Вы находитесь на странице: 1из 22

Inkontinensia Alvi et causa Ruptur Perineum

Sally Nadia Asda


102013460
Fakultas KedokteranUniversitas Kristen KridaWacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
Sallynad95@gmail.com

Pendahuluan
Robekan pada jalan lahir merupakan salah satu penyebab utama pendarahan pasca
persalinan. Pasien dengan perdarahan pasca persalinan yang tidak mendapat penanganan yang
baik bisa menyebabkan kematian ibu, sekaligus meningkatkan mordibitas dan mortalitas ibu.
Robekan pada jalan lahir bisa bervariasi tergantung dari penyebab terjadinya trauma pada daerah
jalan lahir. Trauma bisa menyebabkan robekan pada daerah perineum, vagina dan serviks.
Trauma juga bisa terjadi akibat tindakan semasa persalinan seperti tindakan episiotomi. 1
Ruptur Perineum terjadi karena adanya ruptur spontan maupun tindakan episiotomi
perineum yang dilakukan. Episiotomi itu sendiri harus dilakukan atas indikasi antara lain: bayi
besar, partus prematurus, perineum kaku, persalinan dengan kelainan letak, persalinan dengan
menggunakan alat bantu baik forceps maupun vakum. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas
indikasi yang tepat, maka menyebabkan peningkatan angka kejadian dan derajat kerusakan pada
daerah perineum.1
Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang
dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur pada anal spingter merupakan komplikasi
terbesar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita. 1

Pembahasan
Skenario
Seorang perempuan 32 tahun, datang ke IGD dengan keluhan utama sulit menahan BAB
sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan 3 hari yang lalu pasca melahirkan anak ke dua dan pasien
secara spontan di bidan praktek swasta. Dengan berat badan lahir 3800gram. Pasien mengatakan

saat proses kelahiran bidan mengatakan terjadi robekan spontan di kemaluan dan telah di
lakukan penjahitan oleh bidan.
Anamnesis
P2. Posr partum spontan pervagina 3 hari yang lalu di bidan praktek swasta
BBL 3800g. Dengan AS 7/9 pasien mengatakan pada proses kelahiran bidan mengatakan terjadi
robekan spontan pada jalan lahir dan bidan melakukan penjahitan. 2 hari yang lalu pasien
merasakan ada benang yang terlepas pada jahitanya dan pada daerah perineum terasa nyeri dan
bengkak. 1 hari yang lalu pasien mengatakan tidak bisa menahan BAB. BAK spontan lancar.
Pasien juga merasakn suhu badanya naik. Nyeri pada daerah perut dan payudara di sangkal, dari
pagina masih keluar cairan berwarna merah kehitaman tidak berbau. Pasien sedang melakukan
ASI esklusif, produk ASI lancar. Riwayat pemakaian alat kontrasepsi di sangkal. Pekerjaan
pasien IRT.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan alat kelamin wanita bagian luar

Beri kesempatan kepada pasien untuk mengosongkan kandung kemih sebelum


pemeriksaan dimulai. Bila diperlukan urine untuk specimen laboratorium.2
Anjurkan pasien membuka celana, Bantu mengatur posisi litotomi, dan selimuti bagian
yang tidak diamati.2
Mulai dengan mengamati rambut pubis, perhatikan distribusi dan jumlahnya, dan
bandingkan sesuai usia perkembangan pasien.2
Amati kulit dan area pubi, perhatikan adana lesi, eritema, fisura, leukoplakia, dan
ekskorasi.Buka labia minora, klitoris, dan amati bagian dalam labia mayora, labia
minora,klitoris, dan meatus uretra. Perhatikan setiap ada pembengkakan, ulkus, rabas
atau nodular.2

Pemeriksaan alat kelamin bagian dalam

Atur posisi pasien secara tepat dan pakai sarung tangan steril.2
Lumasi jari telunjuk Anda dengan air steril, masukkan ke dalam vagina, dan identifikasi
kelunakan serta permukaan serviks. Tindakan ini bermanfaat untuk mempergunakan dan
memilih speculum yang tepat. Keluarkan jari bila sudah selesai.2
Siapkan speculum dengan ukuran dan bentuk yang sesuai dan lumasi dengan air hangat
terutama bila akan mengambil specimen.2

