke dalam sitoplasma sel
inang. Setelah genom viral bereplikasi, terjadi proses transkripsi dan translasi hingga
terbentuk protein viral di dalam sitoplasma. Virion kemudian keluar dari dalam sel
inang melalui proses budding pada membran sel inang setelah terjadi perakitan
nukleokapsid (Radji, 2010).

Penyakit yang disebabkan oleh virus Rrubella dikenal dengan istilah campak
Jerman. Penyakit ini terdistribusi luas dan sering timbul pada musim dingin atau musim
semi. Gejala utamanya yang terjadi akibat virus ini adalah adanya peradangan kelenjar
getah bening yang terjadi 5-7 hari sebelum timbulnya ruam (WHO, 2007).
Infeksi klinis rubella biasanya ringan, ditandai dengan gejala umum seperti ruam
makulopapular (ruam yang ditandai dengan, area merah datar pada kulit yang ditutupi
dengan benjolan konfluen kecil), limfadenopati, dan demam. Infeksi subklinis dapat
mencapai hingga 50%. Gejala tidak spesifik, rubella sering salah didiagnosa sebagai
infeksi ruam lain seperti campak (measles), demam berdarah, parvovirus, adenovirus,
enteroviruses atau virus herpes virus pada manusia (Baydack & C Ens, 2015).
Virus rubella masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis setelah proses
penempelan glikoprotein viral pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel.
Selubung viral kemudian berfusi dengan membran endosome dan terjadi pelepasan
selubung viral dimana kapsid dan genom viral masuk ke dalam sitoplasma sel inang.
Setelah replikasi genom viral, terjadi proses transkripsi menjadi mRNA dan translasi
protein viral yang terjadi di dalam sitoplasma. Virion kemudian keluar dari dalam sel
melalui proses budding dari membran sel inang setelah perakitan nukleokapsid (Radji,
2010).
Penyakit rubella dapat menular melalui percikan cairan tubuh (droplet) atau
melalui kontak langsung dengan cairan nasofaring atau urin. Penularan lain dapat terjadi
melalui aliran darah dari ibu kepada janin (Radji, 2010). Cacat bawaan (congenital
defect) yang paling sering dijumpai akibat virus rubella adalah gangguan pendengaran
sensoneural, katarak pada mata, gangguan kardiovaskular, dan keterbelakangan mental
(Kadek & Darmadi, 2007).
Menurut Subrata (2013), beberapa faktor yang mendukung terjadinya penyakit
rubella adalah umur, status imunisasi, riwayat kontak dengan penderita rubella, dan gizi.
Tujuan dilakukannya pengawasan rubella dan program eliminasi adalah untuk
pengurangan atau penghapusan congenital rubella sindrom (CRS) yang terjadi pada
90% dari bayi yang ibunya terinfeksi rubella pada trimester pertama (Abernathy et al.,
2013).
Penyakit rubella pada umumnya memiliki masa inkubasi selama 14-18 hari, akan
tetapi dapat juga selamaberkisar 12-23 hari sesuai dengan kondisi kekebalan tubuh
inangnya (Sari et al., 2014). Fase predromal pada anak sangat jarang terjadi dan
biasanya hanya dapat dideteksi dari ruam yang muncul, sedangkan pada remaja dan
orang dewasa biasanya terjadi satu hinggasampai lima hari fase predromal dengan

demam ringan, kelesuan, limfadenopati, dan gejala pernafasan atas sebelum mengawali
ruam. Fase ruam dimulai dengan munculnya ruam dari wajah dan dalam 24-72 jam
menyebar ke seluruh tubuh dalam kisaran waktu 8 hari. Infeksi pada orang dewasa
sering diikuti dengan arthralgia atau arthritis yang bersifat sementara, terutama pada
wanita dewasa. Komplikasi seperti kekurangan trombosit (thrombocytopenic purpura)
dan radang otak (encephalitis) masih jarang terjadi, tapi dapat muncul (Baydack & C
Ens, 2015). Fase konvalesensi ditandai dengan berkurangnya adalah fase dimana erupsi
ruam berkurang yang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi)
yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak
Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Selanjutnya, suhu menurun
hinggasampai menjadi normal, kecuali bila ada komplikasi (Febri, 2012).
Penyakit rubella bisa menular melalui percikan cairan tubuh (droplet) atau
melalui kontak langsung dengan cairan nasofaring atau urin. Penularan lain dapat
melalui aliran darah dari seorang ibu kepada janin yang sedang dikandungnya (Radji,
2010). Cacat bawaan (Congenital defect) yang paling sering dijumpai akibat virus
rubella adalah gangguan pendengaran sensoneural, katarak pada mata, gangguan
kardiovaskular, dan keterbelakangan mental (Kadek & Darmadi, 2007). Menurut
Subrata (2013), beberapa faktor yang mendukung terjadinya penyakit rubella yaitu
umur, status imunisasi, riwayat kontak dengan penderita rubella, dan gizi. Tujuan
adanya pengawasan rubella dan program eliminasi adalah untuk pengurangan atau
penghapusan congenital rubella sindrom (CRS) yang terjadi pada 90% dari bayi yang
ibunya terinfeksi rubella pada trimester pertama (Abernathy et al., 2013).
Menurut McLean et al. (2012b), pada tahun 2011 WHO merekomendasikan
semua negara yang menyediakan dua dosis vaksin campak dan belum memperkenalkan
vaksin rubella, untuk masukkan vaksin rubella dalam program imunisasi nasional
mereka. Congenital rubella syndrome (CRS) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus rubella ketika masa kehamilan. Infeksi ini dapat menyebabkan keguguran,
kematian pada bayi yang baru lahir, dan cacat parah pada bayi yang dilahirkan.
Gangguan pendengaran merupakan kasus cacat yang paling sering terjadi (McLean et
al., 2012b). Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam WHO dan
merupakan salah satu negara dengan kasus CRS dan rubella yang meningkat setiap
tahunnya. Pendataan kasus rubella secara rutin diperlukan sebagai dasar pemberian
vaksin rubella dalam program imunisasi nasional sebagai upaya pencegahan penyakit