Letakkan dua jari pada pintu vagina dan tekankan ke bawah kearah perianal.Yakinkan
bahwa tidak ada rambut pubis pada pintu vagina dan masukkan speculum dengan sudut
45 dan hati-hati dengan menggunakan tangan yang satunya sehingga tidak menjepit
rambut pubis atau labia.Bila spekulum sudah berada di vagina, keluarkan dua jari Anda,
dan putar speculum kearah posisi horizontal dan pertahankan penekanan pada sisi
bawah /posterior.Buka bilah speculum, letakkan pada serviks dan kunci bilah sehingga
tetap membuka.2
Bila serviks sudah terlihat, atur lampu untuk memperjelas penglihatan dan amati ukuran,
laserisasi, erosi, nodular, massa, rabas, dan warna serviks . Normalnya bentuk serviks
melingkar atau oval pada nulipara, sedangkan pada para membentuk celah.Bila
diperlukan specimen sitologi, ambil dengan cara usapan menggunakan aplikator dari
kapas.2
Bila sudah selesai, kendurkan sekrup speculum, tutup speculum, dan tarik keluar secara
perlahan-lahan.2

Pemeriksaan bimanual
Lakukan palpasi secara bimanual bila diperlukan dengan cara memakai sarung tangan steril,
melumasi jari telunjuk dan jari tengah, kemudian memasukkan jari tersebut ke lobang vagina
dengan penekanan ke arah posterior, dan meraba dinding vagina untuk mengetahui adanya nyeri
tekan dan nodular.Pemeriksaan bimanual:3

Tangan kiri di abdomen bagian bawah dan tangan kanan (jari telunjuk dan tengah) dalam
vagina.Dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau dua jari
Dengan dua jari pemeriksaan dapat mencapai tempat yang lebih dalam namun dirasakan
kurang nyaman bagi pasien. Lakukan pemeriksaan pada uterus dan adneksa:Tidak ada
nyeri goyang pada servik, ukuran uterus, keadaan adneksa dan parametrium (tidak teraba
tumor dan parametrium tidak kaku/keras), mobilitas organ pelvik (tidak ada perlekatan).
Dengan telapak tangan kanan menghadap keatas, lakukan pemeriksaan terhadap saluran
urethra dan kandung kemih (rasa nyeri mengindikasikan adanya urethritis / sistitis).
Pada kondisi tertentu dapat dilakukan pemeriksaan rectovaginal (melihat keadaan septum
rectovagina dan ligamentum sakrouterina).

Palpasi serviks dengan dua jari anda dan perhatikan posisi, ukuran, konsistensi, regularitas,
mobilitas, dan neri tekan. Normalnya serviks dapat digerakkan tanpa terasa nyeri.3
Palpasi uterus dengan cara jari-jari tangan yang ada dalam vagina menghadap ke atas.
Tangan yang ada diluar letakkan di abdomen dan tekankan ke bawah. Palpasi uterus untuk
mengetahui ukuran, bentuk, konsistensi, dan mobilitasnya.4

Keluhan utama tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, TD 120/80 mmHg, HR
88X/menit, RR 18x/menit, temperatus 37,5, abdomen lemah, tanda akut (-), extremitas akral
hangat,
Pemeriksaan penunjang
Hb 12,8g/Dl
ht 37%
leukosit 21.500/uL
trombosit 180000/Ul
MCV 90fl
MCH 33pg
MCHC 34G/dl

Diagnosis
Inkontinensia Alvi ec Ruptur Perineum derajat 3b terinfeksi pada p2, Post partum spontan
3 hari yang lalu
Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai pelvis
dan struktur yang berhubungan yang menempati pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi
disebelah anterior oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadikum, dan di sebelah
posterior oleh os. coccygeus, dan dibagi kedalam the anterior urogenital triangle and the
posterior anal triangle.1,2,3
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan memastikan kepala
janin tidak melalui dasar panggul dengan terlalu cepat. (menjaga jangan sampai dasar panggul
dilalui oleh kepala janin dengan cepat.) Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak
janin, dan melemahkan otot-otot dan fascia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu
lama.1,2,3
Anatomi perineum

Menurut ahli anatomi, perineum adalah wilayah pelvic outlet diujung diafragma pelvic
(levator ani). Batasannya dibentuk oleh pubic rami di depan ligament sacro tuberos di belakang.
Pelvic outletnya dibagi oleh garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial
tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.3,4,5
Segitiga urogenital
Otot-otot di wilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial (dangkal) dan
dalam bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal melintang dangkal
dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus
melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian
belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse
perineal (otot yang melintang contralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus
(sfingter). 3,4,5
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian duktusnya
membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada persimpangan dua sepertiga
bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora. 3,4,5
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan belakang fasia
membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk
digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama
terletak juga otot cincin eksternal urethra. 3,4,5
Segitiga anal
Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorektal.3
Badan perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan
kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang
rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva
dan anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal
melintang dan otot cincin anus bagian luar. 3,4,5

Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo rektalis,
karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani
bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum
merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus. 3,4,5
Anatomi anorektum
Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis dan terdiri
dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah
persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot puborektalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga
bagian (subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan
tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborektalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan
lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin
otot anus oleh otot penyambung yang membujur rectum. 3,4,5
Faktor resiko perineum
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana. 6,7,8
1. Penggunaan forceps
2. Berat bayi lebih dari 4 kg
3. Primiparitas
4. Induksi
5. Anastesi epidural
6. Kala 2 memanjang lebih dari 1 jam
7. Distosia bahu
8. Etnik asian
9. Episiotomi mediana

Klasifikasi ruptur perineum


1. Ruptur Perineum Spontan

Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan
perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak
teratur.1,4,9,10
2. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada
perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar
saluran keluar vagina. 1,4,9,10
Ruptur Perineum Spontan
Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan
perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat: 1,4,9,10

Derajat I
Bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum pada perlukaan
tingkat I, bila hanya berupa luka lecet, tidak perlu penjahitan.

Derajat II
Ada perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fascia serta
otot-otot diafragma urogenitalia. Pada perlukaan tingkat II, hendaknya luka dijahit
kembali secara cermat. Lapisa otot dijahit dengan jahitan simpul dengan katgut kromik
no 0 atau 00, dengan mencegah terjadinya rongga mati (dead space). Adanya rongga mati
antara jahitan-jahitan memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang
terutama oleh kuma-kuman anaerobe. Lapisan kulit dijahit dengan benang katgut kromik
atau benang sintetik yang baik secara simpul (interrupted suture). Jahitan hendaknya
jangan terlalu ketat agar tempat perlukaan tidak timbul edema.

Derajat III
Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari tingkat II menyebabkan muskulus sfingter ani
eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, tetapi dapat juga
bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi
pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada

10

kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan
terbentuknya hematoma.
Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul sehingga mudah terjadi lapsus
genitalis. Robekan perineum juga dapat mengakibatkan robekan jarinagn pararektal
sehingga rectum terlepas dari jaringan sekitarnya.
Diagnosis ruptur perineum juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan lansung.
Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul pendarahan yang bisa bersifat pendarahan
arterial. Perlukaan perineum tingkat III memerlukan teknik penjahitan khusus. Langkah
pertama yang terenting ialah menemukan kedua ujung muskulus sfingter ani eksternus
yang terputus.
Perlukaan perineum pada waktu persalinan sebenarnya dapat dicegah. Perlukaan ini
umumnya terjadi pada saat melahirkan kepala. Oleh kerana itu, keterampilan melahirkan
kepala janin sangat menentukan sampai seberapa jauh dapat terjadinya perlukaan pada
perineum. Untuk mencegah terjadinya, perlukaan perineum yang bentuknya tidak teratur,
dianjurkan episiotomi.
Pada perlukaan perineum tingkat III yang tidak dijahit misalnya pada persalinan yang
ditolong dukun akan terjadinya inkontinesia alvi. Pada perlukaan perineum seperti ini,
memerlukan waktu sekurang-kurangnya 3-6 bulan pasca persalinan, sebelum luka
perineum ini dapat dijahit kembali.

Derajat IV
Robekan pada perineum yang mengenai eksterna dan interna spingter ani dan epithelium
ani.

Teknik menjahit robekan perineum

Derajat I
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut
yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure
of eight)5.