yang disebabkan oleh virus rubella di Indonesia.DISIMPAN DULU UNTUK


PEMBAHASAN DI LAPORAN
Reaksi humoral dan imunitas berkembang mengikuti adanya infeksi rubella
(WHO, 2007). Antibodi yang berhubungan dengan rubella adalah antibodi IgM dan
IgG. Antibodi IgM spesifik dapat dideteksi pada 10 hari setelah terjadinya infeksi
(Agbede, 2011). Antibodi berupa IgG, IgA, IgD, dan IgE baru akan muncul pada
minggu ke-3 setelah terjadinya infeksi oleh virus rubella. Menurut Olajide et al. (2014),
antibodi IgM setelah dua bulan akan berkurang dan tidak terdeteksi lagi, sedangkan
antibodi IgG akan tetap bertahan. Cairan tubuh dari pasien yang dapat digunakan
sebagai sampel untuk menguji keberadaan virus rubella dalam tubuh seseorang,
diantaranya darah, urin, ulasan tenggorok, serta cairan cerebrospinal (Figueredo, 2012).
Infeksi klinis rubella biasanya ringan, ditandai dengan gejala umum seperti ruam
makulopapular (ruam yang ditandai dengan area merah datar pada kulit yang ditutupi
dengan benjolan konfluen kecil), limfadenopati, dan demam. Infeksi subklinis dapat
mencapai hingga 50%. Gejala klinisnya tidak spesifik sehingga sering salah didiagnosis
sebagai infeksi ruam lain, seperti campak (measles), demam berdarah, parvovirus,
adenovirus, enterovirus, atau herpes pada manusia (Baydack & C Ens, 2015).
Menurut pendapat McLean et al. (2012a), diagnosis klinis rubella saja tidak
dapat diandalkan karena gejala klinis infeksi virus rubella yang tidak spesifik mirip
dengan gejala infeksi virus campak (measles), oleh karena itu, mendorong
diperlukannyakasus harus dikonfirmasi di melalui deteksi laboratorium. Deteksi virus
dan pengujian serologis dapat digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi rubella akut
atau infeksi rubella baru. Deteksi virus rubella dapat dilakukan mengunakan beberapa
cara, misalnya isolasi virus menggunakan teknik kultur sel, deteksi asam nukleat
menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR), dan uji serologi (serological
test) untuk mendeteksi adanya reaksi hemaglutinasi dan antigen-antibodi.
Isolasi virus rubella dapat dilakukan dengan cara menanamkan virus pada sel
Vero menggunakan teknik kultur sel. Sel Vero yang digunakan adalah yaitu sel African
green monkey kidney (AGMK) atau dengan RK-13. Virus rubella yang telah ditubuhkan
dalam sel Vero dapat dilihat dengan adanya Cytophatic effects (CPE) (Kadek &
Darmadi, 2007). Sementara itu, PCR merupakan teknik penggandaan molekul DNA
secara enzimatis melalui mekanisme perubahan suhu. Teknik ini umumnya digunakan
untuk mendeteksi virus RNA. Teknik Reverse transcriptase PCR (RT-PCR) memiliki