11

Gambar 1: Laserasi derajat 1. 11

Derajat II
Laserasi derajat II melibatkan fascia dan otot (muskulus perinei transversalis) dari badan
perineum tapi tidak mengenai sfinkter anus. Robekan ini biasanya melebar ke atas pada
salah satu atau kedua sisi vagina, membentu luka segitiga yang ireguler. Sebelum
dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II atau III, jika dijumpai pinggir
robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus
diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem
terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan
penjahitan luka robekan. Mula-mula otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir
vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau kontinu. Penjahitan selaput lendir
vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang
secara interuptus.

Gambar 2: Laserasi Derajat II. 11

Derajat III
Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan perineum, dan
melibatkan sfinkter anus. Sama seperti teknik menjadi pada laserasi derajat 2, namun
otot-otot levator ani dijahit terlebih dahulu dengan jahitan interuptus.

12

Gambar 3: Laserasi Derajat III. 11

Derajat IV
Laserasi derajat IV meluas sampai mukosa rektum sampai ke lumen rektum. Robekan di
daerah uretra dengan perdarahan hebat bisa menyertai laserasi tipe ini. Teknik menjahit :
Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia
septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujungujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan dikelm dengan klem Pean lurus,
kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.

Gambar 4: Laserasi Derajat IV. 11


Ruptur Perineum Yang Disengaja ( Episiotomi )
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya
selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia
perineum dan kulit sebelah depan perineum.4
Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya adalah
untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah
dilakukan penjahitan , mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi tetapi hal tersebut
ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup. 4,6

13

Tetapi sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak boleh dilakukan
karena ada indikasi tertentu untuk melakukan episiotomi (misalnya, persalinan dengan ekstraksi
cunam, distosia bahu, rigiditas perineum, dsb). Para penolong persalinan harus cermat membaca
kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang tidak dianjurkan, bukan episiotominya. 4,11,12
Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan :
1.

Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma

2.

Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin
dibandingkan dengan tanpa episiotomi.

3.

Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum

4.

Meningkatnya resiko infeksi.7

Indikasi
Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun pihak janin.
1.

Indikasi janin.

a.

Sewaktu melahirkan janin premature. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang
berlebihan pada kepala janin.

b.

Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi
vakum, dan janin besar.5

2.

Indikasi ibu

Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan
perineum, misal pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi
vakum, dan anak besar.5
Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomi telah banyak berubah.
Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan : Gawat
janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan.
1.

Penyulit kelahiran pervaginam ( sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam (forcep) atau
ekstraksi vakum )

2.

Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan persalinan.7

14

Tujuan menjahit laserari atau episiotomi adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh
dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu. Ingat bahwa setiap kali jarum masuk kedalam
jaringan tubuh, jaringan akan terluka dan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya infeksi.

Teknik
Episiotomi medialis
a. Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas
otot-otot sfingter ani.

Gambar 5: 1
- Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina menuju anus
-

melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum.


Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.

b. Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan
dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan.
Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat
dilakukan secara terputius-putus (interupted suture) atau secara jelujur (continuous
suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah
catgut chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
Episiotomi mediolateralis
Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke
arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun kiri,
tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm.

15

Gambar 6 : 1
Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan teknik
menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah
penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris
Episiotomi lateralis
Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3
atau 9 menurut arah jarum jam.
Teknik ini sekarang tidsak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan
komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah
pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut
yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

Diagnosis Banding
Inkontinensia Alvi Akibat Konstipasi
Konstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari masa
feses yang keras. Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus
dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut anorektal. Kemampuan sensor menumpul dan
tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merebes
keluar. Fese yang mengeras yang terjadi dapat juga menyebabkan iritasi pada mukosa rektum
dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang
impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia feses.4
Etiologi
Robekan perinium Umumnya terjadi pada persalinan

Kepala janin terlalu cepat lahir


Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
Jaringan parut pada perinium
Distosia bahu

16

Robekan serviks

Partus presipitatus

Trauma krn pemakaian alat-alat operasi

c. Melahirkan kepala pd letak sungsang scr paksa, pembukaan blm

Partus lama

lengkap

Ruptur Uteri

riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus

induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama

.presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus ).

panggul sempit

letak lintang

.hydrosephalus

tumor yg menghalangi jalan lahir

presentasi dahi atau muka

Epidemiologi
Hasil yang diperoleh dari ruang Vk Bersalin RSUD Dr. H. Moch.Ansari Saleh
Banjarmasin Tahun 2010 yang meliputi paritas, kejadian ruptur perineum, serta hubungan paritas
dengan kejadian ruptur perineum.Hasil Analisis data di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Tahun 2010 adalah sebagai berikut: paritas ibu bersalin ditemukan terbanyak
dengan multipara (49, 40%) dam primipara (46, 25%), sedangkan grandemultipara (4,35%). Dari
246 orang sampel kejadian ruptur perineum ditemukan bahwa banyak yang mengalami ruptur
perineum yaitu 214 orang (86,99%) dan yang tidak mengalami ruptur 32 orang (13,01%).
Rupture perineum dalam penelitian hubungan paritas dengan kejadian ruptur perineum yaitu dari

17

hasil penelitian bahwa ibu primipara bersalin mengalami ruptur perineum 98 (100%) ibu
multipara bersalin mengalami ruptur perineum 116 (84, 06%) ibu grandemultipara 0 (0%) dan
ibu yang tidak mengalami ruptur perineum primipara 0 (0%) ibu multipara yang tidak
mengalami ruptur perineum 22 (15,94%) ibu yang tidak mengalami ruptur perineum
grandemultipara 10 (100%). Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pada paritas
grandemultipara atau wanita yang melahirkan lebih dari 5 orang tidak ada yang mengalami
ruptur perineum, sedangkan primipara seluruhnya mengalami ruptur perineum dan multipara
sebanyak 116 orang (84,06%). Dari hasil tersebut paritas memiliki peran penting pada kejadian
ruptur perineum, akan tetapi tidak hanya paritas faktor lain juga mempengaruhi terjadinya ruptur
perineum seperti bayi yang besar, cara meneran yang salah, persalinan yang cepat, kerjasama
antara ibu dan penolong yang kurang baik.

18

Patofisiologi
Primi/multigravi
da

Partus
spontan
Partus
presipitatus

Partus
presipitatus

Kepala janin
lahir terlalu
cepa
Perineum
tertekan
Meregang secara cepat dan
melebihi ambang batas
elastisitas

Adaptasi regang perineum tidak


cukup memberi ruang bagi
kepala janin
Otot-otot perineum terus
kontraksi
Robekan pada
vagina,vulva dan
kulit perineum

Ruptur
Perineum
Robekan
mengenai
kulit dan otot

Robekan sampai
mengenai sfingter ani

Derajat 1
Derajat 2

Derajat 3

Robekan
meluas
sampai
mukosa
Derajat 4

TandadanGejala RupturPerineum
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik,dapat dipastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir
Tanda-tanda yang mengancam terjadinya robekan perineum antara lain :

19

1)Kulit perineum mulai melebar dan tegang.


2)Kulit perineum berwarna pucat dan mengkilap
3) Ada perdarahan keluar dari lubang vulva, merupakan indikasi robekan pada mukosa vagina
.4) Bila kulit perineum pada garis tengah mulai robek, di antara fourchette dan sfingter an

Penatalaksanaan
Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan cara melakukan penjahitan luka lapis
demi lapis, dan memperhatikan jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang
biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak baiknya penyembuhan luka.
Selain itu dapat dilakukan dengan cara memberikan antibiotik.7
Tujuan perbaikan perineum bukan hanya untuk merapatkan bagian yang robek secara
ketat tetapi memposisikan kembali ke posisi anatomi. Tabel beberapa material jahitan dan teknik
untuk perbaikan robekan perineum sebagai berikut : 4,5,6

Penjahitan Laserasi Pada Perineum


Penjahitan robekan derajat I dan II :4,5,6
1. Gunakan anestesi lokal dengan lidokain.
2. Jahit mukosa vagina dengan jahitan jelujur menggunakan benang 2-0. Mulai jahit sekitar
1 cm di atas apeks robekan vagina. Lanjutkan jahitan sampai lubang vagina. Satukan tepi
robekan vagina. Masukkan jarum ke bawah lubang vagina dan keluarkan melalui robekan
perineum kemudian ikat benang.

20

3. Jahit otot perineum dengna jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0. Jika robekan
dalam, beri lapisan jahitan kedua untuk menutup robekan.
4. Jahit kulit dengan jahitan putus-putus (atau subkutikular) menggunakan benang 2-0 yang
dimulai pada lubang vagina.
5. Jika robekan dalam, lakukan pemeriksaan rektum. Pastikan bahwa tidak terdapat jahitan
di dalam rektum.