sensitivitas hingga 87100% untuk menemukan RNA rubella dalam cairan (Terry et al.,
1990).
Menurut Terry et al. (1990), Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan
teknik penggandaan molekul DNA secara enzimatis melalui mekanisme perubahan
suhu. Teknik ini umumnya digunakan untuk mendeteksi virus RNA. Reverse
transcriptase PCR (RT-PCR) memiliki sensitivitas hingga 87100% untuk menemukan
RNA rubella dalam cairan. Sedangkan, loop isothermal mediated amplification
(LAMP), merupakan metode untuk menguatkan sekuens asam nukleat spesifik
menggunakan 4-6 set primer yang unik. Amplifikasi dapat dideteksi dari pengendapan
magnesium pirofosfat atau dengan fluoresensi di bawah sinar ultraviolet. Menurut
Vincent et al. (2004), reaksi yang dilakukan dengan waktu 1560 menit pada temparatur
konstan (60 - 65C) akan menghasilkan produk ampflifikasi mencapai 109-1010 kali.
Uji serologi (Serologic test) yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
virus rubella, di antaranya adalah menggunakan metode hemaglutinasi (HA), metode
inhibitory hemaglutinasi (HI), dan metode enzyme linked-immunosorbent assay
(ELISA). Virus rubella pada metode hemaglutinasi (HA) memiliki sebuah hemaglutinin
yang berkaitan dengan pembungkus virus dan dapat bereaksi dengan sel darah merah
anak ayam yang baru lahir, kambing, dan burung merpati pada suhu 40C dan 250C,
bukan pada suhu 370C (Kadek & Darmadi, 2007). Sedangkan metode inhibitory
hemaglutinasi (HI), uji hambatan aglutinasi ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan
antigen yang larut. Hasil positif berbeda dengan uji hemaglutinasi (HA), yaitu hasil
akan positif apabila tidak terjadi aglutinasi (Radji, 2010). Metode ELISA merupakan
teknik yang paling banyak digunakan di antara kelompok enzyme immunoassay (EIA)
(Radji, 2010). Metode ini merupakan suatu teknik serologi kualitatif yang pada
prinsipnya melibatkan adanya ikatan antigen-antibodi yang dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan intensitas warna pada larutan (Kholis, 2012). Menurut Burgess
(1995), warna yang ditimbulkan oleh indikator dapat ditentukan secara kualitatif
menggunakan mata atau dapat pula secara kuantitatif melalui pembacaan nilai
absorbansi atau optical density (OD) pada ELISA reader.
Antigen akan bereaksi hanya dengan antibodi yang khas untuk antigen tersebut,
oleh karena spesifitas yang tinggi, reaksi antara antigen dan antibodi dapat digunakan
untuk mengidentifikasi keberadaan salah satu diantara antigen dan antibodi dengan
antibodi atau antigen pasangannya. Spesifitas ini merupakan dasar reaksi serologis.
Reaksi silang yang mungkin terjadi antara antigen yang berhubungan dapat membatasi

spesifitas tes. Reaksi antigen-antibodi digunakan untuk mengidentifikasi komponen


spesifik dalam gabungan dari salah satu antigen maupun antibodi tersebut.
Mikroorganisme dan sel lain memiliki antigen beragam, oleh karena itu dapat bereaksi
dengan banyak antibodi yang berbeda (Brahmana, 1981).
Antibodi monoklonal merupakan sarana yang sangat baik untuk identifikasi
antigen karena mempunyai spesifitas tunggal yang diketahui dan homogen. Antiserum
yang dihasilkan sebagai bagian dari respon imun mengandung kompleks campuran
antibodi, oleh karena antiserum bersifat heterogen. Hal ini mengakibatkan antiserum
kurang bermanfaat untuk uji spesifisitas. Imunoassay merupakan salah satu teknik
imunodiagnostik yang paling banyak digunakan. Teknik ini didasarkan atas reaksi kimia
antara dua jenis analit (antigen dan antibodi) yang dapat rnemberi hasil bervariasi
tergantung

indikatornya

(Brahmana,

1981).DISIMPAN

DULU

UNTUK

PEMBAHASAN DI LAPORAN
Metode Enzyme linked-immunosorbent assay (ELISA) merupakan teknik yang
paling luas yang digunakan dari kelompok enzyme immunoassay (EIA) (Radji, 2010).
ELISA merupakan suatu teknik serologi secara kualitatif yang umumnya digunakan
dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu
sampel. Prinsipnya adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang akan dibaca dengan
reaksi enzimatis yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan intensitas warna pada
larutan (Kholis, 2012). Menurut pendapat Burgess (1995), warna yang ditimbulkan oleh
indikator dapat ditentukan secara kualitatif dengan menggunakan mata atau dapat pula
secara kuantitatif diukur dengan pembacaan nilai absorbansi atau optical density (OD)
pada ELISA reader.
ELISA adalah sebuah metode diagnostik cepat dan serbaguna yang mampu
dikombinasikan dengan beberapa uji. Ciri khas dari deteksi ELISA didasarkan atas
spesifisitas pemilihan antigen yang ditangkap (Qi et al., 2014). Ada dua cara yang
paling umum digunakan dalam metode ELISA, yaitu ELISA secara langsung (direct
ELISA) dan ELISA secara tidak langsung (indirect ELISA). ELISA secara langsung yang
bertujuan mendeteksi keberadaan antigen, sedangkan ELISA secara tidak langsung
(indirect ELISA) yang dapat bertujuan mendeteksi keberadaan antibodi. Antibodi yang
digunakan untuk melacak suatu antigen pun harus spesifik sesuai dengan antigen yang
akan dideteksi (Radji, 2010).
Metode ELISA secara langsung (direct ELISA) merupakan teknik ELISA yang
paling sederhana. Teknik ini umumnya digunakan untuk mendeteksi dan mengukur