Gambar 7: Penjahitan robekan perineum derajat I dan II 1,4


Penjahitan robekan perineum derajat III dan IV: 4,11,12
1. Jahit robekan di ruang operasi.
2. Gunakan blok pudendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan
menggunakan anestesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui iv
secara perlahan jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang sekali.
3. Jahit rektum dengan jahitan putus-putus menggunakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak
0,5 cm untuk menyatukan mukosa. Tutup lapisan otot dengan menyatukan lapisan fasia
menggunakan jahitan putus-putus. Oleskan larutan antiseptik ke area yang dijahit dengan
sering.
4. Jika sfingter robek, pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis (sfingter beretraksi
jika robek). Selubung fasia di sekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan
klem. Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.
5. Oleskan kembali larutan antiseptik ke area yang dijahit.
6. Periksa anus dengan dari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan
rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang
bersih, steril, atau yang didesinfeksi tingkat tinggi.

21

7. Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit, seperti pada ruptur tingkat I dan II.

Gambar 8: Penjahitan robekan perineum derajat III dan IV 1,4


Perawatan Post Operatif
Mayoritas pasien yang menjalani perbaikan robekan mengalami rasa tidak nyaman yang
meningkat dalam minggu pertama setelah persalinan. Dalam 5 sampai 7 hari postpartum, jahitan
yang terletak di dalam jaringan akan mulai diabsorbsi, jahitan yang terletak di bagian luar dan
terekspos dengan udara mungkin akan lebih lama terabsorbsi. Ketika benang jahit telah
diabsorbsi, pasien mungkin dapat merasakan potongan benang jahit ketika menyeka daerah
perineum. Hal ini adalah normal. Dalam 6 minggu post partum, jika robekan sembuh secara
normal, pemeriksaan fisis pada perineum akan normal. Bekas luka mungkin tidak begitu jelas.
Biasanya tidak terdapat nyeri pada saat ini dan pasien dapat melanjukan aktifitas seksualnya. 4,12
Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani perbaikan robekan adalah:
Kontrol

nyeri

pada

hari-hari

setelah

persalinan

biasanya

dengan pemberian

acetaminophen atau ibuprofen, meskipun kadang-kadang pasien dapat membutuhkan analgesik


narkotik (seperti kodein). Tetapi narkotik dapat menyebabkan konstipasi dengan feses yang
keras, sehingga dapat merusak luka jahitan robekan derajat III dan IV. 4,12
Pasien harus menjaga hygiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene perineum yang
baik akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat. Rekomendasi standar untuk hygiene
perineum adalah membasuh daerah perineum dengan air hangat menggunakan botol semprot
oleh karena air hangat akan membantu mengurangi nyeri . 4,12

22

Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama pada robekan
tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya konstipasi dan diare, karena konstipasi
dapat menyebabkan trauma rektal akibat peregangan, dan feces encer pada diare dapat memasuki
luka dan menyebabkan infeksi. Insiden konstipasi dan diare dapat dikurangi dengan
menggunakan pelunak feses dan diet rendah-residu yang dapat membentuk feses lunak yang
tidak besar. Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia atau suppositoria karena dapat
menimbulkan diare. 4,12
Komplikasi Post Operatif
Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan luka pada
episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling utama adalah
hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah inkontinensia feses dan
nyeri perineum persisten. 9,10,11
Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya disertai dengan nyeri
atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada keadaan yang jarang, jika
kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien dapat mengalami syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan perineum atau vagina yang
unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual. 9,10,11
Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai dengan
keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun biasanya sulit
membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat infeksi. 9,10,11
Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan robekan
tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik. Inkontinensia dapat terjadi
segera maupun beberapa hari/minggu postpartum. Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat
luka yang kembali terbuka atau infeksi. 9,10,11
Nyeri perineum persisten dan dispareunia. Normalnya dalam 6 minggu postpartum, nyeri
perineum akan menghilang. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri yang persisten. Nyeri tersebut
dapat tajam atau tumpul, yang diperberat oleh kegiatan dan posisi tertentu. Beberapa wanita
mengeluhkan nyeri ketika bersenggama. 9,10,11
Pencegahan ruptur perineum

23

Saat kepala membuka vulva (5-6 cm), penolong meletakkan kain yang bersih dan kering
yangdilipat sepertiganya di bawah bokong ibu dan menyiapkan kain atau handuk bersih di atas perutibu,
untuk mengeringkan bayi segera setelah lahir.

Melindungi perineum dengan satu tangan dengan kain bersih dan kering, ibu jari pada
salahsatu sisi perineum dan empat jari tangan pada sisi yang lain pada belakang kepala bayi.

Menahan belakang kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara
bertahapmelewati introitus dan perineum

Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi
secara bertahap dengan hati-hati dapat mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada v
agina dan perineum.

Prognosis

Pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat baik

Inkontinensia alva EC ruptur perineum tingkat III- IV, apabila penjahitan dilakukan
dengan benar,tindakan aseptik serta antiseptik dilakukan dengan baik, dan Jika tidak ada
komplikasi, maka tidak diperlukan perawatan dan monitoring
dalam jangka waktu lama. 4,10,11

Kesimpulan
Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama timbulnya kematian pada ibu,
contohnya dikarenakan adanya ruptur pada perineum. Ruptur pada daerah perineum merupakan
penyebab tersering kematian ibu yang dihubungkan dengan persalinan pervaginam Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada persalinan berikutnya.
Ruptur perineum dibagi menjadi ruptur yang spontan dan ruptur yang disengaja. Ruptur
perineum yang spontan ini contohnya adalah dikarenakan adanya berat badan janin yang lebih
dari 4 kg, kala 2 memanjang lebih dari 1 jam, induksi dan lain lain. Sedangkan ruptur perineum
yang disengaja yaitu dengan melakukan episiotomy, dimana untuk mempermudah jalan lahir,
namun hal ini juga dapat mengakibatkan ruptur perineum sampai ke derajat 3 atau 4 ( terutama
dengan dilakukannya episiotomy mediana ).
Terapi yang dilakukan yaitu dengan dilakukan penjahitan tergantung dari derajat
kerusakan perineum tersebut. Teknik terbaik yang saat ini dianjurkan adalah dengan
menggunakan teknik overlapping, dimana dengan dilakukannya teknik ini dapat mengurangi

24

angka komplikasi inkontenensia ani, terutama pada kasus ruptur perineum derajat 3 dan 4.
Prognosa untuk ruptur perineum ini dapat dikatakan baik, bila penjahitan dilakukan dengan
benar dan tindakan aseptik serta antiseptic dilakukan dengan baik.

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Mochamad Anwar, Ali Baziad, R. Prajitno Prabowo. Ilmu Kandungan. Edisi 3.


Jakarta.Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo. 2011.
Kamus kedokteran Dorlan. Jakarta . EGC. 2006
Frank. H. Netter. Atlas of Human Anatomy. 4th. United States of America. 2006.
Cunningham FG et al. William Obstetrics. 22nd . New York. McGraw-Hill.2005
Errol R. Norwitz, John O. Schorge. Operative vaginal delivery in Obstetrics and
Gynecology at a Glance. United States of America. 2007.
Martinal L. Pernoll. Perineotomy in Benson and Pernoll's handbook of Obstetrics &
Gynaecology. McGraw-Hill 10th Ed.
D. Keith Edmonds. Chapter 24 in Dewhurt's Textbook of Obstetrics & Gynaecology.
Blackwell Publishing 7th Ed.
Katariina L.,Tiina P., Rune R., et al. Decreasing the Incidence of Anal Sphincter Tears
During Delivery in Obstetrics and Gynaecology Vol. 111, No. 5, May 2008. P 1053-1057
Jan Willem, Mark Vierhout, Piet Struijk et al. Anal Sphincter Damage After Vaginal
Delivery: Functional outcome and risk factors for fecal incontinence in Acta Obstetricia
et Gynaecologica Scandinavica 80. 2001. h. 830-834.
A. Cornet, O. Porta, L. Pineiro et al. Management of Obstetric Perineal Tears in
Obstetrics and Gynaecology International Volume 2012, Hindawi Publishing
Corporation. h.1-7.
Ranee Thakar, Abdul Sultan. Obstetric anal sphincter injury: 7 critical questions about
care in Obg Management February 2008. h. 56-68.

25

Вам также может понравиться