konsentrasi antigen pada sampel ELISA direct menggunakan suatu antibodi spesifik
(monoklonal) untuk mendetaksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel yang
diuji. Tahapan pada ELISA direct yang pertama adalah mikrotiter diisi dengan sampel
yang mengandung antigen, sehingga antigen menempel pada bagian dinding-dinding
lubang mikrotiter, mikrotiter kemudian dibilas untuk membuang antigen yang tidak
menempel pada dinding mikrotiter. Antibodi yang telah ditautkan dengan enzim signal
lalu dimasukkan ke dalam lubang-lubang mikrotiter sehingga dapat berinteraksi dengan
antigen yang diinginkan, mikrotiter dibilas agar antibodi tertaut enzim sinyal yang tidak
berinteraksi dengan antigen dapat dibuang. Substrat yang dapat bereaksi dengan enzim
sinyal kemudian ditambahkan ke dalam lubang mikrotiter, sehingga enzim yang tertaut
antibodi yang berinteraksi dengan antigen, akan berinteraksi dengan substrat dan
menimbulkan sinyal yang dapat dideteksi. Pendeteksian interaksi antara antibodi dan
antigen tersebut selanjutnya dapat dihitung dengan kolorimetri, chemiluminescent, atau
fluorescent end-point (Brahmana, 1981).
Kelebihan dari ELISA direct, diantaranya yaitu memiliki proses metodologi
yang cepat karena hanya menggunakan 1 jenis antibodi, dan kemungkinan terjadinya
kegagalan dalam uji ELISA akibat reaksi silang dengan antibodi lain (antibodi
sekunder) dapat diminimalisasi. Selain kelebihan metode direct ELISA juga memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya yaitu immunoreaktifitas antibodi kemungkinan akan
berkurang akibat bertaut dengan enzim, penautan enzim sinyal ke setiap antibodi
menghabiskan waktu dan mahal, fleksibilitas dalam pemilihan tautan enzim (label) dari
antibodi pada percobaan yang berbeda tidak ada, amplifikasi sinyal hanya sedikit, dan
larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus dimurnikan terlebih dahulu
sebelum digunakan untuk uji ELISA direct (Brahmana, 1981).
Metode ELISA secara tidak langsung (indirect ELISA) pada dasarnya juga
merupakan teknik ELISA yang paling sederhana, hanya saja dalam teknik ELISA
indirect yang dideteksi dan diukur konsentrasinya merupakan antibodi. ELISA indirect
menggunakan suatu antigen spesifik (monoklonal) serta antibodi sekunder spesifik
tertaut enzim sinyal untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang diinginkan pada
sampel yang diuji. Bproses ini biasanya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
direct ELISA (Brahmana, 1981).
Tahap umum yang digunakan dalam indirect ELISA untuk mengetahui
konsentrasi antibodi dalam serum dimulai dengan penempelan antigen yang sudah
dikenal dan diketahui konsentrasinya pada dinding plate mikrotiter. Antigen akan

menempel pada permukaan plastik, dan sampel dari konsentrasi antigen ini akan
menetapkan kurva standar yang digunakan untuk mengalkulasi konsentrasi antigen dari
sampel yang akan diuji. Larutan pekat dari protein non-interacting, seperti bovine
serum albumin (BSA) atau kasein kemudian ditambahkan dalam semua lubang plate
mikrotiter. Tahap ini dikenal sebagai blocking, karena protein serum akan memblok
adsorpsi dari protein non-spesifik lain ke plate. Lubang plate mikrotiter atau permukaan
lain kemudian dilapisi sampel serum dari antigen yang tidak diketahui, dilarutkan dalam
buffer yang sama dengan yang digunakan untuk antigen standar. Konsentrasi protein
total harus sama dengan antigen standar, karena imobilisasi antigen dalam tahap ini
terjadi akibat adsorpsi non-spesifik (Brahmana, 1981).
Plate kemudian dicuci, dan antibodi pendeteksi spesifik untuk antigen yang diuji
dimasukkan dalam lubang. Antibodi ini hanya akan mengikat antigen terimobilisasi
pada permukaan lubang. Antibodi sekunder, yang akan mengikat sembarang antibodi
pendeteksi kemudian ditambahkan dalam lubang, fungsinya agar berkonjugasi menjadi
enzim dengan substrat spesifik. Plate kemudian dicuci untuk membuang konjugat
enzim-antibodi yang tidak terikat. Substrat yang akan diubah oleh enzim kemudian
dimasukkan untuk mendapatkan sinyal kromogenik atau fluorogenik. Hasil kemudian
dikuantifikasi dengan ELISA reader (Brahmana, 1981).
Kerugian utama dari metode indirect ELISA adalah metode imobilisasi
antigennya non-spesifik, sehingga setiap protein pada sampel akan menempel pada
lubang plate mikrotiter. Konsentrasi analit yang kecil dalam sampel harus berkompetisi
dengan protein serum lain saat pengikatan pada permukaan lubang. ELISA indirect juga
membutuhkan waktu pengujian lebih lama karena membutuhkan 2 kali waktu inkubasi,
yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang dinginkan
dan antara antibodi yang diinginkan dengan antibodi sekunder tertaut enzim sinyal,
sedangkan pada ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu inkubasi pada saat
terjadi interaksi antara antigen yang diinginkan dengan antibodi spesifik tertaut enzim
sinyal (Brahmana, 1981).
Kelebihan dari ELISA indirect menurut Brahmana (1981), antara lain memiliki
banyak variasi antibodi sekunder yang dijual secara komersial; immunoreaktifitas
antibodi yang diinginkan (target) tidak terpengaruh oleh penautan enzim sinyal ke
antibodi sekunder, karena penautan dilakukan pada tempat berbeda; dan tingkat
sensitivitas meningkat karena setiap antibodi yang diinginkan memiliki beberapa epitop
yang bisa berinteraksi dengan antibodi sekunder. Berdasarkan informasi yang telah

didapat, maka metode ELISA merupakan salah satu uji serologi yang paling efektif
untuk mendeteksi virus rubella, karena menggunakan waktu yang lebih efisien dan
indirect ELISA merupakan metode ELISA yang lebih efektif, karena memiliki
kekurangan yang lebih sedikit dibandingkan menggunakan metode direct ELISA. Oleh
sebab itu, dilakukan pengujian menggunakan metode ELISA Indirect terhadap 45
sampel serum yang diperoleh dari kasus rubella dari 17 provinsi di Indonesia pada bulan
Februari 2016. DISIMPAN DULU UNTUK PEMBAHASAN DI LAPORAN
Antibodi yang berhubungan dengan rubella adalah antibodi IgM dan IgG.
Antibodi IgM spesifik dapat dideteksi pada 10 hari setelah terjadinya infeksi. Sementara
itu, antibodi IgG, IgA, IgD, dan IgE baru akan muncul pada minggu ke-3 setelah
terjadinya infeksi oleh virus rubella (Agbede, 2011). Antibodi IgM setelah dua bulan
akan berkurang dan tidak terdeteksi lagi, sedangkan antibodi IgG akan tetap bertahan
(Olajide et al., 2014). Cairan tubuh dari pasien yang dapat digunakan sebagai sampel
untuk menguji keberadaan virus rubella dalam tubuh seseorang antara lain darah, urin,
ulasan tenggorok, serta cairan cerebrospinal (Figueredo, 2012).
1.2 Tujuan
1.

Tujuan dilaksanakannya praktik kerja lapangan (PKL) ini adalah sebagai berikut:
Mmendeteksi antibodi IgM dalam serum pada pasien dengan demam dan ruam dari

2.

kasus rubella pada bulan Januari 2016.


Mmengonfirmasi kasus rubella dari 17 Pprovinsi di Indonesia pada bulan Januari
2016.

1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperolehcapai dari pelaksanaan praktik kerja lapangan
(PKL) ini adalah sebagai berikut.:
1. Bagi mahasiswa
Mahasiswa Mmemperoleh pengalaman kerja, terampil menggunakan peralatan,
laboratorium, khususnya dalamdapat melakukan uji serologi, serta memperoleh
informasi mengenai kondisi penyebaran penyakit rubella terkini di Indonesia. Selain itu,
mahasiswa juga dapat memperoleh inspirasi dan, serta sebagai sumber referensi untuk
penelitian tugas akhir.
2. Bagi pemerintah
Diperoleh Sebagai rujukan informasi dan referensi bagi pemerintah dalam
upaya pengambilan kebijakan mengenai pemberian vaksin rubella dalam program
imunisasi rutin nasional.

II. MATERI DAN CARA KERJA


2.1 Waktu Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Praktik kerja lapangan (PKL) ini dilaksanakan selama 16 hari kerja, sejak
tanggal 25 Januari 2016 hingga 16 Februari 2016.
2.2 Tempat Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Lokasi PKL adalah raktik Kerja Lapangan ini dilakukan di Laboratorium
Virologi, Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sri Oemijati, Pusat
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta.
2.3 Materi
Alat yang digunakan untuk uji ELISA virus Rrubella adalah ELISA washer,
ELISA reader, inkubator, shaker, mikropipet (20 l; 100 l; 1000 l), tabung nunc
(nunc tube) 1,8 ml, blue tip, yellow tip, 8-channeled pipette, pipette 10 ml, gun pipetor,
labu erlenmeyer 1000 ml, mikrotiter tube, wadah mikrotiter, basin, timer, gloves,

masker, tissue, revco, freezer, rak mikropipet, kotak sampel, rak tabung nunc, sprayer,
tempat sampah, trashbag biohazard, komputer, dan printer.
Bahan yang digunakan untuk uji ELISA virus Rrubella adalah 45 sampel serum
pasien dari 17 provinsi di Indonesia; alkohol 75%; akuatrides; dan Kkit ELISA dengan
nomor Lot. 44850, meliputi Enzygnost Anti-Rubella Virus/IgM (Enzygnost AntiRubella Virus/IgM test plate, Anti-Human IgM/POD Conujugate, Conjugate Buffer
Microbiol, Anti-Rubella Reference P/P, Anti-Rubella Reference P/N, Ssample Bbuffer
POD, dan RF Absorbent), dan Supplementary Reagents for Enzygnost/TMB
(Wash/POD, Blue Color, Substrate/TMB, Chromogen/TMB, Stop, dan Empty Vial
Chrom/ SOL).
2.4 Metode
Cara kerja yang digunakan dalam pengujian sampel kasus rubella pada PKL ini
mengikutimenggunakan metode indirect ELISA, yang terdiri atasdari beberapa tahapan
sebagai berikut.:
1.

Tahap Ppreparasi Ssampel


a.

Data sampel berupa serum dicatat dalam log book sesuai dengan nomor
laboratorium.

b.

Tube volume 1,8 ml disiapkan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, lalu
diberitempel dengan label yang bertuliskan nomor laboratorium.

c.

Sampel berupa serum dipindahkan ke dalam tube yang telah diberi nomor
laboratorium menggunakan mikropipet.

d.

Sampel kemudian langsung diuji atau dapat disimpan dalam freezer atau
revco.

2.

Tahap Ppembuatan Llarutan Wwasher


a. Larutan Wash POD dicampur dengan akuatrides dengan perbandingan 1 : 19
dalam labu erlenmeyer 1000 ml menggunakan pipette 10 ml.
b. Larutan yang telah dihomogenkan dimasukkan ke dalam botol ELISA washer
dan ditempatkan sesuai dengan posisinya.

3.

Pengujian sampel serum menggunakan metode indirect ELISA


a. Dipersiapkan Persiapan alat, sampel serum yang akan diuji, dan mikrotiter
tube yang terdiri atasdari 96 mikrotiter (8 baris, 12 kolom).
b. Larutan Enzygnost 21 ml dicampurkan dengan blue color solution 1050 l
pada basin. Sebanyak 200 l larutan blue color kemudian dimasukkan pada
masing-masing mikrotiter sesuai dengan jumlah strip yang akan digunakan

(misalnya 8 strip) (Perbandingan larutan blue color dengan larutan Enzygnost


adalah 1:20).
c. Larutan RF absorbant 200 l dengan perbandingan 1:1 dimasukkan ke dalam
masing-masing lubang mikrotiter yang masih kosong (dimulai dari kolom ke-7
sampai dengan kolom ke-12 dan dari baris ke-1 sampai dengan 8
menggunakan 8-channeled pipette 200 l). Dua lubang pada baris pertama
dari kolom nomor 7 dan satu lubang pada baris terakhir dari kolom nomor 12
dikosongkan.
d. Sampel berupa serum dimasukkan ke dalam mikrotiter yang telah berisi
larutan pengencer blue color (pada kolom ke-1 sampai dengan kolom ke-6 dan
baris ke-1 sampai dengan 8 menggunakan 8-channeled pipette 200 l)
sebanyak 20 l sesuai dengan template yang dibuat.
e. Sampel yang telah dihomogenkan dengan larutan pengencer kemudian
dipindahkan pada mikrotiter (kolom ke-7 sampai dengan 12 dan dari baris ke1 sampai dengan 8 menggunakan 8-channeled pipette 200 l) yang berisi RF
f.

absorbent sebanyak 200 l.


Untuk mikrotiter kKolom 7 baris 1 dan kolom 12 baris 8 diisi dengan reagen
refer P/P, sedangkan pada kolom 7 baris 2 diisi dengan dengan regen refer

P/N.
g. Sampel yang telah dihomogenkan dan telah diberi RF absorbent kemudian
diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang.
h. Setelah diinkubasi, larutan kemudian dipindahkan ke dalam Enygnost AntiRubella Virus/IgM test plate atau well plate sebanyak 150 l pada masingmasing sumuran menggunakan 8-channeled pipette (pemindahan larutan
dimulai dari kolom kontrol dan kemudian kolom uji pada setiap strip). Larutan
sampel kemudian diikubasi kembali selama 1 jam pada suhu 37oC.
i.
Setelah proses inkubasi kemudian dilakukan pencucian well plate (washing)
sebanyak 4x menggunakan ELISA washer.
j.
Well plate yang akan dicuci diletakkan pada tempat washer, kemudian tekan
tombol PRIME ditekan dan dibiarkan hinggasampai lampu mati. Tekan
tTombol angka ditekan sesuai dengan jumlah strip well plate yang berisi
sampel uji, kemudian tekan tombol START ditekan.
k. Sebanyak 12,5 ml larutan microbiol dan 250 l larutan conjugate
dicampurkan dalam basin, dan dimasukkan sebanyak 100 l pada masingmasing

sumuran

yang

telah

melalui

proses

pencucian

sebelumnya

(Pperbandingan conjugate dengan microbiol adalah 1:20).


l.
Dilakukan proses inkubasi kembali selama 1 jam pada suhu 370C.

m. Setelah diinkubasi dilakukan proses pencucian well plate (washing) sebanyak


4x sesuai dengan prosedur washing yang telah dilakukan sebelumnya.
n. Sebanyak 100 l larutan chromogen TMB kemudian dicampur dengan 10 ml
substrat TMB pada basin. Larutan TMB 100 l kemudian dimasukkan ke
dalam plate yang telah melalui proses washing dan diinkubasi gelap selama 30
menit pada suhu ruang.
o. Setelah proses inkubasi kemudian sebanyak 100 l larutan stop ditambahkan
ke dalam plate.
p. Setelah penambahan larutan stop kemudian dilakukan pembacaan plate
menggunakan alat ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dan
q.

panjang gelombang referensi 630 nm.


Plate kemudian dimasukkan ke dalam ELISA reader yang telah dinyalakan

selama 15 menit dan dihubungkan dengan komputer dan printer.


r. Nilai Ooptical density (OD) pada plate kemudian diukur menggunakan ELISA
reader. Hasilnya kemudian di export ke dalam Ms.excel dan dicetak.

III.
Judul

RENCANA KERJA HARIAN

: Deteksi kasus rubella dengan uji serologi menggunakan


metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Lokasi

: Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. DR. Sri


Oemijati, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Jakarta.

Waktu

: 25 Januari s.d. 16 Februari 2016

Pembimbing PKL

: Drs. Agus Hery Susanto, M.S.

Pembimbing Lapangan : dr. Mursinah Sp. MK


Subangkit, M. Biomed.

Tabel 3.1 Proposal Kegiatan Harian Praktik Kerja Lapangan


No

Hari/Tanggal

Keterangan
Training Biosafety dan Biosecurity
Pembagian
topik
PKL,
pembimbing
lapangan, dan pengenalan laboratorium

Senin, 25 Januari 2016

Pengamatan metode ELISA untuk menguji


serum
Melakukan pooling inhouse untuk serum
rubella tahun 2012
Melakukan pooling inhouse untuk serum
rubella tahun 2009

Selasa, 26 Januari 2016

Filtrasi hasil pooling inhouse untuk serum


rubella tahun 2009 dan 2012
Pendataan hasil Case Based Measles
Surveillance (CBMS) untuk kasus campak
dan rubella tahun 2015

Rabu, 27 Januari 2015

Kamis, 28 Januari 2016

Pendataan hasil Case Based Measles


Surveillance (CBMS) untuk kasus campak
dan rubella tahun 2015 dan 2016
Pendataan hasil Case Based Measles
Surveillance (CBMS) untuk kasus campak
dan rubella tahun 2016

Tanda Tangan

Mendeteksi serum rubella menggunakan


metode ELISA
Pembuatan medium MM
Melakukan aliquot hasil pooling dan filtrasi
serum rubella

Jumat, 29 Januari 2016

Melakukan pemetaan REVCO

Mendeteksi serum rubella menggunakan


metode ELISA
6

Senin, 1 Februari 2016

Melakukan aliquot hasil pooling dan filtrasi


serum campak
Melakukan
pembuatan
antibodi
uji
Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dengan RDE

Selasa, 2 Februari 2016

Pembekalan
assurance

materi

mengenai

quality

Pembekalan
improvement

materi

mengenai

quality

Pembekalan
SIEMENS

materi

mengenai

ELISA

Melakukan aliquot hasil pooling dan filtrasi


serum campak dan rubella
Latihan teknik presentasi
8

Rabu, 3 Februari 2016

Melakukan aliquot hasil pooling dan filtrasi


serum rubella
Melakukan uji Hemaglutinasi (HA) dan
Hemaglutinasi Inhibisi (HI) untuk 36 sampel
serum H5N1

Kamis, 4 Februari 2016

Melakukan uji Hemaglutinasi (HA) untuk 20


sampel Influenza Like Illness (ILI)
Melakukan aliquot hasil pooling dan filtrasi
serum rubella

10

Jumat, 5 Februari 2016

Melakukan pemetaan REVCO

11

Selasa, 9 Februari 2016

Mendeteksi serum campak menggunakan


metode ELISA

12

Rabu, 10 Februari 2016

Melakukan uji Hemaglutinasi (HA) untuk 51


sampel Influenza Like Illness (ILI)

Melakukan deteksi campak dari sampel urin


13

Kamis, 11 Februari 2016

Mendeteksi serum campak dan rubella


menggunakan metode ELISA

14

Jumat, 12 Februari 2016

Latihan
teknik
presentasi
pembimbing lapangan

15

Senin, 15 Februari 2016

Presentasi hasil praktik kerja lapangan

Selasa, 16 Februari 2016

Proficiency Test dari WHO untuk kasus


Campak dan Rubella

16

dengan

Registrasi biaya praktik kerja lapangan

DAFTAR REFERENSI
Abernathy E, C Min-hsin, B Jayati, S Susmita, K Ewen, Z Qi, B William dan I Joseph.
2013. Analysis of Whole Genome Sequences of 16 Strains Of Rubella Virus
from The United States, 19612009. Virology journal. 10(1) pp:32.
Agbede OO, Adeyemi OO, AWO Olatinwo, TJ Salisu, dan OM Kolawole. 2011. SeroPrevalence of Antenatal Rubella in UITH. The Open Public Health Journal. 4(1)
pp:1016.

Baydack R, dan C Ens. 2015. Re: Rubella and Congenital Rubella Syndrome/Infection
Reporting and Case Investigation. Manitoba Communicable Disease Control
Branch, 1(1) pp:111.
Brahmana K. 1981. Immunologi, Serologi dan Tata Kerja Laboratorium. Medan.
Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya, Teknologi ELISA
dalam Diagnosis dan Penelitian. G.W. Burgess (Ed.) Wayan T Ariana
(terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. pp: 506.
Cong H, J Yue, dan Po T. 2011. Identification of the Myelin Oligodendrocyte
Glycoprotein as a Cellular Receptor for Rubella Virus. Journal of Virology. 85
(21) pp:1103811047.
Febri RR. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Imunisasi Campak
pada Batita di Wilayah Kerja Puskesmas Lareh Sago Halaban Kabupaten 50
Kota Tahun 2012. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Figueredo CA, MI Oliveira, SP Curti, Afonso, AMS Frugis, LAL Araujo, DB Oliveira,
dan EL Durigon. 2012. Epidemiological and Molecular Characterization of
Rubella Virus Isolated in Sao Paulo, Brazil during 19972004. Journal of
Medical Virology. 84(1) pp:18311838.
Kadek dan S Darmadi. 2007. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital) berdasarkan
Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, 13(2) pp:6371.
Kholis E. 2012. Teknik Analisa Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Semarang:
Lab.Biologi FMIPA UNNES.
McLean H, S Redd, E Abernathy, J Icenogle, dan G Wallace. 2012a. Chapter 14:
Rubella. VPD Surveillance Manual 5th Edition, 14(1) pp:111.
McLean H, S Redd, E Abernathy, J Icenogle, dan G Wallace. 2012b. Chapter 15:
Congenital Rubella Syndrome. VPD Surveillance Manual 5th Edition, 15(1) pp:
17.
Olajide O, M Aminu, JA Randawa, dan DS Adejo. 2014. Sero Prevalence of IgM
antibody to Rubella Virus in pregnant women in Zaria, Nigeria. Archive of
Medical Biomed. 1(4) pp:129138.
Qi J, J Han, G Niu, Z Liu, X Wang, dan Y Liu. 2014. The Development of ELISA Kit
detecting Cikungunya Virus used Synthetic Polypeptide, Journal of Applied
Virology. 3(2) pp:31-38.
Radji Maksum. 2010. Imunologi Virologi. Jakarta: PT ISFI.
Sari WP, MM Hapsari, dan P Hadi. 2014. Hubungan Abnormalitas Hasil CT-Scan
dengan Developmental Delayed pada Pasien Suspek Infeksi Cytomegalovirus
Kongenital. Public Health and Preventive Medicine Archive. 2(4) pp:1218.

Subrata IK, ASS Anak, dan NW Dewa. 2013. Riwayat Kontak Dan Umur Sebagai
Determinan Kejadian Rubela Pada Anak Di Kabupaten Badung Tahun 2012.
Public Health and Preventive Medicine Archive. 1(1) pp:18.
Terry, Linda Ho., Terry, George M. dan Londesborough, Philip. 1990. Diagnosis of
Foetal Rubella Virus Infection by Polymerase Chain. Journal of General
Virology. 71(1) pp:1607-1611.
Vincent, M., Xu, Y. and Kong, H. 2004. Helicase-Dependent Isothermal DNA
Amplification. EMBO Reproduction. 5(1) pp: 795800.
WHO. 2007. Manual for the Laboratory Diagnosis of Measles and Rubella Virus
Infection. Journal. 4(77) pp:1847.

Вам также может понравиться